cakgrays

“Dap leupaskeun atuh Dap, si Caca bisi maot!”

Tiba-tiba saja tubuh Kadavi tersentak kebelakang, cengkraman tangannya pada leher Rasya mulai ia lepaskan.

Pandangan Kadavi yang sebelumnya seolah mengancam, berubah menjadi tatapan sendu.

Matanya tidak lagi merah, melainkan hitam pekat.

  • Percakapan di Dalam Batin Antara Jevano dan Kadavi -

“Davi.”

“Jevan?! Gimana caranya lu masuk ke badan gua?” Ujar Kadavi menuntut penjelasan.

“Dav, didepan kamu sekarang. Rasya udah gak sadarkan diri. Kamu tau karna apa? Karna kamu.”

“Saya ada di disini sekarang, karna saya gak mau liat kamu bunuh Rasya. Saya yakin kamu juga akan begitu.”

Kadavi masih diam, mendengar kalimat demi kalimat yang tengah diucapkan oleh hantu laki-laki itu.

“Saya akan kendalikan tubuh kamu sebentar. Tapi tenang aja, gak sepenuhnya dari ruh saya masuk ke tubuh kamu Dav. Ini satu-satunya cara supaya kamu gak kerasukan arwah jahat dan berujung membahayakan Rasya lagi.”

“Sampai kapan?”

“Sampai keadaan kamu stabil.”

Lantas tubuh Kadavi melemas sebelum akhirnya Raja dan Chandra membopong tubuhnya dan membaringkannya di dalam tenda.

Sudah pukul 10 pagi, namun sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan dilaksanakannya KBM. Para murid tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, begitu pula dengan Rasya dan juga Kadavi yang sejak tadi tengah berbincang santai, sembari memainkan permainan ludo yang ada pada ponsel Kadavi.

“Mana sih Dav, katanya mau ada acara PERSAMI? Kok sampe sekarang belum ada pengumumannya?”

“Gak tau Ca, tungguin aja.”

“Daviii udahan aja lah mainnya! Gue kalah terus!” Sulut Rasya. Pasalnya sudah 5 kali putaran permainan dan kemenangan selalu berada ditangan laki-laki yang kini tengah duduk menghadapnya.

Tepat saat Kadavi terkekeh, muncullah beberapa rombongan anak OSIS dari balik pintu kelas.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya maaf mengganggu waktu temen-temen. Kita disini mau kasih tau kalau sekolah bakal ngadain PERSAMI untuk kelas sebelas. Nah, ini surat edarannya, bisa diisi mau ikut atau enggak dan pastinya atas izin orang tua ya.” Ujar salah satu anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.

“Langsung diambil aja satu-satu ya. Buat list barang bawaan, bawa seperlunya aja karena kita cuman kemah 2 hari 1 malam.”

Senyum Rasya mengembang, baginya berkemah bersama teman-teman sekelas adalah pengalaman pertamanya.

“Kenapa senyum-senyum gitu dah?” Kadavi yang menyadari tingkah gadis itu menjadi penasaran.

“Gapapa Dav, seneng aja bisa kemah bareng-bareng.”

Setelah mendengar jawaban Rasya, Kadavi hanya terdiam. Jauh didalam lubuk hatinya, ia merasa takut.

Sudah pukul 10 pagi, namun sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan dilaksanakannya KBM. Para murid tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, begitu pula dengan Rasya dan juga Kadavi yang sejak tadi tengah berbincang santai, sembari memainkan permainan ludo yang ada pada ponsel Kadavi.

“Mana sih Dav, katanya mau ada acara PERSAMI? Kok sampe sekarang belum ada pengumumannya?”

“Gak tau Ca, tungguin aja.”

“Daviii udahan aja lah mainnya! Gue kalah terus!” Sulut Rasya. Pasalnya sudah 5 kali putaran permainan dan kemenangan selalu berada ditangan laki-laki yang kini tengah duduk menghadapnya.

Tepat saat Kadavi terkekeh, muncullah beberapa rombongan anak OSIS dari balik pintu kelas.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya maaf mengganggu waktu temen-temen. Kita disini mau kasih tau kalau sekolah bakal ngadain PERSAMI untuk kelas sebelas. Nah, ini surat edarannya, bisa diisi mau ikut atau enggak dan pastinya atas izin orang tua ya.” Ujar salah satu anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.

“Langsung diambil aja satu-satu ya. Buat list barang bawaan, bawa seperlunya aja karena kita cuman kemah 2 hari 1 malam.”

Senyum Rasya mengembang, baginya berkemah bersama teman-teman sekelas adalah pengalaman pertamanya.

“Kenapa senyum-senyum gitu dah?” Ujar Kadavi

“Gapapa Dav, seneng aja bisa kemah bareng-bareng.”

Setelah memastikan bahwa semua siswa kelas itu telah mendapat surat edaran dari sekolah, beberapa anggota OSIS itupun kembali bersuara didepan kelas.

“Semuanya udah dapet kan?”

“Udahhh.” Ujar mereka serentak.

“Nah, kata kepsek boleh langsung pulang kalo kelasnya udah bersih. Yaudah gitu aja dari kita, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Disini Bastian sekarang berada, diruang kelas yang sudah kosong karena beberapa murid sudah pulang kerumahnya masing-masing.

Pikiran laki-laki itu merutuki dirinya sendiri, kenapa sampai repot-repot mendaftar olimpiade fisika hanya untuk membantu hantu yang bahkan tak dapat ia rasakan kehadirannya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Suara sepatu hak milik seorang wanita menggema di koridor menuju kelas yang disinggahi oleh Bastian.

“Bastian? Lama ya nak nunggunya? Ibu baru selesai nilai buku murid-murid.” Ujar wanita yang akrab Bastian panggil 'Bu Sofi'

“Enggak Bu, tadi jajan keluar dulu soalnya.” Bastian tersenyum kearah wanita itu.

Bu Sofi mengangguk, kini ia menggeser bangku yang letaknya berada didepan Bastian, kemudian mendudukkan dirinya di sana.

“Ini kan kamu kelas 11, nah kalau buat olimpiade itu soal-soal latihannya yang mendasar Bas. Jadi kamu sekarang pelajari materi kelas 10 lagi ya?” Wanita itu menyodorkan 3 rangkap buku paket fisika kearah Bastian.

“Ini langsung belajar Bu?” Tanya Bastian dengan polos.

“Iya atuh, masa mau arisan sama saya?”

“Basa basi dulu dong Bu, biar kalo saya jadi ragu bisa mundur dari sekarang hehe.”

Bu Sofi tertawa ringan, tangannya menyisihkan buku yang sebelumnya ia letakkan didepan Bastian.

“Yaudah ayo.”

“Angkatan kita sebelumnya selalu dapet juara ya Bu? Saya liat dibuku murid berprestasi.”

“Iya, kita gak pernah dapat juara harapan sama sekali. Selalu juara 1 2 dan 3.”

Bastian mengangguk-anggukan kepalanya. “Terus saya sempet liat murid yang keren gitu bu. Ikut dua olimpiade sekaligus, matematika fisika.”

“Siapa namanya?”

“Jevano Bu, namanya Jevano Ranggasta. Ibu kenal kan? Soalnya tertulis kalo ibu guru pembimbingnya.” Tutur Bastian semangat.

“Kenal, anaknya memang pintar.”

Batin Bastian kini semakin merasa tertantang untuk menanyakan hal yang lebih detail.

“Dia pasti masuk kuliah di Negeri ya Bu? Kalo pinter gitu, harusnya bisa ngambil arsitektur.”

“Enggak, dia hilang sebelum lulus Bas.”

Saat hendak menanyakan hal selanjutnya, tiba-tiba saja seseorang masuk.

“Sofi? Kamu aku cariin kemana-mana, ayo kita pulang.” Pak Yana berdiri didepan pintu dengan ransel laptop yang bertengger di punggungnya.

“Ini aku lagi kasih bimbingan buat Bastian, dia mau ikut olimpiade fisika.” Terlihat semburat kepanikan pada wajah wanita itu, Bastian menyadarinya.

“Bas, belajar sendiri dulu ya? Saya sama istri saya hari ini lagi ada urusan.”

Lantas Bastian berdiri dan membungkuk dengan sopan, “Iya Pak, sok atuh. Makasih ya Bu Sofi.”

Rumah sederhana dengan warna dinding kuning telur asin itu terasa teduh dibawah pohon mangga besar yang dapat Rasya pastikan usianya sudah puluhan tahun.

Kedatangan gadis itu disambut oleh ibunda tercinta Kadavi. Senyumnya manis, terkesan sangat ramah pada pertemuan pertama.

“Diminum atuh teh nya.”

“Iya tante, makasih.” Sahut Rasya dengan senyuman khasnya.

“Davi nya tante suruh mandi dulu tadi, malu disamperin anak gadis tapi belum mandi. Namina saha teh?”

Rasya diam, alisnya bertaut demi mengingat-ingat apa arti dari perkataan wanita paruh baya yang kini tengah duduk didepannya.

“Ehh bukan orang sunda?”

“Asli sini tante, tapi pas kecil pindah ke Jakarta terus baru balik lagi kesini.”

Ibunda Ladavi terkekeh gemas mendengar penjelasan dari Rasya.

“Tante tadi nanya, nama kamu siapa?”

“Nama aku Rasya Tan, tapi Davi biasa manggilnya Caca.”

Ditengah-tengah obrolan mereka berdua, tiba-tiba Kadavi datang untuk menyela.

“Bun, masa tadi Caca ngespam chat aku terus kan. Dia nyuruh bukain pintu, padahal aku udah didepan dia bun!”

Ibu dari laki-laki itu tertawa geli, sementara Rasya tengah sibuk menyembunyikan rasa malunya.

“Udah ah Dav, muka Caca merah tuh gara-gara kamu ledekin.”

Davi mencomot bolu pisang yang telah dipotong-potong dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Laki-laki itu duduk tanpa menghiraukan perkataan bundanya barusan.

“Caca, Davi ini anaknya suka banget cerita. Semuanya dia ceritain ke Tante nak, termasuk tentang kesurupannya kemarin siang.”

Ucapan wanita itu lantas membuat Rasya dan Kadavi saling bertatapan dan merasa canggung.

“Tante, maafin Caca. Caca gak ada maksud jahat kok ke Davi.” Ujar Rasya yang dibalas senyuman oleh wanita paruh baya itu.

“Tante tau kok Ca. Lagian Davi itu emang dari SD sering kerasukan.”

“Kalo boleh tau, kenapa bisa kaya gitu Tan? Maaf Caca penasaran, soalnya gak pernah ngalamin kaya gitu.”

Wanita itu meraih tangan Kadavi, ia tepuk-tepuk punggung tangan laki-laki itu.

“Dulu Almarhum ayahnya Davi nyuruh dia masuk salah satu perguruan pencak silat di daerah sini Ca. Tanpa kita sadar lama-kelamaan Davi jadi hebat, seperti yang ayahnya Davi mau.”

Terdengar helaan nafas panjang dari bibir wanita itu.

“Tapi kekuatan Davi gak murni dari sekedar latihan bela diri Ca. Entah, tante juga gak begitu paham apa yang mereka lakuin ke anak tante satu-satunya ini.”

“Seiring berjalannya waktu, Davi jadi suka ngelamun dan jarang main sama anak-anak seusianya. Akhirnya Tante dan Almarhum ayahnya Davi, bawa dia ke orang pinter. Nah, disitu baru kita tau kalau ada yang gak beres sama Davi.”

Rasya terus mengangguk kepalanya sebagai respon dari cerita ibunda Davi. Sementara netranya berkali-kali tertangkap Davi tengah memperhatikan dirinya.

“Ayahnya Davi milih untuk ngeluarin dia dari perguruan silat itu Ca. Tapi semenjak keluar, Davi justru sering kali tiba-tiba kesurupan. Alhamdulillah makin kesini, Davi mulai bisa mengontrol dirinya sendiri. Kalau kemarin sampai kecolongan, itu berarti salah anak Tante sendiri Ca, karna dia gak fokus waktu ketemu kamu.”

Mendengar itu Rasya langsung menunduk kepalanya, malu batinnya. Pipi gadis itu memanas, kemudian muncul semburat merah, membuat wanita dihadapannya kembali terkekeh.

“Kan kann, bunda suka ngaco nih. Udah ah Ca, lu pulang aja! Sini gua anterin.”

#Minggu Pagi di Rumah Kadavi

Rumah sederhana dengan warna dinding kuning telur asin itu terasa teduh dibawah pohon mangga besar yang dapat Rasya pastikan usianya sudah puluhan tahun.

Kedatangan gadis itu disambut oleh ibunda tercinta Kadavi. Senyumnya manis, terkesan sangat ramah pada pertemuan pertama.

“Diminum atuh teh nya.”

“Iya tante, makasih.” Sahut Rasya dengan senyuman khasnya.

“Davi nya tante suruh mandi dulu tadi, malu disamperin anak gadis tapi belum mandi. Namina saha teh?”

Rasya diam, alisnya bertaut demi mengingat-ingat apa arti dari perkataan wanita paruh baya yang kini tengah duduk didepannya.

“Ehh bukan orang sunda?”

“Asli sini tante, tapi pas kecil pindah ke Jakarta terus baru balik lagi kesini.”

Ibunda Ladavi terkekeh gemas mendengar penjelasan dari Rasya.

“Tante tadi nanya, nama kamu siapa?”

“Nama aku Rasya Tan, tapi Davi biasa manggilnya Caca.”

Ditengah-tengah obrolan mereka berdua, tiba-tiba Kadavi datang untuk menyela.

“Bun, masa tadi Caca ngespam chat aku terus kan. Dia nyuruh bukain pintu, padahal aku udah didepan dia bun!”

Ibu dari laki-laki itu tertawa geli, sementara Rasya tengah sibuk menyembunyikan rasa malunya.

“Udah ah Dav, muka Caca merah tuh gara-gara kamu ledekin.”

Davi mencomot bolu pisang yang telah dipotong-potong dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Laki-laki itu duduk tanpa menghiraukan perkataan bundanya barusan.

“Caca, Davi ini anaknya suka banget cerita. Semuanya dia ceritain ke Tante nak, termasuk tentang kesurupannya kemarin siang.”

Ucapan wanita itu lantas membuat Rasya dan Kadavi saling bertatapan dan merasa canggung.

“Tante, maafin Caca. Caca gak ada maksud jahat kok ke Davi.” Ujar Rasya yang dibalas senyuman oleh wanita paruh baya itu.

“Tante tau kok Ca. Lagian Davi itu emang dari SD sering kerasukan.”

“Kalo boleh tau, kenapa bisa kaya gitu Tan? Maaf Caca penasaran, soalnya gak pernah ngalamin kaya gitu.”

Wanita itu meraih tangan Kadavi, ia tepuk-tepuk punggung tangan laki-laki itu.

“Dulu Almarhum ayahnya Davi nyuruh dia masuk salah satu perguruan pencak silat di daerah sini Ca. Tanpa kita sadar lama-kelamaan Davi jadi hebat, seperti yang ayahnya Davi mau.”

Terdengar helaan nafas panjang dari bibir wanita itu.

“Tapi kekuatan Davi gak murni dari sekedar latihan bela diri Ca. Entah, tante juga gak begitu paham apa yang mereka lakuin ke anak tante satu-satunya ini.”

“Seiring berjalannya waktu, Davi jadi suka ngelamun dan jarang main sama anak-anak seusianya. Akhirnya Tante dan Almarhum ayahnya Davi, bawa dia ke orang pinter. Nah, disitu baru kita tau kalau ada yang gak beres sama Davi.”

Rasya terus mengangguk kepalanya sebagai respon dari cerita ibunda Davi. Sementara netranya berkali-kali tertangkap Davi tengah memperhatikan dirinya.

“Ayahnya Davi milih untuk ngeluarin dia dari perguruan silat itu Ca. Tapi semenjak keluar, Davi justru sering kali tiba-tiba kesurupan. Alhamdulillah makin kesini, Davi mulai bisa mengontrol dirinya sendiri. Kalau kemarin sampai kecolongan, itu berarti salah anak Tante sendiri Ca, karna dia gak fokus waktu ketemu kamu.”

Mendengar itu Rasya langsung menunduk kepalanya, malu batinnya. Pipi gadis itu memanas, kemudian muncul semburat merah, membuat wanita dihadapannya kembali terkekeh.

“Kan kann, bunda suka ngaco nih. Udah ah Ca, lu pulang aja! Sini gua anterin.”

Inggit bingung, batinnya enggan mengangkat panggilan vidio yang dilakukan oleh kekasihnya itu. Namun rasa kesalnya kepada Aji lebih dulu dikalahkan oleh perasaan rindu yang telah bersarang didalam hatinya.

Panggilan vidio diterima, detik selanjutnya layar ponsel milik Inggit menampilkan wajah tampan Aji yang selalu ia rindukan.

“Git? Lohh mana ini wajahnya?”

“Gak mau. Aku masih marah.”

Laki-laki diseberang sana terkekeh geli karena mendengar jawaban Inggit.

“Maaf dong Git. Aku mau liat wajah kamu, mau ngomong serius, sebentar aja.” Ujar Aji demi membujuk Inggit.

Lantas gadis itu kini menampilkan wajahnya, membuat Aji tersenyum menang.

“Apa?”

Aji menatap lurus pada layar ponselnya, seolah tengah menatap mata Inggit lekat-lekat. Pandangan laki-laki itu berubah menjadi sendu.

“Git, kita bakal nikah kan? Kamu bakal nikah sama aku kan?” Tutur Aji, sukses membuat nafas Inggit tercekat.

“Iya Mas, Insyaallah.” Jawab Inggit dengan suara sehalus mungkin, pasalnya melihat ekspresi Aji saat ini seperti tengah gelisah.

“Kalo gak nikah sama aku, kamu bakal nikah sama siapa Git?”

Inggit mengernyitkan dahinya, merasa bingung dengan pertanyaan yang baru saja keluar dari mulut kekasihnya itu.

“Aku bakal nikah sama kamu Mas. Kalau gak sama kamu, aku gak tau deh. Mungkin gak akan nikah?”

Aji mendekatkan wajahnya pada layar ponselnya, membuat Inggit menyadari bahwa mata kekasihnya itu tengah berkaca-kaca. Laki-laki itu menangis.

“Mas Aji? Kamu kenapa mas?”

Aji tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, namun air matanya berhasil lolos.

“Gapapa Git. Mas cuman mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Semoga kamu selalu bahagia ya Git?-

dengan atau tanpa aku.”