cakgrays

Setelah lama perjalanan menuju perusahaan milik keluarga Aditama yaitu Tamacakra, akhirnya mereka berdua pun tiba.

Jantung Ratu berdegup kencang. Ia menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu gelisah. Ini adalah hari pertamanya bekerja, selain menjadi seorang model.

“Jeff, rok gue kependekan gak sih?” tanya Ratu.

Jeffrey menggeleng sembari memberikan kartu pengenal yang sengaja ia siapkan jauh-jauh hari.

“Gue kayanya gak cocok deh pake rok kerja kaya gini. Kurus banget!”

“Enggak. Lo cantik.”

“Emang siapa yang bilang gue jelek? Gue kan cuman bilang kalo gue kurus!” seru Ratu kesekian kalinya.

Jeffrey yang merasa jengah, lantas membuka seat belt nya. “Mau turun gak?”

“Mau.”


Jeffrey dan Ratu berjalan beriringan begitu pintu lift terbuka. Membuat beberapa karyawan menatap iri keduanya.

“Kenapa gue diliatin ya?” bisik Ratu.

“Mereka ngeliatin gue.”

Tiba-tiba saja, Jeffreyan menghentikan langkahnya. Tepat dihadapan jajaran ketua divisi, yang menyambut kehadirannya dengan senyuman hangat.

“Selamat pagi semua!” sapa Jeffreyan dengan semangat.

“Selamat pagi Pak!”

“Perkenalkan, Ratu Azalea. Kedepannya beliau akan menjadi Direktur PMO, untuk project kita tahun ini.”

Ratu membelalakkan matanya seketika, dibelakang tubuh Jeffreyan. Sementara itu, para ketua divisi yang berada disana sibuk bersorak dan bertepuk tangan—sebagai tanda penyambutan atas bergabungnya Ratu.


“Lo udah gila gak sih Jeff?”

“Emangnya Papa nyuruh gitu?”

“Jeff! Jalannya pelan-pelan!”

Laki-laki itu tak menghiraukan sama sekali celotehan yang keluar dari mulut Ratu sejak beberapa menit lalu.

Namun detik kemudian Jeffrey memutar tubuhnya. “Sstthh! Jangan berisik ...” titah laki-laki itu.

“Kenapa?”

“Didalem ada CEO-nya,” ucap Jeffrey dengan lirikan mata mengarah pada sebuah pintu ruangan yang berada tepat di sisi kanannya.

“Papa?”

“Bukan.”

“Loh, kok bukan?”

Ceklek!

Pintu terbuka setelah Jeffrey sedikit mendorongnya. Laki-laki itu berjalan menuju sebuah kursi putar dibalik meja.

“Kosong ruangannya Jeff,” kata Ratu.

Baru saja gadis itu memutar tubuhnya setelah menutup pintu, ia dibuat terheran dengan senyuman laki-laki itu.

Air wajah Ratu berubah seketika kala menyadari bahwa nama yang tertera pada sebuah papan nama diatas meja dihadapannya adalah 'Jeffreyan Aditama'

“Jeff ... .”

“Selamat bergabung di perusahaan saya. Semoga kamu betah ya? Ini berkas-berkas yang perlu kamu pelajari,” ujar Jeffrey, sembari menyodorkan sebuah tumpukan berkas ditangannya.

“Wahh ... gila sih? Brengsek lo!”

Mobil Jeffreyan melaju, membelah padatnya punggung jalan kota Jakarta pagi itu.

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

Mobil Jeffreyan melaju membelah padatnya punggung jalan kota Jakarta pagi itu.

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

“Yakin gak mau lo pegang aja?”

“Apanya?”

Ratu mengangkat tangan kanannya, menampilkan sebuah dompet yang tengah ia genggam.

“Gak mau Ra. Tolong selalu sediain cash aja,” ucap Jeffrey yang tengah fokus mengemudi.

“Mana yang isinya paling banyak?”

“BRI itu isinya uang jajan dari Mama, sama tabungan kecil. Gue biasa nabung dari SMP, lo tau kan?”

“Iya.”

Mobil Jeffrey berhenti. Sama seperti pengguna jalan lainnya, ia pun tengah menunggu lampu merah berganti.

“Kalo yang BCA?” sambung Ratu.

“Gold itu tabungan masa depan.”

“Bedanya sama tabungan kecil BRI, apa?”

“Waktu pemakaiannya. Tabungan masa depan, tujuannya buat biaya nikah, sama ngebesarin Jeffrey junior.”

Jeffrey terkekeh sembari melajukan kembali mobilnya.

“Ngeri-ngeri sedap ya Bapak? Mantap!”

“Papa sering bilang, kalo semua itu harus direncanakan secara matang sejak dini.” Lantas keduanya kini tertawa.

“Terus kalo BCA platinum?” tanya Ratu semangat. Ini adalah bagian yang ditunggu-tunggu. Pasalnya Jeffrey selalu meminta ia melakukan penarikan uang menggunakan kartu tersebut.

“Yang item?”

“Platinum Jeff!”

“Itu punya lo,” jawab Jeffrey santai.  Laki-laki itu tersenyum hingga lubang pada pipinya nampak semakin jelas.

“Gue nanya serius tau ... .”

“Isinya gaji gue. Buat lo. Itu punya lo, Ra. Bener-bener cuman gue pake kalo lagi sama lo.”

“Yaudah-”

Kalimat Ratu menggantung di udara. Gadis itu memindahkan beberapa kartu dari dalam dompet Jeffreyan kedalam dompetnya.

“Kalo gitu, ini dompet lo. SIM, STNK, sama BCA platinum ada di dalemnya.”

“Tapikan Ra ... .” timpal Jeffrey.

“Sebenernya tanpa jaminan pun, gue gak bakal kemana-mana kali Jeff. Gue gak masalah sih kalo lo titipin ginian. Tapi menurut gue, jangan sampai lo gak pegang uang sama sekali kaya hari ini. Tau gak kenapa?”

“Kenapa?”

“Ada 5 tanda laki-laki berwibawa menurut gue. Satu, gaya pakaian. Dua, cara ngomong. Tiga, cara berpikir. Empat, cara bersikap. Nahhh ... yang terakhir nih, ada uangnya.”

“HAHAHAHA GILA!”

“Kok ketawaaa?! Bener kan? Gak salah dong gue? Semakin banyak uangnya, semakin berwibawa dia,” tutur Ratu.

Laki-laki yang tengah mengemudi disebelahnya itu menganggukan kepala. Seolah setuju dengan pernyataan yang baru saja Ratu lontarkan.

“Bener. Gue kalo liat Papa langsung, bawaannya takut.”

“Karena itu bokap lo anjir!”

“Bukan. Karena uang dia lebih banyak!”

“HAHAHAHA GAK SANGGUP!”

Ratu meletakkan ponselnya, sesaat setelah melihat galeri dalam benda pipih tersebut. Ia tersenyum getir, mengingat hanya sedikit potret Bundanya yang tersimpan disana.

Gadis itu memijat pelipisnya. Sedikit pusing, karena menangis semalaman.

Suasana rumahnya menjadi lebih sepi dari biasanya. Ia menuruni ranjang, dan berjalan menuju sebuah kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya.

“Bunda?” ucap Ratu dengan nada lirih.

Mata Ratu menatap kosong ke dalam kamar mandi tersebut. Konyol batinnya, sebuah lantai yang dingin, lembab, serta berair itu mampu merenggut nyawa Bunda dalam semalam—satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya, setelah kematian Ayah 12 tahun silam.

Kala Ayahnya meninggal karena kecelakaan maut yang disebabkan oleh supir bus, Ratu selalu menangis dalam pelukan Bunda, setiap malam. Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya?

Rasanya baru kemarin ia mengajak Bunda untuk makan malam bersama seseorang yang sejak 2 tahun kebelakang, namanya terus ia simpan di hati.

Belum sempat Ratu mengatakan alasan dibalik rencana makan malam itu. Belum sempat Ratu berterima kasih atas jerih payah Bunda karna telah menyaksikannya beranjak dewasa.

Jantung gadis itu berdegup kian kencang. Perlahan Ratu melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Ia bersimpuh seperti saat terakhir kali melihat tubuh Bundanya.

Tubuh Ratu bergetar hebat. Isak tangis hingga raungan pun lolos dari mulutnya. Sesak.

Muncul sebuah ide gila di kepalanya. Gadis yang penampilannya kini telah berantakan itu tertawa dengan lantang.

Bunda satu-satunya keluarga yang aku punya, tapi kenapa Tuhan ambil?

Gak pernah ada sedikitpun bayangan di kepala aku, kalau Bunda bakal pergi duluan, nyusul kaya Ayah. Waktu Ayah pergi, aku kuat karna ada Bunda. Sekarang gimana? Harus apa?

Bun, Lea tetep ada di dunia ini, itu karna Bunda. Tapi kalau sekarang Bunda ninggalin aku juga ... mending aku ikut mati aja.

Detik kemudian, darah segar mengalir dari pelipisnya, sesaat setelah gadis itu membenturkan kepalanya pada lantai kamar mandi dengan keras. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil-manggil namanya.

“RATU!” Nafas Jeffrey tercekat tatkala ia menemukan Ratu yang tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.

Beberapa menit yang lalu, ketika mobilnya memasuki pekarangan rumah gadis itu, Jeffrey mampu mendengar tangisan Ratu dengan jelas. Ia berlari memasuki rumah, dan mendapati gadis itu tengah bersimpuh di dalam kamar mandi.

“LO GILA YA!? BANGUN!” seru Jeffrey sembari menarik kasar tubuh Ratu. Sementara sang empu hanya tersenyum menatap laki-laki itu.

“Bagus, sekarang aku malah ngehaluin Jeffrey Bun.” Lirihnya.

Jeffrey membawa tubuh Ratu keluar dari kamar mandi, dan menjatuhkannya ke atas ranjang dengan kesal. Wajahnya memerah. “TOLOL! LO TAU TOLOL GAK RA?! Dimana sih akal lo Ra?!” hardik Jeffrey.

Kemudian ia memeluk tubuh Ratu dengan posesif. Jeffrey marah atas apa yang telah gadis itu lakukan, namun perasaan takut akan kehilangan jauh lebih besar dibandingkan amarahnya.

Ratu meringis, ia tertawa lirih. “Ini beneran Jeffrey ya?”

Jeffrey geming.

“Jeff ... gue cuman ... cuman gak mau sendirian ... .” ucap Ratu dengan lirih.

“Gue ada disini Ra. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tanpa lo minta.”

Ratu tersenyum dalam pelukan laki-laki itu, meski air matanya terus bercucuran. “Nanti lo pasti ninggalin gue, kok.”

Mendengar perkataan itu, Jeffrey melepas pelukannya. Ia mengepal tangan Ratu kuat-kuat, dan mengunci pandangan gadis itu.

“Dengerin Ra! Gue gak akan kemana-mana. Gue cuman buat lo. Gak perduli suatu saat nanti bakal ada orang yang nyuruh gue ninggalin lo, gue akan tetep ada di tempat gue Ra. Disebelah lo. Sekalipun orang itu keluarga gue sendiri.”

“Jadi tolong ... jangan ngelakuin hal-hal tolol kaya gini lagi Ra. Gue mohon. Karna ... gue takut kehilangan lo.”

Ratu memeluk tubuh Jeffrey seketika. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher laki-laki itu.

“Makasih, Jeff.”

“Bersihin lukanya yuk? Apa mau ke rumah sakit aja?” tanya Jeffrey sembari membalas pelukan Ratu. Ia mengeratkan pelukan, kemudian menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri—menyalurkan perasaan nyaman untuk gadis dalam dekapannya itu. Dan, sesekali Jeffreyan mengecup lembut pucuk kepala Ratu.

“Gak usah, lo obatin aja ... .”

Ratu meletakkan ponselnya, sesaat setelah melihat galeri pada benda pipih tersebut. Ia tersenyum getir, mengingat hanya sedikit potret Bundanya yang tersimpan disana.

Gadis itu memijat pelipisnya. Pusing, akibat menangis semalaman, juga pada pagi harinya.

Suasana rumahnya menjadi jauh lebih sepi dari biasanya. Ia menuruni ranjang, dan berjalan menuju sebuah kamar mandi yang berada diluar kamar tidurnya.

“Bunda?” ucap Ratu dengan nada lirih.

Mata Ratu menatap kosong ke dalam kamar mandi tersebut. Konyol batinnya, sebuah lantai yang dingin, lembab, serta berair itu mampu merenggut nyawa Bunda—satu-satunya keluarga yang tersisa dalam hidupnya, setelah kematian Ayah 12 tahun silam.

Kala Ayahnya meninggal akibat kecelakaan maut yang disebabkan oleh supir bus, Ratu selalu menangis setiap malam dalam pelukan Bunda. Lalu bagaimana dengan hari ini? Bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya?

Rasanya baru kemarin ia mengajak Bunda untuk makan malam bersama seseorang yang sejak 2 tahun kebelakang, namanya ia simpan dihatinya.

Belum sempat Ratu mengatakan alasan dibalik rencana makan malam itu. Belum sempat Ratu berterima kasih atas jerih payah Bunda karna telah membesarkan sampai ia beranjak dewasa.

Ratu berharap bahwa waktu dapat terputar kembali. Kalau saja malam itu dirinya yang menggantikan Bunda—terjatuh dalam kamar mandi, mungkin saat ini ia masih bisa melihat wanita paruh baya itu, meski dari kejauhan.

Jantung gadis itu berdegup kian kencang. Perlahan Ratu melangkahkan kakinya kedalam kamar mandi. Ia bersimpuh seperti saat terakhir kali melihat tubuh Bundanya.

Tubuhnya bergetar hebat. Ratu menangis dengan berbagai macam raungan yang turut keluar dari mulut. Sesak.

Muncul sebuah ide gila di kepalanya. Gadis yang penampilannya kini tengah berantakan itu tertawa dengan lantang.

Bunda satu-satunya keluarga yang aku punya, tapi kenapa Tuhan rampas?

Gak pernah ada sedikitpun bayangan di kepala aku, kalau Bunda bakal pergi duluan, sama kaya Ayah. Aku bisa ikhlas atas kepergian Ayah, karna ada Bunda. Sekarang gimana? Harus apa?

Bun, Lea tetep ada di dunia ini, itu karna Bunda. Tapi kalau sekarang Bunda ninggalin aku juga ... mending aku ikut mati aja.

Detik kemudian, darah segar mengalir dari pelipisnya. Ratu terus membentur kepalanya pada ubin kamar mandi dengan keras. Mengabaikan seseorang yang tengah memanggil-manggil namanya.

“RATU!” Nafas Jeffrey tercekat tatkala ia menemukan Ratu dalam kondisi terburuknya.

Beberapa menit yang lalu, sesaat setelah mobilnya memasuki pekarangan rumah gadis itu, Jeffrey mampu mendengar tangisan Ratu dengan jelas. Ia berlari memasuki rumah, dan menemukan Ratu yang tengah bersimpuh didalam kamar mandi dengan pakaian tidur yang berlumuran darah.

“BANGUN! SINI BANGUN!” seru Jeffrey sembari menarik kasar tubuh Ratu. Sementara yang empu hanya tersenyum menatap laki-laki itu.

“Bagus, sekarang aku malah ngehaluin Jeffrey Bun.” Lirihnya.

Jeffrey geming. Ia membawa tubuh Ratu keluar dari kamar mandi, dan menjatuhkannya ke atas ranjang. Wajahnya memerah. “TOLOL! LO TAU TOLOL GAK RA?! LO TOLOL!” hardik Jeffrey.

Kemudian ia memeluk tubuh Ratu dengan posesif. Jeffrey marah atas apa yang telah gadis itu lakukan, namun perasaan takut akan kehilangan jauh lebih besar dibandingkan amarahnya.

“Jeff ... gue cuman ... cuman gak mau sendirian ... .” ucap Ratu dengan lirih.

“Gue ada disini Ra. Gue janji bakal selalu ada buat lo, tanpa lo minta.”

Ratu tertawa, meski air matanya terus bercucuran. “Nanti lo pasti ninggalin gue, kok.”

Mendengar perkataan itu, Jeffrey melepas pelukannya. Ia mengepal tangan Ratu kuat-kuat, dan mengunci pandangan gadis itu.

“Dengerin Ra! Gue gak akan kemana-mana. Gue cuman milik lo, sama Tuhan. Gak perduli suatu saat nanti bakal ada orang yang nyuruh gue ninggalin lo, gue akan tetep ada di tempat gue Ra. Disebelah lo. Sekalipun orang itu keluarga gue sendiri.”

“Jadi tolong ... jangan ngelakuin hal-hal tolol kaya gini lagi Ra. Gue mohon. Karna ... LO TAU GAK KALO JANTUNG GUE MAU COPOT ANJING!?”

Ratu memeluk tubuh Jeffrey seketika. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher laki-laki.

“Makasih, Jeff.”

“Bersihin lukanya yuk? Apa mau ke rumah sakit aja?” tanya Jeffrey sembari membalas pelukan Ratu. Ia mengeratkan pelukan, kemudian menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri—memberikan sensasi nyaman bagi gadis dalam pelukannya.Sesekali Jeffreyan mengecup lembut pucuk kepala Ratu.

“Gak usah, lo obatin aja ... .”

Flashback On

Malam itu, sepulang menemui Randy, Eve berniat memejamkan mata sejenak. Ia berbaring diatas ranjang kesayangannya dengan nyaman, tanpa berniat menyalakan lampu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu, hingga Eve merasakan semilir angin menerpa permukaan kulitnya. Dingin, dan aneh. Pasalnya jendela kamar masih tertutup rapat, begitupun pendingin ruangan yang sedang dalam keadaan mati kala itu.

Eve membuka matanya. Sebuah bayangan hitam di sudut ruangan seolah mendekat kearah ranjang.

“Siapa?”

Kalimat itu lolos begitu saja, meski Eve yakin bahwa hanya dirinya yang berada didalam unit apartemen itu.

Gadis itu berjalan kearah saklar lampu yang letaknya berada di luar pintu kamar, dan menghadap sebuah ruang tamu.

Klik!

Begitu lampu menyala, pandangannya langsung tertuju pada suatu objek yang berada diatas sofa—sebuah boneka dengan visualisasi menyeramkan milik Devin.

Jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan melihat boneka itu. Eve ketakutan.


Sabtu, 11 Desember 2021

Eve baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding didalam kamarnya, pukul 6:12 sore. Gadis itu setengah terkejut, “Semalem cuman mimpi? Gila, gua tidur lebih dari dua puluh jam!” serunya.

Ia beringsut, menuruni ranjang. Berniat menyeduh secangkir kopi agar rasa kantuknya lekas pergi.

Tak ada yang aneh, atmosfer dalam unit apartemen itu sama seperti biasanya. Eve mengaduk kopi tanpa ekspresi. Gadis itu tengah melamun.

Diangkatnya sendok teh yang sebelumnya ia gunakan. Jika biasanya ia akan melempar sendok tersebut begitu saja kearah wastafel, kali ini Eve hanya dapat mematung.

Sebuah pantulan seperti mata berwarna merah muncul di bagian sendok yang mengarah pada dirinya.

Eve menjatuhkan sendok itu. Bibirnya gemetar. Detik selanjutnya ia berjongkok dan membenamkan wajah kedalam lengannya yang bertumpu pada lutut. Eve menangis.

“Devin, aku takut, tolong-”

Gadis itu tersadar. Begitu membuka matanya, ia masih berada diatas ranjang, dengan piyama yang basah, dan tubuh bermandikan keringat. Mimpi lagi? Batinnya.

Diraihnya ponsel yang berada diatas nakas. Jantung Eve seakan nyaris melompat keluar begitu ia melihat layar ponselnya. Pukul 6:13 sore.


Minggu, 12 Desember 2021

Sudah hari kedua semenjak ketakutan menyelimuti hatinya. Eve sempat mengira bahwa semuanya hanyalah mimpi. Namun setelah ia memastikan keberadaan boneka Rannisha di dalam unit apartemennya, Eve pun tersadar, bahwa apa yang sudah ia alami bukanlah sekedar mimpi. Terlebih lagi perdebatannya dengan Devin dua hari lalu—mengenai boneka yang laki-laki itu tinggalkan di apartemennya begitu saja, benar adanya.

Ini pukul 11 malam. Eve tengah terkulai lemas diatas ranjangnya. Gadis itu terserang demam setelah menyadari semuanya. Alisnya terus saja bertaut dalam tidur, menampilkan ekspresi cemas. Nafasnya tersengal-sengal, masih dengan mata yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja hawa dingin menjalar dalam tubuhnya.

Mata Eve membola seketika. Ia menangis dalam diam. Sebuah tangan besar seakan menekan jantungnya. Sangat sesak.

Ditatapnya sebuah makhluk yang melayang di langit-langit kamar. Rambutnya panjang menjuntai, hingga menutupi sebagian wajah Eve. Sekujur tubuhnya berlumuran cairan merah pekat, berbau anyir yang menetes membasahi seluruh permukaan ranjang.

Lidah Eve terlalu kelu untuk berteriak. Entah sejak kapan lampu unit apartemennya mati. Seluruh benda tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya. Menimbulkan suara yang amat bising di dalam kamarnya.

Gadis itu berdoa dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun makhluk diatasnya justru kian mendekat, seakan ingin menimpa tubuh Eve. Sontak ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya terbangun di sebuah ranjang tua.

Netra Eve menelisik ke seluruh penjuru ruangan yang terasa asing baginya. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berniat memeriksa apakah ada semacam pintu keluar disana. Namun nihil.

Aroma anyir dan busuk menguar di udara. Rambutnya jatuh berantakan diatas dahinya, Eve nampak putus asa.

“Evelyn ... .” Suara lirih menyebut namanya.

Sesosok wanita berdiri menjulang, dengan gaun tidur berwarna putih yang dipenuhi darah, tengah menatap kearahnya.

Sorot mata wanita itu menyeramkan. Samar-samar sebuah pintu muncul dibalik tubuhnya.

“Lewat sini!”

Eve menatap pintu itu.

“Tutup matamu. Jalan lurus, dan kamu akan keluar.” timpal wanita itu.

Seolah terhipnotis—Eve memejamkan matanya, berjalan lurus kedepan, kemudian meraih gagang pintu tersebut dan menekannya.

Pintu terbuka, Eve pun terbangun diatas tempat tidurnya.

Flashback ON

Malam itu, sepulang menemui Randy, Eve berniat memejamkan mata sejenak. Ia berbaring diatas ranjang kesayangannya dengan nyaman, tanpa berniat menyalakan lampu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu, hingga Eve merasakan semilir angin menerpa permukaan kulitnya. Dingin, dan aneh. Pasalnya jendela kamar masih tertutup rapat, begitupun pendingin ruangan yang sedang dalam keadaan mati kala itu.

Eve membuka matanya. Sebuah bayangan hitam di sudut ruangan seolah mendekat kearah ranjang.

“Siapa?”

Kalimat itu lolos begitu saja, meski Eve yakin bahwa hanya dirinya yang berada didalam unit apartemen itu.

Gadis itu berjalan kearah saklar lampu yang letaknya berada di luar pintu kamar, dan menghadap sebuah ruang tamu.

Klik!

Begitu lampu menyala, pandangannya langsung tertuju pada suatu objek yang berada diatas sofa—sebuah boneka dengan visualisasi menyeramkan milik Devin.

Jantungnya berdegup lebih kencang hanya dengan melihat boneka itu. Eve ketakutan.


Sabtu, 11 Desember 2021

Eve baru saja terbangun dari tidurnya. Ia menatap jam dinding didalam kamarnya, pukul 6:12 sore. Gadis itu setengah terkejut, “Semalem cuman mimpi? Gila, gua tidur lebih dari dua puluh jam!” serunya.

Ia beringsut, menuruni ranjang. Berniat menyeduh secangkir kopi agar rasa kantuknya lekas pergi.

Tak ada yang aneh, atmosfer dalam unit apartemen itu sama seperti biasanya. Eve mengaduk kopi tanpa ekspresi. Gadis itu tengah melamun.

Diangkatnya sendok teh yang sebelumnya ia gunakan. Jika biasanya ia akan melempar sendok tersebut begitu saja kearah wastafel, kali ini Eve hanya dapat mematung.

Sebuah pantulan seperti mata berwarna merah muncul dibagian sendok yang mengarah pada dirinya.

Eve menjatuhkan sendok itu. Bibirnya gemetar. Detik selanjutnya ia berjongkok dan membenamkan wajah kedalam lengannya yang bertumpu pada lutut. Eve menangis.

“Devin, aku takut, tolong-”

Gadis itu tersadar. Begitu membuka matanya, ia masih berada diatas ranjang, dengan piyama yang basah, dan tubuh bermandikan keringat. Mimpi lagi? Batinnya.

Diraihnya ponsel yang berada diatas nakas. Jantung Eve seakan nyaris melompat keluar begitu ia melihat layar ponselnya. Pukul 6:13 sore.


Minggu, 12 Desember 2021

Sudah hari kedua semenjak ketakutan menyelimuti hatinya. Eve sempat mengira bahwa semuanya hanyalah mimpi. Namun setelah ia memastikan keberadaan boneka Rannisha di dalam unit apartemennya, Eve pun tersadar, bahwa apa yang sudah ia alami bukanlah sekedar mimpi. Terlebih lagi perdebatannya dengan Devin dua hari lalu—mengenai boneka yang laki-laki itu tinggalkan di apartemennya begitu saja, benar adanya.

Ini pukul 11 malam. Eve tengah terkulai lemas diatas ranjangnya. Gadis itu terserang demam setelah menyadari semuanya. Alisnya terus saja bertaut dalam tidur, menampilkan ekspresi cemas. Nafasnya tersengal-sengal, masih dengan mata yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja hawa dingin menjalar dalam tubuhnya.

Mata Eve membola seketika. Ia menangis dalam diam. Sebuah tangan besar seakan menekan jantungnya. Sangat sesak.

Ditatapnya sebuah makhluk yang melayang di langit-langit kamar. Rambutnya panjang menjuntai, hingga menutupi sebagian wajah Eve. Sekujur tubuhnya berlumuran cairan merah pekat, berbau anyir yang menetes membasahi seluruh permukaan ranjang.

Lidah Eve terlalu kelu untuk berteriak. Entah sejak kapan lampu unit apartemenya mati. Seluruh benda tiba-tiba saja terjatuh dari tempatnya. Menimbulkan suara yang amat bising di dalam kamarnya.

Gadis itu berdoa dalam hati. Berusaha sekuat tenaga untuk memejamkan matanya. Namun makhluk diatasnya justru kian mendekat, seakan ingin menimpa tubuh Eve. Sontak ia memejamkan matanya, sebelum akhirnya terbangun di sebuah ranjang tua.

Netra Eve menelisik keseluruh penjuru ruangan yang terasa asing baginya. Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berniat memeriksa apakah ada semacam pintu keluar disana. Namun nihil.

Aroma anyir dan busuk menguar diudara. Rambutnya jatuh berantakan diatas dahinya, Eve nampak putus asa.

“Evelyn ... .” Suara lirih menyebut namanya.

Sesosok wanita berdiri menjulang, dengan gaun tidur berwarna putih yang dipenuhi darah, tengah menatap kearahnya.

Sorot mata wanita itu menyeramkan. Samar-samar sebuah pintu muncul dibalik tubuhnya.

“Lewat sini!”

Eve menatap pintu itu.

“Tutup matamu. Jalan lurus, dan kamu akan keluar.” timpal wanita itu.

Seolah terhipnotis—Eve memejamkan matanya, berjalan lurus kedepan, kemudian meraih gagang pintu tersebut dan menekannya.

Pintu terbuka, Eve pun terbangun diatas tempat tidurnya.

Sebuah Kisah Cinta Tragis di Awal Tahun 1799 Silam

Kala itu, Rannielle menatap nanar sebuah rumah besar berarsitektur khas Belanda dihadapannya. Halaman rumah yang sangat luas, hingga mampu membuat setiap orang yang menatapnya, langsung menyadari bahwa pemilik rumah tersebut adalah seseorang yang berkedudukan tinggi dalam pemerintahan Hindia Belanda—pada masa penjajahan.

Tangan Rannielle terus saja mengusap lembut perutnya, sembari menggumamkan sebuah kalimat singkat. “Laten we je vader zien. (Mari kita lihat ayahmu)”

“Elle?” sapa seorang laki-laki berkulit putih itu secara tiba-tiba.

“Jayden? Saya kira kamu ada dirumah. Saya baru saja ingin masuk kesana.” Tunjuk gadis itu mengarah pada rumah besar dihadapannya.

“Apa? Untuk apa kamu ke rumah saya?”

Alih-alih menjawab pertanyaan laki-laki itu, Rannielle justru tersenyum sendu sembari lagi-lagi mengusap perutnya.

“Saya hamil—onze kinderen. (anak kita)”

Wat bedoel je?! (apa maksudmu) Jangan gila, saya sudah memiliki istri!”

Plak!

Wajah Jayden memerah akibat sebuah tamparan yang dilayangkan oleh Rannielle. Tawa sumbang gadis itu, terdengar mengerikan bagi Jayden.

“Ternyata itu alasan kamu tiba-tiba menghilang?! HAHAHA!”

Jayden bergeming.

Rannielle meludah tepat dihadapan laki-laki itu. Batinnya seakan tersayat. Gadis itu menyesal karena dengan mudah memberikan mahkotanya begitu saja pada seseorang seperti Jayden. Bibirnya bergetar, menahan sebuah isak tangis yang hendak keluar. Namun tiba-tiba saja sorot matanya berubah.

“Baik, kalau begitu apakah istri kamu sudah mengetahui perbuatanmu?” sindir Rannielle, seraya menyentuh dada bidang milik Jayden.

Dengan kasar laki-laki itu menepis tangannya. Khawatir jika nantinya ada yang melihat mereka berdua.

“Keparat! Perempuan murahan, pergi kamu dari rumah saya!” seru Jayden.

“Dengar Jayden! Kamu tidak perlu bertanggung jawab. Cukup duduk manis didalam rumahmu, dan tunggu bagaimana reaksi istrimu setelah mengetahui segalanya!” ancam Rannielle sebelum akhirnya pergi meninggalkan Jayden yang tengah membeku karena ucapannya.


Langit malam itu, nampak pekat. Cahaya bintang dan bulan, tertutup awan mendung yang siap untuk menumpahkan hujan. Rannielle meninggalkan saudari kembarnya—Rannisha, sendirian di dalam kamar, karena gadis itu tengah tertidur pulas. Sudah cukup larut, namun Rannielle masih terjaga, karena pikiran yang terus-menerus memutari kepalanya. Ia menatap lurus pada sebuah cermin yang kini tengah memantulkan bayangan dirinya. Perut gadis itu kini mulai sulit untuk ditutupi, sebab usia kandungannya sudah menginjak 7 minggu.

“Bagaimana reaksi Bapak kalau mengetahui ini?” Lirih Rannielle.


Jayden melompat masuk kedalam kamar seorang perempuan yang sempat ia temui tadi siang, melalui jendela. Ia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika istrinya yang juga tengah mengandung mengetahui tentang perselingkuhannya dengan anak seorang pribumi belakangan ini. Ditatapnya seorang gadis yang tengah tertidur lelap diatas ranjang. Detik kemudian Jayden merogoh sebuah belati yang telah ia sembunyikan didalam saku beberapa saat sebelumnya. Nafas lelaki itu menggebu-gebu, rasa takut dan amarahnya kini telah menjadi satu. Lantas Jayden mendekat kearah ranjang. Dengan sekali ayunan, belati itu menancap sempurna pada dada Rannisha—membuat mata gadis itu membola seketika.

Prangg!

“RANNISHA!”

Jantung Jayden berdegup kencang sesaat setelah ia mendengar jeritan seorang perempuan dibelakangnya. Kepala laki-laki itu berdeyut sangat kuat begitu ia menyadari apa yang telah ia lakukan, sementara matanya melirik pada seorang gadis yang telah terbujur kaku pada sebuah ranjang dihadapannya. Sial, itu bukan perempuan yang aku maksud! Batinnya.

Rannielle beringsut kearah tubuh Rannisha berada. Ia menangis tanpa menghiraukan Jayden yang tengah berdiri tepat dibelakangnya.

“Saya tidak akan membiarkan kamu mengatakan semuanya kepada istri saya.” Bisik Jayden, sebelum akhrinya leyangkan belati pada genggamannya untuk yang kedua kalinya—pada tubuh yang berbeda.

Tubuh Rannielle merosot seketika, sebab lehernya mengeluarkan banyak darah. Sorot matanya memandang Jayden dengan penuh kebencian, sebelum akhirnya ia menarik sudut bibirnya. “Jayden De Groot... S-saya bersumpah.. Kamu laki-laki paling BIADABB!!!”

“Latte atau Americano?” Tawar Hardin begitu melangkah memasuki cafe yang telah direkomendasikan oleh Ratu.

“Latte aja.”

Untuk pertama kalinya Ratu mengunjungi cafe tersebut bersama laki-laki selain Jeffreyan.

Ratu merogoh tasnya—mengeluarkan sebuah buku yang berniat untuk Hardin pinjam.

“Minuman datanggg..” Kata Hardin semangat, sontak membuat Ratu menarik sudut bibirnya.

“Lo girang banget, beda sama dikelas.”

“Masa sih?”

Ratu mengangguk manis, kemudian menyodorkan sebuah buku tulis kepada Hardin. “Nih bukunya, cepet disalin!”

“Banyak banget?!”

“Gue sengaja nulis contoh soalnya tau. Kalo lo rasa gak penting-penting banget, ya gausah ditulis.” Tutur Ratu.

Hardin geming.

Mengamati bagaimana cara Ratu berbicara sembari menatap langsung kearah matanya—bagi Hardin, itu adalah sebuah hal yang menarik.

“Ra, cowok lo gak marah tau lo jalan sama cowok lain?”

“Cowok gue?”

“Jeffrey, cowok lo kan?”

Mendengar perkataan itu, sontak Ratu tergelak bukan main.

“Kok ketawa?”

“Kita temen doang anjir!”

Hardin meletakkan penanya. Ia menatap lurus manik mata Ratu, mencoba mencari kebohongan dari perkataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Namun nihil.

Detik kemudian Hardin mengalihkan pandangannya. Berpura-pura batuk, kemudian tersenyum merekah.

“Dih, kenapa lo senyum-senyum?”

“Lo tau nyanyian di iklannya Mastin gak sih?” Tanya laki-laki itu, sembari menahan senyumnya.

“Yang mana?”

“Khaabarr gembiraa! Untuk kita semuaa~”