cakgrays

Bianca menuruni motor dengan gerakan yang sedikit kaku, kakinya menyentuh trotoar yang panas di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar. Angin yang tadi menerpa wajahnya selama perjalanan terasa seperti tangan-tangan tak terlihat yang dengan sengaja mengacaukannya, menyebabkan rambutnya yang semula ditata rapi menjadi sedikit kusut dan acak-acakan.

“Makasih, ya, Pak!” kata Bianca, sambil menyerahkan helm kepada pemiliknya.

“Jangan lupa, bintang lima ya, Mbak Cantik!”

Tanpa mengatakan apapun, Bianca hanya memamerkan ibu jarinya, berharap pengendara ojek online itu cepat-cepat pergi dari sana.

Dan, tatkala ia benar-benar pergi, Bianca langsung menghela napas panjang. Nyatanya sial, tak mengenal tanggal. Helm yang sempat ia kenakan itu, berbau tak sedap.

“Bintang lima, bintang lima…. Helm lo, noh, bau belerang…,” gumam Bianca, seraya menyentuh kepalanya, kemudian menyadari bahwa aroma tak sedap dari helm yang ia maksud, tertinggal di sana.

Bianca praktis mencebik, rasa penyesalan menyelinap di dadanya lantaran lebih memilih naik ojek motor alih-alih ojek mobil, atau mengendarai mobil milik sang papa seperti biasa.

Saran Zaid, laki-laki yang baru-baru ia angkat menjadi sahabatnya, memang terdengar romantis, namun cukup untuk dianggap menyesatkan, membuat Bianca mulai mempertanyakan kemampuannya dalam mengambil keputusan.

Baru beberapa langkah, ia terhenti di depan sebuah etalase kaca milik toko di pinggir jalan. Pantulan dirinya di kaca itu seperti cermin yang berkata jujur namun begitu kejam. Bianca melihat seorang gadis dengan wajah sedikit kusut, rambut yang menolak patuh meski sudah disisir menggunakan jari berulang kali, dan mata yang mencerminkan campuran kekeselan, resah, dan sedikit ketidakpastian. Dengan jari-jari yang panjang, Bianca kembali merapikan rambutnya, menarik helai-helai yang membandel agar kembali pada tempatnya. Pakaian berbahan knit yang sengaja Bianca pilih karena terlihat simpel namun tetap elegan sedikit bergeser dari posisinya, dan ia buru-buru menarik ujungnya agar kembali terlihat rapi. “Relaks, please…,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru kendaraan dan suara klakson yang memenuhi udara. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena panas sore itu, tapi juga karena antisipasi bertemu dengan Sabian.

Sabian. Nama itu kini lebih familier, semenjak Sabian sendiri yang mengatakan kalau ingin mendekatinya. Belakangan, bertukar pesan di sela-sela kesibukan mereka sebagai pengangguran, menjadi sebuah rutinitas. Hari ini, pertemuan mereka mungkin dapat dikategorikan sebagai kencan pertama mereka, setelah memutuskan untuk menjadi lebih dari sekadar teman. Ada harapan yang membuncah di dada Bianca—harapan yang ia sendiri tak berani akui sepenuhnya.

Namun, harapan itu seolah ditampar realitas begitu ia menoleh pada halaman depan kafe yang dimaksud. Pintu kacanya tampak terkunci rapat, dan ada sebuah papan kecil bertuliskan “TUTUP” tergantung di gagang pintu, bergoyang pelan diterpa angin sore. Bianca mendelik, matanya membelalak tak percaya. “Serius?” gumamnya, suaranya penuh kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bianca mengambil langkah mendekat, berusaha mengintip ke dalam. Ruangan di dalam gelap, hanya ada bayangan samar meja-meja kosong dan kursi-kursi yang tersusun rapi. Bau debu samar tercium dari celah-celah pintu, menambah kesan sepi yang menyedihkan, seolah kafe itu sudah lama ditinggalkan

“Bianca?”

Suara itu datang memecah keheningan yang mulai menyelimuti hati Bianca. Lantas, ia memutar tubuh dengan cepat, hampir tersandung oleh trotoar yang sedikit retak. Dan, tak jauh dari sana, Sabian berdiri di samping motornya, helm hitamnya masih tergenggam di tangan kanannya. Rambutnya yang sedikit berantakan karena helm justru membuatnya terlihat lebih menarik dari biasanya.

“Masabi! Kafe ini tutup!” seru Bianca, nadanya sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, seperti anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya dari kejauhan.

Sabian mengerutkan kening, ekspresinya beralih dari santai menjadi bingung. Dengan cepat, ia meninggalkan motornya, langkahnya mantap dan penuh rasa ingin tahu. Ia mendekati pintu kafe, memeriksanya dengan mata menyipit, seolah berharap pintu itu akan terbuka hanya karena ia menatapnya.

“Beneran, ya?” gumamnya, suaranya rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari sesuatu.

Setelah beberapa detik, ekspresi Sabian berubah. Alisnya terangkat, dan wajahnya memerah sedikit, tanda rasa bersalah yang jelas. Ia memutar ponselnya ke arah Bianca, menunjukkan sebuah artikel yang ia temukan tentang kafe itu. “Lihat, Bi,” katanya, suaranya pelan, penuh penyesalan. “Kafe ini ternyata udah tutup permanen sejak pertengahan tahun lalu. Postingan yang gue lihat di reels… itu kemungkinan video lama.”

Bianca menatap layar ponsel itu, matanya menyusuri kalimat-kalimat yang menjelaskan bahwa kafe tersebut memang sudah tidak beroperasi karena masalah internal antar memiliknya. Informasi itu seperti pukulan kecil di dadanya, membuat harapan yang sebelumnya sempat membuncah kini kempis seketika. “Serius?” tanyanya, tak percaya. “Jadi kita nggak batal ngedate?”

Sabian terkekeh, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan wajahnya semakin memerah. “Maaf, ini salah gue….”

Bianca memandangnya, ingin marah tapi entah kenapa justru merasa lucu. Ada sesuatu dalam sikap Sabian yang begitu tulus, begitu polos, sehingga kemarahannya perlahan melebur menjadi senyum kecil yang tak bisa ia tahan. “Nggak usah minta maaf, mungkin alam emang nggak merestui kita.”

Sabian tertawa kecil, tapi cepat-cepat menghentikan tawanya ketika melihat Bianca memicingkan mata. “Ayo… ayo kita cari tempat lain buat ngedate!” Nada suara Sabian, lembut namun penuh keyakinan, membuat hati Bianca sedikit melunak.

Ada kehangatan dalam caranya berbicara, dalam caranya menatap Bianca dengan penuh perhatian, yang membuatnya merasa bahwa laki-laki di hadapannya itu benar-benar ingin memperbaiki situasi.

Bianca menghela napas, mencoba menahan senyum yang semakin lebar. “Ada kafe lain di dekat sini,” katanya setelah berpikir sejenak. “Nggak jauh, cuma lima menit naik motor. Ramai, tapi enak. Lo mau ke sana?”

Sabian mengangguk tanpa ragu, matanya berbinar. “Deal. Ayo.”

Laki-laki itu berjalan menuju motornya. Dan, dengan tangan yang amatir ia membukakan pijakan kaki di motor untuk Bianca, sebelum Bianca sempat melakukannya sendiri. Gerakan kecil itu, sederhana namun penuh perhatian, membuat Bianca merasa ada kupu-kupu kecil yang beterbangan di perutnya. Beruntung, ia sudah memikirkan situasi ini sebelumnya dan memilih mengenakan celana jeans panjang yang nyaman alih-alih rok, membuatnya lebih mudah menaiki motor. Dengan bantuan tangan Sabian yang menyangga lengannya dengan lembut, ia naik ke jok belakang, merasakan permukaan kulit jok yang sedikit panas karena terpapar sinar matahari sore.

“Gue cuma ada satu helm,” kata Sabian.

“Ohh, yaudah, pake aja. Gue lebih suka kena angin,” sahut Bianca.

Selang beberapa detik, setelah keduanya sama-sama siap, motor Sabian mulai melaju, membelah bahu jalan yang ramai dengan kendaraan. Angin kembali menerpa wajah Bianca, kali ini asap kendaraan membawa serta aroma parfum Sabian yang menguar dari pakaiannya. Suara klakson dan deru mesin motor lainnya mengisi udara, tapi entah kenapa, semua itu terasa seperti latar belakang yang samar di pikiran Bianca. Ia fokus pada punggung Sabian di depannya, pada jaket kulitnya yang sedikit usang namun terasa begitu nyata di bawah genggaman tangannya. Jantung Bianca berdetak kencang, bukan hanya karena kecepatan motor, tapi juga karena kedekatan ini—kedekatan yang membuatnya merasa hidup, namun juga rentan.

Perjalanan menuju kafe lain terasa singkat, meski jalanan cukup padat. Sesampainya di sana, Bianca langsung disambut oleh keramaian yang nyata. Kafe itu penuh sesak, antrean di kasir mengular hingga hampir mencapai pintu masuk. Suara obrolan pelanggan bercampur dengan dentingan cangkir dan aroma kopi yang menggoda. Lampu-lampu gantung dengan bohlam kuning menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantul di dinding kayu kafe, memberikan nuansa tenang yang kontras dengan kegaduhan di dalamnya.

Sabian memarkirkan motornya dengan hati-hati, lalu melepas helmnya sambil menoleh ke arah Bianca.

“Gue antri pesanan, ya,” kata Bianca cepat, ingin mengambil inisiatif. Ia melangkah lebih dulu, meninggalkan Sabian yang masih sibuk meletakkan helmnya di spion motor.

Namun, baru beberapa langkah, Bianca merasakan nyeri samar di perutnya, seperti tusukan kecil yang datang tanpa peringatan. Langkahnya terhenti, tangannya secara refleks menyentuh bagian bawah perutnya. Nyeri itu bukan hal baru baginya—ia tahu itu pertanda haidnya datang, tapi intensitasnya kali ini cukup mengganggu, membuatnya sedikit meringis.

Dari belakang, Sabian bergegas menyusul, menyadari gestur Bianca yang mencurigakan. “Lo kenapa, Bi?” tanyanya, tersirat kekhawatiran, matanya menelusuri wajah Bianca dengan cermat.

Bianca menggeleng, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Nggak apa-apa,” katanya, lirih.

Beruntung Sabian tak membiarkannya begitu saja. Dengan langkah cepat, ia mendekati Bianca, berjalan tepat di belakangnya.

Bianca dapat merasakan sentuhan lembut di pundaknya—kedua tangan Sabian menyentuhnya dengan hati-hati, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.

“Ke toilet dulu, gue anter,” kata Sabian, tegas tapi penuh perhatian.

Bianca mengerutkan kening, bingung. “Hah?”

Sabian menunduk sedikit. “Celana lo kotor.” Suaranya pelan di telinga Bianca. Hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuknya.

Detik itu juga, Bianca ingin menenggelamkan dirinya sendiri ke dasar lautan. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang, dan rasa malu menyerbu dirinya seperti gelombang yang tak bisa ia bendung. Ia menunduk, tak berani menatap Sabian, apalagi memeriksa celananya sendiri. Ini adalah kencan pertamanya dengan laki-laki setampang Sabian, dan hal yang sangat fatal malah terjadi. Rasa malunya begitu besar, seperti beban yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.

Sabian, seperti memahami kepanikan Bianca, ia mengambil aksi tanpa perlu diminta. Dengan sikap yang tenang tapi tegas, ia mengantar Bianca menuju toilet di sudut kafe. Kebetulan peminat toilet tak seramai peminat kopi. Di depan pintu toilet wanita, Sabian berhenti, menatap Bianca dengan ekspresi yang menenangkan, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkannya sendirian dalam situasi ini.

“Masuk. Tunggu sebentar di dalam.”

Bianca bergeming, tak berniat memberi jawaban.

“Tenang aja, gue beneran cuma sebentar…,” katanya, memastikan.

Lantas, Bianca hanya mengangguk lemas, sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke dalam toilet, memilih salah satu bilik, dan mengunci pintunya dengan tangan yang sedikit gemetar. Di dalam bilik kecil, yang bau amonia pembersihnya menyengat di hidung itu, ia merasa seperti ingin menangis. Dinding bilik yang dilapisi ubin putih terasa dingin saat ia bersandar padanya, mencoba menenangkan napasnya yang tak teratur.

“Kenapa harus sekarang, sih? Kenapa harus di depan Sabian?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar, terkubur oleh rasa malu yang begitu besar, hampir menyakitkan. Ia membayangkan Sabian mungkin saja memandangnya dengan jijik, atau setidaknya merasa kerepotan. Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Waktu di dalam bilik itu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti menit. Suara gemerisik langkah kaki dan obrolan pelan dari orang-orang di luar toilet samar-samar terdengar, namun Bianca merasa terisolasi, terperangkap dalam ruang kecil yang terasa semakin menyesakkan. Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu biliknya memecah keheningan.

“Halo? Yang di dalam sini Bianca, ya?” Suara seorang wanita, lembut namun asing, terdengar dari luar, membawa sedikit kebingungan di tengah keresahan Bianca.

“Iya,” jawab Bianca, suaranya lirih.

“Pacar kamu di luar, titip sesuatu ke saya. Boleh buka pintunya?”

Bianca mengerutkan kening, bingung namun penasaran. Dengan ragu, ia membuka pintu bilik sedikit, cukup untuk melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya, memegang sebuah tas karton kecil. Wanita itu tersenyum ramah, kerutan halus di sudut matanya menunjukkan kehangatan yang tulus. Ia menyerahkan tas karton itu kepada Bianca, yang menerimanya dengan tangan yang masih gemetar.

“Makasih, Tante…,” ucapnya pelan, dan wanita itu mengangguk singkat.

Bianca kembali menutup pintu bilik. Ia membuka tas karton pemberian Sabian dengan hati-hati, dan apa yang ia temukan di dalamnya membuatnya tertegun. Ada pembalut—masih dalam kemasan plastik yang rapi, dan jaket kulit yang sempat dikenakan oleh Sabian—masih membawa aroma samar parfumnya yang maskulin. Bianca menatap isi tas karton itu, dadanya dipenuhi perasaan kagum, haru, dan sedikit rasa tak percaya. Sabian, dengan segala ketenangannya, telah pergi mencari pembalut untuknya dan bahkan memberikan jaketnya—mungkin untuk menutupi noda di celananya. Tindakan tak terduga itu terasa begitu besar di hati Bianca, seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan rasa malunya.

Bianca menghabiskan beberapa menit di dalam bilik toilet untuk menyelesaikan urusannya. Ia mengikat jaket Sabian di pinggangnya untuk menutupi noda, sembari menatap pantulan dirinya pada cermin besar di luar bilik. Jaket itu terasa hangat, seolah menyampaikan kehangatan hati Sabian.

Bianca mengatur napasnya. Dengan hati-hati, ia akhirnya keluar dari toilet, aroma kopi dan kue yang tadi menggoda kini terasa seperti pengingat bahwa dunia di luar masih berjalan, meski hatinya masih berdebar-debar. Tatkala Bianca menoleh, ia sedikit terkejut, namun juga lega, melihat Sabian masih berdiri di sana. Di tempat ia meninggalkannya. Laki-laki itu menunggu Bianca dengan ekspresi santai namun gurat kekhawatiran tak dapat ia sembunyikan sepenuhnya.

“Udah?”

“Iya….” Bianca celingak-celinguk, menatap sekitar. Mendapati bahwa langit sudah mulai gelap.

Sabian tersenyum kecil, dan dengan gerakan yang tak terduga, ia mengacak pucuk kepala Bianca dengan gemas, jari-jarinya terasa hangat di kulitnya. “Sini, gue bantu bawa,” katanya, meraih tas karton dari tangan Bianca begitu saja. Gerakannya alami seolah itu hal yang biasa untuknya.

Sementara itu, Bianca hanya melongo, masih tak menyangka Sabian akan begitu santai setelah kejadian yang sangat memalukan menimpanya.

Namun, tatkala Sabian mulai melangkah di meninggalkannya, sesuatu dalam diri Bianca mendorongnya untuk bertindak. Dengan gerakan cepat, ia menarik ujung kaos Sabian, membuat laki-laki itu berhenti dan menoleh dengan alis terangkat.

“Apa?”

Bianca menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang, tak karuan. “Lo bisa bantu bawa yang lainnya, nggak?”

Sabian memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Bianca lamat-lamat, seolah mencari tahu apa maksudnya. “Bisa. Apalagi yang mau gue bawa?” tanyanya, nadanya ringan namun penuh perhatian.

Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, Bianca mengulurkan tangannya ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas, terbuka seperti sebuah undangan. Ia tak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi momen ini terasa seperti titik balik, sebuah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.

Sabian menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya tersenyum—senyum lebar yang membuat jantung Bianca berdetak lebih kencang. Dengan gerakan yang impulsif, ia menggenggam tangan Bianca, jari-jarinya menyatu dengan jari-jari Bianca, terasa hangat dan kokoh.

“Secepet itu ya, mood lo membaiknya?” kata Sabian sambil terkekeh, memimpin mereka berdua menuju antrean yang masih mengular.

Bianca menghela napas panjang, mencoba menutupi rasa gugup yang masih tersisa. “Sebenernya gue masih malu banget, dan gak sanggup liat muka lo. Tapi… kayaknya, kebaikan dan perhatian lo nggak boleh gue sia-siain gitu aja,” katanya, penuh keyakinan.

Mendengar itu, sontak membuat Sabian tertawa, suaranya ringan dan hangat, mengisi ruang di antara mereka dengan keakraban yang baru. “Makasih, ya, timbal baliknya.”

Mereka melangkah bersama, tangan mereka tetap bergandengan, mengantre di tengah keramaian kafe. Di tengah suara tawa, aroma kopi, dan dentingan cangkir, Bianca merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Momen memalukan tadi, yang awalnya terasa seperti akhir dunia, kini menjadi titik balik. Sabian bukan hanya laki-laki yang ia sukai—ia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa aman, bahkan di tengah kekacauan.

lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.

Bianca mengemudi mobil sedannya menuju sekolah, tempat Cica belajar. Membelah kepadatan kota di bawah hujan dengan intensitas ringan.

Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul sebelas siang, ketika Bianca memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah. Ia mematikan mesin, memeriksa ponselnya sebentar, lalu menghela napas sambil menatap langit dari balik kaca mobil. Awan-awan tebal masih bergulung di atas sana. Menutupi sinar matahari yang semestinya hangat. Rintik hujan masih setia turun membasahi jalan.

“Untung ada payung,” gumamnya, merasa lega. Cuaca Jakarta memang sulit diprediksi. Selalu sedia payung di dalam mobil, sebelum hujan, adalah langkah terbaik. Bianca meraih payung lipat hitam yang selalu ia bawa ke mana-mana. Pengalaman terjebak hujan tanpa payung, membuatnya belajar untuk selalu siap.

Bianca memutuskan untuk turun dari mobil dan menjemput Cica langsung di area penjemputan siswa, namun tepat sebelum membuka pintu mobil, matanya menangkap sosok yang berjalan dari arah parkiran menuju gerbang sekolah.

Sosok itu tinggi, mengenakan jaket hitam yang tampaknya basah karena hujan. Langkahnya cepat namun santai, seolah rintik air hujan tak terlalu mengganggunya. Bianca langsung mengenali sosok itu—Sabian—meski dari kejauhan. Ia tersenyum kecil, tak menyangka akan bertemu laki-laki itu di tempat ini. Dengan gerakan cepat, Bianca membuka pintu mobil, keluar, dan membuka payungnya lebar-lebar. Hujan terus jatuh ke aspal, mengisi genangan-genangan kecil di trotoar yang baru tercipta beberapa saat lalu.

Bianca berlari kecil menuju Sabian, payung di tangan kanannya sedikit miring karena angin yang cukup kencang. “Sabian!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi air yang jatuh ke atas payung itu.

Sabian menghentikan langkahnya, memutar tubuh, dan matanya bertemu dengan pandangan Bianca. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, meski segera tergantikan oleh senyum tipis yang hangat. “Bianca?” Suaranya rendah, namun cukup jelas di tengah hujan. Rambutnya yang sedikit panjang sudah basah, beberapa helai menempel di dahinya.

Bianca mendekat, mengangkat payung hingga menutupi mereka berdua. “Jemput Alin?” tanyanya, membuka percakapan.

Laki-laki itu tersenyum kecil, tampak sedikit senang, lalu mengangguk. Mereka mulai berjalan beriringan menuju area penjemputan siswa, payung besar itu melindungi mereka dari hujan gerimis di area sekolah, siang ini.

“Kehujanan dari mana?”

“Lampu merah,” sahut Sabian.

“Astaga….”

Jarak di antara mereka terasa begitu dekat. Sesekali lengan mereka saling bersentuhan, tanpa sadar. Bianca dapat mencium aroma samar parfum Sabian yang entah kenapa membuatnya sedikit salah tingkah. Ia mencuri pandang ke arah Sabian, memperhatikan rahangnya yang tampak mengeras, mungkin kedinginan.

“Jaket lo basah banget, Sabian. Nggak ada jas hujan?” katanya setelah beberapa langkah, suaranya penuh perhatian.

“Ada, tapi lupa bawa.”

“Di mobil, ada jaket ayah gue, tuh, kering kok. Pakai aja nanti, daripada lo kedinginan.”

Sabian menggeleng, tersenyum lagi. “Nggak usah. Nanti juga kering.”

Bianca hendak memprotes, namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiga sosok kecil muncul dari arah aula sekolah. Cica, Alin, dan Acat berjalan bersama. Di antara ketiganya, Alin menjadi satu-satunya yang memakai jas hujan.

Cica melambai penuh semangat begitu melihat Bianca, berlari kecil tanpa takut terpeleset oleh sisa air hujan. “Mbak!” serunya, suaranya ceria seperti biasa.

Bianca mendekat, kemudian membungkuk, memeluk adiknya sambil meletakkan payung di samping anak itu.

“Hai, Alin!” sapa Bianca pada Alin yang kini berdiri tak jauh dari Sabian, lalu beralih ke Acat. “Hai, Acat!” timpalnya.

Acat, yang biasanya hanya diam acapkali bertemu Bianca, kali ini tampak lebih bersahabat. Ia tersenyum lebar. Matanya berbinar, seolah menyimpan rahasia. “Kalian abis pakai satu payung buat berdua?” tanyanya tiba-tiba. Terdengar polos tapi penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan itu begitu mendadak hingga membuat Bianca terkejut. Ia melirik Sabian, yang hanya tersenyum kecil sambil mengacak rambut Alin yang basah.

Menyadari bahwa Sabian tampaknya tak berniat menutupi apa yang ada di antara mereka, lantas Bianca berdeham singkat. “Iya, tadi nggak sengaja liat Masabi. Kasian dia, kehujanan di tempat parkir,” jawab Bianca, berusaha terdengar santai meski wajahnya sedikit memanas. Ia tak menyangka Acat akan begitu perhatian pada detail kecil seperti ini.

Tiba-tiba, Cica, Alin, dan Acat saling pandang, lalu tertawa kecil. Tawa mereka penuh makna, seolah mereka tahu sesuatu. Sementara itu, Sabian seperti tengah menikmati momen ini dengan diam seribu bahasa sambil tersenyum culas.

“Kalian ngetawain apa, sihq?” kata Bianca, pura-pura kebingungan dengan nada bicaranya yang main-main.

Sebelum trio kecil di hadapannya itu memberi jawaban, sebuah mobil SUV hitam berhenti di dekat mereka. Jendela mobil itu terbuka, dan sosok seorang perempuan yang tampak lebih tua dari Bianca melambaikan tangan ke mereka. “Bi?” sapanya.

Bianca mendelik. Berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu orang itu sebelumnya, dan bagaimana bisa orang itu mengetahui namanya, namun detik kemudian Sabian mengambil langkah yang mantap di depan Bianca.

“Eh, tumben kamu yang jemput Alin?”

Sabian hanya terkekeh. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia justru memberikan salam pada perempuan itu.

“Ibu!” pekik Acat.

Sesaat setelah mendengar itu, Bianca praktis menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Usut punya usut, ‘Bi’ yang baru saja ia dengar, ditujukan untuk Sabian. Dalam keterdiamannya, Bianca tertawa, ia baru ingat. Sapaan nama mereka sama persis, mungkin ini pertanda bahwa mereka benar-benar ditakdirkan bersama, pikirnya.

Acat berlari menuju mobil ibunya, namun sebelum masuk, ia menoleh ke arah Bianca dan Sabian. “Bu, yang cantik itu pacarnya Masabi. Beneran!” serunya, lalu cepat-cepat masuk ke mobil sebelum Bianca atau Sabian sempat menjawab. Ibunya tampak tertawa, mengangguk ke arah mereka.

“Cocok!” Kata itu lolos begitu saja dan terdengar sangat jelas di telinga Bianca. Membuat jantungnya berdebar seketika.

“Ibu duluan ya! Kalian hati-hati pulangnya!” timpal ibu Acat.

Sabian mengangguk paham, lalu melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan yang sementara. Tak butuh waktu yang lama, kaca mobil itu kembali tertutup, sebelum akhirnya melaju meninggalkan area sekolah.

Hujan mulai reda, hanya menyisakan gerimis halus yang hampir tak terasa. Sabian menoleh ke Alin, yang masih berdiri di sampingnya sambil memainkan ujung mantel hujannya.

“Pulang, Lin?” tanya Sabian, meski ia tahu bahwa sudah semestinya seperti itu.

“Iya, Masabi, ayo kita pulang juga!”

Yang selanjutnya Sabian lakukan adalah meraih tangan Alin “Ayo!” sahutnya, kemudian mengalihkan atensinya pada Bianca. “Makasih ya, payungnya. Gue balik duluan.” Ia mengatakan itu dengan tulus.

“Tunggu dulu,” kata Bianca cepat, menarik lengan Sabian sebelum pria itu berbalik sepenuhnya. Sabian berhenti, menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Jaketnya. Gue serius, Sabian. Takutnya besok lo sakit gara-gara kehujanan,” sambungnya, nadanya tegas tapi penuh perhatian.

Sabian hendak menolak lagi, namun Bianca sudah lebih dulu berjalan menuju mobilnya sembari melipat payung menyelamatkan mereka beberapa saat lalu, mengabaikan Cica dan Alin yang tengah mengsam-mengsem. Kedua anak perempuan itu mengikuti Bianca di belakangnya sambil berbisik dan terkikik.

Di parkiran, Bianca membuka pintu belakang mobilnya, meraih jaket abu-abu milik sang ayah yang terlipat rapi di atas kursi penumpang. Jaket itu besar, tapi kering dan hangat—sempurna untuk menggantikan jaket basah milik Sabian.

“Nih,” kata Bianca, seraya menyerahkan jaket itu ke Sabian. “Jangan nolak lagi, ya. Tenang aja, cuma jaket, ayah gue nggak akan marah, kok.”

Sabian hanya dapat menghela napas pasrah, dan akhirnya menerima jaket itu dengan senyum kecil. “Oke, oke. Makasih, Bi. Besok gue balikin, ya,” katanya, lalu melepas jeket basahnya dan memakai jaket kering milik ayah Bianca itu. “Besok lo yang jemput Cica, lagi?” Sabian memastikan.

Bianca mengangguk mantap. “Iya, gue nganter jemput Cica,” sahutnya.

Meski jaket milik sang ayah sedikit tua, namun entah kenapa Bianca merasa Sabian terlihat baik dengan jaket itu. Bahkan, untuk sesaat, ia tak mampu mengalihkan pandangan.

“Ih, cocok di elo,” katanya tanpa sadar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat menyadari Sabian menatapnya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

Cica dan Alin, yang berdiri tak jauh dari mereka, saling menatap dengan ekspresi tak percaya. “Mbak aku sama Masabi kamu kayaknya deket banget, ya,” bisik Cica ke Alin, cukup keras hingga Bianca dapat mendengarnya. Sementara itu, Alin mengangguk antusias.

Bianca berdeham, berusaha menyembunyikan rasa malu dalam benaknya, lalu menarik lengan Cica dan membuatnya masuk ke dalam mobil secara paksa. Membuat anak itu sedikit meronta.

Ia menoleh ke Sabian, yang kini sudah siap berjalan bersama Alin. “Gue pulang duluan, ya, Masabi.”

Sabian mengangguk, menggandeng tangan Alin ketika Bianca menaiki mobilnya dan duduk di kursi pengemudi.

“Makasih, ya! Bye-bye, Mbak! Bye-bye, Cica!” pekik Alin.

Hujan berhenti, meninggalkan udara segar dan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Di dalam mobil, Bianca menyalakan mesin, tapi sebelum ia menekan pedal gas, Cica yang duduk di kursi sebelahnya tiba-tiba berseru, “Mbak, kamu sadar nggak tadi Masabi senyum-senyum terus, lho, setiap kali kamu ngomong!”

“Masa, sih?” tanya Bianca, berusaha terdengar santai. Namun, di dalam hati, ia tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu di senyum Sabian tadi—sesuatu yang membuat hatinya sedikit berdebar. Momen di bawah payung, tawa anak-anak, dan jaket ayahnya yang kini dipakai Sabian terasa seperti akan sulit dilupakan.

Pagi itu, Jakarta masih diselimuti embun tipis sisa hujan semalam. Matahari mengintip di ufuk timur, menyapa dunia dengan sinar lembutnya. Sabian sudah berdiri di garasi rumahnya, bahkan sejak sepuluh menit yang lalu untuk memanaskan satu-satunya motor miliknya.

Dengan jaket hitam dan helm yang ia kenakan, Sabian melirik jam tangannya. Pukul setengah tujuh pagi. Masih cukup waktu untuk mengantar Alin, adik kecilnya itu ke sekolah. Namun, di balik persiapannya pagi ini ada harapan lain yang menggelitik di hati Sabian; bertemu Bianca yang juga akan mengantar Cica.

Alin keluar dari rumah dengan seragam sekolahnya yang sedikit kebesaran, tas ransel kecil warna merah muda di pundaknya, dan sepatu yang mengilap di kedua kakinya yang mungil. “Masabi, cepetan! Udah siang, nih!” katanya dengan suara cengeng khas anak perempuan, sambil melompat-lompat kecil di tempat.

Mendengar itu, Sabian tersenyum, seraya menaiki motornya. “Iya, Lin, iya! Rame banget, udah kayak Mama aja. Naik pelan-pelan, pegangan sama Masabi, ya.” Ia membantu Alin naik ke jok belakang motor, yang memang agak tinggi untuk tubuh kecilnya, dengan sebelah tangan. Motor Sabian sebetulnya bukanlah kendaraan ideal untuk membawa anak sekecil Alin namun, Sabian akan selalu ekstra hati-hati kalau menyangkut apapun soal adiknya itu.

Alin memeluk pinggang Sabian erat-erat, helm merah mudanya yang kecil sedikit bergoyang saat ia mencoba menyesuaikan posisi. “Ayo, Masabi!” pekik Alin, suaranya penuh semangat.

Sabian terkekeh, menutup visor helmnya, dan memutar gas perlahan. “Siap, Bos!” sahut Sabian, tepat sebelum motor itu meluncur keluar dari halaman rumah menuju jalan utama, memulai perjalanan pagi mereka.

Mobil-mobil berjejer di jalan utama, rupanya macet tak terelakkan. Sepeda motor lain berlomba mencari celah di antara kemacetan. Sabian, dengan keahliannya, berusaha membelah kepadatan. Ia memainkan gas dan kopling dengan cekatan, menyelinap di sela-sela mobil yang bergerak lamban. Angin pagi menerpa wajahnya melalui celah visor, membawa aroma asap kendaraan bercampur udara segar. Sementara itu, di belakang, Alin sesekali bersorak kecil setiap kali motor yang tengah mereka tumpangi itu melaju kencang, atau sekadar berhasil menyalip kendaraan lain.

“Masabi, seru banget kayak naik roket!” teriak Alin, membuat Sabian tersenyum di balik helm. Maklum, anak itu biasa duduk manis di kursi penumpang di dalam mobil, selama Sabian berada di kota lain.

Sepanjang perjalanan, pikiran Sabian tak jarang melayang ke Bianca. Entah, sudah sedalam apa ia menaruh hati kepada perempuan itu, Sabian sendiri tak begitu yakin. Mengantar Alin ke sekolah benar-benar menjadi hal paling impulsif yang Sabian lakukan selama mendekati Bianca. Sabian berharap halaman sekolah Alin dapat menjadi tempat di mana ia bisa mencuri pandang atau—jika beruntung—berbincang sebentar dengan perempuan itu.

Jalanan terasa semakin padat tatkala Sabian dan Alin mendekati perempatan besar. Lampu merah memaksa Sabian menghentikan motor, kaki kirinya menapak aspal untuk menjaga keseimbangan. Di sekitarnya, suara klakson dan deru mesin saling bersahutan tanpa henti. Alin menggeliat di jok belakang, suaranya cemas. “Masabi, kita nggak telat, kan?”

Sabian melirik jam tangannya yang memantulkan bayangan di spion motor. “Masih aman, Lin. Lima menit lagi kita sampai.” Sebetulnya ia sendiri juga cemas, pasalnya sinar matahari sudah semakin hangat. Begitu lampu hijau menyala, ia langsung tancap gas, dan motornya kembali melesat menyusuri celah sempit di antara mobil-mobil yang ada.

Akhirnya, gerbang sekolah Alin terlihat di kejauhan. Sabian memperlambat laju, memasuki area parkir yang sudah ramai dengan orang tua dan siswa kecil yang berlarian. Ia memarkir motor di sudut yang kosong, sebelum akhirnya membantu Alin turun dengan hati-hati, dan melepas helmnya sambil memindai parkiran depan.

Harapannya melambung tinggi. Mobil sedan Bianca yang familier semestinya juga ada di sana. Namun, saat matanya usai menjelajah, hatinya sedikit ciut. Ia sama sekali tak melihat keberadaan mobil itu.

Sabian hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali saat ia membawa Alin menuju titik pengantar murid. Begitu matanya tak sengaja melihat ke arah lapangan, ia dapat menemukan eksistensi Cica—adik Bianca yang tengah melambaikan tangan ke arah Alin.

“Alin! Cepet sini!” seru Cica, dengan wajah cerahnya.

Sabian praktis mengerutkan kening. “Lin, Masabi nggak kesiangan, kan, nganternya?” tanyanya, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang perlahan tapi pasti mulai menelan dirinya.

Alin, yang sibuk merapikan seragamnya, menjawab polos, “Kesiangan! Biasanya Alin sampai di sekolah lebih pagi dari ini tau, Masabi.”

Mendengar pertanyaan itu, pundak Sabian praktis merosot. Semangat anak-anak terkadang merugikan orang tua. Kekecewaan terus menggelayut dalam benak Sabian. Ia sudah membayangkan senyum Bianca, atau setidaknya sapaan singkat yang dapat menjadi bahan bakar semangatnya untuk hari ini namun, gagal berkat Cica yang sepertinya ingin sekali datang lebih cepat, bahkan di saat langit masih gelap.

Alin memeluk Sabian tanpa kata, kemudian memintanya berlutut untuk memberi sebuah kecupan singkat sebagai tanda perpisahan. “Alin masuk dulu, ya, Masabi!” serunya, lalu berlari kecil menuju Cica, meninggalkan Sabian yang masih berdiri di sana, merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. Namun, sebelum Sabian semakin tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara kecil tiba-tiba saja menyapa dengan penuh semangat.

“Masabi!”

Itu Acat, yang tiba-tiba mendekat dengan langkah cepat, seragam sekolahnya rapi dan wajahnya tampak sumringah. Melihat Acat, Sabian tersenyum, agak terkejut lantaran Acat begitu antusias.

“Eh, Cat!” Sabian balas menyapa, sambil memeberikan sebuah usapan lembut pada pucuk kepala anak itu.

Acat tersenyum lebar, lalu kedua matanya berbinar. “Masabi, nanti pulangnya, Acat boleh ikut motor Masabi, nggak?” kata Acat penuh harap.

Mendengar itu, Sabian lantas mengerucutkan bibirnya. “Cat… kayaknya susah. Motor Masabi kan joknya cuma buat dua orang,” kata Sabian, menyesal.

Namun, Acat tak menyerah begitu saja. Dengan wajah polos dan nada penuh semangat, Acat berdiri menggunakan ujung kakinya. “Acat sama Alin, kan, kurus! Kita berdua diitungnya satu orang.” Ia bahkan mengangkat tangannya, seolah menunjukkan betapa “kecil” dirinya.

Sabian nyaris tertawa, namun ia menahan diri. Acat memang punya cara sendiri untuk membujuk, akan tetapi Sabian tahu motornya bukan kendaraan yang aman untuk membawa tiga orang, terlebih lagi, dua di antaranya merupakan anak kecil. “Cat, bukannya Masabi nggak mau, tapi emang nggak bisa. Nggak aman. Nanti aja, kapan-kapan Masabi gantian nganter jemput Acat,” jelas Sabian, nadanya lembut tapi tegas, sengaja menggunakan bahasa sederhana agar Acat dapat mengerti.

Lantas, Acat memasang wajah cemberut. “Tapi, Masabi….”

Sabian menggeleng, tetap pada pendiriannya. Ia mengacak rambut Acat ringan, berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar menolak permintaan Acat namun, tidak bermaksud mengecewakannya.

Mendapat perlakuan itu membuat Acat menghela napas kecil, wajahnya berubah menjadi pasrah. “Yah, ya udah. Tapi, Masabi janji ya, kapan-kapan!” katanya, lalu berlari menuju lapangan untuk bergabung dengan Alin dan Cica. Lagi-lagi menyisakan Sabian seorang diri. Namun, Sabian menghela napas lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.

Di dalam mobil, Bianca duduk terdiam, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak beraturan. Jantungnya berdetak lebih cepat, lantaran merasa gugup dan cemas di saat yang bersamaan. Malam ini, ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang dijodohkan oleh sang bunda—sebuah ide yang sempat membuat Bianca langsung menggelengkan kepala dengan begitu semangat saat kali pertama mendengarnya.

Ia melirik ke arah jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul setengah tujuh malam. Ia masih punya waktu sebelum janji temu di restoran bergaya Prancis yang terletak di lantai sembilan, di sebuah gedung mewah di kawasan Kalibata.

Jalanan di depannya begitu ramai, lampu-lampu mobil dan klakson sesekali memecah keheningan di dalam mobil gadis itu. Sebuah lagu akustik mengalir lembut, tatkala pikirannya melayang ke Sabian—laki-laki yang belakangan ini mengisi hatinya. Kalau boleh berkata jujur, sebetulnya Bianca tidak tahu banyak tentang laki-laki yang akan ia temui malam ini, pasalnya sang bunda kurang begitu memperkenalkan sosok laki-laki itu padanya—namun di dalam hati, Bianca terus-menerus membayangkan sosok Sabian. Mungkin karena ia diam-diam berharap Sabian lah yang akan dijodohkan dengannya, lantaran sedikit ciri-ciri yang sempat ia dengar.

Bianca kembali mengemudi mobilnya—menyeberang ke halaman gedung mewah yang sejak beberapa saat lalu hanya mampu ia amati dari kejauhan. Setelah memarkir mobilnya di basement gedung, Bianca tak membuang waktu sedikitpun. Ia langsung melangkah menuju lift, meski dengan langkah yang sedikit ragu. Gaun midi biru yang ia kenakan terasa pas di tubuhnya, sederhana namun elegan, dengan potongan yang berayun lembut mengikuti pergerakannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, senantiasa bergoyang santai setiap kali ia melangkah. Di cermin di dalam lift, Bianca memeriksa penampilannya sekali lagi. Lipstik merah muda yang tipis, alis yang sudah rapi, dan sedikit perona pipi yang membuat wajahnya terlihat segar—semuanya tampak sempurna—seakan-akan ia memang sengaja datang untuk menerima perjodohan itu. Lift berdenting pelan saat tiba di lantai tempat restoran berada, dan pintunya terbuka, mengantarkan Bianca pada dunia yang sama sekali berbeda.

Aroma bunga segar—mungkin mawar dan lavender—menyapa hidungnya begitu ia melangkah keluar. Restoran itu terasa seperti berlian tersembunyi di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat ke dinding-dinding kaca. Jendela-jendela besar menampilkan pemandangan kota yang berkilau, dengan lampu-lampu gedung yang menari-nari seperti kunang-kunang di malam hari. Suara piano akustik mengalun lembut, menciptakan suasana yang intim dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.

Seorang pelayan berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum profesional, “Selamat malam, Nona. Atas nama siapa?”

“Bianca.”

Pelayan itu praktis mengangguk, “Mari….”

Bianca merasakan sedikit keringat dingin di telapak tangannya. Ia diantar, melewati deretan meja yang dihias dengan taplak putih dan lilin kecil yang menyala lembut di atasnya. Di ujung ruangan, dekat jendela besar, Bianca melihat seorang laki-laki yang duduk membelakangi pintu masuk. Punggungnya tegap, mengenakan kemeja hitam yang lengan bajunya tergulung hingga siku. Rambutnya pendek, sedikit berantakan tapi terlihat disengaja, seperti seseorang yang tahu bagaimana caranya tampil menarik tanpa perlu berusaha terlalu keras.

Jantung Bianca melonjak. Ada sesuatu yang begitu familiar dari sosok itu, dan dalam sekejap, ia merasa semakin yakin. Sabian, pikirnya, kemudian senyum kecil tersungging di bibirnya. Bianca membayangkan wajah Sabian yang sesekali terlihat kaku saat tengah bicara dengannya, dan mata laki-laki itu yang akan menyipit saat ia tertawa karena hal-hal remeh. Lantas, harapan itu membuncah di dada Bianca, membuat langkahnya terasa lebih ringan.

Namun, ketika ia menoleh, senyum Bianca membeku seketika. Kedua matanya membola dan napasnya tercekat. Bukan Sabian. Itu orang lain. Wajah yang tengah dipandangnya itu terasa asing—namun, tidak terlalu. Bianca menyadari kalau laki-laki itu tengah menampilkan sebuah ekspresi wajah yang tak jauh berbeda dengan dirinya.

“Bianca, bukan?” Suaranya dalam, dan kedengarannya seperti tengah terburu-buru untuk memastikan apa yang tengah ia lihat.

“I-iya…,” jawab Bianca.

“Gue Zaid!” serunya, seraya menjabat tangan Bianca.

Bianca membalas jabatan tangan itu, sembari mencoba menutupi keterkejutan yang sempat melintas di wajahnya. “Oh, hai, Id!” katanya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya karena gugup.

Mereka duduk, dan pelayan segera mendekat untuk menyerahkan buku menu. Sesekali Bianca mencuri pandang pada Zaid, mencoba mencerna situasi. Zaid bukan Sabian, tapi ia mengenal siapa laki-laki di hadapannya itu—membuatnya merasa tidak perlu bersikap terlalu kaku. Zaid sendiri juga tampaknya sangat santai, dengan postur yang rileks dan tatapan yang tidak menghakimi.

Dalam diam, emosi Bianca bercampur aduk; ada sedikit kekecewaan karena laki-laki yang dijodohkan dengannya ternyata bukan Sabian, tapi juga merasa lega sekaligus tak percaya bahwa orang yang kini tengah berada di hadapannya adalah Zaid—teman dekat Sabian.

“Jadi gini,” Zaid memulai percakapan, memecah keheningan sambil membuka buku menu dengan gerakan santai, “gue rasa kita berdua ada di sini karena desakan orang tua, ya? Jujur, gue nggak terlalu suka ide perjodohan ini, tapi gue pikir, dateng aja kali—dengan niat baik. Paling nggak, kita bisa nikmatin makan malam enak.” Matanya berbinar dengan sedikit humor, membuat Bianca merasa ketegangannya kian mencair.

Ia tertawa kecil, “Kok, lo bisa tau kalo di sini karena desakan?” kata Bianca, seraya menarik sudut bibirnya. Ia menunduk ke buku menu, mencoba menyembunyikan senyum malunya. Ada rasa hangat di dadanya, seperti ia baru saja menemukan sekutu dalam situasi yang awalnya terasa canggung.

Zaid mengangguk, matanya menyipit penuh tawa. “Tau lah! Lo, kan, lagi deket sama temen gue.” Ia mengedipkan sebelah matanya, dan Bianca praktis tidak bisa menahan tawa.

Kilatan kegembiraan muncul di wajah Bianca, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan favoritnya. Bianca merasa kalau dunianya tiba-tiba menyempit dalam cara yang menyenangkan. “Lo terus terang banget, gue jadi malu!”

“Nggak usah malu, gue udah tau banyak tentang lo dan tentang hubungan kalian.” Zaid bersandar ke belakang, wajahnya penuh tawa. “Bisa dibilang, nggak ada rahasia di antara gue sama Sabian,” timpal Zaid.

Kemudian percakapan mereka mengalir seperti air sungai yang tenang, tanpa hambatan. Mereka membahas mulai dari kejadian menegangkan di malam yang pekat di daerah sekitar kampus mereka beberapa bulan lalu, hingga tentang bagaimana kemajuan hubungan Bianca dan Sabian sejauh ini. Setelah memesan makanan—Bianca memilih pasta carbonara dengan saus krim yang menggoda, sementara Zaid memesan steak dengan saus jamur yang harum—mereka mulai berbincang lebih dalam. Bianca memperhatikan cara Zaid berbicara; penuh semangat tapi tidak mendominasi, dan banyak tawa kecil yang sering muncul di sela-sela ceritanya. Ia mulai merasa bahwa meskipun laki-laki di hadapannya kini bukan Sabian, pertemuan mereka tidak akan sia-sia. Mengenal Zaid mungkin juga sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan, supaya ia dapat mengenal Sabian lebih jauh lagi. Zaid dan Sabian seperti dua kutub magnet yang sangat berbeda namun saling tarik-menarik satu sama lain. Karakter mereka berbanding terbalik, sejauh pengamatan Bianca.

“Tadinya gue pikir yang mau dijodohin sama gue, tuh, dia. Soalnya nyokap gue deskripsiin lo dengan ‘umurnya sedikit lebih tua, dan kampusnya sama’,” kata Bianca.

Mendengar itu, kedua alis Zaid tampak langsung saling bertaut. “Tapi itu general banget, gila… emang orang lagi jatuh cinta, tuh, gitu ya?”

Lantas, Bianca tersenyum malu, hingga wajahnya memanas. Mengakui itu, membuatnya merasa sedikit terbuka, namun untungnya respons Zaid terhadapnya sangat positif.

“Maaf bikin kecewa, ya, karena gue bukan Sabian,” katanya sambil terkekeh. “Tapi jujur, gue udah lama pengen kenal lo secara langsung karena Bian.” Zaid menurunkan suaranya, seolah-olah sedang membocorkan rahasia besar. “Udah lama temen gue itu nggak pernah buka hati, apalagi ngerepons cewek manapun. Tapi semenjak kenal lo, dia berubah.”

Bianca merasa jantungnya melonjak. “Ini serius nggak, sih?” Ia mencoba menyembunyikan senyum lebar yang mulai terbentuk, tapi matanya pasti sudah mengkhianatinya. Ada perasaan bahagia yang membuncah, bercampur dengan sedikit rasa malu karena Zaid bisa melihat reaksinya dengan jelas.

“Iya, serius! Asal lo tau, ya, Sabian itu tipe yang susah suka sama orang, tapi kalau dia udah suka, dia all out. Lo bisa pegang kata-kata gue. Gue tau banget, soalnya gue udah lama kenal dia.” Zaid berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih serius, “Tapi dia pernah punya fase… apa ya, males banget buat deket sama siapa pun. Itu gara-gara cewek dari masa lalunya.”

Bianca mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. “Siapa? Lo keberatan nggak kalo gue minta ceritain tentang orang itu?” Ia bersandar sedikit ke depan, matanya penuh perhatian. Suasana restoran yang hangat, dengan aroma makanan yang baru tiba dan cahaya lilin yang berkedip, membuat momen ini terasa semakin intim.

Zaid mengangguk, mulai menceritakan dengan nada yang lebih dalam, seperti ia sedang membuka lembaran lama. “Jadi, waktu gue sama dia masih SMA, Bian pernah suka sama satu cewek—namanya Ajeng. Bisa dibilang itu first love dia. Mereka deket, hampir kayak pacaran, tapi gitu deh, anak SMA, masih polos. Bian waktu itu bener-bener butuh perhatian, dan Ajeng bisa kasih apa yang dia butuhin. Tapi gue rasa, Ajeng nggak pernah bener-bener mau punya hubungan yang lebih sama Bian. Tau lah, anak SMA emosinya kayak apa? Bian naif, dan bener-bener kayak orang siap jadi tolol dan mati karena cinta. Banyak masalah muncul, bahkan dia sampai berantem sama orang tuanya. Tapi Ajeng… dia tiba-tiba pindah sekolah, dan ninggalin Sabian. Dia cuma ninggalin surat singkat, bilang kalau dia harus ikut keluarganya pindah. Sabian kacau banget waktu itu. Dia masih kecil, jadi patah hatinya bikin dia trauma. Setelah itu, dia kayak menutup diri, nggak mau deket-deket sama cewek.”

Bianca mendengarkan dengan penuh empati, mencoba membayangkan Sabian yang lembut dan hangat itu dalam versi yang patah hati. Ada rasa iba yang muncul di dadanya, bercampur dengan keinginan untuk memahami lebih dalam. “Kasihan banget… gue nggak nyangka dia pernah ngalamin itu,” katanya pelan, matanya menatap lilin di meja yang apinya bergoyang lembut.

“Iya, tapi sekarang dia udah jauh lebih baik. Dan menurut gue, lo punya andil besar bikin dia jadi lebih terbuka lagi.” Zaid tersenyum tulus, dan ada kehangatan di matanya yang membuat Bianca merasa dihargai. “Gue serius, Bianca. Sebagai temennya dari kecil, gue berterimakasih banget sama lo. Walaupun terkadang gue ngerasa muak ngeliat dia yang lagi kasmaran, tapi nggak masalah. Kalau kalian jadian, gue pasti ikut seneng banget.”

Bianca tersipu, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya tersenyum dan mengalihkan perhatian ke makanan di hadapannya yang tak kunjung ia sentuh sejak beberapa saat lalu. Pasta carbonara di depannya sangat menggoda, dengan saus krim yang mengilap dan taburan keju parmesan yang harum. Aroma steak milik Zaid, dengan saus jamur di atasnya, membuat perutnya semakin lapar. Mereka mulai makan sambil melanjutkan obrolan, memperluas topik pembicaraan. Bianca merasa semakin nyaman dengan Zaid, seperti ia sedang mengobrol dengan seorang kakak atau teman lama. Suasana restoran, dengan gemerlap kota di luar jendela dan musik piano yang lembut, membuatnya merasa seperti berada dalam sebuah film romansa—meskipun ini bukan kencan romantis.

Saat makan malam hampir selesai, Zaid menyeka mulutnya dengan selembar tisu dan berkata dengan nada santai, lalu berdeham singkat. “Gue boleh minta nomor lo nggak? Bukan buat apa-apa, cuma gue pikir kita bisa jadi temen. Lo orangnya lumayan asik, dan gue butuh tempat buat ngomongin Bian.” Matanya penuh harap, tapi tidak memaksa, dan Bianca merasa tersentuh oleh kejujurannya.

“Boleh banget!” jawabnya dengan senyum lebar, merasa lega bahwa malam ini membawanya pada sebuah pertemanan baru. “Gue juga ngerasa lo asik. Seneng busa ngobrol sama lo.”

Mereka bertukar nomor telepon, dan Bianca merasa ada ikatan kecil yang terbentuk antara mereka, seperti dua orang yang baru saja berbagi rahasia.

Pertemuan berlangsung cukup lama, dan perpisahan segera datang. Tatkala pelayan datang membawa tagihan, Zaid bersikeras untuk membayar, tapi Bianca menolak dengan tawa kecil. “Kita bagi dua aja, Id. Jangan rebutan, baru juga temenan masa udah ribut,” katanya, matanya berbinar penuh dengan humor. Zaid akhirnya setuju, dan mereka berbagi tagihan dengan adil, tertawa bersama saat menghitung nominalnya.

Saat mereka berjalan keluar dari restoran, udara malam terasa sejuk di kulit Bianca. Gemerlap lampu kota masih terlihat dari koridor kaca gedung, dan suara lalu lintas Jakarta yang samar terdengar dari kejauhan. Zaid menawarkan untuk mengantar Bianca pulang. “Gue bawa motor, kalau lo nggak keberatan naik motor, gue bisa anter,” katanya sambil menunjuk ke arah parkiran, senyumnya penuh kebaikan.

Bianca tersenyum dan menggeleng, merasa hangat dengan tawaran itu. “Makasih, Id, tapi gue bawa mobil. Mungkin lain kali?”

Namun Zaid menggeleng. “Lain kali minta dijemput Bian aja,” katanya penuh semangat. Ia mengedipkan mata, dan Bianca tertawa, merasa wajahnya memanas lagi.

“Thanks ya buat hari ini. Sampai ketemu lagi!” katanya, melambaikan tangan sebelum berjalan menuju lift.

Di dalam mobilnya, Bianca duduk sejenak, memandang lampu-lampu yang menyala temaram pada dashboard di dalam mobil. Perasaannya jauh lebih ringan dari saat ia datang. Malam ini memang tak membawanya pada cinta seperti yang Bunda harapkan, juga tidak membawanya bertemu dengan Sabian, tapi ia mendapatkan seorang teman baru dan, yang lebih penting, sebuah harapan baru tentang Sabian.

Cahaya lembut dari lampu meja di sudut ruangan menyinari dinding berwarna krem, menciptakan bayang-bayang yang menari pelan setiap kali angin malam menggoyangkan tirai tipis di jendela. Di luar, suara jangkrik dan sesekali deru motor yang melintas di kejauhan menambah kesunyian malam. Bianca duduk di tepi ranjangnya, bantal empuk dengan sarung bermotif bunga ia peluk erat di dadanya. Jantungnya masih berdegup tak karuan, seperti drum yang dimainkan dengan ritme yang tak bisa ia kendalikan. Ponselnya tergeletak di sampingnya, layarnya masih menampilkan pesan terakhir dari Sabian, bahkan sejak ia meninggalkan rumah laki-laki itu dengan amat tergesa.

|masabi |lo punya pacar gak? |lo keberatan gak kalo gue |deketin?

Kalimat itu seperti mantra yang terus bergema di kepala Bianca. Ada kegembiraan yang membuncah, seperti gelembung soda yang siap meledak di dalam hatinya. Ada juga ketakutan yang merayap pelan, seperti bayang-bayang di sudut ruangan yang tampak menyeramkan meski tak nyata. Bianca praktis menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal lantaran terus memikirkan Sabian.

“Ya Tuhan… ini harus dibales apa?” gumam Bianca. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar.

Bianca menutup mata sejenak, mencoba mengingat kembali bagaimana Sabian menatapnya beberapa saat lalu. Ada kelembutan di sana, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—seperti ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang ia berikan. Setiap kali Sabian tersenyum, sudut matanya melengkung, membuat Bianca merasa seperti satu-satunya orang yang pernah melihatnya saat tengah seperti itu. Dan, ketika ia mengajukan pertanyaan—pertanyaan yang kini menghantui Bianca—wajahnya tampak sangat serius dan tegas. Hal itu sukses membuat Bianca kehilangan kata-kata. Dunia seakan berhenti berputar. Pipinya panas, jantungnya seperti ingin melompat keluar, dan yang bisa ia lakukan hanyalah mematung, sebelum akhirnya tertawa gugup dan berkata, “Gue kayaknya harus pulang, deh.”

Ia kabur. Ia masih ingat bagaimana ia pamit dengan alasan yang terdengar begitu bodoh bahkan di telinganya sendiri—sesuatu tentang harus pulang karena sudah waktunya bagi Cica untuk tidur. Sabian hanya tersenyum saat ia mengatakan itu, tapi tatapannya seolah-olah ingin menahan Bianca lebih lama.

Udara malam yang dingin menyengat wajah Bianca, tapi tak cukup untuk mendinginkan gejolak di dadanya. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memikirkan apa yang seharusnya ia katakan, apa yang seharusnya ia lakukan. Dan sekarang, di kamarnya yang sepi, penyesalan itu bercampur dengan kegembiraan yang tak bisa ia bendung.

Bianca bangkit dari ranjang, langkahnya pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Cahaya lampu meja memantul di permukaan cermin, membuat wajahnya terlihat lembut tapi sedikit lelah. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan, beberapa helai menempel di pipinya yang masih merona. Ia memandang matanya sendiri, mencoba mencari tahu apa yang Sabian pikirkan malam ini.

“Sebenernya dia serius nggak, sih?” tanyanya pada bayangannya sendiri. Suaranya penuh keraguan tapi juga harap. Bianca menghela napas panjang, lalu kembali ke ranjang, memeluk bantalnya lebih erat seolah-olah itu bisa menahan badai emosi yang mengombang-ambingkan hatinya.

Perasaannya pada Sabian bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sudah berbulan-bulan ia menyimpan rasa itu di sudut terdalam hatinya, seperti bunga yang ia rawat dalam diam. Setiap kali ada kesempatan, ialah yang terus mencari tahu tentang kehidupan Sabian. Berawal dari sepasang sepatu milik laki-laki itu, berkembang menjadi perasaan yang mulanya tak pernah ingin Bianca akui. Sebelum hari ini, baginya, Sabian seperti langit malam; indah, luas, tapi terlalu jauh untuk disentuh. Ia tak pernah berani bermimpi bahwa laki-laki itu akan melihatnya dengan cara yang sama. Tapi malam ini, pertanyaan itu seperti bintang jatuh yang tiba-tiba melintas di hidup Bianca, membuatnya percaya—meski hanya sedikit—bahwa mungkin, hanya mungkin, mimpinya tak sepenuhnya mustahil. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada ketakutan yang terus mengintai. Bagaimana kalau Sabian hanya bercanda? Bagaimana kalau ini hanya momen sesaat yang akan hilang besok pagi? Bianca menatap ponselnya lagi, layarnya kini gelap, tapi pesan itu masih terasa hidup di pikirannya. Ia ingin membalas, ingin menulis sesuatu yang menunjukkan bahwa ia juga merasakan sesuatu, tapi jari-jarinya seperti membeku.

Saat ia tengah tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

“Bianca? Bunda boleh masuk?” Suara sang bunda lembut, seperti biasanya.

“Masuk aja, Bun!” jawabnya, buru-buru duduk tegak dan menyisir rambutnya dengan jari, berusaha terlihat tenang meskipun wajahnya masih menyimpan jejak kepanikan.

Pintu terbuka perlahan, dan Bunda masuk dengan langkah ringan. Cahaya dari luar menyelinap masuk, menciptakan siluet lembut di sekitar sosok bunda yang mengenakan piama bermotif bunga-bunga kecil. Rambutnya yang panjang diikat sederhana, dan senyumnya seperti pelukan yang tak perlu kata-kata. Ia duduk di tepi ranjang Bianca, kasur itu sedikit berderit di bawah beratnya. Bunda memandangnya dengan tatapan penuh kasih.

“Gimana tadi, Bi? Kamu bilang diajak barbekuan sama Tante Ratu, tapi kok pulangnya cepet banget?” tanya Bunda, nadanya penuh rasa ingin tahu tapi juga hati-hati, seperti tak ingin memaksa.

Bianca tersenyum canggung, merasakan wajahnya memanas lagi. “Iya, Bun, soalnya Cica kayak udah keliatan ngantuk,” jawabnya, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya masih berdebar mengingat Sabian. Lagi-lagi ia berbohong menggunakan nama sang adik.

Bianca memainkan ujung bantalnya, berharap Bunda tak akan bertanya lebih jauh. Tapi Bunda sepertinya bisa membaca sesuatu di wajahnya. Wanita itu memiringkan kepala, alisnya sedikit terangkat. “Beneran cuma karena Cica ngantuk?” tanya Bunda memastikan.

Merasa seperti tengah diselidiki Bianca tertawa kecil, tapi tawanya penuh kegugupan. “Iya, Bun! Emangnya apalagi?” Ia buru-buru mengalihkan pandangan. Takut sang bunda akan melihat kebenaran di matanya.

Bunda menarik napas panjang, kemudian dengan nada yang lebih serius, ia melanjutkan, “Bunda terus kepikiran sama chat kamu, waktu kamu masih di Surabaya. Kamu bilang suka sama seseorang, kan? Yang… yang udah punya anak itu. Gimana kelanjutannya?”

Bianca hampir tersedak mendengarnya. Ia ingat tentang pesan itu—pesan yang ia kirimkan sewaktu ia belum benar-benar mengenal seorang Sabian. Ia tak menyangka kalau itu akan membekas dalam ingatan bundanya. “Bunda! Ya ampun, itu cuma bercanda, kok!” serunya, setengah tertawa, setengah panik. “Nggak mungkinlah aku suka sama duda!”

Bunda memandangnya dengan curiga, matanya menyipit seperti detektif yang sedang mencari petunjuk. “Beneran? Kamu kadang-kadang suka out of the box, sih! Bunda, kan, jadi bener-bener kepikiran. Takut kamu salah pilih di usia yang masih semuda ini,” katanya, nadanya lembut tapi penuh kekhawatiran tulus.

Bianca merasa hatinya menghangat mendengar itu. Meski kadang Bunda terlalu ikut campur, ia tahu semua itu karena kasih sayang.

“Bunda tenang aja,” kata Bianca, tersenyum untuk meyakinkan. “Aku udah dewasa, Bun. Aku tahu mana yang bener dan mana yang salah. Lagipula, aku nggak bakal sembarangan milih orang buat jadi pasangan, kok.” Ia meraih tangan Bunda, merasakan kehangatan telapak tangan yang sudah mulai keriput itu. Bunda mengangguk, tapi ada kilatan di matanya—sesuatu yang membuat Bianca merasa ada yang disembunyikan.

“Tapi... sebenernya Bunda ada rencana buat jodohin kamu,” kata Bunda tiba-tiba, nadanya berubah jadi sedikit ceria tapi juga misterius.

Sontak Bianca mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tak biasa. “Hah?? Aku? Dijodohin?!” tanyanya dengan mata yang mendelik.

“Nggak seserius Siti Nurbaya, Bi. Kamu bisa nolak setelah ketemu dan merasa nggak cocok sama orangnya,” jawab Bunda, santai tapi penuh keyakinan.

Bianca membelalakkan mata, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

“Mau, ya?”

“Apaan, sih, Bun? Aku nggak mau! Nggak perlu nunggu ketemu, pokoknya aku nggak mau!” serunya, suaranya melengking karena kaget. Ia tak menyangka Bunda akan membuat rencana sebesar ini tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu.

“Cuma nemuin satu kali, deh!”

“Nggak mau, Bun.”

“Eh, orangnya satu kampus sama kamu, lho. Siapa tau nanti bisa jadi temen kamu waktu balik ke Surabaya. Ganteng, dan dari keluarga baik-baik. Sedikit lebih tua dari kamu, jadi Bunda pikir mungkin kalian akan cocok.” Nada bunda penuh antusiasme, tapi Bianca tak mengatakan apa-apa.

Pikiran Bianca langsung melayang ke Sabian. Satu kampus? Sedikit lebih tua? Apa ini Sabian? Jantungnya kembali berdegup kencang, kali ini membawa harapan yang begitu besar hingga ia hampir tak bisa bernapas.

Tanpa pikir panjang, Bianca yang tadinya ingin protes lebih lanjut, langsung berubah pikiran. “O-oke, Bun. Aku setuju,” katanya cepat, suaranya penuh kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bunda tampak terkejut, alisnya terangkat tinggi. “Loh, kok tiba-tiba setuju? Tadi marah-marah…,” gumamnya.

Mendengar itu Bianca langsung tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Ehm, ya… setelah aku pikir-pikir, nggak ada salahnya cuma kenalan,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan meskipun wajahnya pasti sudah memerah lagi. Bunda hanya mengangguk, seraya tersenyum lega mendengar keputusan Bianca.

“Ya udah, kalau gitu nanti kosongin jadwal, ya, di tanggal lima.”

“Aman!”

Setelah Bianca mengatakan itu, Bunda langsung keluar dari kamarnya. Pintu ditutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan Bianca dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Ia kembali terduduk di ranjang, memandangi ponselnya yang masih diam. Di luar, angin malam bertiup lebih kencang, membuat tirai lagi-lagi bergoyang dan jendela berderit pelan. Tapi di dalam hati Bianca, ada badai yang jauh lebih besar—campuran antara harapan, kegembiraan, dan sedikit ketakutan.

“Emangnya boleh ya semesta se-suportif ini sama kehidupan percintaan gue?” tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum bibirnya melukis lengkungan menjadi sebuah senyum lebar.

Malam itu, Bianca tertidur dengan hati yang penuh—seperti langit malam yang dipenuhi bintang. Di antara mimpi dan kenyataan, Bianca memeluk bantalnya erat, menanti apa yang akan dibawa esok hari.

Sore itu, langit biru membentang luas di atas kepala Bianca. Embusan angin mengusap wajahnya, membawa aroma rumput segar yang bercampur dengan harum samar dari tumbuhan mawar di halaman rumah Sabian. Bianca menggenggam tangan kecil Cica, adiknya, yang melompat-lompat dengan riang di sampingnya, sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi kecil setiap kali menyentuh aspal. Gadis kecil itu bersenandung pelan, matanya berbinar penuh semangat lantaran akan segera bertemu Alin dan Acat, kedua adik Sabian. Melihat betapa senangnya sang adik, Bianca menarik sudut bibirnya. Namun, di balik senyum tipis yang Bianca lemparkan pada Cica itu, ada gejolak halus yang berputar di dadanya—campuran antara perasaan gugup, harapan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan.

Mereka tiba di area depan rumah Sabian, sebuah teras yang begitu luas yang di sisi kanan dan kirinya terdapat beberapa pot tanaman kecil yang daunnya bergoyang apabila tertiup angin. Bianca tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Sabian, laki-laki yang beberapa hari lalu ia temui di sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Pertemuan itu singkat—hanya diisi dengan obrolan ringan, seperti pertemuan sebelumnya —akan tetapi ada sesuatu dalam cara Sabian tersenyum terakhir kali, dengan sudut bibirnya yang sedikit naik dan matanya yang hangat, yang membuat jantung Bianca berdegup tak beraturan. Kini, dengan alasan mengantar Cica, akhirnya ia dapat kembali menemui laki-laki itu, dan setiap langkah terasa seperti membawanya lebih dekat pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Jantung Bianca berdetak lebih kencang saat melihat pintu kayu berukir sederhana di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum jarinya menekan bel dengan hati-hati. Suara denting lembut itu terdengar. Lalu, tak lama kemudian pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Sabian. Untuk sesaat, dunia Bianca seolah berhenti. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, mungkin karena angin atau karena ia baru saja berlari dari dalam rumah, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih nyata, lebih manusiawi. Matanya menyipit sejenak saat cahaya sore menerpa wajahnya, lalu melebar penuh kejutan dan kehangatan saat melihat Bianca. Senyumnya muncul, kecil tapi tulus, dan Bianca merasa wajahnya memanas tanpa bisa ia kendalikan.

“Bianca?” sapa Sabian, suaranya terdengar sedikit serak, seolah ia juga sedang berjuang melawan rasa gugup yang sama. “Lo yang nganter Cica?”

Bianca membalas dengan senyuman yang ia harap tak terlihat terlalu canggung di mata Sabian. “Masabi… iya, nih, soalnya kebetulan di rumah cuma gue yang pengangguran.”

Sabian terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Cica, lalu dengan gerakan yang lembut ia menyentuh kepala anak kecil itu. “Hey, Cica! Alin sama Acat udah nunggu kamu di dalam. Masuk aja!” katanya dengan nada penuh semangat, seolah ingin membuat Cica merasa diterima seketika.

Cica tersenyum lebar—gigi depannya yang baru saja tanggal terlihat menggemaskan—lalu mengangguk cepat. Namun, belum juga Cica sempat melangkah masuk, dari dalam rumah terdengar langkah kecil yang tergesa, Alin muncul dengan rambut panjangnya yang terurai dan berantakan. Gadis kecil itu langsung menyambar tangan Cica dengan penuh semangat, mengajaknya masuk sambil berteriak, “Ayo, kita main di kamar!” Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah pelan, matanya yang besar dan polos hanya mengintip dari balik dinding, seolah ia penasaran tapi terlalu malu untuk menampilkan dirinya di hadapan Bianca kala itu. Menyadari hal itu, Bianca praktis terkikik geli. Sepertinya Acat masih belum bisa melupakan kejadian di hari ulang tahun mereka.

“Ayo masuk,” ujar Sabian sambil menggaruk tengkuknya, nada suaranya ringan namun ada sentuhan malu di dalamnya.

Bianca mengangguk, lalu melangkah masuk saat Sabian mempersilakannya dengan gerakan tangan yang sedikit kikuk. Di dalam, rumah Sabian terasa seperti pelukan hangat dari keluarga yang penuh kehidupan. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga dalam bingkai kayu berbagai ukuran. Samar-samar aroma masakan yang menggoda, datang dari dapur. Bianca baru ingat bahwa malam ini adalah malam tahun baru, dan keluarga Sabian sudah merencanakan perayaan sederhana dengan membakar jagung di halaman rumah mereka. Sabian menjelaskan itu dengan nada santai dan begitu singkat, tapi ada kilau kecil di matanya.

“Duduk,” kata Sabian sambil menunjuk sofa empuk di ruang tamu, suaranya lembut namun ada nada gugup yang terselip di dalamnya. “Gue mau ambil minum.”

Bianca mengangguk dan duduk, matanya berkeliling mengamati ruangan yang terasa begitu hidup. Ada tumpukan buku anak-anak di sudut dekat tangga, beberapa mainan yang tercecer, dan suara tawa samar dari arah kamar tempat Cica, Alin, dan Acat bermain. Sabian kembali tak lama kemudian dengan dua gelas air dingin yang berembun kecil di dinding gelasnya. Lalu, mereka mulai mengobrol. Awalnya, percakapan terasa kaku—kalimat pendek, tawa kecil yang dipaksakan—tapi perlahan, kata-kata mulai mengalir seperti air yang menemukan celah di antara bebatuan.

“Nggak nyangka, ternyata pertemuan kita yang selanjutnya bukan di kafe mana pun, tapi justru di rumah gue,” kata Sabian tiba-tiba, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh perasaan, membuat Bianca tersentak.

Bianca merasa pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat hingga ia khawatir Sabian bisa mendengarnya. Ia menunduk sejenak, jari-jarinya memainkan ujung bajunya, mencari kata-kata yang tak akan membuatnya terdengar terlalu canggung. “Iya, ya? Padahal tadinya udah sempet kepikiran mau ngajak ke kafe di Jakarta Pusat,” jawabnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.

“Hari ini?”

Kemudian, sebuah tawa ringan lolos dari bibir Bianca, “Nggak, nggak! Baru kepikiran aja maksudnya.”

“Ohh....”

“Jauh banget mesti di Jakarta Pusat, kenapa?”

Bianca mengangkat pundaknya. “Ada kafe, kopi sama pastrynya enak banget. Gue pengen ngajak lo buat cobain itu—eh, tapi kayaknya lo udah pernah ke kafe itu, deh....”

“Enggak. Gue di Jakarta sebenernya jarang ngopi. Apalagi sampai harus ke kafe gitu.”

“Masa, sih? Kenapa? Gue pikir seenggaknya lo nongkrong di kafe.”

“Bokap gue kebetulan suka minta ditemenin minum teh herbal aromatik.”

Bianca kontan menutup mulut. “Gue juga! Gue suka teh tubruk! Aroma melati!”

“Nah, itu dia yang disebut serupa tapi tak sama, Bi.” Usai berkata demikian, Sabian mengulum senyumannya, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ada rasa malu-malu yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Untungnya, suasana itu pecah saat Mama Sabian tiba-tiba saja muncul dari dapur. Dengan membawa energi yang hangat dan ramah, ia langsung menyapa Bianca seolah mereka sudah berteman lama.

“Wah, Bianca lagi! Kayaknya hari ini kamu lebih cantik dari yang terakhir kali Tante liat,” ujar Mama Sabian dengan nada ceria, matanya berbinar penuh kehangatan.

Bianca tersenyum kikuk, melirik Sabian yang langsung memalingkan wajahnya dengan pipi memerah. “Iya, Tante. Makasih, lho, Tante lebih cantik aku,” jawabnya, berusaha menutupi rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang.

“Bunda kamu sehat?”

“Sehat Tante, kebetulan lagi keluar sama Ayah.”

“Pacaran, tuh,” balas Mama Sabian, lalu menepuk tangan dengan semangat. “Oh iya, nanti malam kita mau barbekuan di halaman. Ikut ya, Bianca?”

Alih-alih langsung menjawab, Bianca lebih dulu melirik ke arah Sabian. Ia sedikit khawatir kalau kehadirannya di acara perayaan malam tahun baru di rumah ini, hanya akan merusak suasana dan mengganggu kenyamanan Sabian. “Aduh, Tante, jangan ajak aku. Aku makannya banyak!”

“Habisin aja kalo bisa,” timpal Sabian yang seketika membuat mamanya tertawa. Bianca tahu dari sorot matanya—Sabian tengah mencoba meledeknya.

“Iya, ih,” Mama Sabian menyentuh punggung Bianca dengan lembut. “Badan sekecil ini ngaku-ngaku kalo makannya banyak. Mana ada yang percaya? Udah ikut kumpul aja sama kita.”

Lantas, tak ada alasan lain untuk menolak, terlebih lagi Sabian sendiri tampaknya juga menginginkan ia ada di sini. Bianca sengaja membuat gestur malu-malu, seraya menganggukkan kepalanya.

Mama Sabian tertawa renyah, suaranya menggema di ruang tamu, lalu mengajak Bianca ke dapur, melihat-lihat persiapan untuk nanti malam. Tak ada perasaan sungkan yang menyelimuti Bianca tatkala ia berada di dekat Mama sabian. Mulai dari tepukan di pundak hingga usapan lembut di atas kepala, ia terima dengan sukarela. Jujur saja Bianca sudah terlanjur merasa begitu nyaman sejak memulai obrolan.

Sabian yang mengamati dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ada rasa senang sehangat matahari yang menjalar di dadanya. Ia tak menyangka Bianca dapat begitu cepat berbaur dengan mamanya, yang meski dikenal sangat cerewet dan penuh kasih sayang—ia juga seseorang yang sangat pemilih soal lawan bicara. Tawa mereka berdua terdengar seperti melodi sederhana yang mengisi rumah sore itu, dan Sabian merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—sebuah harapan yang kini semakin besar.

Tak lama kemudian, Papa Sabian muncul sembari membawa beberapa kantong plastik di tangannya, aroma mobil dan udara dari luar ikut terbawa masuk. Bianca yang mulanya duduk di sebuah kursi, langsung bangkit, berniat menawarkan bantuan dengan nada yang tulus, meski kenyataannya Sabian lebih dahulu meraih kantong-kantong itu dari tangan papanya seraya berkata, “Ini berat.”

Sabian hanya bisa menggelengkan kepala, baginya Bianca terlalu aktif dan inisiatif. Ia bahkan tak ragu untuk mendekatkan diri pada sang papa. Sebetulnya keinginan Bianca untuk menjadi bagian kecil di hidup Sabian tampak sangat jelas dan nyata. Hal itu bukan seperti yang Sabian inginkan. Ialah yang ingin terlihat tengah mendekati Bianca, bukan malah sebaliknya.


Sore itu mulai merangkak menuju senja, kemudian senja berganti malam. Bianca duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman belakang. Ia mencoba fokus pada suara tawa samar Cica dan adik-adik Sabian yang terdengar dari dalam rumah, tapi pikirannya terus kembali pada Sabian—laki-laki yang kini berdiri di samping papanya, tertawa dan sesekali mengganggu sang papa yang tengah membalik sosis bakar di hadapannya.

Seakan sadar tengah diperhatikan dari kejauhan, Sabian tiba-tiba saja menoleh. Ia melangkah mendekat, langkahnya pelan seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan. Matanya sesekali melirik Bianca, lalu cepat-cepat beralih ke arah lain, seolah takut tertangkap basah sedang menatap terlalu lama.

“Kurang seru, ya?” tanya Sabian, suaranya lembut tapi ada getaran halus yang terselip, mungkin karena gugup.

Bianca menggeleng kecil, dan melempar senyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat saat aroma parfum Sabian tak sengaja memenuhi indera penciumannya.

“Masabi,” ucap Bianca, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Rasa sejuk angin malam menusuk ke dalam tubuhnya, tapi tak cukup untuk meredakan panas yang mulai menjalar di pipinya.

Sabian duduk di kursi yang sama, di sebelahnya. “Kenapa?”

“Selama lo di Surabaya, lo kangen nggak sih sama keluarga lo?” Bianca melempar pandangannya pada kedua orang tua Sabian yang kini tengah saling merangkul satu sama lain. “Maksud gue… keluarga lo ini hangat banget. Lo pernah kangen ada di tengah-tengahnya kayak hari ini, nggak?”

Sabian tak langsung menjawab, ia memandangi langit yang bertabur bintang di atas kepalanya terlebih dahulu, seraya tersenyum. “Sering. Setiap orang yang ninggalin keluarganya dan pergi jauh ke luar rumah pasti ngerasa gitu. Emangnya… lo, enggak?”

“Gue?”

“Hmm!”

“Gue tuh biasanya kelayapan. Gue deket sama Ayah dan Bunda tapi kayaknya nggak sedeket lo sama kedua orang tua lo. Jadi, perasaan kangen itu ada, tapi ya so so…. Setelah ngeliat interaksi lo sama keluarga lo, gue jadi mikir….”

“Mikir apa?” Sabian menatap Bianca.

“Gue kayaknya pengen lebih mendekatkan diri sama keluarga gue, deh, setelah ini.”

Mendengar itu Sabian tertawa kecil, suaranya ringan dan hangat. Sabian mengangguk, matanya kini berani menatap Bianca lebih lama, ada kilau kecil di dalamnya yang sulit ia sembunyikan. “Gue juga jadi mikir…. Kayaknya nanti pengen lebih sering pulang ke Jakarta kalo liburan.”

“Next time, mau nggak pulang pergi bareng?” tanya Bianca begitu spontan, dan seketika wajahnya memerah, seolah ia baru menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Mau, tapi temen gue ngekor—satu orang.”

Bianca merasa jantungnya melonjak, wajahnya terasa panas hingga ia harus menunduk lagi, berpura-pura sibuk menatap ibu jari kakinya. “Nggak apa-apa. Nggak masalah. Gimanapun juga lo sama Zaid, kan, nggak bisa dipisahin,” balasnya, lalu tertawa kecil untuk menyamarkan rasa gugup yang membuncah di dadanya.

Sabian ikut tertawa, suaranya sedikit lebih lega sekarang. Kemudian, ia tampak seperti tengah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Membuat suasana kembali hening untuk beberapa saat.

“Bianca….”

Bianca praktis menoleh hingga rambutnya tak sengaja tersibak, “Ya???”

“HP lo mana?” tanya Sabian.

“HP gue?” Bianca langsung cepat-cepat merogoh saku celananya demi mengeluarkan benda pipih itu. “Nih, ada!” katanya sembari mengangkat ponselnya di depan wajah Sabian.

Kemudian, Sabian seolah memerintahkan Bianca untuk memeriksa pesan masuk pada ponselnya hanya dengan menggunakan gerakan dagunya yang terangkat.

“Kenap—????”

Seketika tak ada kata yang dapat Bianca katakan tatkala netranya menatap layar ponselnya, membaca pesan yang pengirimnya adalah laki-laki di sebelahnya.

#Sebuah Titik Paling Awal di Antara Kita

Sore itu, langit biru membentang luas di atas kepala Bianca. Embusan angin mengusap wajahnya, membawa aroma rumput segar yang bercampur dengan harum samar dari tumbuhan mawar di halaman rumah Sabian. Bianca menggenggam tangan kecil Cica, adiknya, yang melompat-lompat dengan riang di sampingnya, sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi kecil setiap kali menyentuh aspal. Gadis kecil itu bersenandung pelan, matanya berbinar penuh semangat lantaran akan segera bertemu Alin dan Acat, kedua adik Sabian. Melihat betapa senangnya sang adik, Bianca menarik sudut bibirnya. Namun, di balik senyum tipis yang Bianca lemparkan pada Cica itu, ada gejolak halus yang berputar di dadanya—campuran antara perasaan gugup, harapan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan.

Mereka tiba di area depan rumah Sabian, sebuah teras yang begitu luas yang di sisi kanan dan kirinya terdapat beberapa pot tanaman kecil yang daunnya bergoyang apabila tertiup angin. Bianca tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Sabian, laki-laki yang beberapa hari lalu ia temui di sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Pertemuan itu singkat—hanya diisi dengan obrolan ringan, seperti pertemuan sebelumnya —akan tetapi ada sesuatu dalam cara Sabian tersenyum terakhir kali, dengan sudut bibirnya yang sedikit naik dan matanya yang hangat, yang membuat jantung Bianca berdegup tak beraturan. Kini, dengan alasan mengantar Cica, akhirnya ia dapat kembali menemui laki-laki itu, dan setiap langkah terasa seperti membawanya lebih dekat pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Jantung Bianca berdetak lebih kencang saat melihat pintu kayu berukir sederhana di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum jarinya menekan bel dengan hati-hati. Suara denting lembut itu terdengar. Lalu, tak lama kemudian pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Sabian. Untuk sesaat, dunia Bianca seolah berhenti. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, mungkin karena angin atau karena ia baru saja berlari dari dalam rumah, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih nyata, lebih manusiawi. Matanya menyipit sejenak saat cahaya sore menerpa wajahnya, lalu melebar penuh kejutan dan kehangatan saat melihat Bianca. Senyumnya muncul, kecil tapi tulus, dan Bianca merasa wajahnya memanas tanpa bisa ia kendalikan.

“Bianca?” sapa Sabian, suaranya terdengar sedikit serak, seolah ia juga sedang berjuang melawan rasa gugup yang sama. “Lo yang nganter Cica?”

Bianca membalas dengan senyuman yang ia harap tak terlihat terlalu canggung di mata Sabian. “Masabi… iya, nih, soalnya kebetulan di rumah cuma gue yang pengangguran.”

Sabian terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Cica, lalu dengan gerakan yang lembut ia menyentuh kepala anak kecil itu. “Hey, Cica! Alin sama Acat udah nunggu kamu di dalam. Masuk aja!” katanya dengan nada penuh semangat, seolah ingin membuat Cica merasa diterima seketika.

Cica tersenyum lebar—gigi depannya yang baru saja tanggal terlihat menggemaskan—lalu mengangguk cepat. Namun, belum juga Cica sempat melangkah masuk, dari dalam rumah terdengar langkah kecil yang tergesa, Alin muncul dengan rambut panjangnya yang terurai dan berantakan. Gadis kecil itu langsung menyambar tangan Cica dengan penuh semangat, mengajaknya masuk sambil berteriak, “Ayo, kita main di kamar!” Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah pelan, matanya yang besar dan polos hanya mengintip dari balik dinding, seolah ia penasaran tapi terlalu malu untuk menampilkan dirinya di hadapan Bianca kala itu. Menyadari hal itu, Bianca praktis terkikik geli. Sepertinya Acat masih belum bisa melupakan kejadian di hari ulang tahun mereka.

“Ayo masuk,” ujar Sabian sambil menggaruk tengkuknya, nada suaranya ringan namun ada sentuhan malu di dalamnya.

Bianca mengangguk, lalu melangkah masuk saat Sabian mempersilakannya dengan gerakan tangan yang sedikit kikuk. Di dalam, rumah Sabian terasa seperti pelukan hangat dari keluarga yang penuh kehidupan. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga dalam bingkai kayu berbagai ukuran. Samar-samar aroma masakan yang menggoda, datang dari dapur. Bianca baru ingat bahwa malam ini adalah malam tahun baru, dan keluarga Sabian sudah merencanakan perayaan sederhana dengan membakar jagung di halaman rumah mereka. Sabian menjelaskan itu dengan nada santai dan begitu singkat, tapi ada kilau kecil di matanya.

“Duduk,” kata Sabian sambil menunjuk sofa empuk di ruang tamu, suaranya lembut namun ada nada gugup yang terselip di dalamnya. “Gue mau ambil minum.”

Bianca mengangguk dan duduk, matanya berkeliling mengamati ruangan yang terasa begitu hidup. Ada tumpukan buku anak-anak di sudut dekat tangga, beberapa mainan yang tercecer, dan suara tawa samar dari arah kamar tempat Cica, Alin, dan Acat bermain. Sabian kembali tak lama kemudian dengan dua gelas air dingin yang berembun kecil di dinding gelasnya. Lalu, mereka mulai mengobrol. Awalnya, percakapan terasa kaku—kalimat pendek, tawa kecil yang dipaksakan—tapi perlahan, kata-kata mulai mengalir seperti air yang menemukan celah di antara bebatuan.

“Nggak nyangka, ternyata pertemuan kita yang selanjutnya bukan di kafe mana pun, tapi justru di rumah gue,” kata Sabian tiba-tiba, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh perasaan, membuat Bianca tersentak.

Bianca merasa pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat hingga ia khawatir Sabian bisa mendengarnya. Ia menunduk sejenak, jari-jarinya memainkan ujung bajunya, mencari kata-kata yang tak akan membuatnya terdengar terlalu canggung. “Iya, ya? Padahal tadinya udah sempet kepikiran mau ngajak ke kafe di Jakarta Pusat,” jawabnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.

“Hari ini?”

Kemudian, sebuah tawa ringan lolos dari bibir Bianca, “Nggak, nggak! Baru kepikiran aja maksudnya.”

“Ohh....”

“Jauh banget mesti di Jakarta Pusat, kenapa?”

Bianca mengangkat pundaknya. “Ada kafe, kopi sama pastrynya enak banget. Gue pengen ngajak lo buat cobain itu—eh, tapi kayaknya lo udah pernah ke kafe itu, deh....”

“Enggak. Gue di Jakarta sebenernya jarang ngopi. Apalagi sampai harus ke kafe gitu.”

“Masa, sih? Kenapa? Gue pikir seenggaknya lo nongkrong di kafe.”

“Bokap gue kebetulan suka minta ditemenin minum teh herbal aromatik.”

Bianca kontan menutup mulut. “Gue juga! Gue suka teh tubruk! Aroma melati!”

“Nah, itu dia yang disebut serupa tapi tak sama, Bi.” Usai berkata demikian, Sabian mengulum senyumannya, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ada rasa malu-malu yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Untungnya, suasana itu pecah saat Mama Sabian tiba-tiba saja muncul dari dapur. Dengan membawa energi yang hangat dan ramah, ia langsung menyapa Bianca seolah mereka sudah berteman lama.

“Wah, Bianca lagi! Kayaknya hari ini kamu lebih cantik dari yang terakhir kali Tante liat,” ujar Mama Sabian dengan nada ceria, matanya berbinar penuh kehangatan.

Bianca tersenyum kikuk, melirik Sabian yang langsung memalingkan wajahnya dengan pipi memerah. “Iya, Tante. Makasih, lho, Tante lebih cantik aku,” jawabnya, berusaha menutupi rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang.

“Bunda kamu sehat?”

“Sehat Tante, kebetulan lagi keluar sama Ayah.”

“Pacaran, tuh,” balas Mama Sabian, lalu menepuk tangan dengan semangat. “Oh iya, nanti malam kita mau barbekuan di halaman. Ikut ya, Bianca?”

Alih-alih langsung menjawab, Bianca lebih dulu melirik ke arah Sabian. Ia sedikit khawatir kalau kehadirannya di acara perayaan malam tahun baru di rumah ini, hanya akan merusak suasana dan mengganggu kenyamanan Sabian. “Aduh, Tante, jangan ajak aku. Aku makannya banyak!”

“Habisin aja kalo bisa,” timpal Sabian yang seketika membuat mamanya tertawa. Bianca tahu dari sorot matanya—Sabian tengah mencoba meledeknya.

“Iya, ih,” Mama Sabian menyentuh punggung Bianca dengan lembut. “Badan sekecil ini ngaku-ngaku kalo makannya banyak. Mana ada yang percaya? Udah ikut kumpul aja sama kita.”

Lantas, tak ada alasan lain untuk menolak, terlebih lagi Sabian sendiri tampaknya juga menginginkan ia ada di sini. Bianca sengaja membuat gestur malu-malu, seraya menganggukkan kepalanya.

Mama Sabian tertawa renyah, suaranya menggema di ruang tamu, lalu mengajak Bianca ke dapur, melihat-lihat persiapan untuk nanti malam. Tak ada perasaan sungkan yang menyelimuti Bianca tatkala ia berada di dekat Mama sabian. Mulai dari tepukan di pundak hingga usapan lembut di atas kepala, ia terima dengan sukarela. Jujur saja Bianca sudah terlanjur merasa begitu nyaman sejak memulai obrolan.

Sabian yang mengamati dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ada rasa senang sehangat matahari yang menjalar di dadanya. Ia tak menyangka Bianca dapat begitu cepat berbaur dengan mamanya, yang meski dikenal sangat cerewet dan penuh kasih sayang—ia juga seseorang yang sangat pemilih soal lawan bicara. Tawa mereka berdua terdengar seperti melodi sederhana yang mengisi rumah sore itu, dan Sabian merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—sebuah harapan yang kini semakin besar.

Tak lama kemudian, Papa Sabian muncul sembari membawa beberapa kantong plastik di tangannya, aroma mobil dan udara dari luar ikut terbawa masuk. Bianca yang mulanya duduk di sebuah kursi, langsung bangkit, berniat menawarkan bantuan dengan nada yang tulus, meski kenyataannya Sabian lebih dahulu meraih kantong-kantong itu dari tangan papanya seraya berkata, “Ini berat.”

Sabian hanya bisa menggelengkan kepala, baginya Bianca terlalu aktif dan inisiatif. Ia bahkan tak ragu untuk mendekatkan diri pada sang papa. Sebetulnya keinginan Bianca untuk menjadi bagian kecil di hidup Sabian tampak sangat jelas dan nyata. Hal itu bukan seperti yang Sabian inginkan. Ialah yang ingin terlihat tengah mendekati Bianca, bukan malah sebaliknya.


Sore itu mulai merangkak menuju senja, kemudian senja berganti malam. Bianca duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman belakang. Ia mencoba fokus pada suara tawa samar Cica dan adik-adik Sabian yang terdengar dari dalam rumah, tapi pikirannya terus kembali pada Sabian—laki-laki yang kini berdiri di samping papanya, tertawa dan sesekali mengganggu sang papa yang tengah membalik sosis bakar di hadapannya.

Seakan sadar tengah diperhatikan dari kejauhan, Sabian tiba-tiba saja menoleh. Ia melangkah mendekat, langkahnya pelan seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan. Matanya sesekali melirik Bianca, lalu cepat-cepat beralih ke arah lain, seolah takut tertangkap basah sedang menatap terlalu lama.

“Kurang seru, ya?” tanya Sabian, suaranya lembut tapi ada getaran halus yang terselip, mungkin karena gugup.

Bianca menggeleng kecil, dan melempar senyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat saat aroma parfum Sabian tak sengaja memenuhi indera penciumannya.

“Masabi,” ucap Bianca, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Rasa sejuk angin malam menusuk ke dalam tubuhnya, tapi tak cukup untuk meredakan panas yang mulai menjalar di pipinya.

Sabian duduk di kursi yang sama, di sebelahnya. “Kenapa?”

“Selama lo di Surabaya, lo kangen nggak sih sama keluarga lo?” Bianca melempar pandangannya pada kedua orang tua Sabian yang kini tengah saling merangkul satu sama lain. “Maksud gue… keluarga lo ini hangat banget. Lo pernah kangen ada di tengah-tengahnya kayak hari ini, nggak?”

Sabian tak langsung menjawab, ia memandangi langit yang bertabur bintang di atas kepalanya terlebih dahulu, seraya tersenyum. “Sering. Setiap orang yang ninggalin keluarganya dan pergi jauh ke luar rumah pasti ngerasa gitu. Emangnya… lo, enggak?”

“Gue?”

“Hmm!”

“Gue tuh biasanya kelayapan. Gue deket sama Ayah dan Bunda tapi kayaknya nggak sedeket lo sama kedua orang tua lo. Jadi, perasaan kangen itu ada, tapi ya so so…. Setelah ngeliat interaksi lo sama keluarga lo, gue jadi mikir….”

“Mikir apa?” Sabian menatap Bianca.

“Gue kayaknya pengen lebih mendekatkan diri sama keluarga gue, deh, setelah ini.”

Mendengar itu Sabian tertawa kecil, suaranya ringan dan hangat. Sabian mengangguk, matanya kini berani menatap Bianca lebih lama, ada kilau kecil di dalamnya yang sulit ia sembunyikan. “Gue juga jadi mikir…. Kayaknya nanti pengen lebih sering pulang ke Jakarta kalo liburan.”

“Next time, mau nggak pulang pergi bareng?” tanya Bianca begitu spontan, dan seketika wajahnya memerah, seolah ia baru menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Mau, tapi temen gue ngekor—satu orang.”

Bianca merasa jantungnya melonjak, wajahnya terasa panas hingga ia harus menunduk lagi, berpura-pura sibuk menatap ibu jari kakinya. “Nggak apa-apa. Nggak masalah. Gimanapun juga lo sama Zaid, kan, nggak bisa dipisahin,” balasnya, lalu tertawa kecil untuk menyamarkan rasa gugup yang membuncah di dadanya.

Sabian ikut tertawa, suaranya sedikit lebih lega sekarang. Kemudian, ia tampak seperti tengah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Membuat suasana kembali hening untuk beberapa saat.

“Bianca….”

Bianca praktis menoleh hingga rambutnya tak sengaja tersibak, “Ya???”

“HP lo mana?” tanya Sabian.

“HP gue?” Bianca langsung cepat-cepat merogoh saku celananya demi mengeluarkan benda pipih itu. “Nih, ada!” katanya sembari mengangkat ponselnya di depan wajah Sabian.

Kemudian, Sabian seolah memerintahkan Bianca untuk memeriksa pesan masuk pada ponselnya hanya dengan menggunakan gerakan dagunya yang terangkat.

“Kenap—????”

Seketika tak ada kata yang dapat Bianca katakan tatkala netranya menatap layar ponselnya, membaca pesan yang pengirimnya adalah laki-laki di sebelahnya.

Bianca turun dari motor dengan cepat, kemudian langsung berlari menuju halaman luas sebuah kafe—tempat ia akan bertemu lagi dengan Sabian malam ini. Ia bahkan lupa mengatakan terimakasih kepada sang pengemudi ojek online yang ia sewa. Sepatu kets putih yang ia kenakan sedikit berdecit, setiap kali ia melangkah. Di tangan kanannya, Bianca membawa sebuah tas jinjing berwarna cokelat tua, yang di dalamnya tersimpan sepasang sepatu milik Sabian—alasan utama ia mengajak laki-laki itu bertemu lagi hari ini.

Angin sore sepoi-sepoi, meniup permukaan kulit, hingga rambut Bianca. Membawa beberapa helai dari rambutnya hinggap di atas wajah. Bianca praktis menyibak rambut panjangnya menggunakan jemari tangan. Ia kemudian tersenyum tatkala melihat pintu masuk kafe, di hadapannya. Dari rumah, Bianca sudah merencanakan untuk datang lebih awal, seperti saat pertemuan pertama mereka beberapa hari lalu. Pikirnya, akan ada rasa aman tersendiri kalau ia dapat sampai lebih dulu—memilih meja, mengatur napas, dan menyiapkan diri sebelum Sabian muncul. Ia ingin semuanya terasa terkontrol, setidaknya di menit-menit awal.

Bianca sudah membayangkan kalau Sabian akan datang tepat waktu atau mungkin sedikit terlambat—seperti terakhir kali, dan memberinya ruang untuk duduk, sekaligus memesan minuman terlebih dahulu.

Pintu kaca kafe itu sedikit berderit tatkala Bianca mendorongnya. Kemudian bunyi lonceng kecil di atas pintu, berdenting pelan. Wangi biji kopi panggang bercampur dengan aroma kayu dari furnitur sederhana yang mengisi ruangan, langsung menyambutnya. Itu bukan kafe yang besar, tapi hangat. Dindingnya tak begitu padat dengan hiasan, jendela-jendelanya lebar menghadap trotoar, dan lampu-lampu gantung kuning tua bergoyang pelan di langit-langitnya.

Bianca menarik napas dalam, matanya menyapu ruangan mencari meja kosong—tapi langkahnya mendadak terhenti di ambang pintu. Tuhan, seperti biasa, punya cara sendiri untuk mengejutkannya.

Di sudut ruangan dekat jendela, Sabian sudah ada di sana. Laki-laki itu duduk dengan santai, dan satu dari kedua tangannya memegang segelas thai tea dingin yang permukaannya sudah berkondensasi hingga menyebabkan tetesan air kecil mengalir ke bawah gelas dan membasahi meja kayu di bawahnya. Cahaya lampu kafe memantul lembut di wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas dan senyum tipis yang muncul begitu ia menyadari kehadiran Bianca.

Ketika mata mereka bertemu, Sabian praktis mengangkat tangan kirinya sedikit, menyapa dengan gerakan yang ramah.

Laki-laki itu mengenakan kemeja warna biru lembut dengan lengan yang digulung hingga siku, dipadukan dengan celana jeans hitam yang sedikit sobek di bagian lutut. Gaya kasualnya selaras dengan suasana kafe yang santai namun penuh karakter.

Bianca melangkah mendekat. Tangannya memegang tas jinjing yang ia bawa dengan lebih erat, seolah itu menjadi sebuah tameng dari rasa canggung yang tiba-tiba saja muncul, menyergap dirinya

“Udah di sini dari tadi?” tanya Bianca, sebagai sapaan awal.

“Enggak, baru lima menit. Kebetulan tadi di rumah nggak ada kerjaan,” jawab Sabian sambil tertawa kecil. Suaranya hangat, ada kelembutan di dalamnya yang membuat Bianca merasa sedikit lebih rileks.

Namun, dalam diam Bianca sadar kalau laki-laki itu berbohong. Lima menit terlalu singkat untuk seorang barista menyajikan minuman. Terlebih lagi, minuman milik Sabian tampaknya sudah berkurang cukup banyak.

“Duduk dulu.” Perkataan Sabian seketika memecah keheningan Bianca.

Ia tersenyum, lalu menarik kursi kayu di hadapan Sabian. Saat ia kebingungan untuk meletakkan tas bawaannya, Sabian tiba-tiba saja bergerak cepat. Dengan gerakan yang begitu alami, ia meraih tas itu dari tangan Bianca dan meletakkannya di atas meja, tepat di samping gelas minumannya.

Bianca tersentak kecil, tak menyangka Sabian akan melakukan itu. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia buru-buru mendudukkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan kekikukan yang ia rasakan.“Makasih ya,” ucapnya cepat, sedikit tergagap. Jauh di dalam benaknya, Bianca bertanya-tanya; apakah Sabian sekadar bersemangat karena sudah mengetahui bahwa di dalam tas itu terdapat sepatunya, atau ada niat lain di balik kepekaan dan gerakannya? Mata Bianca melirik ke tas jinjing itu, lalu ke wajah Sabian yang kini tersenyum tipis kepadanya—secara bergantian.

“Apa? Kenapa?” Sabian memiringkan kepalanya.

Bianca menggeleng. Pertanyaan dalam benaknya itu sengaja ia simpan rapat-rapat.

“Oh, ya, minum lo belum ada.” Sabian beranjak, “mau minum apa? Biar gue pesenin.”

“Gue pesen sendiri aja, Sab,” jawab Bianca, cepat, tak ingin merepotkan Sabian.

Namun, Sabian tampaknya tak ingin mengalah.“Biar gue, lo duduk aja. Mau minum apa?” tanyanya, sekali lagi.

Lantas, Bianca mendengkus, pasrah. “Iced matcha latte...”

Detik kemudian Sabian melenggang pergi, memesankan minuman untuk Bianca. Namun kepergian hanya sebentar, sebelum akhirnya ia kembali ke meja mereka, sembari mengantungi dompet.

Tatkala Bianca melihat Sabian yang tengah berjalan mendekat, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu dibandingkan saat pertemuan pertama mereka di kafe ini. Sebelumnya, Sabian terkesan lebih pendiam, sedikit kaku, dan begitu dingin seakan tak berniat membuka diri. Tapi hari ini, ia terlihat lebih banyak bicara, lebih santai, dan ada kehangatan yang tak Bianca rasakan sebelumnya. Mungkin karena mereka sudah sempat bertemu beberapa kali, atau mungkin karena Sabian sedang dalam keadaan hati yang baik. Apa pun itu, Bianca merasa nyaman—lebih nyaman dari yang ia prediksikan.

“Kita satu kampus tapi gak pernah ketemu di kampus, sebelumnya,” kata Sabian, memulai obrolan dengan nada ringan. Ia meletakkan gelas thai tea-nya di meja, lalu bersandar sedikit ke kursi, tangannya terlipat santai di dada.

“Iya, lah! Gue, kan, di fakultas seni,” jawab Bianca. “Tapi kalo lo mau lebih sering ketemu sama gue setelah ini, bisa aja sih...,” timpalnya sambil tersenyum.

“Bisa, ya?” tanya Sabian, memastikan.

“Bisa! Nanti kapan-kapan gue berkeliaran, deh, di fakultas lo.”

Detik kemudian, Sabian langsung menggeleng sambil tersenyum lebar. “Jangan... banyak cowok,” kata Sabian, menginterupsi.

Seketika, Bianca tersipu, tak menyangka Sabian akan mengatakan itu secara spontan. Pipinya terasa hangat, dan ia buru-buru menundukkan kepala, pura-pura sibuk dengan layar ponselnya.

“Permisi, satu iced matcha latte-nya,” kata seorang pelayan yang baru saja datang membawakan pesanan Bianca ke meja mereka. Sabian mewakili Bianca untuk tersenyum singkat, seraya mengatakan terimakasih.

“Bianca... minuman lo.”

Bianca praktis mengangkat kepalanya, begitu Sabian menyodorkan segelas minuman matcha itu ke kepadanya. “Makasih....” Ia tersenyum kikuk. “Ngomong-ngomong, lucu ya. Kita seumuran, dan adik-adik kita juga sama,” katanya, berusaha mengangkat topik pembicaraan lain—yang lebih menarik, kemudian meneguk minumannya dengan santai.

Mendengar itu, Sabian mengangkat alis, lalu terkekeh. “Sebenernya nggak bener-bener gitu....” Ada sesuatu di matanya yang membuat Bianca merasa kalau ia akan mengatakan sesuatu yang tak terduga.

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Ia meletakkan gelas minumannya, sebagai tanda tanya.

Sabian menghela napas, lalu mulai bercerita dengan nada yang lebih serius tapi tetap santai. “Kita nggak seumuran, kayaknya gue lebih tua dua tahun dari lo—juga dari Sudirman. Sebelum ngerantau dan kuliah di Surabaya, gue udah sempet kuliah di sini.”

“Serius nggak, sih?”

Anggukan kepala dari Sabian, yang kemudian meyakinkan Bianca. “Gue tadinya ambil manajemen bisnis sesuai permintaan orang tua. Katanya, biar gue bisa nerusin bokap dan punya masa depan yang ‘pasti’. Tapi pas udah di tengah jalan, gue mutusin buat nyerah. Nggak ada minat dan bakat sama sekali. Setiap hari, rasanya kayak disuruh nyanyi lagu yang gue benci.”

Bianca mendengarkan dengan tatapan serius. Ia dapat membayangkan betapa frustrasinya Sabian saat itu, terjebak dalam sesuatu yang tak ia sukai, untuk waktu yang cukup lama. “Terus?” tanya ia, penasaran.

“Terus gue ajak diskusi keluarga dan ngomong tentang itu, di sana. Awalnya mereka kecewa, apalagi bokap. Awalnya dia bilang, ‘udah tinggal sedikit lagi, kenapa nyerah?’. Tapi, gue jawab terus sampai dia sadar dan ngerasa bersalah, soalnya dia emang agak maksa di awal. Akhirnya bokap kasih ijin buat gue pindah jurusan. Tapi gue malah pindah provinsi sekalian,” Sabian tertawa kecil, seolah mengenang betapa impulsif keputusannya waktu itu.

Bianca ikut tertawa, begitu mendengar kalimat terakhir Sabian. Tangannya refleks menutup mulut. “Nggak expect!”

“Gue pikir kalo tinggal agak jauh, gue bisa lebih mandiri dan dewasa. Soalnya kalo di rumah—”

“Lo dimanjain, ya?”

“Iya,” jawab Sabian sambil mengangguk, ada kebanggaan kecil di matanya. “Keliatan banget, ya?”

Bianca langsung menggeleng. “Di elo nggak keliatan. Tapi, kan, gue pernah liat keluarga lo secara langsung. Jadi, gue bisa mikir gitu,” katanya. Takut Sabian salah paham, dan merasa rendah diri. “Terus, lo kenal sama Zaid itu di mana?”

“Zaid?” Sabian tampak bingung. “Tau Zaid dari siapa?”

“Dari story Instagram lo, kan isinya selalu hangout sama dia. Lo pulang ke sini juga bareng dia, kan? Terus Sudirman pernah bilang kalo, temen kost barunya itu 'dua orang yang nggak bisa dipisahin'. Dia juga ada di malem 'itu' kan? Dia yang akhirnya nolongin kita berdua.” Bianca menyebutkan semua sumber yang membuatnya mengenal seorang Zaid.

Usai mendengar jawaban itu, alih-alih langsung menjawab, Sabuan justru tertawa.

“Kenapa, kok, tiba-tiba ketawa?”

“Gapapa, lucu aja. Lo bisa inget semuanya sedetail itu, dan ngomong tanpa terbata.” Kemudian, Sabian menghela napas panjang, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bianca. “Gue kenal Zaid itu dari lahir. Orang tua kita temenan. Kita TK, SD, SMP, SMA selalu bareng. Terus pisah karena dia masuk univ swasta. Tapi, gue sama Zaid tuh kayak… entah, kenapa... kita selalu ada di perahu yang sama. Waktu gue bilang kalo gue mau keluar dari univ lama, ternyata dia juga punya pikiran yang sama. Kita ketemu, ngobrol, dan akhirnya mutusin buat ngerantau ke Surabaya. Pikir kita dulu itu... biar bebas, tenang, dan bisa jadi mandiri,” Sabian tersenyum lebar, ada kehangatan di nada suaranya saat menyebut nama Zaid.

Mengetahui hal itu, Bianca sontak memberikan Sabian tepukan tangan yang dramatis. Membuat laki-laki itu sedikit kaget, dan menarik perhatian pengunjung kafe lain. “Wow, keren banget pertemanan lo sama Zaid!” ujar Bianca.

Lalu Sabian tertawa, terbawa suasana. “Iya, ya? Katanya, di masa tua nanti, dia mau jadi tetangga gue.”

Dari sana, obrolan mereka mengalir lebih dalam, dan lebih personal. Tak jarang Sabian melempar lelucon kecil yang membuat Bianca tak bisa menahan tawa. Ada satu momen ketika Sabian menceritakan kalau ia dan Zaid pernah bernyanyi di depan kelas—sewaktu SMA—menggunakan suara sengau lantaran kalah taruhan, dan Bianca sampai terpingkal dibuatnya.

Malam semakin larut tanpa mereka sadari. Cahaya lampu kafe seakan lebih terang dibandingkan langit di luar yang kini hanya diterangi lampu jalan dan sorot kendaraan yang tengah berlalu-lalang. Bianca melirik jam tangannya—sudah hampir pukul delapan. Ia tahu, ia harus pulang, meski sebenarnya ia masih betah duduk berlama-lama di sana, mendengarkan Sabian bercerita tentang kehidupan barunya selama di Surabaya, tentang kedua adiknya yang selalu menanyakan kabarnya—sampai terkadang tak nafsu makan jikalau ia tak kunjung menelepon, dan tentang betapa ia akhirnya menemukan sesuatu yang ia sukai.

“Gue pulang dulu ya,” ucap Bianca sambil bangkit dari kursi. Ia meraih tas berisi sepatu di atas meja, lalu menyerahkannya tas itu kepada Sabian, secara formal. “Makasih ya buat sepatunya, pertemuan ini, sama minuman yang lo traktir tadi.”

Sabian mengangguk, menerima tas itu dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya. “Iya, sama-sama. Hati-hati di jalan ya, Bi.” Entah, sejak kapan Sabian mulai akrab dengan panggilan itu untuk Bianca.

Mereka berjalan keluar bersama. Lonceng kecil di atas pintu kafe kembali berdenting saat mereka melewati pintu. Udara malam terasa dingin, angin bertiup lebih kencang dibandingkan sore tadi, membawa serta aroma asap knalpot yang samar dari jalan raya di kejauhan. Bianca menyingkap poninya ke belakang, siap melangkah pergi—namun, tiba-tiba saja Sabian meraih tangannya dengan gerakan cepat namun lembut.

“Eh, tunggu sebentar,” kata Sabian, nadanya sedikit tergesa.

Bianca menoleh, jantungnya langsung berdegup kencang seperti drum yang dipukul terlalu kencang. “Kenapa, Sab?”

Sabian mengangkat tas berisi sepatu yang baru saja Bianca berikan beberapa saat lalu, dengan tangan kanannya, lalu tersenyum nakal—senyum yang belum pernah Bianca lihat sebelumnya. “Sepatu ini gue pinjemin ke lo, lagi.”

“Hah?” Bianca mengerutkan kening, bingung. Otaknya berputar dan mencoba memahami maksud dari perkataan Sabian, namun nihil.

“Jangan lupa dikembaliin lagi,” timpal Sabian, nadanya penuh maksud yang jelas.

Mendengar itu Bianca tertawa. Akhirnya ia paham apa yang Sabian inginkan. Tawa itu keluar begitu saja, membawa serta rasa lega dan gembira yang tak dapat ia tahan. “Kapan?” tanya Bianca.

“Kapan pun. Kalo lo punya waktu, dan mau nemuin gue di sini lagi,” jawab Sabian, matanya menatap Bianca dengan hangat, penuh harapan yang sengaja tak ia sembunyikan.

Pipi Bianca memerah, jantungnya semakin tak karuan, meski ia menolak tas itu dengan tangannya.

Ekspresi Sabian berubah seketika. Mungkin ia pikir Bianca merasa kurang nyaman dan menolak umpannya mentah-mentah. Akan tetapi, yang kemudian Bianca katakan justru sebaliknya.

“Gue bakal kabarin lo. Mungkin bulan depan, lusa, atau bahkan besok,” kata Bianca. Lalu ia menarik sudut bibirnya makin ke atas. “Tapi, gue harap kita bisa ketemuan di tempat lain, karna Jakarta luas banget, Sab.”

Lantas, laki-laki itu tertawa riang, suaranya menggema pelan di trotoar yang sepi. “Oke, gue tunggu kabar dari lo, ya.”

Bianca hanya tersenyum, sebagai respon—lalu melangkah pergi dengan hati yang penuh perasaan gugup, senang, dan sesuatu yang belum bisa ia definisikan. Meninggalkan Sabian yang masih setia berdiri di depan kafe seraya memandangi punggung Bianca yang perlahan menghilang di tikungan jalan. Tas jinjing warna cokelat berisikan sepatu itu masih di tangannya, dan harapan untuk pertemuan berikutnya membesar di dadanya.

Di sudut ruangan yang remang-remang, denting bola biliar yang saling bertabrakan mengisi suara malam itu. Cahaya lampu neon di atas meja biliar memantulkan bayangan samar pada wajah Sabian, yang tengah memusatkan pandangannya pada bola strip dengan angka 14. Tangan kanannya memegang stik dengan mantap, jari-jarinya menyesuaikan posisi dengan penuh perhitungan.

Di sisi lain meja, ada Zaid yang tengah berdiri santai—bersandar pada dinding ruangan yang terasa begitu dingin berkat suhu rendah yang dihasilkan AC. Segelas es teh dingin, berkeringat di tangannya, dan sesekali ia menyeruputnya sambil memperhatikan Sabian dengan senyum kecil yang penuh makna. “Lelet banget, Bi. Bidiknya yang bener, jangan cuma gaya,” ujar Zaid, nada suaranya penuh ejekan ringan yang sudah menjadi ciri khas persahabatan mereka.

Sabian tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu dengan gerakan presisi ia melepaskan pukulan. Bola angka 14 itu meluncur cepat, menghantam tepi meja sebelum akhirnya masuk ke lubang sudut dengan suara benturan yang memuaskan telinga. Sabian berdiri tegak, menyandarkan stik ke bahunya seperti pemenang kecil, namun tatkala ia menoleh, bola berwarna putih tak sengaja ikut terjun ke dalam lubang.

“Sialan!” seru Sabian, secara spontan.

Zaid tertawa kecil, menyeruput segelas es teh-nya, sebelum meletakkan gelas itu di atas sebuah meja kaca kecil yang berada tak jauh darinya. Ia bangkit, meraih stik biliarnya sendiri—kini giliran Zaid yang memukul bola solid.

Akan tetapi, sebelum fokus membidik, mulutnya sudah lebih dulu bergerak, membuka topik pembicaraan yang sepertinya sudah ia rencanakan sejak beberapa saat lalu.“Eh, ngomong-ngomong, apa kabar tuh, sepupunya Cudil?” tanya Zaid, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

Sabian, yang baru saja akan mengambil gelas es teh miliknya, langsung terdiam sejenak, lalu menatap Zaid dengan ekspresi yang sulit diartikan—antara kesal, malu, dan sedikit senang begitu topik pembicaraan ini diangkat naik ke permukaan.

“Biasa aja. Tadi sore sempet chat-an lagi... sedikit,” jawab Sabian, berusaha terdengar santai.

Usai mengatakan itu, Sabian baru mengangkat gelasnya dan meneguk kecil—segelas es teh-nya. Rasa manis dan dingin dari teh itu menyegarkan tenggorokan Sabian, tapi tak cukup untuk menutupi kegugupan yang mulai merayap di dadanya.

Zaid, dengan insting teman lama, tahu ada sesuatu di balik nada datar itu. Ia tak akan melewatkan kesempatan untuk mengorek lebih dalam.

“Dibales, dong, chat lo yang najisin itu?” tanya Zaid, sengaja mengungkit perihal pesan menggoda yang sempat Sabian kirimkan pada Bianca, kemudian Sabian mengangguk. “Terus kalian jadi ketemuan? Besok??” Zaid membungkuk, memposisikan stik di tangannya, tapi matanya tetap tertuju pada Sabian, menunggu jawaban dengan penuh antisipasi.

Sabian berdeham, meletakkan gelasnya kembali, lalu bersandar pada tepi meja biliar. “Iya, jadi. Tapi gue pikir, kayaknya itu bakal jadi pertemuan terakhir kami.”

“Kenapa!?” Zaid melepaskan pukulan, tapi bola yang ia bidik hanya menggelinding pelan tanpa masuk ke dalam lubang. Ia menggerutu setelahnya, lalu berdiri tegak dan menatap Sabian lagi. “Ada apa gerangan, Bi? Bukannya udah mulai ada benih-benih pendekatan di antara kalian?”

Sabian mengusap wajahnya dengan tangan, seolah ingin menghapus ingatan tentang peristiwa bodoh yang terjadi saat pesta perayaan ulang tahun Alin.

“Kelakuan Acat tempo hari itu, cukup bikin gue malu parah. Bianca juga keliatan canggung dan kurang nyaman... ya walaupun setelah itu, kita udah chatan lagi.”

Zaid mengangguk paham atas apa yang dirasakan oleh Sabian. “Tapi ya udah, sih? Gitu, doang. Kenapa kejadian itu sampai bikin pertemuan lo sama Bianca berakhir?” timpalnya.

“Lo tau, kan, Id? Sejak kenal Ajeng, gue sadar kalau gue ini gampang jatuh cinta. Sejak gagal sama Ajeng, gue mulai takut. Deket sama perempuan suka bikin gue ngerasa cemas buat hal-hal yang belum terjadi. Jatuh cinta sama orang, bisa bikin gue ngelakuin apa aja. Hal gila sekalipun. Gue takut ngulang kesalahan yang sama lagi. Ke nyokap gue, ke bokap gue, bahkan... ke lo. Menurut gue, jauh dari kehidupan percintaan selama bertahun-tahun belakangan ini rasanya tenang. Hubungan gue sama orang-orang terdekat gue berjalan baik. Dan, yang paling penting kesehatan mental gue aman. Tapi...,” Sabian menarik napas dalam-dalam. “Bianca... sepupunya Cudil ini caper banget dan semua kebetulan di antara gue sama dia ini sialan banget. Akhir-akhir ini rasanya satu dunia gue isinya dia doang. Apalagi semenjak pulang ke Jakarta. Ngelakuin interaksi sesering ini sama perempuan yang jelas-jelas tertarik sama gue, lumayan bikin gue takut. Gimana kalo gue... em—dia mulai... menarik(?)”

Sabian diam sejenak. Stik biliar di tangannya terasa dingin, dan ia menatap bola-bola di atas meja, seolah-olah tengah mencari jawaban di sana. Setelah beberapa detik, ia berkata pelan, “Konyolnya lagi, nama dia banyak disebut-sebut orang di sekitar gue. Lo, nyokap gue, Alin, Acat, bahkan hampir semua keluarga gue! Telinga gue panas! Kayak… itu terlalu menyenangkan buat jadi kenyataan. Apalagi sejak acara ulang tahun Alin itu, nyokap gue nggak berhenti bahas soal dia dan keluarganya.”

Zaid mengerutkan kening, penasaran. “Emangnya Tante Ratu bilang apa?” Itu menjadi satu-satunya pertanyaan yang keluar dari mulut Zaid, usai ia mendengar keluh kesah Sabian.

Sabian membungkukkan tubuh lagi, lalu mulai membidik bola strip selanjutnya. Sembari fokus pada ujung stik, ia bercerita dengan nada yang lebih rileks. “Nyokap gue bilang, dia kenal keluarga Bianca, terutama bundanya. Mereka deket karena rapat orang tua di sekolah Alin, yang bahas tentang rencana liburan murid. Singkat cerita, nyokap gue nolak ide perjalanan itu demi kebaikan anak-anak, dan yap! Cuman bundanya Bianca yang dukung. Intinya mereka sama-sama punya visi buat ngelindungin anak-anak. Dari situ mereka jadi akrab, sampai Alin sama Cica—adiknya Bianca—juga jadi temen.”

Bola angka 15 berhasil Sabian masukkan ke dalam lubang. Namun, Zaid tak memberi reaksi apapun untuk itu. Ia malah fokus mendengarkan cerita Sabian dengan antusias, dan sesekali mengangguk.

“Terus?” kata Zaid.

“Terus, abis ceritain itu, nyokap gue tiba-tiba bilang, ‘Bi, Mama yakin Bianca ini anak baik. Bukan tipikal yang akan bikin kamu jauh dari keluarga.’ Denger dia ngomong gitu, wajar, kan, kalo gue kaget? Lo tau sendiri, waktu gue sama Ajeng dulu, nggak ada satu orang pun yang dukung gue. Dulu gue kayak nggak punya siapapun yang ngerti sama perasaan gue. Tapi sekarang? Nyokap gue sendiri yang malah kasih dorongan.”

Zaid tersenyum kecil, mulai mengerti konsep kekacauan batin temannya itu. “Jadi lo ngerasa aneh karena tiba-tiba ada harapan baru?”

“Iya,” Sabian menjawab cepat. “Gue takut, Id. Takut kalau harapan ini cuma bikin gue jatuh lagi. Gue sama Bianca emang baru di tahap kenal, sih. Tapi kalau dia suka gue, gue suka dia, dan satu dunia dukung kami berdua. Menurut lo apa yang akan terjadi? Ya, bener! Kita pacaran! Terus? Masalah baru pasti dateng lagi. Iya, kan, Id? Hidup ini ibarat ikut Ninja Warrior.”

Lalu tawa Zaid pecah seketika. Ia merasa lucu dan sedikit terharu. Pasalnya, berbeda dengan saat pertama kali Sabian jatuh cinta, kini Sabian jauh lebih terbuka kepadanya. Dan, hal itu membuat Zaid merasa sangat dihargai sebagai seorang sahabat.

Zaid berjalan demi meraih segelas es teh-nya yang sudah semakin berkeringat dari sebelumnya. “Bi, denger gue. Ketakutan lo wajar, tapi lo nggak bisa terus takut sama sesuatu yang belum terjadi. Gue tau lo mungkin trauma sama Ajeng... tapi, waktu itu usia lo emang belum cukup buat cinta-cintaan. Kesalahan-kesalahan yang lo lakuin waktu itu, ya, karena lo masih muda dan tolol aja. Sekarang, lo udah jauh lebih dewasa. Menurut gue, mungkin udah saatnya lo bertindak kayak laki-laki pada umumnya. Kalo lo emang mulai suka, deketin dia beneran. Bukan cuman ngasih umpan-umpan menajiskan kayak terakhir kali. Ambil langkah yang pasti. Saling jatuh cinta atau menjauh dan jadi single sampai mati. Pilih salah satu, jangan nanggung!”

Mendengar penuturan Zaid, Sabian tertawa kecil, namun ada nada gugup yang tertinggal di sana. Ia kembali memposisikan stik, lalu membidik bola terakhirnya di atas meja. Bola angka 8.

“Kalau bola ini masuk, gue pilih opsi pertama,” kata Sabian, seraya memicingkan mata.

“Oke.” Zaid mengangkat gelasnya, seolah bersulang. “Selamat menempuh hidup baru, Sabian!” serunya.

Lalu, tatkala Sabian melepaskan pukulan terakhir, bola berangka 8 itu menggelinding sebelum akhirnya masuk sempurna.

Kalimat terakhir Zaid, akan segera menjadi kenyataan. Besok adalah awal yang baru, bagi kehidupan baru seorang Sabian.