Sesuatu Antara Kita
Sabian duduk di atas motornya, tubuhnya sedikit membungkuk di bawah langit Jakarta yang kala itu warnanya sedikit kelabu berkat awan-awan tebal yang bergulung rendah. Trotoar di tepi jalanan, tempat ia memarkir motornya terasa asing—tak pernah ia lihat sebelumnya.
Angin sore bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan kaos yang ia kenakan dengan lembut. Kali ini, Sabian hanya memakai helm, tanpa jaket seperti biasanya—sengaja, sebab Bianca akan mengembalikan salah satu jaketnya di pertemuan ini. Pikirnya, supaya tak terlalu repot, ia akan mengenakan jaket itu, nanti.
Dalam diam, mata Sabian terus memandang jauh ke depan, mencari sosok yang membuatnya menunggu di tempat itu sejak beberapa saat yang lalu. Pada lengannya, menggantung helm baru. Helm yang ia beli secara impulsif untuk Bianca dari sebuah toko helm yang eksis di pinggir jalan. Helm itu sederhana—seperti helm-helm yang sering kali terlihat dipakai oleh pengguna motor lain di tengah padatnya persimpangan lampu merah—jauh lebih murah dibandingkan kaca helm Sabian sendiri. Pada saat membelinya, Sabian tak memikirkan hal lain—hanya berharap benda itu dapat melindungi kepala Bianca dari panas dan hujan. Namun, begitu Sabian meninggalkan toko tersebut, ia baru menyesali keputusannya. Sabian berencana untuk membelikan Bianca sebuah helm yang lebih mahal dan kokoh, nanti.
Sabian melirik ponselnya, layarnya menyala di bawah langit yang kian meredup. Tak ada pesan baru dari Bianca, hanya ada angka jam yang menunjukkan bahwa ia sudah menunggu lama di sana. Kakinya mulai kaku, tapi ia tak peduli. Permintaan Bianca untuk dijemput di lokasi yang agak jauh dari rumahnya ini tak serta-merta membuat Sabian bertanya-tanya. Ia paham betul alasan apa yang ada di balik permintaan Bianca—muncul di depan rumahnya untuk membawanya kencan seperti sekarang ini, mungkin ibarat melempar batu ke danau tenang, mengundang riak yang tak diinginkan. Sabian menghormati batasan itu, meski diam-diam ia merasa sepi menunggu lama seorang diri, ditemani suara klakson sporadis dan deru motor yang melintas.
Langit semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya di trotoar. Ia menarik napas dalam, seakan-akan menikmati polusi udara yang mengelilinginya.
Tiba-tiba, mata Sabiam memicing, tatkala menangkap gerakan di kejauhan. Sosok Bianca muncul, berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, seperti biasa. Rambutnya yang panjang kali ini diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengenakan atasan knit yang tampak kebesaran, dimasukkan ke dalam celana hitam yang memeluk tubuhnya dengan pas—sederhana, namun begitu memikat.
Sabian tak dapat menahan senyum lebar yang langsung mengembang di wajahnya—tak seperti biasanya. Ia praktis menghapus rasa lelah dan kaku di tubuhnya begitu melihat Bianca sore ini.
“Bi!” panggil Sabian, penuh semangat, bercampur lega, seolah menemukan oasis di tengah padang pasir.
Mata Bianca langsung bertemu dengannya, dan senyumnya tak kalah mekar dari Sabian—membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. “Sorry banget, ih,” katanya sambil mendekat, nada bersalahnya terdengar sangat tulus, diiringi embusan napas yang sedikit tersengal-sengal. “Udah lama nunggunya, ya?” Matanya mencari jawaban di wajah Sabian, penuh perhatian, dan itu membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang.
Namun, Sabian menggeleng cepat, meski kakinya masih terasa seperti kayu. “Enggak kok,” bohongnya dengan senyuman—tak ingin Bianca merasa buruk. “Nih, jaket ayah lo.” Ia menyodorkan tas karton yang berisi jaket milik ayah Bianca yang semula menggantung di stang motornya.
Bianca menerima tas itu dengan anggukan kecil, jari-jarinya menyentuh ujung tas dengan lembut, lalu menyerahkan jaket Sabian sebagai gantinya. “Nih, jaket lo… makasih ya buat waktu itu,” katanya lirih. Malu mengingat kejadian minggu.
Menyadari hal itu, Sabian memilih untuk pura-pura tak mendengar perkataan Bianca dan langsung mengenakan jaketnya tanpa memberi respons apapun. Untuk sepersekian detik, ia dapat merasakan keakraban kain itu memeluk tubuhnya, seolah jaket itu membawa sedikit aroma Bianca—atau mungkin itu hanya imajinasinya.
“Itu helm gue?” tanya Bianca, matanya tertuju pada helm yang masih menggantung di lengan Sabian, alisnya sedikit terangkat dengan ekspresi penasaran.
“Iya.” Sabian menyerahkan helm itu dengan hati-hati, dadanya berdebar. “Nih, pakai.”
Bianca memeriksa helm itu, jari-jarinya menyusuri permukaan plastik yang mengilap, matanya menyipit seolah menimbang sesuatu. Ia mencoba memakainya, tapi kaitannya agak sulit, membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin tertawa.
Sebelum Bianca berjuang lebih lama, Sabian kontan menuruni motornya demi menghapus jarak di antara mereka. “Helmnya baru gue beli di perjalanan mau ke sini, jadi kaitannya mungkin masih agak susah buat dilepas pasang,” ujarnya, sedikit serak karena gugup. Tangannya bergerak hati-hati, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Bianca yang halus. Dari jarak dekat, Sabian dapat mencium aroma parfum yang Bianca pakai—manis, seperti campuran vanila dan bunga melati, begitu lembut hingga membuat kepalanya ringan. Meski jantungnya berdetak kencang, Sabian berusaha tetap tenang, meniru adegan dalam film-film romansa yang sempat Zaid katakan. Sesungguhnya adegan itu terasa konyol di kepalanya, namun, saat kaitan helm tersebut terpasang dan Bianca tersenyum kecil dan pipinya sedikit memerah di bawah cahaya lampu jalan, Sabian tahu usahanya tak sia-sia.
“Udah,” kata Sabian, lalu mundur selangkah untuk memberi ruang, meski hatinya ingin tetap di dekat Bianca. Ia membukakan pijakan kaki motor dengan gerakan yang sudah terlatih, sebelum kembali menaiki motornya.
“Naiknya hati-hati.”
Bianca mengangguk, matanya berkilat dengan sedikit rasa malu. Dengan gerakan hati-hati, ia menaiki motor, tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Sabian untuk menjaga keseimbangan.
Akan tetapi, sentuhan tak sengaja itu sukses mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Sabian, membuatnya menggigit bagian dalam pipinya seketika. Sabia menahan napas, berusaha fokus saat menghidupkan mesin motor. Detik kemudian, dengan gerakan halus, motornya melaju, membelah jalanan ibu kota yang sore itu dipenuhi cahaya lampu neon dan suara klakson yang bercampur dengan deru angin.
Di belakang, Bianca duduk dengan jarak yang terjaga di antara mereka. Tangannya hanya sesekali menyentuh jaket Sabian, itu pun hanya di saat-saat genting.
Sabian memperhatikan sikap itu melalui kaca spion, dan diam-diam ia mengagumi Bianca—perempuan yang tahu batasan, namun tetap terasa dekat. Ia tahu Bianca menyukainya sejak awal, namun sikapnya yang penuh perhitungan membuat Sabian semakin terpikat, seperti magnet yang tak dapat ia lawan.
Di balik helmnya, Sabian tersenyum, merasakan angin sore menerpa wajahnya melalui celah visor. Awalnya, ia hanya ingin membuka hati, mencoba menjalani sesuatu tanpa ekspektasi besar. Tapi kini, dengan Bianca di belakangnya, jalanan Jakarta yang biasanya membosankan terasa seperti petualangan. Bianca punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan—warna lampu jalan menjadi lebih cerah, suara kota terdengar lebih merdu, dan hatinya yang dulu beku kini mencair perlahan. Sabian mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bianca sudah lebih dari sekadar ketertarikan.
—
Perjalanan ke mal terasa singkat, kurang dari tiga puluh menit, meski Sabian diam-diam berharap jalanan lebih panjang. Ia memarkir motor di basement yang pengap—di mana bau oli dan karet ban menguar, mengganggu indera penciuman. Sabian menurunkan standar motornya dengan hati-hati, memastikan Bianca bisa turun dengan mudah.
Lalu, sekali lagi, tangan Bianca menyentuh pundaknya, dan sensasi hangat itu kembali mengalir, seperti percikan api kecil di kulitnya. Selain itu, Sabian juga kembali membantu Bianca—melepas kaitan helmnya dengan lebih percaya diri. Sabian dapat melihat wajah Bianca dengan begitu jelas di bawah lampu yang ada pada langit-langit rendah basement itu. Alisnya yang tebal dan rapih, matanya yang hangat, dan hidungnya yang mancung menyempurnakan wajahnya yang sudah cantik secara alami. Ada kelembutan di wajah itu yang membuat Sabian sulit memalingkan pandangan, seperti melihat lukisan yang berbicara langsung ke hati.
Saat kaitan helm terlepas dengan bunyi ‘klik’, Sabian otomatis tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menarik tangan dan melepas helmnya sendiri—berharap Bianca tidak menyadari betapa ia terpesona.
Dan, harapan Sabian langsung terkabul, sebab, detik berikutnya, Bianca sibuk merapikan rambutnya di kaca spion motor.
Sabian berdehem, mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya yang memerah. “Kertas parkir di lo, ya?” tanyanya.
“Iya, biar gue simpen,” jawab Bianca dengan senyum yang mengembang. “Cowok pasti bakal lupa nyimpen gini-ginian. Contohnya ayah gue.”
Mendengar itu, Sabian terkekeh, merasa suasana hatinya kembali cair, seperti air yang mengalir setelah bendungan kecil pecah.
“Sini barang lo, biar gue bawain.”
Bianca mengangkat tas karton di tangannya, alisnya terangkat dengan ekspresi main-main. “Ini?”
“Iya,” kata Sabian, lalu merebut tas karton berisikan jaket yah Bianca itu, begitu saja. Membuat Bianca tak sempat berkata-kata.
Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk mal, langkah mereka selaras di tengah deru mesin dan suara langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Cahaya lampu mal yang terang benderang menyambut mereka, kontras dengan suasana kelam di luar. Sabian memperhatikan Bianca di sampingnya. Ada dorongan kuat di hatinya untuk menggenggam tangan perempuan itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akan tetapi, Sabian memilih untuk menahan dirinya—tak ingin melangkahi batas tanpa isyarat dari Bianca. Untuk saat ini, berjalan bersamanya, mendengar suara sepatunya yang berdecit pelan di atas lantai, sudah cukup membuat hatinya penuh.
Saat mendekati eskalator menuju lantai tempat restoran yang menjadi tujuan mereka berada, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari samping, nyaris menabrak Bianca dalam usahanya mendahului antrean menaiki eskalator. Dengan refleks, Sabian menarik pinggang Bianca ke samping, menjauhkannya dari bahaya.
Sadar bahwa keberadaan tangannya terasa salah, Sabian langsung menarik tangannya kembali, wajahnya memanas seperti terbakar. “Maaf,” katanya cepat, suaranya serak. “Takut lo ketabrak.”
Bianca praktis mengerjapkan matanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, anjir. Gue malah makasih udah ditolongin,” jawabnya pelan, nadanya begitu santai membuat Sabian lupa cara bernapas. Ia kemudian melangkah naik ke eskalator, dan Sabian mengikuti di belakang, mencoba menenangkan jantungnya yang berlari kencang.
“Aneh banget, masa dekorasi malnya masih yang sebelumnya,” kata Bianca seolah tengah mengembalikan suasana.
“Emang harusnya apa?”
“Valentine, lah!”
“Valentine masih lama, ini masih Januari,” timpal Sabian. Dalam hati, ia bersyukur atas kemampuan Bianca untuk membuat segalanya terasa alami, seperti angin yang menyapu ketegangan dari udara.
Sesampainya di lantai atas, mereka langsung menuju ke salah satu restoran sushi ternama. Dinding kayu berwarna hangat, lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang, dan suara piring yang berdenting pelan menciptakan suasana yang nyaman.
Pelayan di pintu masuk menyambut dengan senyum ramah. “Selamat sore, untuk berapa orang?” tanyanya, memastikan.
Sabian buru-buru menjwab, “Dua orang, table,” sebelum Bianca sempat bicara. Ia ingin memastikan mereka mendapatkan meja yang nyaman, bukan duduk di bar sushi yang terlalu ramai.
Kemudian pelayan langsung mengantar mereka ke salah satu meja di tengah ruangan, baru saja dibersihkan, dengan aroma sabun lemon yang masih menempel di udara.
“Untung nggak waiting list,” cicit Bianca sambil dudukkan dirinya.
Sabian mengangguk setuju, merasa lega, dan hatinya hangat melihat Bianca yang terlihat begitu santai.
Detik berikutnya, sang pelayan mengajukan beberapa pertanyaan standar, seperti; apakah mereka pernah datang ke restoran itu sebelumnya, dan menjelaskan kembali cara memesan makanan melalui kode pindai. Sabian menjawab dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan suasana restoran ini.
Setelah Sabian memindai sebuah kode yang terdapat di sudut meja, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bianca. “Lo pilih duluan,” katanya.
Namun, alih-alih menerima ponsel Sabian, Bianca justru menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya serius, juga setengah bercanda.
“Kenapa?”
“Sabian, gue perempuan ke berapa yang lo ajak makan di sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tapi ada nada penasaran yang terselip di akhir kalimatnya.
“Hah?”
“Buat seorang cowok, lo terlalu handal untuk makan di restoran sushi!”
Sabian mengerjap, tak menyangka akan mendengar tuduhan tak masuk akal seperti yang baru saja Bianca katakan. Lantas, Sabian tertawa, suaranya cukup renyah. “Lo yang ketiga,” katanya dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Setelah nyokap gue, sama Alin.”
Wajah Bianca praktis memerah, lalu mengatupkan mulut—jelas merasa salah. “Maaf!” katanya cepat, tangannya menutupi mulutnya dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin kembali tertawa.
“Gak masalah,” jawab Sabian tulus, senyumnya tak pudar. “Sekarang udah bisa pesen?”
Bianca mengangguk, lalu menunjuk menu pada layar ponsel Sabian yang menyala. “Moriawase sama makimono, aja, ya?”
“Biar bisa sharing dan nggak kenyang duluan?” tanya Sabian, dan senyum Bianca mengembang, seperti tanda bahwa tebakkan Sabian tepat sasaran.
“Boleh, pesen apa aja yang lo mau,” kata Sabian, menyerahkan kendali penuh kepada Bianca.
“Makasih, Om…,” kata Bianca, matanya berkilat nakal.
“Iya, By…,” balas Sabian dengan nada serupa, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama, menyadari kecocokan frekuensi di antara mereka yang begitu alami.
Setelah memesan, Sabian meletakkan tas karton milik Bianca di sisi meja, dekat dinding restoran yang dihiasi lukisan ikan koi. Semenjak itu, Bianca menopang dagunya dengan kedua tangan, matanya menatap Sabian dengan ekspresi yang sulit dibaca—seperti ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan, namun terperangkap di ujung lidah.
Sabian terus memperhatikan gerak-gerik Bianca. Ia ingin bertanya, akan tetapi sebelum ia sempat melakukan itu, minuman mereka tiba, disertai aroma teh hijau yang menenangkan.
“Makasih,” kata Sabian pada pramusaji yang baru saja mengantar minuman ke meja mereka.
Dan, pramusaji itu mengangguk sekaligus tersenyum hangat.
“Kenapa?” tanya Sabian pada Bianca, tepat setelah sang pramusaji melangkah pergi, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.
Bianca menghela napas kecil, lalu tersenyum, matanya berkilau di bawah lampu restoran. “Sebenernya gue suka ada sesuatu di antara kita. Mulai dari sepatu, jaket ayah gue, jaket lo… Setelah hari ini, kita ketemu pakai alasan apa lagi?” Nadanya ringan, tapi ada kerapuhan di dalamnya, seperti takut momen ini hanya sementara.
Mendengar pengakuan itu, Sabian merasa kehangatan menyebar di dadanya, seperti api kecil yang ditiup perlahan. “Kita nggak butuh alasan apapun buat ketemu—”
“Permisi, pesanannya.” Lagi-lagi potong seorang pramusaji yang tiba-tiba muncul. Kali membawa pesanan dengan nampan penuh akan sushi.
Sabian menahan napas kesal, momen mereka terganggu untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tersenyum sopan.
Setelah pramusaji itu pergi, Bianca tiba-tiba melepas pelindung ponselnya dan memasangkannya pada ponsel Sabian, yang kebetulan memiliki tipe yang sama persis dengan ponselnya sendiri. “HP lo harus pakai casing biar aman,” katanya, suaranya ringan seperti bercanda, tapi matanya penuh makna.
“Eh?” Sabian tampak bingung. “Terus HP lo?”
“Gue punya banyak di rumah,” jawab Bianca dengan senyum sumringah.
Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk memahami maksud tersembunyi di balik tindakan Bianca. Perempuan di hadapannya itu baru saja menciptakan ikatan baru, seperti jaket dan sepatu sebelumnya—sebuah alasan kecil untuk tetap terhubung, dan kembali bertemu tanpa status yang jelas di antara mereka.
“Makasih, Bi,” kata Sabian begitu lembut.
“Sama-sama. Nggak perlu buru-buru balikin!” kata Bianca, nadanya ceria namun ada sedikit penekanan di sana.
“Yakin?”
“Iya.”
“Kalau gitu, bakal gue simpen lama—eh, enggak! Gue balikin Sabtu depan,” kata Sabian, terdengar penuh tekad.
Kemudian, kata-kata itu sukses membuat pipi Bianca sedikit merona, seperti kelopak bunga mawar.
Bianca berdeham singkat. “Ayo makan!” serunya tiba-tiba, sembari mengangkat sumpit dengan semangat, seolah menyembunyikan rasa malu yang hampir saja menenggelamkan dirinya.
Melihat respons Bianca yang menggemaskan itu, sontak membuat Sabian tersenyum—tangannya terulur ke depan, menyentuh pucuk kepala Bianca seraya mengusapnya dengan gemas dalam hitungan detik—sebelum mereka mulai makan, berbagi sushi di tengah aroma wasabi dan kecap asin.
Di luar, langit mungkin masih mendung, awan tebal mungkin masih menahan hujan. Akan tetapi, di dalam restoran ini, dengan aroma sushi yang menggoda, lampu terang di atas mereka, dan senyum Bianca yang seperti bintang—Sabian merasa seperti menemukan langit yang cerah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia merasa utuh, bahagia, dan penuh harap.