cakgrays

Sabian duduk di atas motornya, tubuhnya sedikit membungkuk di bawah langit Jakarta yang kala itu warnanya sedikit kelabu berkat awan-awan tebal yang bergulung rendah. Trotoar di tepi jalanan, tempat ia memarkir motornya terasa asing—tak pernah ia lihat sebelumnya.

Angin sore bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan kaos yang ia kenakan dengan lembut. Kali ini, Sabian hanya memakai helm, tanpa jaket seperti biasanya—sengaja, sebab Bianca akan mengembalikan salah satu jaketnya di pertemuan ini. Pikirnya, supaya tak terlalu repot, ia akan mengenakan jaket itu, nanti.

Dalam diam, mata Sabian terus memandang jauh ke depan, mencari sosok yang membuatnya menunggu di tempat itu sejak beberapa saat yang lalu. Pada lengannya, menggantung helm baru. Helm yang ia beli secara impulsif untuk Bianca dari sebuah toko helm yang eksis di pinggir jalan. Helm itu sederhana—seperti helm-helm yang sering kali terlihat dipakai oleh pengguna motor lain di tengah padatnya persimpangan lampu merah—jauh lebih murah dibandingkan kaca helm Sabian sendiri. Pada saat membelinya, Sabian tak memikirkan hal lain—hanya berharap benda itu dapat melindungi kepala Bianca dari panas dan hujan. Namun, begitu Sabian meninggalkan toko tersebut, ia baru menyesali keputusannya. Sabian berencana untuk membelikan Bianca sebuah helm yang lebih mahal dan kokoh, nanti.

Sabian melirik ponselnya, layarnya menyala di bawah langit yang kian meredup. Tak ada pesan baru dari Bianca, hanya ada angka jam yang menunjukkan bahwa ia sudah menunggu lama di sana. Kakinya mulai kaku, tapi ia tak peduli. Permintaan Bianca untuk dijemput di lokasi yang agak jauh dari rumahnya ini tak serta-merta membuat Sabian bertanya-tanya. Ia paham betul alasan apa yang ada di balik permintaan Bianca—muncul di depan rumahnya untuk membawanya kencan seperti sekarang ini, mungkin ibarat melempar batu ke danau tenang, mengundang riak yang tak diinginkan. Sabian menghormati batasan itu, meski diam-diam ia merasa sepi menunggu lama seorang diri, ditemani suara klakson sporadis dan deru motor yang melintas.

Langit semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya di trotoar. Ia menarik napas dalam, seakan-akan menikmati polusi udara yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, mata Sabiam memicing, tatkala menangkap gerakan di kejauhan. Sosok Bianca muncul, berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, seperti biasa. Rambutnya yang panjang kali ini diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengenakan atasan knit yang tampak kebesaran, dimasukkan ke dalam celana hitam yang memeluk tubuhnya dengan pas—sederhana, namun begitu memikat.

Sabian tak dapat menahan senyum lebar yang langsung mengembang di wajahnya—tak seperti biasanya. Ia praktis menghapus rasa lelah dan kaku di tubuhnya begitu melihat Bianca sore ini.

“Bi!” panggil Sabian, penuh semangat, bercampur lega, seolah menemukan oasis di tengah padang pasir.

Mata Bianca langsung bertemu dengannya, dan senyumnya tak kalah mekar dari Sabian—membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. “Sorry banget, ih,” katanya sambil mendekat, nada bersalahnya terdengar sangat tulus, diiringi embusan napas yang sedikit tersengal-sengal. “Udah lama nunggunya, ya?” Matanya mencari jawaban di wajah Sabian, penuh perhatian, dan itu membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang.

Namun, Sabian menggeleng cepat, meski kakinya masih terasa seperti kayu. “Enggak kok,” bohongnya dengan senyuman—tak ingin Bianca merasa buruk. “Nih, jaket ayah lo.” Ia menyodorkan tas karton yang berisi jaket milik ayah Bianca yang semula menggantung di stang motornya.

Bianca menerima tas itu dengan anggukan kecil, jari-jarinya menyentuh ujung tas dengan lembut, lalu menyerahkan jaket Sabian sebagai gantinya. “Nih, jaket lo… makasih ya buat waktu itu,” katanya lirih. Malu mengingat kejadian minggu.

Menyadari hal itu, Sabian memilih untuk pura-pura tak mendengar perkataan Bianca dan langsung mengenakan jaketnya tanpa memberi respons apapun. Untuk sepersekian detik, ia dapat merasakan keakraban kain itu memeluk tubuhnya, seolah jaket itu membawa sedikit aroma Bianca—atau mungkin itu hanya imajinasinya.

“Itu helm gue?” tanya Bianca, matanya tertuju pada helm yang masih menggantung di lengan Sabian, alisnya sedikit terangkat dengan ekspresi penasaran.

“Iya.” Sabian menyerahkan helm itu dengan hati-hati, dadanya berdebar. “Nih, pakai.”

Bianca memeriksa helm itu, jari-jarinya menyusuri permukaan plastik yang mengilap, matanya menyipit seolah menimbang sesuatu. Ia mencoba memakainya, tapi kaitannya agak sulit, membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin tertawa.

Sebelum Bianca berjuang lebih lama, Sabian kontan menuruni motornya demi menghapus jarak di antara mereka. “Helmnya baru gue beli di perjalanan mau ke sini, jadi kaitannya mungkin masih agak susah buat dilepas pasang,” ujarnya, sedikit serak karena gugup. Tangannya bergerak hati-hati, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Bianca yang halus. Dari jarak dekat, Sabian dapat mencium aroma parfum yang Bianca pakai—manis, seperti campuran vanila dan bunga melati, begitu lembut hingga membuat kepalanya ringan. Meski jantungnya berdetak kencang, Sabian berusaha tetap tenang, meniru adegan dalam film-film romansa yang sempat Zaid katakan. Sesungguhnya adegan itu terasa konyol di kepalanya, namun, saat kaitan helm tersebut terpasang dan Bianca tersenyum kecil dan pipinya sedikit memerah di bawah cahaya lampu jalan, Sabian tahu usahanya tak sia-sia.

“Udah,” kata Sabian, lalu mundur selangkah untuk memberi ruang, meski hatinya ingin tetap di dekat Bianca. Ia membukakan pijakan kaki motor dengan gerakan yang sudah terlatih, sebelum kembali menaiki motornya.

“Naiknya hati-hati.”

Bianca mengangguk, matanya berkilat dengan sedikit rasa malu. Dengan gerakan hati-hati, ia menaiki motor, tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Sabian untuk menjaga keseimbangan.

Akan tetapi, sentuhan tak sengaja itu sukses mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Sabian, membuatnya menggigit bagian dalam pipinya seketika. Sabia menahan napas, berusaha fokus saat menghidupkan mesin motor. Detik kemudian, dengan gerakan halus, motornya melaju, membelah jalanan ibu kota yang sore itu dipenuhi cahaya lampu neon dan suara klakson yang bercampur dengan deru angin.

Di belakang, Bianca duduk dengan jarak yang terjaga di antara mereka. Tangannya hanya sesekali menyentuh jaket Sabian, itu pun hanya di saat-saat genting.

Sabian memperhatikan sikap itu melalui kaca spion, dan diam-diam ia mengagumi Bianca—perempuan yang tahu batasan, namun tetap terasa dekat. Ia tahu Bianca menyukainya sejak awal, namun sikapnya yang penuh perhitungan membuat Sabian semakin terpikat, seperti magnet yang tak dapat ia lawan.

Di balik helmnya, Sabian tersenyum, merasakan angin sore menerpa wajahnya melalui celah visor. Awalnya, ia hanya ingin membuka hati, mencoba menjalani sesuatu tanpa ekspektasi besar. Tapi kini, dengan Bianca di belakangnya, jalanan Jakarta yang biasanya membosankan terasa seperti petualangan. Bianca punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan—warna lampu jalan menjadi lebih cerah, suara kota terdengar lebih merdu, dan hatinya yang dulu beku kini mencair perlahan. Sabian mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bianca sudah lebih dari sekadar ketertarikan.

Perjalanan ke mal terasa singkat, kurang dari tiga puluh menit, meski Sabian diam-diam berharap jalanan lebih panjang. Ia memarkir motor di basement yang pengap—di mana bau oli dan karet ban menguar, mengganggu indera penciuman. Sabian menurunkan standar motornya dengan hati-hati, memastikan Bianca bisa turun dengan mudah.

Lalu, sekali lagi, tangan Bianca menyentuh pundaknya, dan sensasi hangat itu kembali mengalir, seperti percikan api kecil di kulitnya. Selain itu, Sabian juga kembali membantu Bianca—melepas kaitan helmnya dengan lebih percaya diri. Sabian dapat melihat wajah Bianca dengan begitu jelas di bawah lampu yang ada pada langit-langit rendah basement itu. Alisnya yang tebal dan rapih, matanya yang hangat, dan hidungnya yang mancung menyempurnakan wajahnya yang sudah cantik secara alami. Ada kelembutan di wajah itu yang membuat Sabian sulit memalingkan pandangan, seperti melihat lukisan yang berbicara langsung ke hati.

Saat kaitan helm terlepas dengan bunyi ‘klik’, Sabian otomatis tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menarik tangan dan melepas helmnya sendiri—berharap Bianca tidak menyadari betapa ia terpesona.

Dan, harapan Sabian langsung terkabul, sebab, detik berikutnya, Bianca sibuk merapikan rambutnya di kaca spion motor.

Sabian berdehem, mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya yang memerah. “Kertas parkir di lo, ya?” tanyanya.

“Iya, biar gue simpen,” jawab Bianca dengan senyum yang mengembang. “Cowok pasti bakal lupa nyimpen gini-ginian. Contohnya ayah gue.”

Mendengar itu, Sabian terkekeh, merasa suasana hatinya kembali cair, seperti air yang mengalir setelah bendungan kecil pecah.

“Sini barang lo, biar gue bawain.”

Bianca mengangkat tas karton di tangannya, alisnya terangkat dengan ekspresi main-main. “Ini?”

“Iya,” kata Sabian, lalu merebut tas karton berisikan jaket yah Bianca itu, begitu saja. Membuat Bianca tak sempat berkata-kata.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk mal, langkah mereka selaras di tengah deru mesin dan suara langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Cahaya lampu mal yang terang benderang menyambut mereka, kontras dengan suasana kelam di luar. Sabian memperhatikan Bianca di sampingnya. Ada dorongan kuat di hatinya untuk menggenggam tangan perempuan itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akan tetapi, Sabian memilih untuk menahan dirinya—tak ingin melangkahi batas tanpa isyarat dari Bianca. Untuk saat ini, berjalan bersamanya, mendengar suara sepatunya yang berdecit pelan di atas lantai, sudah cukup membuat hatinya penuh.

Saat mendekati eskalator menuju lantai tempat restoran yang menjadi tujuan mereka berada, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari samping, nyaris menabrak Bianca dalam usahanya mendahului antrean menaiki eskalator. Dengan refleks, Sabian menarik pinggang Bianca ke samping, menjauhkannya dari bahaya.

Sadar bahwa keberadaan tangannya terasa salah, Sabian langsung menarik tangannya kembali, wajahnya memanas seperti terbakar. “Maaf,” katanya cepat, suaranya serak. “Takut lo ketabrak.”

Bianca praktis mengerjapkan matanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, anjir. Gue malah makasih udah ditolongin,” jawabnya pelan, nadanya begitu santai membuat Sabian lupa cara bernapas. Ia kemudian melangkah naik ke eskalator, dan Sabian mengikuti di belakang, mencoba menenangkan jantungnya yang berlari kencang.

“Aneh banget, masa dekorasi malnya masih yang sebelumnya,” kata Bianca seolah tengah mengembalikan suasana.

“Emang harusnya apa?”

“Valentine, lah!”

“Valentine masih lama, ini masih Januari,” timpal Sabian. Dalam hati, ia bersyukur atas kemampuan Bianca untuk membuat segalanya terasa alami, seperti angin yang menyapu ketegangan dari udara.

Sesampainya di lantai atas, mereka langsung menuju ke salah satu restoran sushi ternama. Dinding kayu berwarna hangat, lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang, dan suara piring yang berdenting pelan menciptakan suasana yang nyaman.

Pelayan di pintu masuk menyambut dengan senyum ramah. “Selamat sore, untuk berapa orang?” tanyanya, memastikan.

Sabian buru-buru menjwab, “Dua orang, table,” sebelum Bianca sempat bicara. Ia ingin memastikan mereka mendapatkan meja yang nyaman, bukan duduk di bar sushi yang terlalu ramai.

Kemudian pelayan langsung mengantar mereka ke salah satu meja di tengah ruangan, baru saja dibersihkan, dengan aroma sabun lemon yang masih menempel di udara.

“Untung nggak waiting list,” cicit Bianca sambil dudukkan dirinya.

Sabian mengangguk setuju, merasa lega, dan hatinya hangat melihat Bianca yang terlihat begitu santai.

Detik berikutnya, sang pelayan mengajukan beberapa pertanyaan standar, seperti; apakah mereka pernah datang ke restoran itu sebelumnya, dan menjelaskan kembali cara memesan makanan melalui kode pindai. Sabian menjawab dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan suasana restoran ini.

Setelah Sabian memindai sebuah kode yang terdapat di sudut meja, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bianca. “Lo pilih duluan,” katanya.

Namun, alih-alih menerima ponsel Sabian, Bianca justru menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya serius, juga setengah bercanda.

“Kenapa?”

“Sabian, gue perempuan ke berapa yang lo ajak makan di sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tapi ada nada penasaran yang terselip di akhir kalimatnya.

“Hah?”

“Buat seorang cowok, lo terlalu handal untuk makan di restoran sushi!”

Sabian mengerjap, tak menyangka akan mendengar tuduhan tak masuk akal seperti yang baru saja Bianca katakan. Lantas, Sabian tertawa, suaranya cukup renyah. “Lo yang ketiga,” katanya dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Setelah nyokap gue, sama Alin.”

Wajah Bianca praktis memerah, lalu mengatupkan mulut—jelas merasa salah. “Maaf!” katanya cepat, tangannya menutupi mulutnya dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin kembali tertawa.

“Gak masalah,” jawab Sabian tulus, senyumnya tak pudar. “Sekarang udah bisa pesen?”

Bianca mengangguk, lalu menunjuk menu pada layar ponsel Sabian yang menyala. “Moriawase sama makimono, aja, ya?”

“Biar bisa sharing dan nggak kenyang duluan?” tanya Sabian, dan senyum Bianca mengembang, seperti tanda bahwa tebakkan Sabian tepat sasaran.

“Boleh, pesen apa aja yang lo mau,” kata Sabian, menyerahkan kendali penuh kepada Bianca.

“Makasih, Om…,” kata Bianca, matanya berkilat nakal.

“Iya, By…,” balas Sabian dengan nada serupa, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama, menyadari kecocokan frekuensi di antara mereka yang begitu alami.

Setelah memesan, Sabian meletakkan tas karton milik Bianca di sisi meja, dekat dinding restoran yang dihiasi lukisan ikan koi. Semenjak itu, Bianca menopang dagunya dengan kedua tangan, matanya menatap Sabian dengan ekspresi yang sulit dibaca—seperti ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan, namun terperangkap di ujung lidah.

Sabian terus memperhatikan gerak-gerik Bianca. Ia ingin bertanya, akan tetapi sebelum ia sempat melakukan itu, minuman mereka tiba, disertai aroma teh hijau yang menenangkan.

“Makasih,” kata Sabian pada pramusaji yang baru saja mengantar minuman ke meja mereka.

Dan, pramusaji itu mengangguk sekaligus tersenyum hangat.

“Kenapa?” tanya Sabian pada Bianca, tepat setelah sang pramusaji melangkah pergi, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Bianca menghela napas kecil, lalu tersenyum, matanya berkilau di bawah lampu restoran. “Sebenernya gue suka ada sesuatu di antara kita. Mulai dari sepatu, jaket ayah gue, jaket lo… Setelah hari ini, kita ketemu pakai alasan apa lagi?” Nadanya ringan, tapi ada kerapuhan di dalamnya, seperti takut momen ini hanya sementara.

Mendengar pengakuan itu, Sabian merasa kehangatan menyebar di dadanya, seperti api kecil yang ditiup perlahan. “Kita nggak butuh alasan apapun buat ketemu—”

“Permisi, pesanannya.” Lagi-lagi potong seorang pramusaji yang tiba-tiba muncul. Kali membawa pesanan dengan nampan penuh akan sushi.

Sabian menahan napas kesal, momen mereka terganggu untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tersenyum sopan.

Setelah pramusaji itu pergi, Bianca tiba-tiba melepas pelindung ponselnya dan memasangkannya pada ponsel Sabian, yang kebetulan memiliki tipe yang sama persis dengan ponselnya sendiri. “HP lo harus pakai casing biar aman,” katanya, suaranya ringan seperti bercanda, tapi matanya penuh makna.

“Eh?” Sabian tampak bingung. “Terus HP lo?”

“Gue punya banyak di rumah,” jawab Bianca dengan senyum sumringah.

Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk memahami maksud tersembunyi di balik tindakan Bianca. Perempuan di hadapannya itu baru saja menciptakan ikatan baru, seperti jaket dan sepatu sebelumnya—sebuah alasan kecil untuk tetap terhubung, dan kembali bertemu tanpa status yang jelas di antara mereka.

“Makasih, Bi,” kata Sabian begitu lembut.

“Sama-sama. Nggak perlu buru-buru balikin!” kata Bianca, nadanya ceria namun ada sedikit penekanan di sana.

“Yakin?”

“Iya.”

“Kalau gitu, bakal gue simpen lama—eh, enggak! Gue balikin Sabtu depan,” kata Sabian, terdengar penuh tekad.

Kemudian, kata-kata itu sukses membuat pipi Bianca sedikit merona, seperti kelopak bunga mawar.

Bianca berdeham singkat. “Ayo makan!” serunya tiba-tiba, sembari mengangkat sumpit dengan semangat, seolah menyembunyikan rasa malu yang hampir saja menenggelamkan dirinya.

Melihat respons Bianca yang menggemaskan itu, sontak membuat Sabian tersenyum—tangannya terulur ke depan, menyentuh pucuk kepala Bianca seraya mengusapnya dengan gemas dalam hitungan detik—sebelum mereka mulai makan, berbagi sushi di tengah aroma wasabi dan kecap asin.

Di luar, langit mungkin masih mendung, awan tebal mungkin masih menahan hujan. Akan tetapi, di dalam restoran ini, dengan aroma sushi yang menggoda, lampu terang di atas mereka, dan senyum Bianca yang seperti bintang—Sabian merasa seperti menemukan langit yang cerah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia merasa utuh, bahagia, dan penuh harap.

Sabian duduk di atas motornya, tubuhnya sedikit membungkuk di bawah langit Jakarta yang kala itu warnanya sedikit kelabu berkat awan-awan tebal yang bergulung rendah. Trotoar di tepi jalanan, tempat ia memarkir motornya terasa asing—tak pernah ia lihat sebelumnya.

Angin sore bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan kaos yang ia kenakan dengan lembut. Kali ini, Sabian hanya memakai helm, tanpa jaket seperti biasanya—sengaja, sebab Bianca akan mengembalikan salah satu jaketnya di pertemuan ini. Pikirnya, supaya tak terlalu repot, ia akan mengenakan jaket itu, nanti.

Dalam diam, mata Sabian terus memandang jauh ke depan, mencari sosok yang membuatnya menunggu di tempat itu sejak beberapa saat yang lalu. Pada lengannya, menggantung helm baru. Helm yang ia beli secara impulsif untuk Bianca dari sebuah toko helm yang eksis di pinggir jalan. Helm itu sederhana—seperti helm-helm yang sering kali terlihat dipakai oleh pengguna motor lain di tengah padatnya persimpangan lampu merah—jauh lebih murah dibandingkan kaca helm Sabian sendiri. Pada saat membelinya, Sabian tak memikirkan hal lain—hanya berharap benda itu dapat melindungi kepala Bianca dari panas dan hujan. Namun, begitu Sabian meninggalkan toko tersebut, ia baru menyesali keputusannya. Sabian berencana untuk membelikan Bianca sebuah helm yang lebih mahal dan kokoh, nanti.

Sabian melirik ponselnya, layarnya menyala di bawah langit yang kian meredup. Tak ada pesan baru dari Bianca, hanya ada angka jam yang menunjukkan bahwa ia sudah menunggu lama di sana. Kakinya mulai kaku, tapi ia tak peduli. Permintaan Bianca untuk dijemput di lokasi yang agak jauh dari rumahnya ini tak serta-merta membuat Sabian bertanya-tanya. Ia paham betul alasan apa yang ada di balik permintaan Bianca—muncul di depan rumahnya untuk membawanya kencan seperti sekarang ini, mungkin ibarat melempar batu ke danau tenang, mengundang riak yang tak diinginkan. Sabian menghormati batasan itu, meski diam-diam ia merasa sepi menunggu lama seorang diri, ditemani suara klakson sporadis dan deru motor yang melintas.

Langit semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya di trotoar. Ia menarik napas dalam, seakan-akan menikmati polusi udara yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, mata Sabiam memicing, tatkala menangkap gerakan di kejauhan. Sosok Bianca muncul, berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, seperti biasa. Rambutnya yang panjang kali ini diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengenakan atasan knit yang tampak kebesaran, dimasukkan ke dalam celana hitam yang memeluk tubuhnya dengan pas—sederhana, namun begitu memikat.

Sabian tak dapat menahan senyum lebar yang langsung mengembang di wajahnya—tak seperti biasanya. Ia praktis menghapus rasa lelah dan kaku di tubuhnya begitu melihat Bianca sore ini.

“Bi!” panggil Sabian, penuh semangat, bercampur lega, seolah menemukan oasis di tengah padang pasir.

Mata Bianca langsung bertemu dengannya, dan senyumnya tak kalah mekar dari Sabian—membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. “Sorry banget, ih,” katanya sambil mendekat, nada bersalahnya terdengar sangat tulus, diiringi embusan napas yang sedikit tersengal-sengal. “Udah lama nunggunya, ya?” Matanya mencari jawaban di wajah Sabian, penuh perhatian, dan itu membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang.

Namun, Sabian menggeleng cepat, meski kakinya masih terasa seperti kayu. “Enggak kok,” bohongnya dengan senyuman—tak ingin Bianca merasa buruk. “Nih, jaket ayah lo.” Ia menyodorkan tas karton yang berisi jaket milik ayah Bianca yang semula menggantung di stang motornya.

Bianca menerima tas itu dengan anggukan kecil, jari-jarinya menyentuh ujung tas dengan lembut, lalu menyerahkan jaket Sabian sebagai gantinya. “Nih, jaket lo… makasih ya buat waktu itu,” katanya lirih. Malu mengingat kejadian minggu.

Menyadari hal itu, Sabian memilih untuk pura-pura tak mendengar perkataan Bianca dan langsung mengenakan jaketnya tanpa memberi respons apapun. Untuk sepersekian detik, ia dapat merasakan keakraban kain itu memeluk tubuhnya, seolah jaket itu membawa sedikit aroma Bianca—atau mungkin itu hanya imajinasinya.

“Itu helm gue?” tanya Bianca, matanya tertuju pada helm yang masih menggantung di lengan Sabian, alisnya sedikit terangkat dengan ekspresi penasaran.

“Iya.” Sabian menyerahkan helm itu dengan hati-hati, dadanya berdebar. “Nih, pakai.”

Bianca memeriksa helm itu, jari-jarinya menyusuri permukaan plastik yang mengilap, matanya menyipit seolah menimbang sesuatu. Ia mencoba memakainya, tapi kaitannya agak sulit, membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin tertawa.

Sebelum Bianca berjuang lebih lama, Sabian kontan menuruni motornya demi menghapus jarak di antara mereka. “Helmnya baru gue beli di perjalanan mau ke sini, jadi kaitannya mungkin masih agak susah buat dilepas pasang,” ujarnya, sedikit serak karena gugup. Tangannya bergerak hati-hati, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Bianca yang halus. Dari jarak dekat, Sabian dapat mencium aroma parfum yang Bianca pakai—manis, seperti campuran vanila dan bunga melati, begitu lembut hingga membuat kepalanya ringan. Meski jantungnya berdetak kencang, Sabian berusaha tetap tenang, meniru adegan dalam film-film romansa yang sempat Zaid katakan. Sesungguhnya adegan itu terasa konyol di kepalanya, namun, saat kaitan helm tersebut terpasang dan Bianca tersenyum kecil dan pipinya sedikit memerah di bawah cahaya lampu jalan, Sabian tahu usahanya tak sia-sia.

“Udah,” kata Sabian, lalu mundur selangkah untuk memberi ruang, meski hatinya ingin tetap di dekat Bianca. Ia membukakan pijakan kaki motor dengan gerakan yang sudah terlatih, sebelum kembali menaiki motornya.

“Naiknya hati-hati.”

Bianca mengangguk, matanya berkilat dengan sedikit rasa malu. Dengan gerakan hati-hati, ia menaiki motor, tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Sabian untuk menjaga keseimbangan.

Akan tetapi, sentuhan tak sengaja itu sukses mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Sabian, membuatnya menggigit bagian dalam pipinya seketika. Sabia menahan napas, berusaha fokus saat menghidupkan mesin motor. Detik kemudian, dengan gerakan halus, motornya melaju, membelah jalanan ibu kota yang sore itu dipenuhi cahaya lampu neon dan suara klakson yang bercampur dengan deru angin.

Di belakang, Bianca duduk dengan jarak yang terjaga di antara mereka. Tangannya hanya sesekali menyentuh jaket Sabian, itu pun hanya di saat-saat genting.

Sabian memperhatikan sikap itu melalui kaca spion, dan diam-diam ia mengagumi Bianca—perempuan yang tahu batasan, namun tetap terasa dekat. Ia tahu Bianca menyukainya sejak awal, namun sikapnya yang penuh perhitungan membuat Sabian semakin terpikat, seperti magnet yang tak dapat ia lawan.

Di balik helmnya, Sabian tersenyum, merasakan angin sore menerpa wajahnya melalui celah visor. Awalnya, ia hanya ingin membuka hati, mencoba menjalani sesuatu tanpa ekspektasi besar. Tapi kini, dengan Bianca di belakangnya, jalanan Jakarta yang biasanya membosankan terasa seperti petualangan. Bianca punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan—warna lampu jalan menjadi lebih cerah, suara kota terdengar lebih merdu, dan hatinya yang dulu beku kini mencair perlahan. Sabian mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bianca sudah lebih dari sekadar ketertarikan.

Perjalanan ke mal terasa singkat, kurang dari tiga puluh menit, meski Sabian diam-diam berharap jalanan lebih panjang. Ia memarkir motor di basement yang pengap—di mana bau oli dan karet ban menguar, mengganggu indera penciuman. Sabian menurunkan standar motornya dengan hati-hati, memastikan Bianca bisa turun dengan mudah.

Lalu, sekali lagi, tangan Bianca menyentuh pundaknya, dan sensasi hangat itu kembali mengalir, seperti percikan api kecil di kulitnya. Selain itu, Sabian juga kembali membantu Bianca—melepas kaitan helmnya dengan lebih percaya diri. Sabian dapat melihat wajah Bianca dengan begitu jelas di bawah lampu yang ada pada langit-langit rendah basement itu. Alisnya yang tebal dan rapih, matanya yang hangat, dan hidungnya yang mancung menyempurnakan wajahnya yang sudah cantik secara alami. Ada kelembutan di wajah itu yang membuat Sabian sulit memalingkan pandangan, seperti melihat lukisan yang berbicara langsung ke hati.

Saat kaitan helm terlepas dengan bunyi ‘klik’, Sabian otomatis tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menarik tangan dan melepas helmnya sendiri—berharap Bianca tidak menyadari betapa ia terpesona.

Dan, harapan Sabian langsung terkabul, sebab, detik berikutnya, Bianca sibuk merapikan rambutnya di kaca spion motor.

Sabian berdehem, mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya yang memerah. “Kertas parkir di lo, ya?” tanyanya.

“Iya, biar gue simpen,” jawab Bianca dengan senyum yang mengembang. “Cowok pasti bakal lupa nyimpen gini-ginian. Contohnya ayah gue.”

Mendengar itu, Sabian terkekeh, merasa suasana hatinya kembali cair, seperti air yang mengalir setelah bendungan kecil pecah.

“Sini barang lo, biar gue bawain.”

Bianca mengangkat tas karton di tangannya, alisnya terangkat dengan ekspresi main-main. “Ini?”

“Iya,” kata Sabian, lalu merebut tas karton berisikan jaket yah Bianca itu, begitu saja. Membuat Bianca tak sempat berkata-kata.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk mal, langkah mereka selaras di tengah deru mesin dan suara langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Cahaya lampu mal yang terang benderang menyambut mereka, kontras dengan suasana kelam di luar. Sabian memperhatikan Bianca di sampingnya. Ada dorongan kuat di hatinya untuk menggenggam tangan perempuan itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akan tetapi, Sabian memilih untuk menahan dirinya—tak ingin melangkahi batas tanpa isyarat dari Bianca. Untuk saat ini, berjalan bersamanya, mendengar suara sepatunya yang berdecit pelan di atas lantai, sudah cukup membuat hatinya penuh.

Saat mendekati eskalator menuju lantai tempat restoran yang menjadi tujuan mereka berada, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari samping, nyaris menabrak Bianca dalam usahanya mendahului antrean menaiki eskalator. Dengan refleks, Sabian menarik pinggang Bianca ke samping, menjauhkannya dari bahaya.

Sadar bahwa keberadaan tangannya terasa salah, Sabian langsung menarik tangannya kembali, wajahnya memanas seperti terbakar. “Maaf,” katanya cepat, suaranya serak. “Takut lo ketabrak.”

Bianca praktis mengerjapkan matanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, anjir. Gue malah makasih udah ditolongin,” jawabnya pelan, nadanya begitu santai membuat Sabian lupa cara bernapas. Ia kemudian melangkah naik ke eskalator, dan Sabian mengikuti di belakang, mencoba menenangkan jantungnya yang berlari kencang.

“Aneh banget, masa dekorasi malnya masih yang sebelumnya,” kata Bianca seolah tengah mengembalikan suasana.

“Emang harusnya apa?”

“Valentine, lah!”

“Valentine masih lama, ini masih Januari,” timpal Sabian. Dalam hati, ia bersyukur atas kemampuan Bianca untuk membuat segalanya terasa alami, seperti angin yang menyapu ketegangan dari udara.

Sesampainya di lantai atas, mereka langsung menuju ke salah satu restoran sushi ternama. Dinding kayu berwarna hangat, lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang, dan suara piring yang berdenting pelan menciptakan suasana yang nyaman.

Pelayan di pintu masuk menyambut dengan senyum ramah. “Selamat sore, untuk berapa orang?” tanyanya, memastikan.

Sabian buru-buru menjwab, “Dua orang, table,” sebelum Bianca sempat bicara. Ia ingin memastikan mereka mendapatkan meja yang nyaman, bukan duduk di bar sushi yang terlalu ramai.

Kemudian pelayan langsung mengantar mereka ke salah satu meja di tengah ruangan, baru saja dibersihkan, dengan aroma sabun lemon yang masih menempel di udara.

“Untung nggak waiting list,” cicit Bianca sambil dudukkan dirinya.

Sabian mengangguk setuju, merasa lega, dan hatinya hangat melihat Bianca yang terlihat begitu santai.

Detik berikutnya, sang pelayan mengajukan beberapa pertanyaan standar, seperti; apakah mereka pernah datang ke restoran itu sebelumnya, dan menjelaskan kembali cara memesan makanan melalui kode pindai. Sabian menjawab dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan suasana restoran ini.

Setelah Sabian memindai sebuah kode yang terdapat di sudut meja, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bianca. “Lo pilih duluan,” katanya.

Namun, alih-alih menerima ponsel Sabian, Bianca justru menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya serius, juga setengah bercanda.

“Kenapa?”

“Sabian, gue perempuan ke berapa yang lo ajak makan di sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tapi ada nada penasaran yang terselip di akhir kalimatnya.

“Hah?”

“Buat seorang cowok, lo terlalu handal untuk makan di restoran sushi!”

Sabian mengerjap, tak menyangka akan mendengar tuduhan tak masuk akal seperti yang baru saja Bianca katakan. Lantas, Sabian tertawa, suaranya cukup renyah. “Lo yang ketiga,” katanya dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Setelah nyokap gue, sama Alin.”

Wajah Bianca praktis memerah, lalu mengatupkan mulut—jelas merasa salah. “Maaf!” katanya cepat, tangannya menutupi mulutnya dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin kembali tertawa.

“Gak masalah,” jawab Sabian tulus, senyumnya tak pudar. “Sekarang udah bisa pesen?”

Bianca mengangguk, lalu menunjuk menu pada layar ponsel Sabian yang menyala. “Moriawase sama makimono, aja, ya?”

“Biar bisa sharing dan nggak kenyang duluan?” tanya Sabian, dan senyum Bianca mengembang, seperti tanda bahwa tebakkan Sabian tepat sasaran.

“Boleh, pesen apa aja yang lo mau,” kata Sabian, menyerahkan kendali penuh kepada Bianca.

“Makasih, Om…,” kata Bianca, matanya berkilat nakal.

“Iya, By…,” balas Sabian dengan nada serupa, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama, menyadari kecocokan frekuensi di antara mereka yang begitu alami.

Setelah memesan, Sabian meletakkan tas karton milik Bianca di sisi meja, dekat dinding restoran yang dihiasi lukisan ikan koi. Semenjak itu, Bianca menopang dagunya dengan kedua tangan, matanya menatap Sabian dengan ekspresi yang sulit dibaca—seperti ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan, namun terperangkap di ujung lidah.

Sabian terus memperhatikan gerak-gerik Bianca. Ia ingin bertanya, akan tetapi sebelum ia sempat melakukan itu, minuman mereka tiba, disertai aroma teh hijau yang menenangkan.

“Makasih,” kata Sabian pada pramusaji yang baru saja mengantar minuman ke meja mereka.

Dan, pramusaji itu mengangguk sekaligus tersenyum hangat.

“Kenapa?” tanya Sabian pada Bianca, tepat setelah sang pramusaji melangkah pergi, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Bianca menghela napas kecil, lalu tersenyum, matanya berkilau di bawah lampu restoran. “Sebenernya gue suka ada sesuatu di antara kita. Mulai dari sepatu, jaket ayah gue, jaket lo… Setelah hari ini, kita ketemu pakai alasan apa lagi?” Nadanya ringan, tapi ada kerapuhan di dalamnya, seperti takut momen ini hanya sementara.

Mendengar pengakuan itu, Sabian merasa kehangatan menyebar di dadanya, seperti api kecil yang ditiup perlahan. “Kita nggak butuh alasan apapun buat ketemu—”

“Permisi, pesanannya.” Lagi-lagi potong seorang pramusaji yang tiba-tiba muncul. Kali membawa pesanan dengan nampan penuh akan sushi.

Sabian menahan napas kesal, momen mereka terganggu untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tersenyum sopan.

Setelah pramusaji itu pergi, Bianca tiba-tiba melepas pelindung ponselnya dan memasangkannya pada ponsel Sabian, yang kebetulan memiliki tipe yang sama persis dengan ponselnya sendiri. “HP lo harus pakai casing biar aman,” katanya, suaranya ringan seperti bercanda, tapi matanya penuh makna.

“Eh?” Sabian tampak bingung. “Terus HP lo?”

“Gue punya banyak di rumah,” jawab Bianca dengan senyum sumringah.

Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk memahami maksud tersembunyi di balik tindakan Bianca. Perempuan di hadapannya itu baru saja menciptakan ikatan baru, seperti jaket dan sepatu sebelumnya—sebuah alasan kecil untuk tetap terhubung, dan kembali bertemu tanpa status yang jelas di antara mereka.

“Makasih, Bi,” kata Sabian begitu lembut.

“Sama-sama. Nggak perlu buru-buru balikin!” kata Bianca, nadanya ceria namun ada sedikit penekanan di sana.

“Yakin?”

“Iya.”

“Kalau gitu, bakal gue simpen lama—eh, enggak! Gue balikin Sabtu depan,” kata Sabian, terdengar penuh tekad.

Kemudian, kata-kata itu sukses membuat pipi Bianca sedikit merona, seperti kelopak bunga mawar.

Bianca berdeham singkat. “Ayo makan!” serunya tiba-tiba, sembari mengangkat sumpit dengan semangat, seolah menyembunyikan rasa malu yang hampir saja menenggelamkan dirinya.

Melihat respons Bianca yang menggemaskan itu, sontak membuat Sabian tersenyum—tangannya terulur ke depan, menyentuh pucuk kepala Bianca seraya mengusapnya dengan gemas dalam hitungan detik—sebelum mereka mulai makan, berbagi sushi di tengah aroma wasabi dan kecap asin.

Di luar, langit mungkin masih mendung, awan tebal mungkin masih menahan hujan. Akan tetapi, di dalam restoran ini, dengan aroma sushi yang menggoda, lampu terang di atas mereka, dan senyum Bianca yang seperti bintang—Sabian merasa seperti menemukan langit yang cerah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia merasa utuh, bahagia, dan penuh harap.

Bianca menuruni motor dengan gerakan yang sedikit kaku, kakinya menyentuh trotoar yang panas di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar. Angin yang tadi menerpa wajahnya selama perjalanan terasa seperti tangan-tangan tak terlihat yang dengan sengaja mengacaukannya, menyebabkan rambutnya yang semula ditata rapi menjadi sedikit kusut dan acak-acakan.

“Makasih, ya, Pak!” kata Bianca, sambil menyerahkan helm kepada pemiliknya.

“Jangan lupa, bintang lima ya, Mbak Cantik!”

Tanpa mengatakan apapun, Bianca hanya memamerkan ibu jarinya, berharap pengendara ojek online itu cepat-cepat pergi dari sana.

Dan, tatkala ia benar-benar pergi, Bianca langsung menghela napas panjang. Nyatanya sial, tak mengenal tanggal. Helm yang sempat ia kenakan itu, berbau tak sedap.

“Bintang lima, bintang lima…. Helm lo, noh, bau belerang…,” gumam Bianca, seraya menyentuh kepalanya, kemudian menyadari bahwa aroma tak sedap dari helm yang ia maksud, tertinggal di sana.

Bianca praktis mencebik, rasa penyesalan menyelinap di dadanya lantaran lebih memilih naik ojek motor alih-alih ojek mobil, atau mengendarai mobil milik sang papa seperti biasa.

Saran Zaid, laki-laki yang baru-baru ia angkat menjadi sahabatnya, memang terdengar romantis, namun cukup untuk dianggap menyesatkan, membuat Bianca mulai mempertanyakan kemampuannya dalam mengambil keputusan.

Baru beberapa langkah, ia terhenti di depan sebuah etalase kaca milik toko di pinggir jalan. Pantulan dirinya di kaca itu seperti cermin yang berkata jujur namun begitu kejam. Bianca melihat seorang gadis dengan wajah sedikit kusut, rambut yang menolak patuh meski sudah disisir menggunakan jari berulang kali, dan mata yang mencerminkan campuran kekeselan, resah, dan sedikit ketidakpastian. Dengan jari-jari yang panjang, Bianca kembali merapikan rambutnya, menarik helai-helai yang membandel agar kembali pada tempatnya. Pakaian berbahan knit yang sengaja Bianca pilih karena terlihat simpel namun tetap elegan sedikit bergeser dari posisinya, dan ia buru-buru menarik ujungnya agar kembali terlihat rapi. “Relaks, please…,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru kendaraan dan suara klakson yang memenuhi udara. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena panas sore itu, tapi juga karena antisipasi bertemu dengan Sabian.

Sabian. Nama itu kini lebih familier, semenjak Sabian sendiri yang mengatakan kalau ingin mendekatinya. Belakangan, bertukar pesan di sela-sela kesibukan mereka sebagai pengangguran, menjadi sebuah rutinitas. Hari ini, pertemuan mereka mungkin dapat dikategorikan sebagai kencan pertama mereka, setelah memutuskan untuk menjadi lebih dari sekadar teman. Ada harapan yang membuncah di dada Bianca—harapan yang ia sendiri tak berani akui sepenuhnya.

Namun, harapan itu seolah ditampar realitas begitu ia menoleh pada halaman depan kafe yang dimaksud. Pintu kacanya tampak terkunci rapat, dan ada sebuah papan kecil bertuliskan “TUTUP” tergantung di gagang pintu, bergoyang pelan diterpa angin sore. Bianca mendelik, matanya membelalak tak percaya. “Serius?” gumamnya, suaranya penuh kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bianca mengambil langkah mendekat, berusaha mengintip ke dalam. Ruangan di dalam gelap, hanya ada bayangan samar meja-meja kosong dan kursi-kursi yang tersusun rapi. Bau debu samar tercium dari celah-celah pintu, menambah kesan sepi yang menyedihkan, seolah kafe itu sudah lama ditinggalkan

“Bianca?”

Suara itu datang memecah keheningan yang mulai menyelimuti hati Bianca. Lantas, ia memutar tubuh dengan cepat, hampir tersandung oleh trotoar yang sedikit retak. Dan, tak jauh dari sana, Sabian berdiri di samping motornya, helm hitamnya masih tergenggam di tangan kanannya. Rambutnya yang sedikit berantakan karena helm justru membuatnya terlihat lebih menarik dari biasanya.

“Masabi! Kafe ini tutup!” seru Bianca, nadanya sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, seperti anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya dari kejauhan.

Sabian mengerutkan kening, ekspresinya beralih dari santai menjadi bingung. Dengan cepat, ia meninggalkan motornya, langkahnya mantap dan penuh rasa ingin tahu. Ia mendekati pintu kafe, memeriksanya dengan mata menyipit, seolah berharap pintu itu akan terbuka hanya karena ia menatapnya.

“Beneran, ya?” gumamnya, suaranya rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari sesuatu.

Setelah beberapa detik, ekspresi Sabian berubah. Alisnya terangkat, dan wajahnya memerah sedikit, tanda rasa bersalah yang jelas. Ia memutar ponselnya ke arah Bianca, menunjukkan sebuah artikel yang ia temukan tentang kafe itu. “Lihat, Bi,” katanya, suaranya pelan, penuh penyesalan. “Kafe ini ternyata udah tutup permanen sejak pertengahan tahun lalu. Postingan yang gue lihat di reels… itu kemungkinan video lama.”

Bianca menatap layar ponsel itu, matanya menyusuri kalimat-kalimat yang menjelaskan bahwa kafe tersebut memang sudah tidak beroperasi karena masalah internal antar memiliknya. Informasi itu seperti pukulan kecil di dadanya, membuat harapan yang sebelumnya sempat membuncah kini kempis seketika. “Serius?” tanyanya, tak percaya. “Jadi kita nggak batal ngedate?”

Sabian terkekeh, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan wajahnya semakin memerah. “Maaf, ini salah gue….”

Bianca memandangnya, ingin marah tapi entah kenapa justru merasa lucu. Ada sesuatu dalam sikap Sabian yang begitu tulus, begitu polos, sehingga kemarahannya perlahan melebur menjadi senyum kecil yang tak bisa ia tahan. “Nggak usah minta maaf, mungkin alam emang nggak merestui kita.”

Sabian tertawa kecil, tapi cepat-cepat menghentikan tawanya ketika melihat Bianca memicingkan mata. “Ayo… ayo kita cari tempat lain buat ngedate!” Nada suara Sabian, lembut namun penuh keyakinan, membuat hati Bianca sedikit melunak.

Ada kehangatan dalam caranya berbicara, dalam caranya menatap Bianca dengan penuh perhatian, yang membuatnya merasa bahwa laki-laki di hadapannya itu benar-benar ingin memperbaiki situasi.

Bianca menghela napas, mencoba menahan senyum yang semakin lebar. “Ada kafe lain di dekat sini,” katanya setelah berpikir sejenak. “Nggak jauh, cuma lima menit naik motor. Ramai, tapi enak. Lo mau ke sana?”

Sabian mengangguk tanpa ragu, matanya berbinar. “Deal. Ayo.”

Laki-laki itu berjalan menuju motornya. Dan, dengan tangan yang amatir ia membukakan pijakan kaki di motor untuk Bianca, sebelum Bianca sempat melakukannya sendiri. Gerakan kecil itu, sederhana namun penuh perhatian, membuat Bianca merasa ada kupu-kupu kecil yang beterbangan di perutnya. Beruntung, ia sudah memikirkan situasi ini sebelumnya dan memilih mengenakan celana jeans panjang yang nyaman alih-alih rok, membuatnya lebih mudah menaiki motor. Dengan bantuan tangan Sabian yang menyangga lengannya dengan lembut, ia naik ke jok belakang, merasakan permukaan kulit jok yang sedikit panas karena terpapar sinar matahari sore.

“Gue cuma ada satu helm,” kata Sabian.

“Ohh, yaudah, pake aja. Gue lebih suka kena angin,” sahut Bianca.

Selang beberapa detik, setelah keduanya sama-sama siap, motor Sabian mulai melaju, membelah bahu jalan yang ramai dengan kendaraan. Angin kembali menerpa wajah Bianca, kali ini asap kendaraan membawa serta aroma parfum Sabian yang menguar dari pakaiannya. Suara klakson dan deru mesin motor lainnya mengisi udara, tapi entah kenapa, semua itu terasa seperti latar belakang yang samar di pikiran Bianca. Ia fokus pada punggung Sabian di depannya, pada jaket kulitnya yang sedikit usang namun terasa begitu nyata di bawah genggaman tangannya. Jantung Bianca berdetak kencang, bukan hanya karena kecepatan motor, tapi juga karena kedekatan ini—kedekatan yang membuatnya merasa hidup, namun juga rentan.

Perjalanan menuju kafe lain terasa singkat, meski jalanan cukup padat. Sesampainya di sana, Bianca langsung disambut oleh keramaian yang nyata. Kafe itu penuh sesak, antrean di kasir mengular hingga hampir mencapai pintu masuk. Suara obrolan pelanggan bercampur dengan dentingan cangkir dan aroma kopi yang menggoda. Lampu-lampu gantung dengan bohlam kuning menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantul di dinding kayu kafe, memberikan nuansa tenang yang kontras dengan kegaduhan di dalamnya.

Sabian memarkirkan motornya dengan hati-hati, lalu melepas helmnya sambil menoleh ke arah Bianca.

“Gue antri pesanan, ya,” kata Bianca cepat, ingin mengambil inisiatif. Ia melangkah lebih dulu, meninggalkan Sabian yang masih sibuk meletakkan helmnya di spion motor.

Namun, baru beberapa langkah, Bianca merasakan nyeri samar di perutnya, seperti tusukan kecil yang datang tanpa peringatan. Langkahnya terhenti, tangannya secara refleks menyentuh bagian bawah perutnya. Nyeri itu bukan hal baru baginya—ia tahu itu pertanda haidnya datang, tapi intensitasnya kali ini cukup mengganggu, membuatnya sedikit meringis.

Dari belakang, Sabian bergegas menyusul, menyadari gestur Bianca yang mencurigakan. “Lo kenapa, Bi?” tanyanya, tersirat kekhawatiran, matanya menelusuri wajah Bianca dengan cermat.

Bianca menggeleng, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Nggak apa-apa,” katanya, lirih.

Beruntung Sabian tak membiarkannya begitu saja. Dengan langkah cepat, ia mendekati Bianca, berjalan tepat di belakangnya.

Bianca dapat merasakan sentuhan lembut di pundaknya—kedua tangan Sabian menyentuhnya dengan hati-hati, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.

“Ke toilet dulu, gue anter,” kata Sabian, tegas tapi penuh perhatian.

Bianca mengerutkan kening, bingung. “Hah?”

Sabian menunduk sedikit. “Celana lo kotor.” Suaranya pelan di telinga Bianca. Hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuknya.

Detik itu juga, Bianca ingin menenggelamkan dirinya sendiri ke dasar lautan. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang, dan rasa malu menyerbu dirinya seperti gelombang yang tak bisa ia bendung. Ia menunduk, tak berani menatap Sabian, apalagi memeriksa celananya sendiri. Ini adalah kencan pertamanya dengan laki-laki setampang Sabian, dan hal yang sangat fatal malah terjadi. Rasa malunya begitu besar, seperti beban yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.

Sabian, seperti memahami kepanikan Bianca, ia mengambil aksi tanpa perlu diminta. Dengan sikap yang tenang tapi tegas, ia mengantar Bianca menuju toilet di sudut kafe. Kebetulan peminat toilet tak seramai peminat kopi. Di depan pintu toilet wanita, Sabian berhenti, menatap Bianca dengan ekspresi yang menenangkan, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkannya sendirian dalam situasi ini.

“Masuk. Tunggu sebentar di dalam.”

Bianca bergeming, tak berniat memberi jawaban.

“Tenang aja, gue beneran cuma sebentar…,” katanya, memastikan.

Lantas, Bianca hanya mengangguk lemas, sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke dalam toilet, memilih salah satu bilik, dan mengunci pintunya dengan tangan yang sedikit gemetar. Di dalam bilik kecil, yang bau amonia pembersihnya menyengat di hidung itu, ia merasa seperti ingin menangis. Dinding bilik yang dilapisi ubin putih terasa dingin saat ia bersandar padanya, mencoba menenangkan napasnya yang tak teratur.

“Kenapa harus sekarang, sih? Kenapa harus di depan Sabian?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar, terkubur oleh rasa malu yang begitu besar, hampir menyakitkan. Ia membayangkan Sabian mungkin saja memandangnya dengan jijik, atau setidaknya merasa kerepotan. Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Waktu di dalam bilik itu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti menit. Suara gemerisik langkah kaki dan obrolan pelan dari orang-orang di luar toilet samar-samar terdengar, namun Bianca merasa terisolasi, terperangkap dalam ruang kecil yang terasa semakin menyesakkan. Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu biliknya memecah keheningan.

“Halo? Yang di dalam sini Bianca, ya?” Suara seorang wanita, lembut namun asing, terdengar dari luar, membawa sedikit kebingungan di tengah keresahan Bianca.

“Iya,” jawab Bianca, suaranya lirih.

“Pacar kamu di luar, titip sesuatu ke saya. Boleh buka pintunya?”

Bianca mengerutkan kening, bingung namun penasaran. Dengan ragu, ia membuka pintu bilik sedikit, cukup untuk melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya, memegang sebuah tas karton kecil. Wanita itu tersenyum ramah, kerutan halus di sudut matanya menunjukkan kehangatan yang tulus. Ia menyerahkan tas karton itu kepada Bianca, yang menerimanya dengan tangan yang masih gemetar.

“Makasih, Tante…,” ucapnya pelan, dan wanita itu mengangguk singkat.

Bianca kembali menutup pintu bilik. Ia membuka tas karton pemberian Sabian dengan hati-hati, dan apa yang ia temukan di dalamnya membuatnya tertegun. Ada pembalut—masih dalam kemasan plastik yang rapi, dan jaket kulit yang sempat dikenakan oleh Sabian—masih membawa aroma samar parfumnya yang maskulin. Bianca menatap isi tas karton itu, dadanya dipenuhi perasaan kagum, haru, dan sedikit rasa tak percaya. Sabian, dengan segala ketenangannya, telah pergi mencari pembalut untuknya dan bahkan memberikan jaketnya—mungkin untuk menutupi noda di celananya. Tindakan tak terduga itu terasa begitu besar di hati Bianca, seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan rasa malunya.

Bianca menghabiskan beberapa menit di dalam bilik toilet untuk menyelesaikan urusannya. Ia mengikat jaket Sabian di pinggangnya untuk menutupi noda, sembari menatap pantulan dirinya pada cermin besar di luar bilik. Jaket itu terasa hangat, seolah menyampaikan kehangatan hati Sabian.

Bianca mengatur napasnya. Dengan hati-hati, ia akhirnya keluar dari toilet, aroma kopi dan kue yang tadi menggoda kini terasa seperti pengingat bahwa dunia di luar masih berjalan, meski hatinya masih berdebar-debar. Tatkala Bianca menoleh, ia sedikit terkejut, namun juga lega, melihat Sabian masih berdiri di sana. Di tempat ia meninggalkannya. Laki-laki itu menunggu Bianca dengan ekspresi santai namun gurat kekhawatiran tak dapat ia sembunyikan sepenuhnya.

“Udah?”

“Iya….” Bianca celingak-celinguk, menatap sekitar. Mendapati bahwa langit sudah mulai gelap.

Sabian tersenyum kecil, dan dengan gerakan yang tak terduga, ia mengacak pucuk kepala Bianca dengan gemas, jari-jarinya terasa hangat di kulitnya. “Sini, gue bantu bawa,” katanya, meraih tas karton dari tangan Bianca begitu saja. Gerakannya alami seolah itu hal yang biasa untuknya.

Sementara itu, Bianca hanya melongo, masih tak menyangka Sabian akan begitu santai setelah kejadian yang sangat memalukan menimpanya.

Namun, tatkala Sabian mulai melangkah di meninggalkannya, sesuatu dalam diri Bianca mendorongnya untuk bertindak. Dengan gerakan cepat, ia menarik ujung kaos Sabian, membuat laki-laki itu berhenti dan menoleh dengan alis terangkat.

“Apa?”

Bianca menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang, tak karuan. “Lo bisa bantu bawa yang lainnya, nggak?”

Sabian memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Bianca lamat-lamat, seolah mencari tahu apa maksudnya. “Bisa. Apalagi yang mau gue bawa?” tanyanya, nadanya ringan namun penuh perhatian.

Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, Bianca mengulurkan tangannya ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas, terbuka seperti sebuah undangan. Ia tak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi momen ini terasa seperti titik balik, sebuah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.

Sabian menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya tersenyum—senyum lebar yang membuat jantung Bianca berdetak lebih kencang. Dengan gerakan yang impulsif, ia menggenggam tangan Bianca, jari-jarinya menyatu dengan jari-jari Bianca, terasa hangat dan kokoh.

“Secepet itu ya, mood lo membaiknya?” kata Sabian sambil terkekeh, memimpin mereka berdua menuju antrean yang masih mengular.

Bianca menghela napas panjang, mencoba menutupi rasa gugup yang masih tersisa. “Sebenernya gue masih malu banget, dan gak sanggup liat muka lo. Tapi… kayaknya, kebaikan dan perhatian lo nggak boleh gue sia-siain gitu aja,” katanya, penuh keyakinan.

Mendengar itu, sontak membuat Sabian tertawa, suaranya ringan dan hangat, mengisi ruang di antara mereka dengan keakraban yang baru. “Makasih, ya, timbal baliknya.”

Mereka melangkah bersama, tangan mereka tetap bergandengan, mengantre di tengah keramaian kafe. Di tengah suara tawa, aroma kopi, dan dentingan cangkir, Bianca merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Momen memalukan tadi, yang awalnya terasa seperti akhir dunia, kini menjadi titik balik. Sabian bukan hanya laki-laki yang ia sukai—ia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa aman, bahkan di tengah kekacauan.

lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.

Bianca mengemudi mobil sedannya menuju sekolah, tempat Cica belajar. Membelah kepadatan kota di bawah hujan dengan intensitas ringan.

Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul sebelas siang, ketika Bianca memarkirkan mobilnya di area parkir sekolah. Ia mematikan mesin, memeriksa ponselnya sebentar, lalu menghela napas sambil menatap langit dari balik kaca mobil. Awan-awan tebal masih bergulung di atas sana. Menutupi sinar matahari yang semestinya hangat. Rintik hujan masih setia turun membasahi jalan.

“Untung ada payung,” gumamnya, merasa lega. Cuaca Jakarta memang sulit diprediksi. Selalu sedia payung di dalam mobil, sebelum hujan, adalah langkah terbaik. Bianca meraih payung lipat hitam yang selalu ia bawa ke mana-mana. Pengalaman terjebak hujan tanpa payung, membuatnya belajar untuk selalu siap.

Bianca memutuskan untuk turun dari mobil dan menjemput Cica langsung di area penjemputan siswa, namun tepat sebelum membuka pintu mobil, matanya menangkap sosok yang berjalan dari arah parkiran menuju gerbang sekolah.

Sosok itu tinggi, mengenakan jaket hitam yang tampaknya basah karena hujan. Langkahnya cepat namun santai, seolah rintik air hujan tak terlalu mengganggunya. Bianca langsung mengenali sosok itu—Sabian—meski dari kejauhan. Ia tersenyum kecil, tak menyangka akan bertemu laki-laki itu di tempat ini. Dengan gerakan cepat, Bianca membuka pintu mobil, keluar, dan membuka payungnya lebar-lebar. Hujan terus jatuh ke aspal, mengisi genangan-genangan kecil di trotoar yang baru tercipta beberapa saat lalu.

Bianca berlari kecil menuju Sabian, payung di tangan kanannya sedikit miring karena angin yang cukup kencang. “Sabian!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi air yang jatuh ke atas payung itu.

Sabian menghentikan langkahnya, memutar tubuh, dan matanya bertemu dengan pandangan Bianca. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, meski segera tergantikan oleh senyum tipis yang hangat. “Bianca?” Suaranya rendah, namun cukup jelas di tengah hujan. Rambutnya yang sedikit panjang sudah basah, beberapa helai menempel di dahinya.

Bianca mendekat, mengangkat payung hingga menutupi mereka berdua. “Jemput Alin?” tanyanya, membuka percakapan.

Laki-laki itu tersenyum kecil, tampak sedikit senang, lalu mengangguk. Mereka mulai berjalan beriringan menuju area penjemputan siswa, payung besar itu melindungi mereka dari hujan gerimis di area sekolah, siang ini.

“Kehujanan dari mana?”

“Lampu merah,” sahut Sabian.

“Astaga….”

Jarak di antara mereka terasa begitu dekat. Sesekali lengan mereka saling bersentuhan, tanpa sadar. Bianca dapat mencium aroma samar parfum Sabian yang entah kenapa membuatnya sedikit salah tingkah. Ia mencuri pandang ke arah Sabian, memperhatikan rahangnya yang tampak mengeras, mungkin kedinginan.

“Jaket lo basah banget, Sabian. Nggak ada jas hujan?” katanya setelah beberapa langkah, suaranya penuh perhatian.

“Ada, tapi lupa bawa.”

“Di mobil, ada jaket ayah gue, tuh, kering kok. Pakai aja nanti, daripada lo kedinginan.”

Sabian menggeleng, tersenyum lagi. “Nggak usah. Nanti juga kering.”

Bianca hendak memprotes, namun sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiga sosok kecil muncul dari arah aula sekolah. Cica, Alin, dan Acat berjalan bersama. Di antara ketiganya, Alin menjadi satu-satunya yang memakai jas hujan.

Cica melambai penuh semangat begitu melihat Bianca, berlari kecil tanpa takut terpeleset oleh sisa air hujan. “Mbak!” serunya, suaranya ceria seperti biasa.

Bianca mendekat, kemudian membungkuk, memeluk adiknya sambil meletakkan payung di samping anak itu.

“Hai, Alin!” sapa Bianca pada Alin yang kini berdiri tak jauh dari Sabian, lalu beralih ke Acat. “Hai, Acat!” timpalnya.

Acat, yang biasanya hanya diam acapkali bertemu Bianca, kali ini tampak lebih bersahabat. Ia tersenyum lebar. Matanya berbinar, seolah menyimpan rahasia. “Kalian abis pakai satu payung buat berdua?” tanyanya tiba-tiba. Terdengar polos tapi penuh rasa ingin tahu. Pertanyaan itu begitu mendadak hingga membuat Bianca terkejut. Ia melirik Sabian, yang hanya tersenyum kecil sambil mengacak rambut Alin yang basah.

Menyadari bahwa Sabian tampaknya tak berniat menutupi apa yang ada di antara mereka, lantas Bianca berdeham singkat. “Iya, tadi nggak sengaja liat Masabi. Kasian dia, kehujanan di tempat parkir,” jawab Bianca, berusaha terdengar santai meski wajahnya sedikit memanas. Ia tak menyangka Acat akan begitu perhatian pada detail kecil seperti ini.

Tiba-tiba, Cica, Alin, dan Acat saling pandang, lalu tertawa kecil. Tawa mereka penuh makna, seolah mereka tahu sesuatu. Sementara itu, Sabian seperti tengah menikmati momen ini dengan diam seribu bahasa sambil tersenyum culas.

“Kalian ngetawain apa, sihq?” kata Bianca, pura-pura kebingungan dengan nada bicaranya yang main-main.

Sebelum trio kecil di hadapannya itu memberi jawaban, sebuah mobil SUV hitam berhenti di dekat mereka. Jendela mobil itu terbuka, dan sosok seorang perempuan yang tampak lebih tua dari Bianca melambaikan tangan ke mereka. “Bi?” sapanya.

Bianca mendelik. Berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu orang itu sebelumnya, dan bagaimana bisa orang itu mengetahui namanya, namun detik kemudian Sabian mengambil langkah yang mantap di depan Bianca.

“Eh, tumben kamu yang jemput Alin?”

Sabian hanya terkekeh. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia justru memberikan salam pada perempuan itu.

“Ibu!” pekik Acat.

Sesaat setelah mendengar itu, Bianca praktis menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Usut punya usut, ‘Bi’ yang baru saja ia dengar, ditujukan untuk Sabian. Dalam keterdiamannya, Bianca tertawa, ia baru ingat. Sapaan nama mereka sama persis, mungkin ini pertanda bahwa mereka benar-benar ditakdirkan bersama, pikirnya.

Acat berlari menuju mobil ibunya, namun sebelum masuk, ia menoleh ke arah Bianca dan Sabian. “Bu, yang cantik itu pacarnya Masabi. Beneran!” serunya, lalu cepat-cepat masuk ke mobil sebelum Bianca atau Sabian sempat menjawab. Ibunya tampak tertawa, mengangguk ke arah mereka.

“Cocok!” Kata itu lolos begitu saja dan terdengar sangat jelas di telinga Bianca. Membuat jantungnya berdebar seketika.

“Ibu duluan ya! Kalian hati-hati pulangnya!” timpal ibu Acat.

Sabian mengangguk paham, lalu melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan yang sementara. Tak butuh waktu yang lama, kaca mobil itu kembali tertutup, sebelum akhirnya melaju meninggalkan area sekolah.

Hujan mulai reda, hanya menyisakan gerimis halus yang hampir tak terasa. Sabian menoleh ke Alin, yang masih berdiri di sampingnya sambil memainkan ujung mantel hujannya.

“Pulang, Lin?” tanya Sabian, meski ia tahu bahwa sudah semestinya seperti itu.

“Iya, Masabi, ayo kita pulang juga!”

Yang selanjutnya Sabian lakukan adalah meraih tangan Alin “Ayo!” sahutnya, kemudian mengalihkan atensinya pada Bianca. “Makasih ya, payungnya. Gue balik duluan.” Ia mengatakan itu dengan tulus.

“Tunggu dulu,” kata Bianca cepat, menarik lengan Sabian sebelum pria itu berbalik sepenuhnya. Sabian berhenti, menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Jaketnya. Gue serius, Sabian. Takutnya besok lo sakit gara-gara kehujanan,” sambungnya, nadanya tegas tapi penuh perhatian.

Sabian hendak menolak lagi, namun Bianca sudah lebih dulu berjalan menuju mobilnya sembari melipat payung menyelamatkan mereka beberapa saat lalu, mengabaikan Cica dan Alin yang tengah mengsam-mengsem. Kedua anak perempuan itu mengikuti Bianca di belakangnya sambil berbisik dan terkikik.

Di parkiran, Bianca membuka pintu belakang mobilnya, meraih jaket abu-abu milik sang ayah yang terlipat rapi di atas kursi penumpang. Jaket itu besar, tapi kering dan hangat—sempurna untuk menggantikan jaket basah milik Sabian.

“Nih,” kata Bianca, seraya menyerahkan jaket itu ke Sabian. “Jangan nolak lagi, ya. Tenang aja, cuma jaket, ayah gue nggak akan marah, kok.”

Sabian hanya dapat menghela napas pasrah, dan akhirnya menerima jaket itu dengan senyum kecil. “Oke, oke. Makasih, Bi. Besok gue balikin, ya,” katanya, lalu melepas jeket basahnya dan memakai jaket kering milik ayah Bianca itu. “Besok lo yang jemput Cica, lagi?” Sabian memastikan.

Bianca mengangguk mantap. “Iya, gue nganter jemput Cica,” sahutnya.

Meski jaket milik sang ayah sedikit tua, namun entah kenapa Bianca merasa Sabian terlihat baik dengan jaket itu. Bahkan, untuk sesaat, ia tak mampu mengalihkan pandangan.

“Ih, cocok di elo,” katanya tanpa sadar, lalu buru-buru mengalihkan pandangan saat menyadari Sabian menatapnya dengan senyum yang lebih lebar dari sebelumnya.

Cica dan Alin, yang berdiri tak jauh dari mereka, saling menatap dengan ekspresi tak percaya. “Mbak aku sama Masabi kamu kayaknya deket banget, ya,” bisik Cica ke Alin, cukup keras hingga Bianca dapat mendengarnya. Sementara itu, Alin mengangguk antusias.

Bianca berdeham, berusaha menyembunyikan rasa malu dalam benaknya, lalu menarik lengan Cica dan membuatnya masuk ke dalam mobil secara paksa. Membuat anak itu sedikit meronta.

Ia menoleh ke Sabian, yang kini sudah siap berjalan bersama Alin. “Gue pulang duluan, ya, Masabi.”

Sabian mengangguk, menggandeng tangan Alin ketika Bianca menaiki mobilnya dan duduk di kursi pengemudi.

“Makasih, ya! Bye-bye, Mbak! Bye-bye, Cica!” pekik Alin.

Hujan berhenti, meninggalkan udara segar dan aroma tanah basah yang khas setelah hujan. Di dalam mobil, Bianca menyalakan mesin, tapi sebelum ia menekan pedal gas, Cica yang duduk di kursi sebelahnya tiba-tiba berseru, “Mbak, kamu sadar nggak tadi Masabi senyum-senyum terus, lho, setiap kali kamu ngomong!”

“Masa, sih?” tanya Bianca, berusaha terdengar santai. Namun, di dalam hati, ia tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu di senyum Sabian tadi—sesuatu yang membuat hatinya sedikit berdebar. Momen di bawah payung, tawa anak-anak, dan jaket ayahnya yang kini dipakai Sabian terasa seperti akan sulit dilupakan.

Pagi itu, Jakarta masih diselimuti embun tipis sisa hujan semalam. Matahari mengintip di ufuk timur, menyapa dunia dengan sinar lembutnya. Sabian sudah berdiri di garasi rumahnya, bahkan sejak sepuluh menit yang lalu untuk memanaskan satu-satunya motor miliknya.

Dengan jaket hitam dan helm yang ia kenakan, Sabian melirik jam tangannya. Pukul setengah tujuh pagi. Masih cukup waktu untuk mengantar Alin, adik kecilnya itu ke sekolah. Namun, di balik persiapannya pagi ini ada harapan lain yang menggelitik di hati Sabian; bertemu Bianca yang juga akan mengantar Cica.

Alin keluar dari rumah dengan seragam sekolahnya yang sedikit kebesaran, tas ransel kecil warna merah muda di pundaknya, dan sepatu yang mengilap di kedua kakinya yang mungil. “Masabi, cepetan! Udah siang, nih!” katanya dengan suara cengeng khas anak perempuan, sambil melompat-lompat kecil di tempat.

Mendengar itu, Sabian tersenyum, seraya menaiki motornya. “Iya, Lin, iya! Rame banget, udah kayak Mama aja. Naik pelan-pelan, pegangan sama Masabi, ya.” Ia membantu Alin naik ke jok belakang motor, yang memang agak tinggi untuk tubuh kecilnya, dengan sebelah tangan. Motor Sabian sebetulnya bukanlah kendaraan ideal untuk membawa anak sekecil Alin namun, Sabian akan selalu ekstra hati-hati kalau menyangkut apapun soal adiknya itu.

Alin memeluk pinggang Sabian erat-erat, helm merah mudanya yang kecil sedikit bergoyang saat ia mencoba menyesuaikan posisi. “Ayo, Masabi!” pekik Alin, suaranya penuh semangat.

Sabian terkekeh, menutup visor helmnya, dan memutar gas perlahan. “Siap, Bos!” sahut Sabian, tepat sebelum motor itu meluncur keluar dari halaman rumah menuju jalan utama, memulai perjalanan pagi mereka.

Mobil-mobil berjejer di jalan utama, rupanya macet tak terelakkan. Sepeda motor lain berlomba mencari celah di antara kemacetan. Sabian, dengan keahliannya, berusaha membelah kepadatan. Ia memainkan gas dan kopling dengan cekatan, menyelinap di sela-sela mobil yang bergerak lamban. Angin pagi menerpa wajahnya melalui celah visor, membawa aroma asap kendaraan bercampur udara segar. Sementara itu, di belakang, Alin sesekali bersorak kecil setiap kali motor yang tengah mereka tumpangi itu melaju kencang, atau sekadar berhasil menyalip kendaraan lain.

“Masabi, seru banget kayak naik roket!” teriak Alin, membuat Sabian tersenyum di balik helm. Maklum, anak itu biasa duduk manis di kursi penumpang di dalam mobil, selama Sabian berada di kota lain.

Sepanjang perjalanan, pikiran Sabian tak jarang melayang ke Bianca. Entah, sudah sedalam apa ia menaruh hati kepada perempuan itu, Sabian sendiri tak begitu yakin. Mengantar Alin ke sekolah benar-benar menjadi hal paling impulsif yang Sabian lakukan selama mendekati Bianca. Sabian berharap halaman sekolah Alin dapat menjadi tempat di mana ia bisa mencuri pandang atau—jika beruntung—berbincang sebentar dengan perempuan itu.

Jalanan terasa semakin padat tatkala Sabian dan Alin mendekati perempatan besar. Lampu merah memaksa Sabian menghentikan motor, kaki kirinya menapak aspal untuk menjaga keseimbangan. Di sekitarnya, suara klakson dan deru mesin saling bersahutan tanpa henti. Alin menggeliat di jok belakang, suaranya cemas. “Masabi, kita nggak telat, kan?”

Sabian melirik jam tangannya yang memantulkan bayangan di spion motor. “Masih aman, Lin. Lima menit lagi kita sampai.” Sebetulnya ia sendiri juga cemas, pasalnya sinar matahari sudah semakin hangat. Begitu lampu hijau menyala, ia langsung tancap gas, dan motornya kembali melesat menyusuri celah sempit di antara mobil-mobil yang ada.

Akhirnya, gerbang sekolah Alin terlihat di kejauhan. Sabian memperlambat laju, memasuki area parkir yang sudah ramai dengan orang tua dan siswa kecil yang berlarian. Ia memarkir motor di sudut yang kosong, sebelum akhirnya membantu Alin turun dengan hati-hati, dan melepas helmnya sambil memindai parkiran depan.

Harapannya melambung tinggi. Mobil sedan Bianca yang familier semestinya juga ada di sana. Namun, saat matanya usai menjelajah, hatinya sedikit ciut. Ia sama sekali tak melihat keberadaan mobil itu.

Sabian hanya bisa menghela napas panjang berkali-kali saat ia membawa Alin menuju titik pengantar murid. Begitu matanya tak sengaja melihat ke arah lapangan, ia dapat menemukan eksistensi Cica—adik Bianca yang tengah melambaikan tangan ke arah Alin.

“Alin! Cepet sini!” seru Cica, dengan wajah cerahnya.

Sabian praktis mengerutkan kening. “Lin, Masabi nggak kesiangan, kan, nganternya?” tanyanya, berusaha menyembunyikan rasa kecewa yang perlahan tapi pasti mulai menelan dirinya.

Alin, yang sibuk merapikan seragamnya, menjawab polos, “Kesiangan! Biasanya Alin sampai di sekolah lebih pagi dari ini tau, Masabi.”

Mendengar pertanyaan itu, pundak Sabian praktis merosot. Semangat anak-anak terkadang merugikan orang tua. Kekecewaan terus menggelayut dalam benak Sabian. Ia sudah membayangkan senyum Bianca, atau setidaknya sapaan singkat yang dapat menjadi bahan bakar semangatnya untuk hari ini namun, gagal berkat Cica yang sepertinya ingin sekali datang lebih cepat, bahkan di saat langit masih gelap.

Alin memeluk Sabian tanpa kata, kemudian memintanya berlutut untuk memberi sebuah kecupan singkat sebagai tanda perpisahan. “Alin masuk dulu, ya, Masabi!” serunya, lalu berlari kecil menuju Cica, meninggalkan Sabian yang masih berdiri di sana, merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. Namun, sebelum Sabian semakin tenggelam dalam pikirannya, sebuah suara kecil tiba-tiba saja menyapa dengan penuh semangat.

“Masabi!”

Itu Acat, yang tiba-tiba mendekat dengan langkah cepat, seragam sekolahnya rapi dan wajahnya tampak sumringah. Melihat Acat, Sabian tersenyum, agak terkejut lantaran Acat begitu antusias.

“Eh, Cat!” Sabian balas menyapa, sambil memeberikan sebuah usapan lembut pada pucuk kepala anak itu.

Acat tersenyum lebar, lalu kedua matanya berbinar. “Masabi, nanti pulangnya, Acat boleh ikut motor Masabi, nggak?” kata Acat penuh harap.

Mendengar itu, Sabian lantas mengerucutkan bibirnya. “Cat… kayaknya susah. Motor Masabi kan joknya cuma buat dua orang,” kata Sabian, menyesal.

Namun, Acat tak menyerah begitu saja. Dengan wajah polos dan nada penuh semangat, Acat berdiri menggunakan ujung kakinya. “Acat sama Alin, kan, kurus! Kita berdua diitungnya satu orang.” Ia bahkan mengangkat tangannya, seolah menunjukkan betapa “kecil” dirinya.

Sabian nyaris tertawa, namun ia menahan diri. Acat memang punya cara sendiri untuk membujuk, akan tetapi Sabian tahu motornya bukan kendaraan yang aman untuk membawa tiga orang, terlebih lagi, dua di antaranya merupakan anak kecil. “Cat, bukannya Masabi nggak mau, tapi emang nggak bisa. Nggak aman. Nanti aja, kapan-kapan Masabi gantian nganter jemput Acat,” jelas Sabian, nadanya lembut tapi tegas, sengaja menggunakan bahasa sederhana agar Acat dapat mengerti.

Lantas, Acat memasang wajah cemberut. “Tapi, Masabi….”

Sabian menggeleng, tetap pada pendiriannya. Ia mengacak rambut Acat ringan, berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar menolak permintaan Acat namun, tidak bermaksud mengecewakannya.

Mendapat perlakuan itu membuat Acat menghela napas kecil, wajahnya berubah menjadi pasrah. “Yah, ya udah. Tapi, Masabi janji ya, kapan-kapan!” katanya, lalu berlari menuju lapangan untuk bergabung dengan Alin dan Cica. Lagi-lagi menyisakan Sabian seorang diri. Namun, Sabian menghela napas lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.

Di dalam mobil, Bianca duduk terdiam, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak beraturan. Jantungnya berdetak lebih cepat, lantaran merasa gugup dan cemas di saat yang bersamaan. Malam ini, ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang dijodohkan oleh sang bunda—sebuah ide yang sempat membuat Bianca langsung menggelengkan kepala dengan begitu semangat saat kali pertama mendengarnya.

Ia melirik ke arah jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul setengah tujuh malam. Ia masih punya waktu sebelum janji temu di restoran bergaya Prancis yang terletak di lantai sembilan, di sebuah gedung mewah di kawasan Kalibata.

Jalanan di depannya begitu ramai, lampu-lampu mobil dan klakson sesekali memecah keheningan di dalam mobil gadis itu. Sebuah lagu akustik mengalir lembut, tatkala pikirannya melayang ke Sabian—laki-laki yang belakangan ini mengisi hatinya. Kalau boleh berkata jujur, sebetulnya Bianca tidak tahu banyak tentang laki-laki yang akan ia temui malam ini, pasalnya sang bunda kurang begitu memperkenalkan sosok laki-laki itu padanya—namun di dalam hati, Bianca terus-menerus membayangkan sosok Sabian. Mungkin karena ia diam-diam berharap Sabian lah yang akan dijodohkan dengannya, lantaran sedikit ciri-ciri yang sempat ia dengar.

Bianca kembali mengemudi mobilnya—menyeberang ke halaman gedung mewah yang sejak beberapa saat lalu hanya mampu ia amati dari kejauhan. Setelah memarkir mobilnya di basement gedung, Bianca tak membuang waktu sedikitpun. Ia langsung melangkah menuju lift, meski dengan langkah yang sedikit ragu. Gaun midi biru yang ia kenakan terasa pas di tubuhnya, sederhana namun elegan, dengan potongan yang berayun lembut mengikuti pergerakannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, senantiasa bergoyang santai setiap kali ia melangkah. Di cermin di dalam lift, Bianca memeriksa penampilannya sekali lagi. Lipstik merah muda yang tipis, alis yang sudah rapi, dan sedikit perona pipi yang membuat wajahnya terlihat segar—semuanya tampak sempurna—seakan-akan ia memang sengaja datang untuk menerima perjodohan itu. Lift berdenting pelan saat tiba di lantai tempat restoran berada, dan pintunya terbuka, mengantarkan Bianca pada dunia yang sama sekali berbeda.

Aroma bunga segar—mungkin mawar dan lavender—menyapa hidungnya begitu ia melangkah keluar. Restoran itu terasa seperti berlian tersembunyi di tengah hiruk-pikuk Jakarta. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya keemasan yang hangat ke dinding-dinding kaca. Jendela-jendela besar menampilkan pemandangan kota yang berkilau, dengan lampu-lampu gedung yang menari-nari seperti kunang-kunang di malam hari. Suara piano akustik mengalun lembut, menciptakan suasana yang intim dan menenangkan, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.

Seorang pelayan berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum profesional, “Selamat malam, Nona. Atas nama siapa?”

“Bianca.”

Pelayan itu praktis mengangguk, “Mari….”

Bianca merasakan sedikit keringat dingin di telapak tangannya. Ia diantar, melewati deretan meja yang dihias dengan taplak putih dan lilin kecil yang menyala lembut di atasnya. Di ujung ruangan, dekat jendela besar, Bianca melihat seorang laki-laki yang duduk membelakangi pintu masuk. Punggungnya tegap, mengenakan kemeja hitam yang lengan bajunya tergulung hingga siku. Rambutnya pendek, sedikit berantakan tapi terlihat disengaja, seperti seseorang yang tahu bagaimana caranya tampil menarik tanpa perlu berusaha terlalu keras.

Jantung Bianca melonjak. Ada sesuatu yang begitu familiar dari sosok itu, dan dalam sekejap, ia merasa semakin yakin. Sabian, pikirnya, kemudian senyum kecil tersungging di bibirnya. Bianca membayangkan wajah Sabian yang sesekali terlihat kaku saat tengah bicara dengannya, dan mata laki-laki itu yang akan menyipit saat ia tertawa karena hal-hal remeh. Lantas, harapan itu membuncah di dada Bianca, membuat langkahnya terasa lebih ringan.

Namun, ketika ia menoleh, senyum Bianca membeku seketika. Kedua matanya membola dan napasnya tercekat. Bukan Sabian. Itu orang lain. Wajah yang tengah dipandangnya itu terasa asing—namun, tidak terlalu. Bianca menyadari kalau laki-laki itu tengah menampilkan sebuah ekspresi wajah yang tak jauh berbeda dengan dirinya.

“Bianca, bukan?” Suaranya dalam, dan kedengarannya seperti tengah terburu-buru untuk memastikan apa yang tengah ia lihat.

“I-iya…,” jawab Bianca.

“Gue Zaid!” serunya, seraya menjabat tangan Bianca.

Bianca membalas jabatan tangan itu, sembari mencoba menutupi keterkejutan yang sempat melintas di wajahnya. “Oh, hai, Id!” katanya, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya karena gugup.

Mereka duduk, dan pelayan segera mendekat untuk menyerahkan buku menu. Sesekali Bianca mencuri pandang pada Zaid, mencoba mencerna situasi. Zaid bukan Sabian, tapi ia mengenal siapa laki-laki di hadapannya itu—membuatnya merasa tidak perlu bersikap terlalu kaku. Zaid sendiri juga tampaknya sangat santai, dengan postur yang rileks dan tatapan yang tidak menghakimi.

Dalam diam, emosi Bianca bercampur aduk; ada sedikit kekecewaan karena laki-laki yang dijodohkan dengannya ternyata bukan Sabian, tapi juga merasa lega sekaligus tak percaya bahwa orang yang kini tengah berada di hadapannya adalah Zaid—teman dekat Sabian.

“Jadi gini,” Zaid memulai percakapan, memecah keheningan sambil membuka buku menu dengan gerakan santai, “gue rasa kita berdua ada di sini karena desakan orang tua, ya? Jujur, gue nggak terlalu suka ide perjodohan ini, tapi gue pikir, dateng aja kali—dengan niat baik. Paling nggak, kita bisa nikmatin makan malam enak.” Matanya berbinar dengan sedikit humor, membuat Bianca merasa ketegangannya kian mencair.

Ia tertawa kecil, “Kok, lo bisa tau kalo di sini karena desakan?” kata Bianca, seraya menarik sudut bibirnya. Ia menunduk ke buku menu, mencoba menyembunyikan senyum malunya. Ada rasa hangat di dadanya, seperti ia baru saja menemukan sekutu dalam situasi yang awalnya terasa canggung.

Zaid mengangguk, matanya menyipit penuh tawa. “Tau lah! Lo, kan, lagi deket sama temen gue.” Ia mengedipkan sebelah matanya, dan Bianca praktis tidak bisa menahan tawa.

Kilatan kegembiraan muncul di wajah Bianca, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan favoritnya. Bianca merasa kalau dunianya tiba-tiba menyempit dalam cara yang menyenangkan. “Lo terus terang banget, gue jadi malu!”

“Nggak usah malu, gue udah tau banyak tentang lo dan tentang hubungan kalian.” Zaid bersandar ke belakang, wajahnya penuh tawa. “Bisa dibilang, nggak ada rahasia di antara gue sama Sabian,” timpal Zaid.

Kemudian percakapan mereka mengalir seperti air sungai yang tenang, tanpa hambatan. Mereka membahas mulai dari kejadian menegangkan di malam yang pekat di daerah sekitar kampus mereka beberapa bulan lalu, hingga tentang bagaimana kemajuan hubungan Bianca dan Sabian sejauh ini. Setelah memesan makanan—Bianca memilih pasta carbonara dengan saus krim yang menggoda, sementara Zaid memesan steak dengan saus jamur yang harum—mereka mulai berbincang lebih dalam. Bianca memperhatikan cara Zaid berbicara; penuh semangat tapi tidak mendominasi, dan banyak tawa kecil yang sering muncul di sela-sela ceritanya. Ia mulai merasa bahwa meskipun laki-laki di hadapannya kini bukan Sabian, pertemuan mereka tidak akan sia-sia. Mengenal Zaid mungkin juga sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan, supaya ia dapat mengenal Sabian lebih jauh lagi. Zaid dan Sabian seperti dua kutub magnet yang sangat berbeda namun saling tarik-menarik satu sama lain. Karakter mereka berbanding terbalik, sejauh pengamatan Bianca.

“Tadinya gue pikir yang mau dijodohin sama gue, tuh, dia. Soalnya nyokap gue deskripsiin lo dengan ‘umurnya sedikit lebih tua, dan kampusnya sama’,” kata Bianca.

Mendengar itu, kedua alis Zaid tampak langsung saling bertaut. “Tapi itu general banget, gila… emang orang lagi jatuh cinta, tuh, gitu ya?”

Lantas, Bianca tersenyum malu, hingga wajahnya memanas. Mengakui itu, membuatnya merasa sedikit terbuka, namun untungnya respons Zaid terhadapnya sangat positif.

“Maaf bikin kecewa, ya, karena gue bukan Sabian,” katanya sambil terkekeh. “Tapi jujur, gue udah lama pengen kenal lo secara langsung karena Bian.” Zaid menurunkan suaranya, seolah-olah sedang membocorkan rahasia besar. “Udah lama temen gue itu nggak pernah buka hati, apalagi ngerepons cewek manapun. Tapi semenjak kenal lo, dia berubah.”

Bianca merasa jantungnya melonjak. “Ini serius nggak, sih?” Ia mencoba menyembunyikan senyum lebar yang mulai terbentuk, tapi matanya pasti sudah mengkhianatinya. Ada perasaan bahagia yang membuncah, bercampur dengan sedikit rasa malu karena Zaid bisa melihat reaksinya dengan jelas.

“Iya, serius! Asal lo tau, ya, Sabian itu tipe yang susah suka sama orang, tapi kalau dia udah suka, dia all out. Lo bisa pegang kata-kata gue. Gue tau banget, soalnya gue udah lama kenal dia.” Zaid berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih serius, “Tapi dia pernah punya fase… apa ya, males banget buat deket sama siapa pun. Itu gara-gara cewek dari masa lalunya.”

Bianca mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. “Siapa? Lo keberatan nggak kalo gue minta ceritain tentang orang itu?” Ia bersandar sedikit ke depan, matanya penuh perhatian. Suasana restoran yang hangat, dengan aroma makanan yang baru tiba dan cahaya lilin yang berkedip, membuat momen ini terasa semakin intim.

Zaid mengangguk, mulai menceritakan dengan nada yang lebih dalam, seperti ia sedang membuka lembaran lama. “Jadi, waktu gue sama dia masih SMA, Bian pernah suka sama satu cewek—namanya Ajeng. Bisa dibilang itu first love dia. Mereka deket, hampir kayak pacaran, tapi gitu deh, anak SMA, masih polos. Bian waktu itu bener-bener butuh perhatian, dan Ajeng bisa kasih apa yang dia butuhin. Tapi gue rasa, Ajeng nggak pernah bener-bener mau punya hubungan yang lebih sama Bian. Tau lah, anak SMA emosinya kayak apa? Bian naif, dan bener-bener kayak orang siap jadi tolol dan mati karena cinta. Banyak masalah muncul, bahkan dia sampai berantem sama orang tuanya. Tapi Ajeng… dia tiba-tiba pindah sekolah, dan ninggalin Sabian. Dia cuma ninggalin surat singkat, bilang kalau dia harus ikut keluarganya pindah. Sabian kacau banget waktu itu. Dia masih kecil, jadi patah hatinya bikin dia trauma. Setelah itu, dia kayak menutup diri, nggak mau deket-deket sama cewek.”

Bianca mendengarkan dengan penuh empati, mencoba membayangkan Sabian yang lembut dan hangat itu dalam versi yang patah hati. Ada rasa iba yang muncul di dadanya, bercampur dengan keinginan untuk memahami lebih dalam. “Kasihan banget… gue nggak nyangka dia pernah ngalamin itu,” katanya pelan, matanya menatap lilin di meja yang apinya bergoyang lembut.

“Iya, tapi sekarang dia udah jauh lebih baik. Dan menurut gue, lo punya andil besar bikin dia jadi lebih terbuka lagi.” Zaid tersenyum tulus, dan ada kehangatan di matanya yang membuat Bianca merasa dihargai. “Gue serius, Bianca. Sebagai temennya dari kecil, gue berterimakasih banget sama lo. Walaupun terkadang gue ngerasa muak ngeliat dia yang lagi kasmaran, tapi nggak masalah. Kalau kalian jadian, gue pasti ikut seneng banget.”

Bianca tersipu, wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya tersenyum dan mengalihkan perhatian ke makanan di hadapannya yang tak kunjung ia sentuh sejak beberapa saat lalu. Pasta carbonara di depannya sangat menggoda, dengan saus krim yang mengilap dan taburan keju parmesan yang harum. Aroma steak milik Zaid, dengan saus jamur di atasnya, membuat perutnya semakin lapar. Mereka mulai makan sambil melanjutkan obrolan, memperluas topik pembicaraan. Bianca merasa semakin nyaman dengan Zaid, seperti ia sedang mengobrol dengan seorang kakak atau teman lama. Suasana restoran, dengan gemerlap kota di luar jendela dan musik piano yang lembut, membuatnya merasa seperti berada dalam sebuah film romansa—meskipun ini bukan kencan romantis.

Saat makan malam hampir selesai, Zaid menyeka mulutnya dengan selembar tisu dan berkata dengan nada santai, lalu berdeham singkat. “Gue boleh minta nomor lo nggak? Bukan buat apa-apa, cuma gue pikir kita bisa jadi temen. Lo orangnya lumayan asik, dan gue butuh tempat buat ngomongin Bian.” Matanya penuh harap, tapi tidak memaksa, dan Bianca merasa tersentuh oleh kejujurannya.

“Boleh banget!” jawabnya dengan senyum lebar, merasa lega bahwa malam ini membawanya pada sebuah pertemanan baru. “Gue juga ngerasa lo asik. Seneng busa ngobrol sama lo.”

Mereka bertukar nomor telepon, dan Bianca merasa ada ikatan kecil yang terbentuk antara mereka, seperti dua orang yang baru saja berbagi rahasia.

Pertemuan berlangsung cukup lama, dan perpisahan segera datang. Tatkala pelayan datang membawa tagihan, Zaid bersikeras untuk membayar, tapi Bianca menolak dengan tawa kecil. “Kita bagi dua aja, Id. Jangan rebutan, baru juga temenan masa udah ribut,” katanya, matanya berbinar penuh dengan humor. Zaid akhirnya setuju, dan mereka berbagi tagihan dengan adil, tertawa bersama saat menghitung nominalnya.

Saat mereka berjalan keluar dari restoran, udara malam terasa sejuk di kulit Bianca. Gemerlap lampu kota masih terlihat dari koridor kaca gedung, dan suara lalu lintas Jakarta yang samar terdengar dari kejauhan. Zaid menawarkan untuk mengantar Bianca pulang. “Gue bawa motor, kalau lo nggak keberatan naik motor, gue bisa anter,” katanya sambil menunjuk ke arah parkiran, senyumnya penuh kebaikan.

Bianca tersenyum dan menggeleng, merasa hangat dengan tawaran itu. “Makasih, Id, tapi gue bawa mobil. Mungkin lain kali?”

Namun Zaid menggeleng. “Lain kali minta dijemput Bian aja,” katanya penuh semangat. Ia mengedipkan mata, dan Bianca tertawa, merasa wajahnya memanas lagi.

“Thanks ya buat hari ini. Sampai ketemu lagi!” katanya, melambaikan tangan sebelum berjalan menuju lift.

Di dalam mobilnya, Bianca duduk sejenak, memandang lampu-lampu yang menyala temaram pada dashboard di dalam mobil. Perasaannya jauh lebih ringan dari saat ia datang. Malam ini memang tak membawanya pada cinta seperti yang Bunda harapkan, juga tidak membawanya bertemu dengan Sabian, tapi ia mendapatkan seorang teman baru dan, yang lebih penting, sebuah harapan baru tentang Sabian.

Cahaya lembut dari lampu meja di sudut ruangan menyinari dinding berwarna krem, menciptakan bayang-bayang yang menari pelan setiap kali angin malam menggoyangkan tirai tipis di jendela. Di luar, suara jangkrik dan sesekali deru motor yang melintas di kejauhan menambah kesunyian malam. Bianca duduk di tepi ranjangnya, bantal empuk dengan sarung bermotif bunga ia peluk erat di dadanya. Jantungnya masih berdegup tak karuan, seperti drum yang dimainkan dengan ritme yang tak bisa ia kendalikan. Ponselnya tergeletak di sampingnya, layarnya masih menampilkan pesan terakhir dari Sabian, bahkan sejak ia meninggalkan rumah laki-laki itu dengan amat tergesa.

|masabi |lo punya pacar gak? |lo keberatan gak kalo gue |deketin?

Kalimat itu seperti mantra yang terus bergema di kepala Bianca. Ada kegembiraan yang membuncah, seperti gelembung soda yang siap meledak di dalam hatinya. Ada juga ketakutan yang merayap pelan, seperti bayang-bayang di sudut ruangan yang tampak menyeramkan meski tak nyata. Bianca praktis menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal lantaran terus memikirkan Sabian.

“Ya Tuhan… ini harus dibales apa?” gumam Bianca. Suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar.

Bianca menutup mata sejenak, mencoba mengingat kembali bagaimana Sabian menatapnya beberapa saat lalu. Ada kelembutan di sana, tapi juga sesuatu yang lebih dalam—seperti ia sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang ia berikan. Setiap kali Sabian tersenyum, sudut matanya melengkung, membuat Bianca merasa seperti satu-satunya orang yang pernah melihatnya saat tengah seperti itu. Dan, ketika ia mengajukan pertanyaan—pertanyaan yang kini menghantui Bianca—wajahnya tampak sangat serius dan tegas. Hal itu sukses membuat Bianca kehilangan kata-kata. Dunia seakan berhenti berputar. Pipinya panas, jantungnya seperti ingin melompat keluar, dan yang bisa ia lakukan hanyalah mematung, sebelum akhirnya tertawa gugup dan berkata, “Gue kayaknya harus pulang, deh.”

Ia kabur. Ia masih ingat bagaimana ia pamit dengan alasan yang terdengar begitu bodoh bahkan di telinganya sendiri—sesuatu tentang harus pulang karena sudah waktunya bagi Cica untuk tidur. Sabian hanya tersenyum saat ia mengatakan itu, tapi tatapannya seolah-olah ingin menahan Bianca lebih lama.

Udara malam yang dingin menyengat wajah Bianca, tapi tak cukup untuk mendinginkan gejolak di dadanya. Sepanjang perjalanan pulang, ia terus memikirkan apa yang seharusnya ia katakan, apa yang seharusnya ia lakukan. Dan sekarang, di kamarnya yang sepi, penyesalan itu bercampur dengan kegembiraan yang tak bisa ia bendung.

Bianca bangkit dari ranjang, langkahnya pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Cahaya lampu meja memantul di permukaan cermin, membuat wajahnya terlihat lembut tapi sedikit lelah. Rambutnya yang panjang sedikit berantakan, beberapa helai menempel di pipinya yang masih merona. Ia memandang matanya sendiri, mencoba mencari tahu apa yang Sabian pikirkan malam ini.

“Sebenernya dia serius nggak, sih?” tanyanya pada bayangannya sendiri. Suaranya penuh keraguan tapi juga harap. Bianca menghela napas panjang, lalu kembali ke ranjang, memeluk bantalnya lebih erat seolah-olah itu bisa menahan badai emosi yang mengombang-ambingkan hatinya.

Perasaannya pada Sabian bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Sudah berbulan-bulan ia menyimpan rasa itu di sudut terdalam hatinya, seperti bunga yang ia rawat dalam diam. Setiap kali ada kesempatan, ialah yang terus mencari tahu tentang kehidupan Sabian. Berawal dari sepasang sepatu milik laki-laki itu, berkembang menjadi perasaan yang mulanya tak pernah ingin Bianca akui. Sebelum hari ini, baginya, Sabian seperti langit malam; indah, luas, tapi terlalu jauh untuk disentuh. Ia tak pernah berani bermimpi bahwa laki-laki itu akan melihatnya dengan cara yang sama. Tapi malam ini, pertanyaan itu seperti bintang jatuh yang tiba-tiba melintas di hidup Bianca, membuatnya percaya—meski hanya sedikit—bahwa mungkin, hanya mungkin, mimpinya tak sepenuhnya mustahil. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada ketakutan yang terus mengintai. Bagaimana kalau Sabian hanya bercanda? Bagaimana kalau ini hanya momen sesaat yang akan hilang besok pagi? Bianca menatap ponselnya lagi, layarnya kini gelap, tapi pesan itu masih terasa hidup di pikirannya. Ia ingin membalas, ingin menulis sesuatu yang menunjukkan bahwa ia juga merasakan sesuatu, tapi jari-jarinya seperti membeku.

Saat ia tengah tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

“Bianca? Bunda boleh masuk?” Suara sang bunda lembut, seperti biasanya.

“Masuk aja, Bun!” jawabnya, buru-buru duduk tegak dan menyisir rambutnya dengan jari, berusaha terlihat tenang meskipun wajahnya masih menyimpan jejak kepanikan.

Pintu terbuka perlahan, dan Bunda masuk dengan langkah ringan. Cahaya dari luar menyelinap masuk, menciptakan siluet lembut di sekitar sosok bunda yang mengenakan piama bermotif bunga-bunga kecil. Rambutnya yang panjang diikat sederhana, dan senyumnya seperti pelukan yang tak perlu kata-kata. Ia duduk di tepi ranjang Bianca, kasur itu sedikit berderit di bawah beratnya. Bunda memandangnya dengan tatapan penuh kasih.

“Gimana tadi, Bi? Kamu bilang diajak barbekuan sama Tante Ratu, tapi kok pulangnya cepet banget?” tanya Bunda, nadanya penuh rasa ingin tahu tapi juga hati-hati, seperti tak ingin memaksa.

Bianca tersenyum canggung, merasakan wajahnya memanas lagi. “Iya, Bun, soalnya Cica kayak udah keliatan ngantuk,” jawabnya, berusaha terdengar santai meskipun jantungnya masih berdebar mengingat Sabian. Lagi-lagi ia berbohong menggunakan nama sang adik.

Bianca memainkan ujung bantalnya, berharap Bunda tak akan bertanya lebih jauh. Tapi Bunda sepertinya bisa membaca sesuatu di wajahnya. Wanita itu memiringkan kepala, alisnya sedikit terangkat. “Beneran cuma karena Cica ngantuk?” tanya Bunda memastikan.

Merasa seperti tengah diselidiki Bianca tertawa kecil, tapi tawanya penuh kegugupan. “Iya, Bun! Emangnya apalagi?” Ia buru-buru mengalihkan pandangan. Takut sang bunda akan melihat kebenaran di matanya.

Bunda menarik napas panjang, kemudian dengan nada yang lebih serius, ia melanjutkan, “Bunda terus kepikiran sama chat kamu, waktu kamu masih di Surabaya. Kamu bilang suka sama seseorang, kan? Yang… yang udah punya anak itu. Gimana kelanjutannya?”

Bianca hampir tersedak mendengarnya. Ia ingat tentang pesan itu—pesan yang ia kirimkan sewaktu ia belum benar-benar mengenal seorang Sabian. Ia tak menyangka kalau itu akan membekas dalam ingatan bundanya. “Bunda! Ya ampun, itu cuma bercanda, kok!” serunya, setengah tertawa, setengah panik. “Nggak mungkinlah aku suka sama duda!”

Bunda memandangnya dengan curiga, matanya menyipit seperti detektif yang sedang mencari petunjuk. “Beneran? Kamu kadang-kadang suka out of the box, sih! Bunda, kan, jadi bener-bener kepikiran. Takut kamu salah pilih di usia yang masih semuda ini,” katanya, nadanya lembut tapi penuh kekhawatiran tulus.

Bianca merasa hatinya menghangat mendengar itu. Meski kadang Bunda terlalu ikut campur, ia tahu semua itu karena kasih sayang.

“Bunda tenang aja,” kata Bianca, tersenyum untuk meyakinkan. “Aku udah dewasa, Bun. Aku tahu mana yang bener dan mana yang salah. Lagipula, aku nggak bakal sembarangan milih orang buat jadi pasangan, kok.” Ia meraih tangan Bunda, merasakan kehangatan telapak tangan yang sudah mulai keriput itu. Bunda mengangguk, tapi ada kilatan di matanya—sesuatu yang membuat Bianca merasa ada yang disembunyikan.

“Tapi... sebenernya Bunda ada rencana buat jodohin kamu,” kata Bunda tiba-tiba, nadanya berubah jadi sedikit ceria tapi juga misterius.

Sontak Bianca mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tak biasa. “Hah?? Aku? Dijodohin?!” tanyanya dengan mata yang mendelik.

“Nggak seserius Siti Nurbaya, Bi. Kamu bisa nolak setelah ketemu dan merasa nggak cocok sama orangnya,” jawab Bunda, santai tapi penuh keyakinan.

Bianca membelalakkan mata, mulutnya terbuka tapi tak ada suara yang keluar.

“Mau, ya?”

“Apaan, sih, Bun? Aku nggak mau! Nggak perlu nunggu ketemu, pokoknya aku nggak mau!” serunya, suaranya melengking karena kaget. Ia tak menyangka Bunda akan membuat rencana sebesar ini tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu.

“Cuma nemuin satu kali, deh!”

“Nggak mau, Bun.”

“Eh, orangnya satu kampus sama kamu, lho. Siapa tau nanti bisa jadi temen kamu waktu balik ke Surabaya. Ganteng, dan dari keluarga baik-baik. Sedikit lebih tua dari kamu, jadi Bunda pikir mungkin kalian akan cocok.” Nada bunda penuh antusiasme, tapi Bianca tak mengatakan apa-apa.

Pikiran Bianca langsung melayang ke Sabian. Satu kampus? Sedikit lebih tua? Apa ini Sabian? Jantungnya kembali berdegup kencang, kali ini membawa harapan yang begitu besar hingga ia hampir tak bisa bernapas.

Tanpa pikir panjang, Bianca yang tadinya ingin protes lebih lanjut, langsung berubah pikiran. “O-oke, Bun. Aku setuju,” katanya cepat, suaranya penuh kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bunda tampak terkejut, alisnya terangkat tinggi. “Loh, kok tiba-tiba setuju? Tadi marah-marah…,” gumamnya.

Mendengar itu Bianca langsung tergagap, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Ehm, ya… setelah aku pikir-pikir, nggak ada salahnya cuma kenalan,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan meskipun wajahnya pasti sudah memerah lagi. Bunda hanya mengangguk, seraya tersenyum lega mendengar keputusan Bianca.

“Ya udah, kalau gitu nanti kosongin jadwal, ya, di tanggal lima.”

“Aman!”

Setelah Bianca mengatakan itu, Bunda langsung keluar dari kamarnya. Pintu ditutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan Bianca dalam keheningan yang kini terasa berbeda. Ia kembali terduduk di ranjang, memandangi ponselnya yang masih diam. Di luar, angin malam bertiup lebih kencang, membuat tirai lagi-lagi bergoyang dan jendela berderit pelan. Tapi di dalam hati Bianca, ada badai yang jauh lebih besar—campuran antara harapan, kegembiraan, dan sedikit ketakutan.

“Emangnya boleh ya semesta se-suportif ini sama kehidupan percintaan gue?” tanyanya pada dirinya sendiri, sebelum bibirnya melukis lengkungan menjadi sebuah senyum lebar.

Malam itu, Bianca tertidur dengan hati yang penuh—seperti langit malam yang dipenuhi bintang. Di antara mimpi dan kenyataan, Bianca memeluk bantalnya erat, menanti apa yang akan dibawa esok hari.

Sore itu, langit biru membentang luas di atas kepala Bianca. Embusan angin mengusap wajahnya, membawa aroma rumput segar yang bercampur dengan harum samar dari tumbuhan mawar di halaman rumah Sabian. Bianca menggenggam tangan kecil Cica, adiknya, yang melompat-lompat dengan riang di sampingnya, sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi kecil setiap kali menyentuh aspal. Gadis kecil itu bersenandung pelan, matanya berbinar penuh semangat lantaran akan segera bertemu Alin dan Acat, kedua adik Sabian. Melihat betapa senangnya sang adik, Bianca menarik sudut bibirnya. Namun, di balik senyum tipis yang Bianca lemparkan pada Cica itu, ada gejolak halus yang berputar di dadanya—campuran antara perasaan gugup, harapan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan.

Mereka tiba di area depan rumah Sabian, sebuah teras yang begitu luas yang di sisi kanan dan kirinya terdapat beberapa pot tanaman kecil yang daunnya bergoyang apabila tertiup angin. Bianca tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Sabian, laki-laki yang beberapa hari lalu ia temui di sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Pertemuan itu singkat—hanya diisi dengan obrolan ringan, seperti pertemuan sebelumnya —akan tetapi ada sesuatu dalam cara Sabian tersenyum terakhir kali, dengan sudut bibirnya yang sedikit naik dan matanya yang hangat, yang membuat jantung Bianca berdegup tak beraturan. Kini, dengan alasan mengantar Cica, akhirnya ia dapat kembali menemui laki-laki itu, dan setiap langkah terasa seperti membawanya lebih dekat pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Jantung Bianca berdetak lebih kencang saat melihat pintu kayu berukir sederhana di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum jarinya menekan bel dengan hati-hati. Suara denting lembut itu terdengar. Lalu, tak lama kemudian pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Sabian. Untuk sesaat, dunia Bianca seolah berhenti. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, mungkin karena angin atau karena ia baru saja berlari dari dalam rumah, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih nyata, lebih manusiawi. Matanya menyipit sejenak saat cahaya sore menerpa wajahnya, lalu melebar penuh kejutan dan kehangatan saat melihat Bianca. Senyumnya muncul, kecil tapi tulus, dan Bianca merasa wajahnya memanas tanpa bisa ia kendalikan.

“Bianca?” sapa Sabian, suaranya terdengar sedikit serak, seolah ia juga sedang berjuang melawan rasa gugup yang sama. “Lo yang nganter Cica?”

Bianca membalas dengan senyuman yang ia harap tak terlihat terlalu canggung di mata Sabian. “Masabi… iya, nih, soalnya kebetulan di rumah cuma gue yang pengangguran.”

Sabian terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Cica, lalu dengan gerakan yang lembut ia menyentuh kepala anak kecil itu. “Hey, Cica! Alin sama Acat udah nunggu kamu di dalam. Masuk aja!” katanya dengan nada penuh semangat, seolah ingin membuat Cica merasa diterima seketika.

Cica tersenyum lebar—gigi depannya yang baru saja tanggal terlihat menggemaskan—lalu mengangguk cepat. Namun, belum juga Cica sempat melangkah masuk, dari dalam rumah terdengar langkah kecil yang tergesa, Alin muncul dengan rambut panjangnya yang terurai dan berantakan. Gadis kecil itu langsung menyambar tangan Cica dengan penuh semangat, mengajaknya masuk sambil berteriak, “Ayo, kita main di kamar!” Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah pelan, matanya yang besar dan polos hanya mengintip dari balik dinding, seolah ia penasaran tapi terlalu malu untuk menampilkan dirinya di hadapan Bianca kala itu. Menyadari hal itu, Bianca praktis terkikik geli. Sepertinya Acat masih belum bisa melupakan kejadian di hari ulang tahun mereka.

“Ayo masuk,” ujar Sabian sambil menggaruk tengkuknya, nada suaranya ringan namun ada sentuhan malu di dalamnya.

Bianca mengangguk, lalu melangkah masuk saat Sabian mempersilakannya dengan gerakan tangan yang sedikit kikuk. Di dalam, rumah Sabian terasa seperti pelukan hangat dari keluarga yang penuh kehidupan. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga dalam bingkai kayu berbagai ukuran. Samar-samar aroma masakan yang menggoda, datang dari dapur. Bianca baru ingat bahwa malam ini adalah malam tahun baru, dan keluarga Sabian sudah merencanakan perayaan sederhana dengan membakar jagung di halaman rumah mereka. Sabian menjelaskan itu dengan nada santai dan begitu singkat, tapi ada kilau kecil di matanya.

“Duduk,” kata Sabian sambil menunjuk sofa empuk di ruang tamu, suaranya lembut namun ada nada gugup yang terselip di dalamnya. “Gue mau ambil minum.”

Bianca mengangguk dan duduk, matanya berkeliling mengamati ruangan yang terasa begitu hidup. Ada tumpukan buku anak-anak di sudut dekat tangga, beberapa mainan yang tercecer, dan suara tawa samar dari arah kamar tempat Cica, Alin, dan Acat bermain. Sabian kembali tak lama kemudian dengan dua gelas air dingin yang berembun kecil di dinding gelasnya. Lalu, mereka mulai mengobrol. Awalnya, percakapan terasa kaku—kalimat pendek, tawa kecil yang dipaksakan—tapi perlahan, kata-kata mulai mengalir seperti air yang menemukan celah di antara bebatuan.

“Nggak nyangka, ternyata pertemuan kita yang selanjutnya bukan di kafe mana pun, tapi justru di rumah gue,” kata Sabian tiba-tiba, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh perasaan, membuat Bianca tersentak.

Bianca merasa pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat hingga ia khawatir Sabian bisa mendengarnya. Ia menunduk sejenak, jari-jarinya memainkan ujung bajunya, mencari kata-kata yang tak akan membuatnya terdengar terlalu canggung. “Iya, ya? Padahal tadinya udah sempet kepikiran mau ngajak ke kafe di Jakarta Pusat,” jawabnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.

“Hari ini?”

Kemudian, sebuah tawa ringan lolos dari bibir Bianca, “Nggak, nggak! Baru kepikiran aja maksudnya.”

“Ohh....”

“Jauh banget mesti di Jakarta Pusat, kenapa?”

Bianca mengangkat pundaknya. “Ada kafe, kopi sama pastrynya enak banget. Gue pengen ngajak lo buat cobain itu—eh, tapi kayaknya lo udah pernah ke kafe itu, deh....”

“Enggak. Gue di Jakarta sebenernya jarang ngopi. Apalagi sampai harus ke kafe gitu.”

“Masa, sih? Kenapa? Gue pikir seenggaknya lo nongkrong di kafe.”

“Bokap gue kebetulan suka minta ditemenin minum teh herbal aromatik.”

Bianca kontan menutup mulut. “Gue juga! Gue suka teh tubruk! Aroma melati!”

“Nah, itu dia yang disebut serupa tapi tak sama, Bi.” Usai berkata demikian, Sabian mengulum senyumannya, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ada rasa malu-malu yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Untungnya, suasana itu pecah saat Mama Sabian tiba-tiba saja muncul dari dapur. Dengan membawa energi yang hangat dan ramah, ia langsung menyapa Bianca seolah mereka sudah berteman lama.

“Wah, Bianca lagi! Kayaknya hari ini kamu lebih cantik dari yang terakhir kali Tante liat,” ujar Mama Sabian dengan nada ceria, matanya berbinar penuh kehangatan.

Bianca tersenyum kikuk, melirik Sabian yang langsung memalingkan wajahnya dengan pipi memerah. “Iya, Tante. Makasih, lho, Tante lebih cantik aku,” jawabnya, berusaha menutupi rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang.

“Bunda kamu sehat?”

“Sehat Tante, kebetulan lagi keluar sama Ayah.”

“Pacaran, tuh,” balas Mama Sabian, lalu menepuk tangan dengan semangat. “Oh iya, nanti malam kita mau barbekuan di halaman. Ikut ya, Bianca?”

Alih-alih langsung menjawab, Bianca lebih dulu melirik ke arah Sabian. Ia sedikit khawatir kalau kehadirannya di acara perayaan malam tahun baru di rumah ini, hanya akan merusak suasana dan mengganggu kenyamanan Sabian. “Aduh, Tante, jangan ajak aku. Aku makannya banyak!”

“Habisin aja kalo bisa,” timpal Sabian yang seketika membuat mamanya tertawa. Bianca tahu dari sorot matanya—Sabian tengah mencoba meledeknya.

“Iya, ih,” Mama Sabian menyentuh punggung Bianca dengan lembut. “Badan sekecil ini ngaku-ngaku kalo makannya banyak. Mana ada yang percaya? Udah ikut kumpul aja sama kita.”

Lantas, tak ada alasan lain untuk menolak, terlebih lagi Sabian sendiri tampaknya juga menginginkan ia ada di sini. Bianca sengaja membuat gestur malu-malu, seraya menganggukkan kepalanya.

Mama Sabian tertawa renyah, suaranya menggema di ruang tamu, lalu mengajak Bianca ke dapur, melihat-lihat persiapan untuk nanti malam. Tak ada perasaan sungkan yang menyelimuti Bianca tatkala ia berada di dekat Mama sabian. Mulai dari tepukan di pundak hingga usapan lembut di atas kepala, ia terima dengan sukarela. Jujur saja Bianca sudah terlanjur merasa begitu nyaman sejak memulai obrolan.

Sabian yang mengamati dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ada rasa senang sehangat matahari yang menjalar di dadanya. Ia tak menyangka Bianca dapat begitu cepat berbaur dengan mamanya, yang meski dikenal sangat cerewet dan penuh kasih sayang—ia juga seseorang yang sangat pemilih soal lawan bicara. Tawa mereka berdua terdengar seperti melodi sederhana yang mengisi rumah sore itu, dan Sabian merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—sebuah harapan yang kini semakin besar.

Tak lama kemudian, Papa Sabian muncul sembari membawa beberapa kantong plastik di tangannya, aroma mobil dan udara dari luar ikut terbawa masuk. Bianca yang mulanya duduk di sebuah kursi, langsung bangkit, berniat menawarkan bantuan dengan nada yang tulus, meski kenyataannya Sabian lebih dahulu meraih kantong-kantong itu dari tangan papanya seraya berkata, “Ini berat.”

Sabian hanya bisa menggelengkan kepala, baginya Bianca terlalu aktif dan inisiatif. Ia bahkan tak ragu untuk mendekatkan diri pada sang papa. Sebetulnya keinginan Bianca untuk menjadi bagian kecil di hidup Sabian tampak sangat jelas dan nyata. Hal itu bukan seperti yang Sabian inginkan. Ialah yang ingin terlihat tengah mendekati Bianca, bukan malah sebaliknya.


Sore itu mulai merangkak menuju senja, kemudian senja berganti malam. Bianca duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman belakang. Ia mencoba fokus pada suara tawa samar Cica dan adik-adik Sabian yang terdengar dari dalam rumah, tapi pikirannya terus kembali pada Sabian—laki-laki yang kini berdiri di samping papanya, tertawa dan sesekali mengganggu sang papa yang tengah membalik sosis bakar di hadapannya.

Seakan sadar tengah diperhatikan dari kejauhan, Sabian tiba-tiba saja menoleh. Ia melangkah mendekat, langkahnya pelan seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan. Matanya sesekali melirik Bianca, lalu cepat-cepat beralih ke arah lain, seolah takut tertangkap basah sedang menatap terlalu lama.

“Kurang seru, ya?” tanya Sabian, suaranya lembut tapi ada getaran halus yang terselip, mungkin karena gugup.

Bianca menggeleng kecil, dan melempar senyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat saat aroma parfum Sabian tak sengaja memenuhi indera penciumannya.

“Masabi,” ucap Bianca, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Rasa sejuk angin malam menusuk ke dalam tubuhnya, tapi tak cukup untuk meredakan panas yang mulai menjalar di pipinya.

Sabian duduk di kursi yang sama, di sebelahnya. “Kenapa?”

“Selama lo di Surabaya, lo kangen nggak sih sama keluarga lo?” Bianca melempar pandangannya pada kedua orang tua Sabian yang kini tengah saling merangkul satu sama lain. “Maksud gue… keluarga lo ini hangat banget. Lo pernah kangen ada di tengah-tengahnya kayak hari ini, nggak?”

Sabian tak langsung menjawab, ia memandangi langit yang bertabur bintang di atas kepalanya terlebih dahulu, seraya tersenyum. “Sering. Setiap orang yang ninggalin keluarganya dan pergi jauh ke luar rumah pasti ngerasa gitu. Emangnya… lo, enggak?”

“Gue?”

“Hmm!”

“Gue tuh biasanya kelayapan. Gue deket sama Ayah dan Bunda tapi kayaknya nggak sedeket lo sama kedua orang tua lo. Jadi, perasaan kangen itu ada, tapi ya so so…. Setelah ngeliat interaksi lo sama keluarga lo, gue jadi mikir….”

“Mikir apa?” Sabian menatap Bianca.

“Gue kayaknya pengen lebih mendekatkan diri sama keluarga gue, deh, setelah ini.”

Mendengar itu Sabian tertawa kecil, suaranya ringan dan hangat. Sabian mengangguk, matanya kini berani menatap Bianca lebih lama, ada kilau kecil di dalamnya yang sulit ia sembunyikan. “Gue juga jadi mikir…. Kayaknya nanti pengen lebih sering pulang ke Jakarta kalo liburan.”

“Next time, mau nggak pulang pergi bareng?” tanya Bianca begitu spontan, dan seketika wajahnya memerah, seolah ia baru menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Mau, tapi temen gue ngekor—satu orang.”

Bianca merasa jantungnya melonjak, wajahnya terasa panas hingga ia harus menunduk lagi, berpura-pura sibuk menatap ibu jari kakinya. “Nggak apa-apa. Nggak masalah. Gimanapun juga lo sama Zaid, kan, nggak bisa dipisahin,” balasnya, lalu tertawa kecil untuk menyamarkan rasa gugup yang membuncah di dadanya.

Sabian ikut tertawa, suaranya sedikit lebih lega sekarang. Kemudian, ia tampak seperti tengah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Membuat suasana kembali hening untuk beberapa saat.

“Bianca….”

Bianca praktis menoleh hingga rambutnya tak sengaja tersibak, “Ya???”

“HP lo mana?” tanya Sabian.

“HP gue?” Bianca langsung cepat-cepat merogoh saku celananya demi mengeluarkan benda pipih itu. “Nih, ada!” katanya sembari mengangkat ponselnya di depan wajah Sabian.

Kemudian, Sabian seolah memerintahkan Bianca untuk memeriksa pesan masuk pada ponselnya hanya dengan menggunakan gerakan dagunya yang terangkat.

“Kenap—????”

Seketika tak ada kata yang dapat Bianca katakan tatkala netranya menatap layar ponselnya, membaca pesan yang pengirimnya adalah laki-laki di sebelahnya.

#Sebuah Titik Paling Awal di Antara Kita

Sore itu, langit biru membentang luas di atas kepala Bianca. Embusan angin mengusap wajahnya, membawa aroma rumput segar yang bercampur dengan harum samar dari tumbuhan mawar di halaman rumah Sabian. Bianca menggenggam tangan kecil Cica, adiknya, yang melompat-lompat dengan riang di sampingnya, sepatu ketsnya mengeluarkan bunyi kecil setiap kali menyentuh aspal. Gadis kecil itu bersenandung pelan, matanya berbinar penuh semangat lantaran akan segera bertemu Alin dan Acat, kedua adik Sabian. Melihat betapa senangnya sang adik, Bianca menarik sudut bibirnya. Namun, di balik senyum tipis yang Bianca lemparkan pada Cica itu, ada gejolak halus yang berputar di dadanya—campuran antara perasaan gugup, harapan, dan sesuatu yang sulit ia definisikan.

Mereka tiba di area depan rumah Sabian, sebuah teras yang begitu luas yang di sisi kanan dan kirinya terdapat beberapa pot tanaman kecil yang daunnya bergoyang apabila tertiup angin. Bianca tak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan Sabian, laki-laki yang beberapa hari lalu ia temui di sebuah kafe kecil yang letaknya tak jauh dari rumah ini. Pertemuan itu singkat—hanya diisi dengan obrolan ringan, seperti pertemuan sebelumnya —akan tetapi ada sesuatu dalam cara Sabian tersenyum terakhir kali, dengan sudut bibirnya yang sedikit naik dan matanya yang hangat, yang membuat jantung Bianca berdegup tak beraturan. Kini, dengan alasan mengantar Cica, akhirnya ia dapat kembali menemui laki-laki itu, dan setiap langkah terasa seperti membawanya lebih dekat pada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.

Jantung Bianca berdetak lebih kencang saat melihat pintu kayu berukir sederhana di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, sebelum jarinya menekan bel dengan hati-hati. Suara denting lembut itu terdengar. Lalu, tak lama kemudian pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Sabian. Untuk sesaat, dunia Bianca seolah berhenti. Rambut laki-laki itu sedikit berantakan, mungkin karena angin atau karena ia baru saja berlari dari dalam rumah, tapi itu justru membuatnya terlihat lebih nyata, lebih manusiawi. Matanya menyipit sejenak saat cahaya sore menerpa wajahnya, lalu melebar penuh kejutan dan kehangatan saat melihat Bianca. Senyumnya muncul, kecil tapi tulus, dan Bianca merasa wajahnya memanas tanpa bisa ia kendalikan.

“Bianca?” sapa Sabian, suaranya terdengar sedikit serak, seolah ia juga sedang berjuang melawan rasa gugup yang sama. “Lo yang nganter Cica?”

Bianca membalas dengan senyuman yang ia harap tak terlihat terlalu canggung di mata Sabian. “Masabi… iya, nih, soalnya kebetulan di rumah cuma gue yang pengangguran.”

Sabian terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke Cica, lalu dengan gerakan yang lembut ia menyentuh kepala anak kecil itu. “Hey, Cica! Alin sama Acat udah nunggu kamu di dalam. Masuk aja!” katanya dengan nada penuh semangat, seolah ingin membuat Cica merasa diterima seketika.

Cica tersenyum lebar—gigi depannya yang baru saja tanggal terlihat menggemaskan—lalu mengangguk cepat. Namun, belum juga Cica sempat melangkah masuk, dari dalam rumah terdengar langkah kecil yang tergesa, Alin muncul dengan rambut panjangnya yang terurai dan berantakan. Gadis kecil itu langsung menyambar tangan Cica dengan penuh semangat, mengajaknya masuk sambil berteriak, “Ayo, kita main di kamar!” Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah pelan, matanya yang besar dan polos hanya mengintip dari balik dinding, seolah ia penasaran tapi terlalu malu untuk menampilkan dirinya di hadapan Bianca kala itu. Menyadari hal itu, Bianca praktis terkikik geli. Sepertinya Acat masih belum bisa melupakan kejadian di hari ulang tahun mereka.

“Ayo masuk,” ujar Sabian sambil menggaruk tengkuknya, nada suaranya ringan namun ada sentuhan malu di dalamnya.

Bianca mengangguk, lalu melangkah masuk saat Sabian mempersilakannya dengan gerakan tangan yang sedikit kikuk. Di dalam, rumah Sabian terasa seperti pelukan hangat dari keluarga yang penuh kehidupan. Dindingnya dihiasi foto-foto keluarga dalam bingkai kayu berbagai ukuran. Samar-samar aroma masakan yang menggoda, datang dari dapur. Bianca baru ingat bahwa malam ini adalah malam tahun baru, dan keluarga Sabian sudah merencanakan perayaan sederhana dengan membakar jagung di halaman rumah mereka. Sabian menjelaskan itu dengan nada santai dan begitu singkat, tapi ada kilau kecil di matanya.

“Duduk,” kata Sabian sambil menunjuk sofa empuk di ruang tamu, suaranya lembut namun ada nada gugup yang terselip di dalamnya. “Gue mau ambil minum.”

Bianca mengangguk dan duduk, matanya berkeliling mengamati ruangan yang terasa begitu hidup. Ada tumpukan buku anak-anak di sudut dekat tangga, beberapa mainan yang tercecer, dan suara tawa samar dari arah kamar tempat Cica, Alin, dan Acat bermain. Sabian kembali tak lama kemudian dengan dua gelas air dingin yang berembun kecil di dinding gelasnya. Lalu, mereka mulai mengobrol. Awalnya, percakapan terasa kaku—kalimat pendek, tawa kecil yang dipaksakan—tapi perlahan, kata-kata mulai mengalir seperti air yang menemukan celah di antara bebatuan.

“Nggak nyangka, ternyata pertemuan kita yang selanjutnya bukan di kafe mana pun, tapi justru di rumah gue,” kata Sabian tiba-tiba, suaranya turun menjadi bisikan yang penuh perasaan, membuat Bianca tersentak.

Bianca merasa pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat hingga ia khawatir Sabian bisa mendengarnya. Ia menunduk sejenak, jari-jarinya memainkan ujung bajunya, mencari kata-kata yang tak akan membuatnya terdengar terlalu canggung. “Iya, ya? Padahal tadinya udah sempet kepikiran mau ngajak ke kafe di Jakarta Pusat,” jawabnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka.

“Hari ini?”

Kemudian, sebuah tawa ringan lolos dari bibir Bianca, “Nggak, nggak! Baru kepikiran aja maksudnya.”

“Ohh....”

“Jauh banget mesti di Jakarta Pusat, kenapa?”

Bianca mengangkat pundaknya. “Ada kafe, kopi sama pastrynya enak banget. Gue pengen ngajak lo buat cobain itu—eh, tapi kayaknya lo udah pernah ke kafe itu, deh....”

“Enggak. Gue di Jakarta sebenernya jarang ngopi. Apalagi sampai harus ke kafe gitu.”

“Masa, sih? Kenapa? Gue pikir seenggaknya lo nongkrong di kafe.”

“Bokap gue kebetulan suka minta ditemenin minum teh herbal aromatik.”

Bianca kontan menutup mulut. “Gue juga! Gue suka teh tubruk! Aroma melati!”

“Nah, itu dia yang disebut serupa tapi tak sama, Bi.” Usai berkata demikian, Sabian mengulum senyumannya, dan untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua. Ada rasa malu-malu yang menggantung di udara, seperti benang tipis yang siap putus kapan saja. Untungnya, suasana itu pecah saat Mama Sabian tiba-tiba saja muncul dari dapur. Dengan membawa energi yang hangat dan ramah, ia langsung menyapa Bianca seolah mereka sudah berteman lama.

“Wah, Bianca lagi! Kayaknya hari ini kamu lebih cantik dari yang terakhir kali Tante liat,” ujar Mama Sabian dengan nada ceria, matanya berbinar penuh kehangatan.

Bianca tersenyum kikuk, melirik Sabian yang langsung memalingkan wajahnya dengan pipi memerah. “Iya, Tante. Makasih, lho, Tante lebih cantik aku,” jawabnya, berusaha menutupi rasa malu yang tiba-tiba saja menyerang.

“Bunda kamu sehat?”

“Sehat Tante, kebetulan lagi keluar sama Ayah.”

“Pacaran, tuh,” balas Mama Sabian, lalu menepuk tangan dengan semangat. “Oh iya, nanti malam kita mau barbekuan di halaman. Ikut ya, Bianca?”

Alih-alih langsung menjawab, Bianca lebih dulu melirik ke arah Sabian. Ia sedikit khawatir kalau kehadirannya di acara perayaan malam tahun baru di rumah ini, hanya akan merusak suasana dan mengganggu kenyamanan Sabian. “Aduh, Tante, jangan ajak aku. Aku makannya banyak!”

“Habisin aja kalo bisa,” timpal Sabian yang seketika membuat mamanya tertawa. Bianca tahu dari sorot matanya—Sabian tengah mencoba meledeknya.

“Iya, ih,” Mama Sabian menyentuh punggung Bianca dengan lembut. “Badan sekecil ini ngaku-ngaku kalo makannya banyak. Mana ada yang percaya? Udah ikut kumpul aja sama kita.”

Lantas, tak ada alasan lain untuk menolak, terlebih lagi Sabian sendiri tampaknya juga menginginkan ia ada di sini. Bianca sengaja membuat gestur malu-malu, seraya menganggukkan kepalanya.

Mama Sabian tertawa renyah, suaranya menggema di ruang tamu, lalu mengajak Bianca ke dapur, melihat-lihat persiapan untuk nanti malam. Tak ada perasaan sungkan yang menyelimuti Bianca tatkala ia berada di dekat Mama sabian. Mulai dari tepukan di pundak hingga usapan lembut di atas kepala, ia terima dengan sukarela. Jujur saja Bianca sudah terlanjur merasa begitu nyaman sejak memulai obrolan.

Sabian yang mengamati dari kejauhan hanya bisa tersenyum, ada rasa senang sehangat matahari yang menjalar di dadanya. Ia tak menyangka Bianca dapat begitu cepat berbaur dengan mamanya, yang meski dikenal sangat cerewet dan penuh kasih sayang—ia juga seseorang yang sangat pemilih soal lawan bicara. Tawa mereka berdua terdengar seperti melodi sederhana yang mengisi rumah sore itu, dan Sabian merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya—sebuah harapan yang kini semakin besar.

Tak lama kemudian, Papa Sabian muncul sembari membawa beberapa kantong plastik di tangannya, aroma mobil dan udara dari luar ikut terbawa masuk. Bianca yang mulanya duduk di sebuah kursi, langsung bangkit, berniat menawarkan bantuan dengan nada yang tulus, meski kenyataannya Sabian lebih dahulu meraih kantong-kantong itu dari tangan papanya seraya berkata, “Ini berat.”

Sabian hanya bisa menggelengkan kepala, baginya Bianca terlalu aktif dan inisiatif. Ia bahkan tak ragu untuk mendekatkan diri pada sang papa. Sebetulnya keinginan Bianca untuk menjadi bagian kecil di hidup Sabian tampak sangat jelas dan nyata. Hal itu bukan seperti yang Sabian inginkan. Ialah yang ingin terlihat tengah mendekati Bianca, bukan malah sebaliknya.


Sore itu mulai merangkak menuju senja, kemudian senja berganti malam. Bianca duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman belakang. Ia mencoba fokus pada suara tawa samar Cica dan adik-adik Sabian yang terdengar dari dalam rumah, tapi pikirannya terus kembali pada Sabian—laki-laki yang kini berdiri di samping papanya, tertawa dan sesekali mengganggu sang papa yang tengah membalik sosis bakar di hadapannya.

Seakan sadar tengah diperhatikan dari kejauhan, Sabian tiba-tiba saja menoleh. Ia melangkah mendekat, langkahnya pelan seolah ia sedang mempertimbangkan setiap gerakan. Matanya sesekali melirik Bianca, lalu cepat-cepat beralih ke arah lain, seolah takut tertangkap basah sedang menatap terlalu lama.

“Kurang seru, ya?” tanya Sabian, suaranya lembut tapi ada getaran halus yang terselip, mungkin karena gugup.

Bianca menggeleng kecil, dan melempar senyum, meski jantungnya berdetak lebih cepat saat aroma parfum Sabian tak sengaja memenuhi indera penciumannya.

“Masabi,” ucap Bianca, suaranya hampir tersangkut di tenggorokan. Rasa sejuk angin malam menusuk ke dalam tubuhnya, tapi tak cukup untuk meredakan panas yang mulai menjalar di pipinya.

Sabian duduk di kursi yang sama, di sebelahnya. “Kenapa?”

“Selama lo di Surabaya, lo kangen nggak sih sama keluarga lo?” Bianca melempar pandangannya pada kedua orang tua Sabian yang kini tengah saling merangkul satu sama lain. “Maksud gue… keluarga lo ini hangat banget. Lo pernah kangen ada di tengah-tengahnya kayak hari ini, nggak?”

Sabian tak langsung menjawab, ia memandangi langit yang bertabur bintang di atas kepalanya terlebih dahulu, seraya tersenyum. “Sering. Setiap orang yang ninggalin keluarganya dan pergi jauh ke luar rumah pasti ngerasa gitu. Emangnya… lo, enggak?”

“Gue?”

“Hmm!”

“Gue tuh biasanya kelayapan. Gue deket sama Ayah dan Bunda tapi kayaknya nggak sedeket lo sama kedua orang tua lo. Jadi, perasaan kangen itu ada, tapi ya so so…. Setelah ngeliat interaksi lo sama keluarga lo, gue jadi mikir….”

“Mikir apa?” Sabian menatap Bianca.

“Gue kayaknya pengen lebih mendekatkan diri sama keluarga gue, deh, setelah ini.”

Mendengar itu Sabian tertawa kecil, suaranya ringan dan hangat. Sabian mengangguk, matanya kini berani menatap Bianca lebih lama, ada kilau kecil di dalamnya yang sulit ia sembunyikan. “Gue juga jadi mikir…. Kayaknya nanti pengen lebih sering pulang ke Jakarta kalo liburan.”

“Next time, mau nggak pulang pergi bareng?” tanya Bianca begitu spontan, dan seketika wajahnya memerah, seolah ia baru menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

“Mau, tapi temen gue ngekor—satu orang.”

Bianca merasa jantungnya melonjak, wajahnya terasa panas hingga ia harus menunduk lagi, berpura-pura sibuk menatap ibu jari kakinya. “Nggak apa-apa. Nggak masalah. Gimanapun juga lo sama Zaid, kan, nggak bisa dipisahin,” balasnya, lalu tertawa kecil untuk menyamarkan rasa gugup yang membuncah di dadanya.

Sabian ikut tertawa, suaranya sedikit lebih lega sekarang. Kemudian, ia tampak seperti tengah mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. Membuat suasana kembali hening untuk beberapa saat.

“Bianca….”

Bianca praktis menoleh hingga rambutnya tak sengaja tersibak, “Ya???”

“HP lo mana?” tanya Sabian.

“HP gue?” Bianca langsung cepat-cepat merogoh saku celananya demi mengeluarkan benda pipih itu. “Nih, ada!” katanya sembari mengangkat ponselnya di depan wajah Sabian.

Kemudian, Sabian seolah memerintahkan Bianca untuk memeriksa pesan masuk pada ponselnya hanya dengan menggunakan gerakan dagunya yang terangkat.

“Kenap—????”

Seketika tak ada kata yang dapat Bianca katakan tatkala netranya menatap layar ponselnya, membaca pesan yang pengirimnya adalah laki-laki di sebelahnya.