cakgrays

“Latte atau Americano?” Tawar Hardin begitu melangkah memasuki cafe yang telah direkomendasikan oleh Ratu.

“Latte aja.”

Untuk pertama kalinya Ratu mengunjungi cafe tersebut bersama laki-laki selain Jeffreyan.

Ratu merogoh tasnya—mengeluarkan sebuah buku yang berniat untuk Hardin pinjam.

“Minuman datanggg..” Kata Hardin semangat, sontak membuat Ratu menarik sudut bibirnya.

“Lo girang banget, beda sama dikelas.”

“Masa sih?”

Ratu mengangguk manis, kemudian menyodorkan sebuah buku tulis kepada Hardin. “Nih bukunya, cepet disalin!”

“Banyak banget?!”

*“Gue sengaja nulis contoh soalnya tau. Kalo lo rasa gak penting-penting banget, ya gausah ditulis.” Tutur Ratu.

Hardin geming.

Mengamati bagaimana cara Ratu berbicara sembari menatap langsung kearah matanya—bagi Hardin, itu adalah sebuah hal yang menarik.

“Ra, cowok lo gak marah tau lo jalan sama cowok lain?”

“Cowok gue?”

“Jeffrey, cowok lo kan?”

Mendengar perkataan itu, sontak Ratu tergelak bukan main.

“Kok ketawa?”

“Kita temen doang anjir!”

Hardin meletakkan penanya. Ia menatap lurus manik mata Ratu, mencoba mencari kebohongan dari perkataan gadis itu barusan. Namun nihil.

Detik kemudian Hardin mengalihkan pandangannya. Berpura-pura batuk, kemudian tersenyum merekah.

“Dih, kenapa lo senyum-senyum?”

“Lo tau nyanyian di iklannya Mastin gak sih?” Tanya laki-laki itu, sembari menahan senyumnya.

“Yang mana?”

“Khaabarr gembiraa! Untuk kita semuaa~”

Anne tengah memainkan pasir pantai menggunakan kedua kakinya. Netranya menatap laki-laki yang tengah melamun disebelahnya, sejak beberapa saat lalu.

“Dean?”

Tak ada jawaban. Lantas Anne kembali menatap lurus ke depan—pada deburan ombak yang menyapu tepi pantai kala itu. Sebetulnya Anne sendiri bertanya-tanya, apa maksud Aradean mengajaknya ke tempat ini. Namun melihat kondisi Aradean, gadis itu memilih bungkam.

Semilir angin menerpa wajah keduanya, membuat Aradean semakin hanyut dalam pikirannya sendiri—mengabaikan Anne yang juga tengah berada disana.

Gadis itu mulai menggigil. Suhu udara hari ini cukup rendah, pikirannya. Terlebih lagi cahaya matahari yang sudah mulai tenggelam, sebab akan berganti tugas dengan rembulan.

“Sebenernya, kita mau ngapain kesini?” Akhirnya kalimat itu sukses membuat Aradean menoleh.

Namun laki-laki itu masih setia membisu, hanya saja kali ini obsidiannya menatap dalam kearah Anne.

Lengannya menarik Anne, merengkuh gadis itu dalam kedinginan.

Malam itu, untuk pertama kalinya seorang Aradean Draco merasakan takut akan kehilangan.

Adrianne Calia, hanyalah seorang gadis yang tanpa sengaja ia temui beberapa hari yang lalu. Namun mampu membuatnya bimbang akan suatu hal.

Dean masih mendekap tubuh gadis itu dengan erat, seraya memejamkan matanya. Aroma Anne, tubuh kecil Anne, bahkan tepukan lembut yang Anne berikan pada punggungnya malam ini akan menjadi kenangan yang selalu Aradean ingat.

Ingatkan Anne bahwa kalimat “sebentar” yang Aradean ucapan adalah sebuah kebohongan besar! Entah apa yang laki-laki itu lakukan di dalam kamarnya selama berjam-jam.

Setelah membeli beberapa hal yang dibutuhkan—oleh Anne—mereka berdua pun berniat segera kembali menuju villa.

Sebelumnya Dean mengatakan bahwa ia akan menginap di villa malam ini. Tak ada tanggapan yang berarti dari Adrianne, sebab gadis itu bingung. Haruskah ia merasa senang sebab malam ini akan ditemani oleh seorang Aradean, atau takut karena yang akan menemaninya adalah seorang Aradean?

Senyum masam tercetak jelas pada raut wajahnya. Anne terus saja mengubah gaya duduknya, membuat Dean menoleh.

“Kenapa lagi kali ini?” Tanya laki-laki itu, hanya dibalas gelengan kepala oleh Anne.

Mendengar hela nafas kesal yang Dean timbulkan, lantas Anne memberanikan diri untuk menjawab.

“Pembalut.” Bisik gadis itu lirih, namun masih cukup jelas untuk Aradean dengar.

Mobil menepi dan berhenti seketika. Ah, suasana canggung seperti ini lagi, batin Anne.

“Red day?” Tanya Dean, dibalas anggukan oleh Anne.

Aradean menutup matanya, menghitung dalam hati— sekiranya sampai sebuah hasrat yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya dapat menghilang.

satu

dua

tiga

empat

Lengan kekarnya menarik tubuh Anne—gagal dalam mengatur hasratnya—ia rengkuh tubuh gadis itu, seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Adrianne.

Anne membeku seketika. Entah apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berteriak?

Hembusan nafas laki-laki itu menerpa permukaan kulitnya. Dingin. Anne membalas pelukan Aradean. Semakin jelas terasa saat bibir laki-laki itu menyentuh lekukan lehernya. Lembut, dingin, serta lembab. Anne takut.

Tubuhnya menegang, dan rasa ketakutan itu ia salurkan pada genggaman tangannya. Anne mencengkram pundak Dean, namun laki-laki itu tak menghiraukannya sedikitpun.

Aradean tidak pernah kehilangan nafsunya akan darah—ia hanya senantiasa menahannya seperti saat ini.

Bibir Aradean masih setia menjamah ceruk leher Anne. Laki-laki itu tengah berusaha menahan nafsunya akan darah Anne, sebab ini belum waktunya.

Detik kemudian kesadaran Aradean kembali. Namun akan menjadi aneh jika ia membuat jarak dengan Anne tiba-tiba, setidaknya begitu batinnya. Lantas bibir Aradean mengecup setiap inci leher gadis itu, hingga Anne melenguh dibuatnya.

Kecupan-kecupan ringan itu kini mulai naik—bibir ranum Adrianne adalah tujuannya.

Anne semakin mempererat cengkraman tangannya pada punggung Aradean. Jantungnya berdegup dengan kencang, sementara matanya memejam rapat-rapat. Wajah gadis itu memanas hingga muncul semburat merah pada pipinya.

Aradean menghentikan kegiatannya, sebelum sempat mendarat bibirnya pada bibir Anne. Netranya menatap wajah Anne lamat-lamat. Disentuhnya sudut bibir gadis itu dengan lembut, lantas Dean tersenyum. Dipagutnya bibir Adrianne dalam keheningan. Sangat lembut, hingga membuat gadis itu berhenti mencengkram punggungnya dan berbalik membalas ciuman yang ia berikan.

Ingatkan Anne bahwa kalimat “sebentar” yang Aradean ucapan adalah sebuah kebohongan besar! Entah apa yang laki-laki itu lakukan di dalam kamarnya selama berjam-jam.

Setelah membeli beberapa hal yang dibutuhkan—oleh Anne—mereka berdua pun berniat segera kembali menuju villa.

Sebelumnya Dean mengatakan bahwa ia akan menginap di villa malam ini. Tak ada tanggapan yang berarti dari Adrianne, sebab gadis itu bingung. Haruskah ia merasa senang sebab malam ini akan ditemani oleh seorang Aradean, atau takut karena yang akan menemaninya adalah seorang Aradean?

Senyum masam tercetak jelas pada raut wajahnya. Anne terus saja mengubah gaya duduknya, membuat Dean menoleh.

“Kenapa lagi kali ini?” Tanya laki-laki itu, hanya dibalas gelengan kepala oleh Anne.

Mendengar hela nafas kesal yang Dean timbulkan, lantas Anne memberanikan diri untuk menjawab.

“Pembalut.” Bisik gadis itu lirih, namun masih cukup jelas untuk Aradean dengar.

Mobil menepi dan berhenti seketika. Ah, suasana canggung seperti ini lagi, batin Anne.

“Red day?” Tanya Dean, dibalas anggukan oleh Anne.

Aradean menutup matanya, menghitung sekiranya sampai sebuah hasrat yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya dapat menghilang.

Lengan kekarnya menarik tubuh Anne—untuk kedua kalinya—ia rengkuh tubuh gadis itu, seraya menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Adrianne.

Anne membeku seketika. Entah apa yang harus ia lakukan. Haruskah ia berteriak?

Hembusan nafas laki-laki itu menerpa permukaan kulitnya. Dingin. Anne membalas pelukan Aradean. Semakin jelas terasa saat bibir laki-laki itu menyentuh lekukan lehernya. Lembut, dingin, serta lembab. Anne takut.

Tubuhnya menegang, dan rasa ketakutan itu ia salurkan pada genggaman tangannya. Anne mencengkram pundak Dean, namun laki-laki itu tak menghiraukannya sedikitpun.

Aradean tidak pernah kehilangan nafsunya akan darah—selama ini ia hanya menahannya seperti saat ini.

Bibir Aradean masih setia menjamah ceruk leher Anne. Laki-laki itu tengah berusaha menahan nafsunya akan darah Anne, sebab ini belum waktunya.

Detik kemudian kesadaran Aradean kembali. Namun akan menjadi aneh jika ia membuat jarak dengan Anne tiba-tiba, begitu batinnya. Lantas bibir Aradean mengecup setiap inci leher gadis itu, hingga Anne melenguh dibuatnya.

Kecupan-kecupan ringan itu kini mulai naik—bibir ranum Adrianne adalah tujuannya.

Anne semakin mempererat genggaman tangannya pada punggung Aradean. Matanya memejam rapat-rapat. Wajah gadis itu memanas hingga muncul semburat merah pada pipinya.

Ciuman Aradean tiba-tiba saja berhenti, sebelum sempat mendarat pada bibir Anne. Netranya menatap wajah Anne lamat-lamat. Disentuhnya sudut bibir gadis itu dengan lembut, lantas Dean tersenyum kemudian memagut bibir Adrianne dalam keheningan. Sangat lembut, hingga membuat gadis itu berhenti meremas punggungnya dan berbalik membalas ciuman yang ia berikan.

Aradean memasuki pekarangan villa dengan tergesa-gesa. Batinnya harap-harap cemas, sebab aroma tubuh Marvian tidak berada disana.

Lantas laki-laki itu melompat pada sebuah balkon dilantai dua, yang mengarah ke kolam renang. Rahang Dean seketika mengeras. Tepat seperti dugaannya, Marvian telah kehilangan kontrol atas dirinya.

“Dean, tolong!” Pekik Anne dibawah kukungan Marvian.

Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Marvian tampak seolah akan melecehkannya, sebenarnya tidak.

Laki-laki itu tengah kehausan sembari menatap ngeri pada ceruk leher Adrianne. Aredean benci ketika saudaranya itu tengah dikuasai oleh sisi liarnya.

Detik kemudian Aradean meninju wajah milik Marvian hingga laki-laki terjatuh kemudian terbentur sebuah nakas yang letaknya tepat disebelah ranjang tempat Anne tengah berbaring.

Ditariknya tubuh Anne kedalam dekapannya. Mencoba menenangkan gadis yang nafasnya kini terengah-engah itu.

“Lo tunggu disini sebentar, biar gue urus dia.” Ujar Dean sebelum mengalihkan pandangannya kearah Marvian.

Anne hanya mengangguk, sebab lidahnya seperti mati rasa.

Dengan sorot mata seolah siap membunuh laki-laki dihadapannya itu, Aradean menarik kuat kerah pakaian Marvian, membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Lo mau mati hah?!” Seru Dean, lagi-lagi melayangkan tinjunya.

“Gue gak sadar. Sumpah tenggorokan gue tiba-tiba kering Kak. Maaf.”

Marvian bersimpuh tepat dibawah Aradean. Ia sadar jika kebodohannya akan menimbulkan malapetaka, mengingat laki-laki yang tengah berdiri dihadapannya ini adalah Aradean Draco.

“Pergi.”

“Dean sorry, gue rasa dia liat taring gue.” Tutur Marvian hati-hati.

Detik kemudian tubuhnya terjerembab berkat tendangan dari kaki panjang milik Aradean.

“BRENGSEK!”

#Villa Keluarga Draco

Aradean memasuki pekarangan villa dengan tergesa-gesa. Batinnya harap-harap cemas, sebab aroma tubuh Marvian tidak berada disana.

Lantas laki-laki itu melompat pada sebuah balkon dilantai dua, yang mengarah ke kolam renang. Rahang Dean seketika mengeras. Tepat seperti dugaannya, Marvian telah kehilangan kontrol atas dirinya.

“Dean, tolong!” Pekik Anne dibawah kukungan Marvian.

Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Marvian tampak seolah akan melecehkannya, sebenarnya tidak.

Laki-laki itu tengah kehausan sembari menatap ngeri pada ceruk leher Adrianne. Aredean benci ketika saudaranya itu tengah dikuasai oleh sisi liarnya.

Detik kemudian Aradean meninju wajah milik Marvian hingga laki-laki terjatuh kemudian terbentur sebuah nakas yang letaknya tepat disebelah ranjang tempat Anne tengah berbaring.

Ditariknya tubuh Anne kedalam dekapannya. Mencoba menenangkan gadis yang nafasnya kini terengah-engah itu.

“Lo tunggu disini sebentar, biar gue urus dia.” Ujar Dean sebelum mengalihkan pandangannya kearah Marvian.

Anne hanya mengangguk, sebab lidahnya seperti mati rasa.

Dengan sorot mata seolah siap membunuh laki-laki dihadapannya itu, Aradean menarik kuat kerah pakaian Marvian, membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Lo mau mati hah?!” Seru Dean, lagi-lagi melayangkan tinjunya.

“Gue gak sadar. Sumpah tenggorokan gue tiba-tiba kering Kak. Maaf.”

Marvian bersimpuh tepat dibawah Aradean. Ia sadar jika kebodohannya akan menimbulkan malapetaka, mengingat laki-laki yang tengah berdiri dihadapannya ini adalah Aradean Draco.

“Pergi.”

“Dean sorry, gue rasa dia liat taring gue.” Tutur Marvian hati-hati.

Detik kemudian tubuhnya terjerembab berkat tendangan dari kaki panjang milik Aradean.

“BRENGSEK!”

Anne resah, entah apa yang akan Jia lakukan kali ini. Kemarin, setelah perdebatan singkat ia dan Jia tak saling berbicara satu sama lain meskipun sedang didalam rumah. Biasanya Jia akan berteriak sembari memaki-maki namanya dari kejauhan.

Anne yakin, Jia sudah pasti merencanakan sesuatu terhadapnya.

Netranya mampu menangkap keberadaan Jia diantara teman-temannya sebab suara tawa gadis itu begitu khas. Anne melangkah ragu-ragu menuju meja tempat dimana sepupunya itu berada.

“Eh Anne udah dateng.”

Tak terbayangkan sedikitpun oleh Anne, bahwa Jia akan menyapa dirinya dengan begitu ramah seperti saat ini.

“H-hai semua.” Balas Anne dengan kikuk.

“Langsung dibayar ya Anne.”

Mendengar perkataan itu, lantas teman-teman Jia beranjak dari tempat duduk mereka satu persatu, tersenyum dan mengatakan terimakasih sebelum akhirnya meninggalkan area kantin.

“Bayar apa maksud kamu Ji?”

Jia tersenyum, matanya kini menatap kearah meja yang dipenuhi oleh sisa-sisa makanan milik teman-temannya. “Bayar ini semua. Duit lo kan banyak.”

Gadis itu tertawa sumbang, terdengar aneh dan sarkas di telinga Anne. Beberapa mahasiswa lainnya sontak ikut menoleh, penasaran dengan pembicaraan diantara mereka berdua.

“Kamu ngomong apa sih Ji? Duit darimana? Aku gak mau bayar!” Semburat kepanikan tercetak jelas pada wajah Anne. Lantas ia berniat pergi dari sana.

Gadis itu melangkah cepat dengan perasaan gusar, namun sialnya Jia lebih dulu menarik tangannya. Membuat tubuh kecil milik Anne tersentak.

Tiba-tiba saja dapat ia rasakan segelas air membasahi wajah serta pakaiannya. Tentu saja lagi-lagi ulah Jia. Anne yang saat itu tengah mengenakan sebuah kemeja blouse berbahan tipis pun menjadi tatapan orang-orang yang tengah berada disana.

Anne malu, dan ia ketakutan. Sementara Jia sama sekali tidak memperdulikan beberapa seniornya yang juga tengah menatapnya. Gadis itu seolah tengah dikuasai oleh emosinya sendiri.

“Duit hasil nempelin cowok sana sini banyak kan Anne?” Ujar Jia.

“Jia kamu ngomong apa sih?!”

Jia menatap sengit ke arah Anne. Suasana kian memanas, pasalnya Anne sudah hampir kehilangan kesabarannya. Wajahnya memerah, serta alisnya bertaut. Hingga sebuah kata keluar begitu saja dari mulut Jia.

“Mu-ra-han!” Ujar Jia penuh penekanan pada setiap katanya, membuat seorang laki-laki yang baru saja datang menarik kasar kerah pakaiannya.

“Jaga mulut lo! Lo bukannya sepupunya Anne?” Tanya Aradean dengan tatapan menyalang serta tangan yang masih meremas kuat-kuat kerah pakaian Jia.

Kantin semakin ricuh. Entah darimana datangnya laki-laki itu. Seolah menjadi seorang pahlawan bagi Anne.

“Dean udah, lepas!”

“Lo kok tahan sih punya sepupu kaya gini? Kelakuannya rendahan. Lo butuh berapa buat bayar makanan temen-temen lo? Nih ambil!” Seru Aradean disusul dengan gerakan tangannya yang melempar sejumlah uang dihadapan Jia, membuat puluhan mahasiswa yang berada disana kini bersorak meriah.

Detik kemudian, laki-laki itu merengkuh tubuh Anne, menggiringnya untuk segera keluar dari kerumunan. Meninggalkan Jia seorang diri disana, yang kini tengah dihadiahi tatapan nanar oleh orang-orang.

#Jia dan Kegilaannya

Anne resah, entah apa yang akan Jia lakukan kali ini. Kemarin, setelah perdebatan singkat ia dan Jia tak saling berbicara satu sama lain meskipun sedang didalam rumah. Biasanya Jia akan berteriak sembari memaki-maki namanya dari kejauhan.

Anne yakin, Jia sudah pasti merencanakan sesuatu terhadapnya.

Netranya mampu menangkap keberadaan Jia diantara teman-temannya sebab suara tawa gadis itu begitu khas. Anne melangkah ragu-ragu menuju meja tempat dimana sepupunya itu berada.

“Eh Anne udah dateng.”

Tak terbayangkan sedikitpun oleh Anne, bahwa Jia akan menyapa dirinya dengan begitu ramah seperti saat ini.

“H-hai semua.” Balas Anne dengan kikuk.

“Langsung dibayar ya Anne.”

Mendengar perkataan itu, lantas teman-teman Jia beranjak dari tempat duduk mereka satu persatu, tersenyum dan mengatakan terimakasih sebelum akhirnya meninggalkan area kantin.

“Bayar apa maksud kamu Ji?”

Jia tersenyum, matanya kini menatap kearah meja yang dipenuhi oleh sisa-sisa makanan milik teman-temannya. “Bayar ini semua. Duit lo kan banyak.”

Gadis itu tertawa sumbang, terdengar aneh dan sarkas di telinga Anne. Beberapa mahasiswa lainnya sontak ikut menoleh, penasaran dengan pembicaraan diantara mereka berdua.

“Kamu ngomong apa sih Ji? Duit darimana? Aku gak mau bayar!” Semburat kepanikan tercetak jelas pada wajah Anne. Lantas ia berniat pergi dari sana.

Gadis itu melangkah cepat dengan perasaan gusar, namun sialnya Jia lebih dulu menarik tangannya. Membuat tubuh kecil milik Anne tersentak.

Tiba-tiba saja dapat ia rasakan segelas air membasahi wajah serta pakaiannya. Tentu saja lagi-lagi ulah Jia. Anne yang saat itu tengah mengenakan sebuah kemeja blouse berbahan tipis pun menjadi tatapan orang-orang yang tengah berada disana.

Anne malu, dan ia ketakutan. Sementara Jia sama sekali tidak memperdulikan beberapa seniornya yang juga tengah menatapnya. Gadis itu seolah tengah dikuasai oleh emosinya sendiri.

“Duit hasil nempelin cowok sana sini banyak kan Anne?” Ujar Jia.

“Jia kamu ngomong apa sih?!”

Jia menatap sengit ke arah Anne. Suasana kian memanas, pasalnya Anne sudah hampir kehilangan kesabarannya. Wajahnya memerah, serta alisnya bertaut. Hingga sebuah kata keluar begitu saja dari mulut Jia.

“Mu-ra-han!” Ujar Jia penuh penekanan pada setiap katanya, membuat seorang laki-laki yang baru saja datang menarik kasar kerah pakaiannya.

“Jaga mulut lo! Lo bukannya sepupunya Anne?” Tanya Aradean dengan tatapan menyalang serta tangan yang masih meremas kuat-kuat kerah pakaian Jia.

Kantin semakin ricuh. Entah darimana datangnya laki-laki itu. Seolah menjadi seorang pahlawan bagi Anne.

“Dean udah, lepas!”

“Lo kok tahan sih punya sepupu kaya gini? Kelakuannya rendahan. Lo butuh berapa buat bayar makanan temen-temen lo? Nih ambil!” Seru Aradean disusul dengan gerakan tangannya yang melempar sejumlah uang dihadapan Jia, membuat puluhan mahasiswa yang berada disana kini bersorak meriah.

Detik kemudian, laki-laki itu merengkuh tubuh Anne, menggiringnya untuk segera keluar dari kerumunan. Meninggalkan Jia seorang diri disana, yang kini tengah dihadiahi tatapan nanar oleh orang-orang.

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”