cakgrays

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Dean menghela nafas lega setibanya ia di area parkir. Hiruk-pikuk pada setiap sudut fakultas membuat laki-laki itu sesak. Begitu banyak suara mahasiswa yang mengganggu indera pendengarannya.

Walau begitu, Dean bersyukur, setidaknya penyamarannya di hari kedua masuk universitas berakhir dengan baik.

Pandangan laki-laki itu mengedar, mencari keberadaan seseorang yang berniat ia temui sepulang kuliah. Obsidiannya berhenti, tepat menatap seorang gadis dengan senyum lembut tengah berjalan dengan semangat diantara para mahasiswa lainnya.

“Anne!” Sapa Dean, dengan tangan melambai ke arah gadis itu.

Yang namanya disebut pun lantas menoleh ke arah sumber suara. Senyum riang tercetak begitu saja pada wajahnya, membuat Dean tanpa sengaja turut menarik sudut bibirnya.

Anne sedikit berlari menghampiri Aradean, menarik perhatian beberapa orang yang tengah berada disekitarnya.

Cantik, wajah halus dengan kulit berwarna krem miliknya itu nampak seolah berkilauan begitu sinar matahari menyorot tubuhnya. Tatapan manis Anne mampu mengunci netra Aradean, hingga laki-laki itu hanya fokus menatapnya.

“Dean? Kenapa manggil aku?” Tanya Anne membuyarkan lamunan Dean.

Sementara Aradean nampak salah tingkah, “Hah? Lo kaya anak anjing, dipanggil langsung nyamperin.”

Anne mengerutkan keningnya, sedikit tersinggung dengan jawaban yang lawan bicaranya itu berikan.

“Sorry, salah ngomong. Lo mau pulang kan? Biar gue anter.” Ujar Dean dengan hati-hati, membuat gadis didepannya kini tertawa gemas. “Kenapa ketawa? Mau gak?”

“Boleh, kalau gak ngerepotin.”

Wajah ketiganya kini telah muncul pada layar laptop milik Rasya. Sebenarnya Kadavi sempat menyarankan untuk melakukan panggilan vidio, namun alih-alih menurutinya Rasya justru berkata, “Zoom aja Dav, biar kaya meeting beneran.”

Kadavi hanya bisa menghela nafas kasar dan mengikuti keinginan gadis itu. Pasalnya dihadapan Rasya, ego Kadavi hilang entah kemana.

“Aya naon Dap? Ca?” Tanya Bastian dari seberang sana.

Rasya tak kunjung menjawab pertanyaan Bastian, begitu pula dengan Kadavi.

“Lo beneran lagi sendirian kan Yang? Bu Sofi kemana?”

“Ya di kamarnya lah, masa iya di kamar gue?” Sulut laki-laki.

Akhirnya Kadavi mengumpulkan keberanian untuk memulai pembahasan.

“Denger Yan, gua cuman bakal ngomong sekali.”

“He'eh, ada apaan?”

“Yang ngebunuh Jevan itu Pak Yana.”

Hening, tak ada respon dari Bastian.

“Lu denger gak sih anjing?”

Wajah Bastian kembali bergerak pada layar, rupanya sinyal dari sana sempat terputus. Baik Rasya maupun Kadavi, keduanya sama-sama mengumpat.

“Apa Dav tadi? Ulangi! Ehh kok lo masih pake seragam? Belom balik sia?”

“Ya gua belom balik, masih di rumah Rasya.”

“Astaghfirullah, ngapain?”

“IH BANYAK BACOT ANJING JADI MAU DIBAHAS GAK SIH?!” Bentak Rasya yang sudah mulai jengah mendengar basa basi Kadavi dan Bastian.

Yang baru saja dibentak pun kini diam seribu bahasa, terutama Kadavi. Pasalnya laki-laki itu baru pertama kali mendengar Rasya mengeluarkan kata kasar dari mulutnya.

Sementara Rasya hanya menampilkan senyuman khasnya karena merasa malu dengan Kadavi yang tengah berada dihadapannya.

“Diem dulu ya guys! Jadi gini Yang, Pak Yana itu yang udah bunuh Jevan.” Ujar gadis itu santai.

“Ohhh... HAHH?? JOKESNYA GADANTA BAJINGAN?”

“Siapa yang ngejokes?”

“Beneran ini? Serius?” Tanya Bastian memastikan.

“Iya serius!”

Bastian meraih botol air mineralnya kemudian menenggak air dengan terburu-buru, berharap degupan jantungnya kembali normal.

“Atas dasar apa? Lo pada tau darimana?”

“Lu inget gak, waktu di grup pada bahas kalo gua kesurupan terus mau nusuk Pak Yana? Itu Jevan yang masuk.”

“Kita belum tau pastinya karna apa, soalnya Jevan masih belum cerita kronologinya. Tapi Yang, kemungkinan besar Pak Yana kaya gitu karna cemburu.” Timpal Rasya dengan wajah yang tak kalah serius dari Kadavi.

“Kok cemburu? Bu Sofi selingkuh sama Jevan emangnya?”

“Lo lupa sama yang pernah kita bahas di grup? Cowok yang ikut olimpiade dan dibimbing sama Bu Sofi langsung itu cuman Jevan sama lo. Sadar gak kalo Pak Yana juga mulai kaya gitu ke lo? I mean, dia jadi emosional banget kan ke lo belakangan ini?”

“Alig anying ini mah, masuk sih teori sia. Terus terus, Bu Sofi tau gak kalo suaminya yang ngebunuh murid dia?” Tanya Bastian, ada sedikit perasaan khawatir pada Bu Sofi.

Kadavi memajukan tempat duduknya, “Kayanya sih enggak, makanya kita harus kasih tau. Kita mau pancing Pak Yana malem ini.”

“Gimana caranya? Gue ikut, biar gue yang jadi umpan, Pak Yana kan cemburunya sama gue.”

Mendengar ucapan Bastian barusan, nafas Rasya tercekat. Kepalanya kembali memutar ingatan saat laki-laki itu mengatakan bahwa ia melihat Jevan.

Rasya takut, apakah keputusannya untuk mengikut sertakan Bastian dalam rencana kali ini adalah hal yang baik(?)

“Lu udah izin ke Bu Sofi Yan?” Tegur Kadavi.

“Udah tadi.”

Ketiganya kini tengah duduk di kantin sekolah, Rasya duduk disebelah Kadavi, sementara Bastian duduk tepat didepan Rasya.

Tak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa menit, hingga akhirnya Kadavi membuka suara.

“Udah atuh anying kenapa jadi diem-dieman begini?”

“Gue males ngomong.” Ujar Rasya.

Bastian bingung, laki-laki itu terus saja menimang-nimang apa yang harus ia katakan.

“Maaf Ca, gue gak maksud nuduh A' Wil, sumpah. Cuman kan bukti yang gue temuin mendukung banget.”

Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Bastian, emosi Rasya kembali tersulut dengan mudahnya.

“Mendukung kata lo? Apanya yang mendukung?! Lo nemu foto itu di hapenya Bu Sofi Yang, Kakak gue cuman kebetulan satu frame sama Jevan.”

Kadavi panik, beruntung kantin dihari sabtu sangat sepi, bahkan tidak ada orang selain mereka bertiga. Sementara Bastian terlihat bingung mendengar ucapan gadis didepannya itu.

“Hah? Hape Bu Sofi? Itu kamera anying Ca!”

“LAH KAMERA?” Sambung Kadavi.

“Lah kan emang kamera, terus gue foto pake hape gue.”

“Hahh? Gue kira itu Bu Sofi yang ngepap kamera orang. Lo paham gak maksudnya?”

Kadavi mengangguk, apa yang ada dipikiran Rasya sama seperti yang tengah ia pikirkan.

“Lu dapet kameranya darimana Yan?”

“Kegiatan bimbelnya harus didokumentasiin, da aing mah teu boga kamera Dap. Yaudah atuh akhirnya dipinjemin sama Bu Sofi.”

Ada yang aneh, Kadavi merogoh ponsel dari dalam sakunya. Jemarinya dengan cekatan membuka galeri pada ponsel itu.

“Liat deh ini, disini Jevan lagi ngobrol sama Kakaknya Rasya kan? Dia gak sadar kalo lagi di foto. Ini foto diambil diem-diem sama Bu Sofi.”

Bibir Rasya membulat, ia terkejut setelah mendengarkan perkataan Kadavi. Apa yang dikatakan laki-laki itu sangat masuk akal.

“Keheula, kalo pun ini kamera buat dokumentasiin pembelajaran buat olimpiade, gak mungkin bakal ada A' Wil disini!” Ucap Bastian heboh, sembari menunjuk-nunjuk layar ponsel Kadavi.

“Nah itu lo tau!!”

“Ampun atuh Ca, namanya orang khilaf mah gak sadar.”

“Yaudah gini aja, mulai sekarang kita fokus ke Bu Sofi. Aneh  banget ini soalnya.”

“Emang nih, Bu Sofi dari awal aneh. Pak Yana juga aneh asal lo tau.”

Rasya memutar bola matanya malas, “Mulai deh, mulai, gibahin rumah tangganya orang mulu!”

“Emang aneh anying, sia gak tau aj-

Belum sempat Bastian menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja ponselnya berdering, menampilkan nama Bu Sofi pada layarnya.

eh gue bimbel dulu ya! Dap anterin Caca balik sekalian!”

Hampir pukul 2 siang, Bastian masih sibuk berkutat dengan tumpukan buku-buku fisika dihadapannya.

Sudah lima kali konsentrasi belajarnya terganggu akibat ponsel seorang wanita didalam ruangan yang sama dengannya terus berbunyi.

Entah mengapa Bu Sofi tak kunjung menerima panggilan itu. Kini ponselnya kembali berbunyi, raut wajah wanita itu lagi-lagi terlihat sedikit tertekan.

“H-halo? Iya maaf, ini sebentar.. Iya iya maaf. Iya ini selesai. Iya maaf Mas.”

Ahh panggilannya ditutup sepihak, batin Bastian. Hanya itu yang dapat ia dengarkan. Dipandanginya air wajah wanita itu, kini jauh lebih tenang daripada sebelumnya.

Bu Sofi beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Bastian yang kembali berpura-pura fokus pada soal-soal yang tengah ia kerjakan.

“Bas?” Tegur Bu Sofi.

“Eh, iya Bu?”

“Kayanya Ibu gak bisa kasih bimbingan sampe sore nih Bas. Udah ditelponin terus sama Pak Yana.” Tutur wanita itu lembut.

“Gapapa Bu, saya nanti masih bisa belajar dirumah kok. Tenang aja.”

“Yaudah kalau gitu beresin aja buku-bukunya, kamu bisa kembali ke kelas Bas.”

Mendengar itu Bastian langsung kebingungan, pasalnya sejak tadi ia belum sempat menanyakan apapun mengenai Jevan.

“I-ya Bu, tapi besok belajar lagi kan?”

“Iya dong, biar kamu dapet juara olimpiade!”

Ahh masih ada hari esok, lantas Bastian tersenyum sembari mengangguk. Detik selanjutnya ia bersiap untuk kembali ke kelasnya.

“Dap leupaskeun atuh Dap, si Caca bisi maot!”

Tiba-tiba saja tubuh Kadavi tersentak kebelakang, cengkraman tangannya pada leher Rasya mulai ia lepaskan.

Pandangan Kadavi yang sebelumnya seolah mengancam, berubah menjadi tatapan sendu.

Matanya tidak lagi merah, melainkan hitam pekat.

  • Percakapan di Dalam Batin Antara Jevano dan Kadavi

“Davi.”

“Jevan?! Gimana caranya lu masuk ke badan gua?” Ujar Kadavi menuntut penjelasan.

“Dav, didepan kamu sekarang. Rasya udah gak sadarkan diri. Kamu tau karna apa? Karna kamu.”

“Saya ada di disini sekarang, karna saya gak mau liat kamu bunuh Rasya. Saya yakin kamu juga akan begitu.”

Kadavi masih diam, mendengar kalimat demi kalimat yang tengah diucapkan oleh hantu laki-laki itu.

“Saya akan kendalikan tubuh kamu sebentar. Tapi tenang aja, gak sepenuhnya dari ruh saya masuk ke tubuh kamu Dav. Ini satu-satunya cara supaya kamu gak kerasukan arwah jahat dan berujung membahayakan Rasya lagi.”

“Sampai kapan?”

“Sampai keadaan kamu stabil.”

Lantas tubuh Kadavi melemas sebelum akhirnya Raja dan Chandra membopong tubuhnya dan membaringkannya di dalam tenda.

“Dap leupaskeun atuh Dap, si Caca bisi maot!”

Tiba-tiba saja tubuh Kadavi tersentak kebelakang, cengkraman tangannya pada leher Rasya mulai ia lepaskan.

Pandangan Kadavi yang sebelumnya seolah mengancam, berubah menjadi tatapan sendu.

Matanya tidak lagi merah, melainkan hitam pekat.

  • Percakapan di Dalam Batin Antara Jevano dan Kadavi -

“Davi.”

“Jevan?! Gimana caranya lu masuk ke badan gua?” Ujar Kadavi menuntut penjelasan.

“Dav, didepan kamu sekarang. Rasya udah gak sadarkan diri. Kamu tau karna apa? Karna kamu.”

“Saya ada di disini sekarang, karna saya gak mau liat kamu bunuh Rasya. Saya yakin kamu juga akan begitu.”

Kadavi masih diam, mendengar kalimat demi kalimat yang tengah diucapkan oleh hantu laki-laki itu.

“Saya akan kendalikan tubuh kamu sebentar. Tapi tenang aja, gak sepenuhnya dari ruh saya masuk ke tubuh kamu Dav. Ini satu-satunya cara supaya kamu gak kerasukan arwah jahat dan berujung membahayakan Rasya lagi.”

“Sampai kapan?”

“Sampai keadaan kamu stabil.”

Lantas tubuh Kadavi melemas sebelum akhirnya Raja dan Chandra membopong tubuhnya dan membaringkannya di dalam tenda.

Sudah pukul 10 pagi, namun sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan dilaksanakannya KBM. Para murid tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, begitu pula dengan Rasya dan juga Kadavi yang sejak tadi tengah berbincang santai, sembari memainkan permainan ludo yang ada pada ponsel Kadavi.

“Mana sih Dav, katanya mau ada acara PERSAMI? Kok sampe sekarang belum ada pengumumannya?”

“Gak tau Ca, tungguin aja.”

“Daviii udahan aja lah mainnya! Gue kalah terus!” Sulut Rasya. Pasalnya sudah 5 kali putaran permainan dan kemenangan selalu berada ditangan laki-laki yang kini tengah duduk menghadapnya.

Tepat saat Kadavi terkekeh, muncullah beberapa rombongan anak OSIS dari balik pintu kelas.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya maaf mengganggu waktu temen-temen. Kita disini mau kasih tau kalau sekolah bakal ngadain PERSAMI untuk kelas sebelas. Nah, ini surat edarannya, bisa diisi mau ikut atau enggak dan pastinya atas izin orang tua ya.” Ujar salah satu anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.

“Langsung diambil aja satu-satu ya. Buat list barang bawaan, bawa seperlunya aja karena kita cuman kemah 2 hari 1 malam.”

Senyum Rasya mengembang, baginya berkemah bersama teman-teman sekelas adalah pengalaman pertamanya.

“Kenapa senyum-senyum gitu dah?” Kadavi yang menyadari tingkah gadis itu menjadi penasaran.

“Gapapa Dav, seneng aja bisa kemah bareng-bareng.”

Setelah mendengar jawaban Rasya, Kadavi hanya terdiam. Jauh didalam lubuk hatinya, ia merasa takut.

Sudah pukul 10 pagi, namun sejak tadi tidak ada tanda-tanda akan dilaksanakannya KBM. Para murid tengah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, begitu pula dengan Rasya dan juga Kadavi yang sejak tadi tengah berbincang santai, sembari memainkan permainan ludo yang ada pada ponsel Kadavi.

“Mana sih Dav, katanya mau ada acara PERSAMI? Kok sampe sekarang belum ada pengumumannya?”

“Gak tau Ca, tungguin aja.”

“Daviii udahan aja lah mainnya! Gue kalah terus!” Sulut Rasya. Pasalnya sudah 5 kali putaran permainan dan kemenangan selalu berada ditangan laki-laki yang kini tengah duduk menghadapnya.

Tepat saat Kadavi terkekeh, muncullah beberapa rombongan anak OSIS dari balik pintu kelas.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya maaf mengganggu waktu temen-temen. Kita disini mau kasih tau kalau sekolah bakal ngadain PERSAMI untuk kelas sebelas. Nah, ini surat edarannya, bisa diisi mau ikut atau enggak dan pastinya atas izin orang tua ya.” Ujar salah satu anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.

“Langsung diambil aja satu-satu ya. Buat list barang bawaan, bawa seperlunya aja karena kita cuman kemah 2 hari 1 malam.”

Senyum Rasya mengembang, baginya berkemah bersama teman-teman sekelas adalah pengalaman pertamanya.

“Kenapa senyum-senyum gitu dah?” Ujar Kadavi

“Gapapa Dav, seneng aja bisa kemah bareng-bareng.”

Setelah memastikan bahwa semua siswa kelas itu telah mendapat surat edaran dari sekolah, beberapa anggota OSIS itupun kembali bersuara didepan kelas.

“Semuanya udah dapet kan?”

“Udahhh.” Ujar mereka serentak.

“Nah, kata kepsek boleh langsung pulang kalo kelasnya udah bersih. Yaudah gitu aja dari kita, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Disini Bastian sekarang berada, diruang kelas yang sudah kosong karena beberapa murid sudah pulang kerumahnya masing-masing.

Pikiran laki-laki itu merutuki dirinya sendiri, kenapa sampai repot-repot mendaftar olimpiade fisika hanya untuk membantu hantu yang bahkan tak dapat ia rasakan kehadirannya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah empat sore. Suara sepatu hak milik seorang wanita menggema di koridor menuju kelas yang disinggahi oleh Bastian.

“Bastian? Lama ya nak nunggunya? Ibu baru selesai nilai buku murid-murid.” Ujar wanita yang akrab Bastian panggil 'Bu Sofi'

“Enggak Bu, tadi jajan keluar dulu soalnya.” Bastian tersenyum kearah wanita itu.

Bu Sofi mengangguk, kini ia menggeser bangku yang letaknya berada didepan Bastian, kemudian mendudukkan dirinya di sana.

“Ini kan kamu kelas 11, nah kalau buat olimpiade itu soal-soal latihannya yang mendasar Bas. Jadi kamu sekarang pelajari materi kelas 10 lagi ya?” Wanita itu menyodorkan 3 rangkap buku paket fisika kearah Bastian.

“Ini langsung belajar Bu?” Tanya Bastian dengan polos.

“Iya atuh, masa mau arisan sama saya?”

“Basa basi dulu dong Bu, biar kalo saya jadi ragu bisa mundur dari sekarang hehe.”

Bu Sofi tertawa ringan, tangannya menyisihkan buku yang sebelumnya ia letakkan didepan Bastian.

“Yaudah ayo.”

“Angkatan kita sebelumnya selalu dapet juara ya Bu? Saya liat dibuku murid berprestasi.”

“Iya, kita gak pernah dapat juara harapan sama sekali. Selalu juara 1 2 dan 3.”

Bastian mengangguk-anggukan kepalanya. “Terus saya sempet liat murid yang keren gitu bu. Ikut dua olimpiade sekaligus, matematika fisika.”

“Siapa namanya?”

“Jevano Bu, namanya Jevano Ranggasta. Ibu kenal kan? Soalnya tertulis kalo ibu guru pembimbingnya.” Tutur Bastian semangat.

“Kenal, anaknya memang pintar.”

Batin Bastian kini semakin merasa tertantang untuk menanyakan hal yang lebih detail.

“Dia pasti masuk kuliah di Negeri ya Bu? Kalo pinter gitu, harusnya bisa ngambil arsitektur.”

“Enggak, dia hilang sebelum lulus Bas.”

Saat hendak menanyakan hal selanjutnya, tiba-tiba saja seseorang masuk.

“Sofi? Kamu aku cariin kemana-mana, ayo kita pulang.” Pak Yana berdiri didepan pintu dengan ransel laptop yang bertengger di punggungnya.

“Ini aku lagi kasih bimbingan buat Bastian, dia mau ikut olimpiade fisika.” Terlihat semburat kepanikan pada wajah wanita itu, Bastian menyadarinya.

“Bas, belajar sendiri dulu ya? Saya sama istri saya hari ini lagi ada urusan.”

Lantas Bastian berdiri dan membungkuk dengan sopan, “Iya Pak, sok atuh. Makasih ya Bu Sofi.”