cakgrays

Anne resah, entah apa yang akan Jia lakukan kali ini. Kemarin, setelah perdebatan singkat ia dan Jia tak saling berbicara satu sama lain meskipun sedang didalam rumah. Biasanya Jia akan berteriak sembari memaki-maki namanya dari kejauhan.

Anne yakin, Jia sudah pasti merencanakan sesuatu terhadapnya.

Netranya mampu menangkap keberadaan Jia diantara teman-temannya sebab suara tawa gadis itu begitu khas. Anne melangkah ragu-ragu menuju meja tempat dimana sepupunya itu berada.

“Eh Anne udah dateng.”

Tak terbayangkan sedikitpun oleh Anne, bahwa Jia akan menyapa dirinya dengan begitu ramah seperti saat ini.

“H-hai semua.” Balas Anne dengan kikuk.

“Langsung dibayar ya Anne.”

Mendengar perkataan itu, lantas teman-teman Jia beranjak dari tempat duduk mereka satu persatu, tersenyum dan mengatakan terimakasih sebelum akhirnya meninggalkan area kantin.

“Bayar apa maksud kamu Ji?”

Jia tersenyum, matanya kini menatap kearah meja yang dipenuhi oleh sisa-sisa makanan milik teman-temannya. “Bayar ini semua. Duit lo kan banyak.”

Gadis itu tertawa sumbang, terdengar aneh dan sarkas di telinga Anne. Beberapa mahasiswa lainnya sontak ikut menoleh, penasaran dengan pembicaraan diantara mereka berdua.

“Kamu ngomong apa sih Ji? Duit darimana? Aku gak mau bayar!” Semburat kepanikan tercetak jelas pada wajah Anne. Lantas ia berniat pergi dari sana.

Gadis itu melangkah cepat dengan perasaan gusar, namun sialnya Jia lebih dulu menarik tangannya. Membuat tubuh kecil milik Anne tersentak.

Tiba-tiba saja dapat ia rasakan segelas air membasahi wajah serta pakaiannya. Tentu saja lagi-lagi ulah Jia. Anne yang saat itu tengah mengenakan sebuah kemeja blouse berbahan tipis pun menjadi tatapan orang-orang yang tengah berada disana.

Anne malu, dan ia ketakutan. Sementara Jia sama sekali tidak memperdulikan beberapa seniornya yang juga tengah menatapnya. Gadis itu seolah tengah dikuasai oleh emosinya sendiri.

“Duit hasil nempelin cowok sana sini banyak kan Anne?” Ujar Jia.

“Jia kamu ngomong apa sih?!”

Jia menatap sengit ke arah Anne. Suasana kian memanas, pasalnya Anne sudah hampir kehilangan kesabarannya. Wajahnya memerah, serta alisnya bertaut. Hingga sebuah kata keluar begitu saja dari mulut Jia.

“Mu-ra-han!” Ujar Jia penuh penekanan pada setiap katanya, membuat seorang laki-laki yang baru saja datang menarik kasar kerah pakaiannya.

“Jaga mulut lo! Lo bukannya sepupunya Anne?” Tanya Aradean dengan tatapan menyalang serta tangan yang masih meremas kuat-kuat kerah pakaian Jia.

Kantin semakin ricuh. Entah darimana datangnya laki-laki itu. Seolah menjadi seorang pahlawan bagi Anne.

“Dean udah, lepas!”

“Lo kok tahan sih punya sepupu kaya gini? Kelakuannya rendahan. Lo butuh berapa buat bayar makanan temen-temen lo? Nih ambil!” Seru Aradean disusul dengan gerakan tangannya yang melempar sejumlah uang dihadapan Jia, membuat puluhan mahasiswa yang berada disana kini bersorak meriah.

Detik kemudian, laki-laki itu merengkuh tubuh Anne, menggiringnya untuk segera keluar dari kerumunan. Meninggalkan Jia seorang diri disana, yang kini tengah dihadiahi tatapan nanar oleh orang-orang.

#Jia dan Kegilaannya

Anne resah, entah apa yang akan Jia lakukan kali ini. Kemarin, setelah perdebatan singkat ia dan Jia tak saling berbicara satu sama lain meskipun sedang didalam rumah. Biasanya Jia akan berteriak sembari memaki-maki namanya dari kejauhan.

Anne yakin, Jia sudah pasti merencanakan sesuatu terhadapnya.

Netranya mampu menangkap keberadaan Jia diantara teman-temannya sebab suara tawa gadis itu begitu khas. Anne melangkah ragu-ragu menuju meja tempat dimana sepupunya itu berada.

“Eh Anne udah dateng.”

Tak terbayangkan sedikitpun oleh Anne, bahwa Jia akan menyapa dirinya dengan begitu ramah seperti saat ini.

“H-hai semua.” Balas Anne dengan kikuk.

“Langsung dibayar ya Anne.”

Mendengar perkataan itu, lantas teman-teman Jia beranjak dari tempat duduk mereka satu persatu, tersenyum dan mengatakan terimakasih sebelum akhirnya meninggalkan area kantin.

“Bayar apa maksud kamu Ji?”

Jia tersenyum, matanya kini menatap kearah meja yang dipenuhi oleh sisa-sisa makanan milik teman-temannya. “Bayar ini semua. Duit lo kan banyak.”

Gadis itu tertawa sumbang, terdengar aneh dan sarkas di telinga Anne. Beberapa mahasiswa lainnya sontak ikut menoleh, penasaran dengan pembicaraan diantara mereka berdua.

“Kamu ngomong apa sih Ji? Duit darimana? Aku gak mau bayar!” Semburat kepanikan tercetak jelas pada wajah Anne. Lantas ia berniat pergi dari sana.

Gadis itu melangkah cepat dengan perasaan gusar, namun sialnya Jia lebih dulu menarik tangannya. Membuat tubuh kecil milik Anne tersentak.

Tiba-tiba saja dapat ia rasakan segelas air membasahi wajah serta pakaiannya. Tentu saja lagi-lagi ulah Jia. Anne yang saat itu tengah mengenakan sebuah kemeja blouse berbahan tipis pun menjadi tatapan orang-orang yang tengah berada disana.

Anne malu, dan ia ketakutan. Sementara Jia sama sekali tidak memperdulikan beberapa seniornya yang juga tengah menatapnya. Gadis itu seolah tengah dikuasai oleh emosinya sendiri.

“Duit hasil nempelin cowok sana sini banyak kan Anne?” Ujar Jia.

“Jia kamu ngomong apa sih?!”

Jia menatap sengit ke arah Anne. Suasana kian memanas, pasalnya Anne sudah hampir kehilangan kesabarannya. Wajahnya memerah, serta alisnya bertaut. Hingga sebuah kata keluar begitu saja dari mulut Jia.

“Mu-ra-han!” Ujar Jia penuh penekanan pada setiap katanya, membuat seorang laki-laki yang baru saja datang menarik kasar kerah pakaiannya.

“Jaga mulut lo! Lo bukannya sepupunya Anne?” Tanya Aradean dengan tatapan menyalang serta tangan yang masih meremas kuat-kuat kerah pakaian Jia.

Kantin semakin ricuh. Entah darimana datangnya laki-laki itu. Seolah menjadi seorang pahlawan bagi Anne.

“Dean udah, lepas!”

“Lo kok tahan sih punya sepupu kaya gini? Kelakuannya rendahan. Lo butuh berapa buat bayar makanan temen-temen lo? Nih ambil!” Seru Aradean disusul dengan gerakan tangannya yang melempar sejumlah uang dihadapan Jia, membuat puluhan mahasiswa yang berada disana kini bersorak meriah.

Detik kemudian, laki-laki itu merengkuh tubuh Anne, menggiringnya untuk segera keluar dari kerumunan. Meninggalkan Jia seorang diri disana, yang kini tengah dihadiahi tatapan nanar oleh orang-orang.

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Wajah ketiganya kini telah muncul pada layar laptop milik Rasya. Sebenarnya Kadavi sempat menyarankan untuk melakukan panggilan vidio, namun alih-alih menurutinya Rasya justru berkata, “Zoom aja Dav, biar kaya meeting beneran.”

Kadavi hanya bisa menghela nafas kasar dan mengikuti keinginan gadis itu. Pasalnya dihadapan Rasya, ego Kadavi hilang entah kemana.

“Aya naon Dap? Ca?” Tanya Bastian dari seberang sana.

Rasya tak kunjung menjawab pertanyaan Bastian, begitu pula dengan Kadavi.

“Lo beneran lagi sendirian kan Yang? Bu Sofi kemana?”

“Ya di kamarnya lah, masa iya di kamar gue?” Sulut laki-laki.

Akhirnya Kadavi mengumpulkan keberanian untuk memulai pembahasan.

“Denger Yan, gua cuman bakal ngomong sekali.”

“He'eh, ada apaan?”

“Yang ngebunuh Jevan itu Pak Yana.”

Hening, tak ada respon dari Bastian.

“Lu denger gak sih anjing?”

Wajah Bastian kembali bergerak pada layar, rupanya sinyal dari sana sempat terputus. Baik Rasya maupun Kadavi, keduanya sama-sama mengumpat.

“Apa Dav tadi? Ulangi! Ehh kok lo masih pake seragam? Belom balik sia?”

“Ya gua belom balik, masih di rumah Rasya.”

“Astaghfirullah, ngapain?”

“IH BANYAK BACOT ANJING JADI MAU DIBAHAS GAK SIH?!” Bentak Rasya yang sudah mulai jengah mendengar basa basi Kadavi dan Bastian.

Yang baru saja dibentak pun kini diam seribu bahasa, terutama Kadavi. Pasalnya laki-laki itu baru pertama kali mendengar Rasya mengeluarkan kata kasar dari mulutnya.

Sementara Rasya hanya menampilkan senyuman khasnya karena merasa malu dengan Kadavi yang tengah berada dihadapannya.

“Diem dulu ya guys! Jadi gini Yang, Pak Yana itu yang udah bunuh Jevan.” Ujar gadis itu santai.

“Ohhh... HAHH?? JOKESNYA GADANTA BAJINGAN?”

“Siapa yang ngejokes?”

“Beneran ini? Serius?” Tanya Bastian memastikan.

“Iya serius!”

Bastian meraih botol air mineralnya kemudian menenggak air dengan terburu-buru, berharap degupan jantungnya kembali normal.

“Atas dasar apa? Lo pada tau darimana?”

“Lu inget gak, waktu di grup pada bahas kalo gua kesurupan terus mau nusuk Pak Yana? Itu Jevan yang masuk.”

“Kita belum tau pastinya karna apa, soalnya Jevan masih belum cerita kronologinya. Tapi Yang, kemungkinan besar Pak Yana kaya gitu karna cemburu.” Timpal Rasya dengan wajah yang tak kalah serius dari Kadavi.

“Kok cemburu? Bu Sofi selingkuh sama Jevan emangnya?”

“Lo lupa sama yang pernah kita bahas di grup? Cowok yang ikut olimpiade dan dibimbing sama Bu Sofi langsung itu cuman Jevan sama lo. Sadar gak kalo Pak Yana juga mulai kaya gitu ke lo? I mean, dia jadi emosional banget kan ke lo belakangan ini?”

“Alig anying ini mah, masuk sih teori sia. Terus terus, Bu Sofi tau gak kalo suaminya yang ngebunuh murid dia?” Tanya Bastian, ada sedikit perasaan khawatir pada Bu Sofi.

Kadavi memajukan tempat duduknya, “Kayanya sih enggak, makanya kita harus kasih tau. Kita mau pancing Pak Yana malem ini.”

“Gimana caranya? Gue ikut, biar gue yang jadi umpan, Pak Yana kan cemburunya sama gue.”

Mendengar ucapan Bastian barusan, nafas Rasya tercekat. Kepalanya kembali memutar ingatan saat laki-laki itu mengatakan bahwa ia melihat Jevan.

Rasya takut, apakah keputusannya untuk mengikut sertakan Bastian dalam rencana kali ini adalah hal yang baik(?)

“Lu udah izin ke Bu Sofi Yan?” Tegur Kadavi.

“Udah tadi.”

Ketiganya kini tengah duduk di kantin sekolah, Rasya duduk disebelah Kadavi, sementara Bastian duduk tepat didepan Rasya.

Tak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa menit, hingga akhirnya Kadavi membuka suara.

“Udah atuh anying kenapa jadi diem-dieman begini?”

“Gue males ngomong.” Ujar Rasya.

Bastian bingung, laki-laki itu terus saja menimang-nimang apa yang harus ia katakan.

“Maaf Ca, gue gak maksud nuduh A' Wil, sumpah. Cuman kan bukti yang gue temuin mendukung banget.”

Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Bastian, emosi Rasya kembali tersulut dengan mudahnya.

“Mendukung kata lo? Apanya yang mendukung?! Lo nemu foto itu di hapenya Bu Sofi Yang, Kakak gue cuman kebetulan satu frame sama Jevan.”

Kadavi panik, beruntung kantin dihari sabtu sangat sepi, bahkan tidak ada orang selain mereka bertiga. Sementara Bastian terlihat bingung mendengar ucapan gadis didepannya itu.

“Hah? Hape Bu Sofi? Itu kamera anying Ca!”

“LAH KAMERA?” Sambung Kadavi.

“Lah kan emang kamera, terus gue foto pake hape gue.”

“Hahh? Gue kira itu Bu Sofi yang ngepap kamera orang. Lo paham gak maksudnya?”

Kadavi mengangguk, apa yang ada dipikiran Rasya sama seperti yang tengah ia pikirkan.

“Lu dapet kameranya darimana Yan?”

“Kegiatan bimbelnya harus didokumentasiin, da aing mah teu boga kamera Dap. Yaudah atuh akhirnya dipinjemin sama Bu Sofi.”

Ada yang aneh, Kadavi merogoh ponsel dari dalam sakunya. Jemarinya dengan cekatan membuka galeri pada ponsel itu.

“Liat deh ini, disini Jevan lagi ngobrol sama Kakaknya Rasya kan? Dia gak sadar kalo lagi di foto. Ini foto diambil diem-diem sama Bu Sofi.”

Bibir Rasya membulat, ia terkejut setelah mendengarkan perkataan Kadavi. Apa yang dikatakan laki-laki itu sangat masuk akal.

“Keheula, kalo pun ini kamera buat dokumentasiin pembelajaran buat olimpiade, gak mungkin bakal ada A' Wil disini!” Ucap Bastian heboh, sembari menunjuk-nunjuk layar ponsel Kadavi.

“Nah itu lo tau!!”

“Ampun atuh Ca, namanya orang khilaf mah gak sadar.”

“Yaudah gini aja, mulai sekarang kita fokus ke Bu Sofi. Aneh  banget ini soalnya.”

“Emang nih, Bu Sofi dari awal aneh. Pak Yana juga aneh asal lo tau.”

Rasya memutar bola matanya malas, “Mulai deh, mulai, gibahin rumah tangganya orang mulu!”

“Emang aneh anying, sia gak tau aj-

Belum sempat Bastian menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ponselnya berdering, menampilkan nama Bu Sofi pada layarnya.

eh gue bimbel dulu ya! Dap anterin Caca balik sekalian!”

Hampir pukul 2 siang, Bastian masih sibuk berkutat dengan tumpukan buku-buku fisika dihadapannya.

Sudah lima kali konsentrasi belajarnya terganggu akibat ponsel seorang wanita didalam ruangan yang sama dengannya terus berbunyi.

Entah mengapa Bu Sofi tak kunjung menerima panggilan itu. Kini ponselnya kembali berbunyi, raut wajah wanita itu lagi-lagi terlihat sedikit tertekan.

“H-halo? Iya maaf, ini sebentar.. Iya iya maaf. Iya ini selesai. Iya maaf Mas.”

Ahh panggilannya ditutup sepihak, batin Bastian. Hanya itu yang dapat ia dengarkan. Dipandanginya air wajah wanita itu, kini jauh lebih tenang daripada sebelumnya.

Bu Sofi beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Bastian yang kembali berpura-pura fokus pada soal-soal yang tengah ia kerjakan.

“Bas?” Tegur Bu Sofi.

“Eh, iya Bu?”

“Kayanya Ibu gak bisa kasih bimbingan sampe sore nih Bas. Udah ditelponin terus sama Pak Yana.” Tutur wanita itu lembut.

“Gapapa Bu, saya nanti masih bisa belajar dirumah kok. Tenang aja.”

“Yaudah kalau gitu beresin aja buku-bukunya, kamu bisa kembali ke kelas Bas.”

Mendengar itu Bastian langsung kebingungan, pasalnya sejak tadi ia belum sempat menanyakan apapun mengenai Jevan.

“I-ya Bu, tapi besok belajar lagi kan?”

“Iya dong, biar kamu dapet juara olimpiade!”

Ahh masih ada hari esok, lantas Bastian tersenyum sembari mengangguk. Detik selanjutnya ia bersiap untuk kembali ke kelasnya.

“Dap leupaskeun atuh Dap, si Caca bisi maot!”

Tiba-tiba saja tubuh Kadavi tersentak kebelakang, cengkraman tangannya pada leher Rasya mulai ia lepaskan.

Pandangan Kadavi yang sebelumnya seolah mengancam, berubah menjadi tatapan sendu.

Matanya tidak lagi merah, melainkan hitam pekat.

  • Percakapan di Dalam Batin Antara Jevano dan Kadavi

“Davi.”

“Jevan?! Gimana caranya lu masuk ke badan gua?” Ujar Kadavi menuntut penjelasan.

“Dav, didepan kamu sekarang. Rasya udah gak sadarkan diri. Kamu tau karna apa? Karna kamu.”

“Saya ada di disini sekarang, karna saya gak mau liat kamu bunuh Rasya. Saya yakin kamu juga akan begitu.”

Kadavi masih diam, mendengar kalimat demi kalimat yang tengah diucapkan oleh hantu laki-laki itu.

“Saya akan kendalikan tubuh kamu sebentar. Tapi tenang aja, gak sepenuhnya dari ruh saya masuk ke tubuh kamu Dav. Ini satu-satunya cara supaya kamu gak kerasukan arwah jahat dan berujung membahayakan Rasya lagi.”

“Sampai kapan?”

“Sampai keadaan kamu stabil.”

Lantas tubuh Kadavi melemas sebelum akhirnya Raja dan Chandra membopong tubuhnya dan membaringkannya di dalam tenda.