cakgrays

Di sebuah kafe klasik yang dindingnya penuh akan coretan spidol permanen dari para pengunjung yang pernah datang, lampu neon temaramnya menyorot ke area terbuka, memantulkan bayang-bayang gelas di atas meja yang lapang. Angin malam berembus pelan, namun dinginnya sukses menembus kulit. Suara speaker berkumandang—memutar lagu-lagu yang baru-baru ini hits di media sosial—mengaduk udara lembap yang bercampur bau kopi yang khas, serta manisnya gula aren.

Di seberang, lampu jalan berwarna kuning mulai menyala satu per satu, memantul di genangan air, sisa hujan sore tadi. Mobil-mobil melaju pelan, suara klaksonnya teredam oleh angin malam.

Bianca duduk dengan santai, punggungnya menempel pada sandaran kursi, sementara tangannya memegang segelas latte yang sudah hampir habis. Busa susunya menggumpal di dinding gelas, seperti awan kecil yang tak lagi bergerak. Rasa manis dan pahitnya sudah digantikan rasa hambar berkat batu es yang mencair, sejak beberapa saat lalu. Bianca celingak-celinguk, matanya yang kecokelatan menyapu setiap sudut kafe itu, mengamati wajah tiap-tiap pengunjung yang berlalu-lalang—mencari eksistensi Yayuk.

Pesan terakhirnya sudah Bianca lihat berkali-kali: ‘Lagi di jalan, kayaknya 10 menit lagi.’ Tapi sudah lebih dari 30 menit waktu berlalu, batang hidung kawannya itu tak kunjung terlihat. Kalau boleh jujur, Bianca mulai jenuh menjadi satu-satunya perempuan di antara Sabian, Zaid, juga Sudirman. Bukannya Bianca tak serekuensi, hanya saja ia tipikal orang yang tak ingin sembarangan masuk ke dalam pembicaraan sekelompok laki-laki. Ia takut kalau-kalau ucapannya akan salah, atau bahkan menimbulkan perdebatan sengit.

Sabian duduk di seberangnya, kaos putih polosnya kini sedikit kusut di bagian dada, rambutnya berantakan karena sering ia sentuh dan sisir ke belakang menggunakan jari tangan. Tawanya terdengar renyah, seperti keripik yang baru digigit, setiap kali Zaid melempar sebuah lelucon spontan. Di sampingnya, Zaid bersandar di kursi, dengan kaki disilang, dan tangan yang memegang secangkir amerikano yang sudah dingin, sembari ikut cekikikan seperti Sabian. Lalu, Sudirman, menjadi yang paling santai di antara ketiganya, mulutnya penuh, tapi tetap bicara dengan logat daerahnya yang begitu khas.

Meski Bianca mendengar semuanya, akan tetapi ia tak benar-benar mencoba memahami apa yang para laki-laki itu bicarakan. Kata-kata mereka hanya seperti suara latar, seperti AC yang berdengung—ada, tapi tak dianggap.

Detik kemudian, Bianca kembali membuka ponsel. Layarnya menyala, namun notifikasinya masih kosong. Dan, hal itu kontan membuatnya menarik napas panjang.

“Bianca!” Tiba-tiba saja suara yang begitu lantang memecah atensi sang empunya nama, sekaligus ketiga laki-laki yang duduk bersamanya.

Bianca mendongak, matanya yang semula menatap layar ponsel, kini melihat lurus ke depan. Dan, di sana, Yayuk tengah berdiri di dekat sebuah pilar. Tas selempangnya melorot, rambut panjangnya acak-acakan, dan napasnya tampak sedikit tersengal dengan dada yang naik turun—sepertinya ia baru saja berlari dari parkiran.

Lantas, Bianca bangkit dari tempat duduknya. Sedikit memicingkan mata, tatkala menyadari bahwa Yayuk menatapnya dengan kedua pupil yang melebar, akting terkejutnya nyaris sempurna—tapi Bianca tahu, sorot matanya penuh konspirasi.

“Kamu ndek kene juga?” (kamu di sini juga) sapa Yayuk, kini raut wajahnya sengaja dibuat polos, seakan-akan ia benar-benar tak menduga bahwa Bianca juga berada di tempat yang sama.

Mendengar itu, spontan saja Bianca mengangguk kikuk, bibirnya mengulum senyum yang terasa kaku di pipinya. Ingin sekali ia tertawa, tapi ada sesuatu yang menahan—harga dirinya.

Di sisi lain, Yayuk yang penuh akan rasa percaya diri, praktis bersalaman dengan Sabian, Zaid, serta Sudirman—satu per satu, tangannya hangat, dan suaranya ceria. “Halo, guys! Aku Yayuk, konco kentel e Bianca.”

Sabian praktis menarik kursi dari meja sebelah, usai menjabat tangan Yayuk—kursi itu berderit keras, bunyinya menusuk telinga. “Duduk sini aja,” katanya, nada bicaranya begitu ramah. Seakan-akan tengah menunjukkan bahwa ia dengan tulus menerima eksistensi teman Bianca yang tiba-tiba.

Alhasil Yayuk merasa senang di dalam hatinya, lantaran telah berhasil diterima dalam kelompok kecil itu. Detik kemudian, Yayuk mendaratkan bokongnya.

Kendati begitu, tak lama sejak Yayuk duduk di sana, tawa canggung menyelimuti mereka—semua saling pandang, seperti orang-orang yang baru sadar mereka terjebak di dalam suasana yang kini sedikit terasa kaku.

Tak ingin tenggelam dalam keheningan, Sudirman bangkit tanpa memberi sedikitpun aba-aba, kursinya bergeser, hingga menimbulkan suara derit yang keras. “Mau minum, nggak? Sisan, mesen panganan ringan meneh soale,” (sekalian pesan makanan ringan soalnya) tanyanya pada Yayuk, sembari merogoh dompet dari dalam saku celana. Kebetulan sekali Yayuk belum memesan apapun, sebelumnya.

“Mau!” jawab Yayuk secara spontan. Ia pikir, malu-malu di tengah momen yang seperti ini, justru akan menambah berat atmosfer di antara mereka.

“Minum apa?”

“Opo wae lah, asal kopi,” (apa aja) katanya santai, bahunya naik-turun, dan kepalanya manggut-manggut dengan semangat.

Seakan langsung paham dengan apa yang Yayuk inginkan, Sudirman hanya mengangguk cepat sebelum akhirnya melenggang pergi, meninggalkan aroma parfum yang pekat di udara.

Bianca memperhatikan Yayuk yang duduk di sebelahnya, mata kawannya itu lamat-lamat mengamati Sabian—mulai dari rambut, kaos polos yang ia kenakan, sampai jari-jarinya yang lentik, yang terus saja mengetukkan ujung kukunya pada permukaan meja. Detik kemudian, Yayuk menoleh ke arah Bianca, alisnya naik sekilas—seperti sebuah tanda tanya tanpa kata. Lalu kembali menatap Sabian.

“Awakmu ini, pacarnya Bianca ya?” tanyanya, wajah polosnya seperti anak kecil yang baru belajar bicara, tapi suaranya cukup keras untuk menusuk telinga semua orang.

Bianca langsung mendelik, jantungnya seakan melonjak ke tenggorokan. Ia sudah tahu sejak lama kalau Yayuk memang gila, akan tetapi, ia tak menyangka bahwa kawannya itu cukup gila untuk mengatakan apa yang baru saja keluar dari mulutnya—bahkan, langsung di hadapan Sabian.

Akan tetapi, sebelum Sabian sempat membuka mulut, Zaid lebih dulu menimpali. “Belom,” katanya datar, sembari menyilangkan tangannya di depan dada.

Melihat itu, Bianca kontan memijat pelipis—kepalanya pening seketika, dan napasnya terasa berat. Tatkala ia mengalihkan pandangan, matanya sibuk mengamati Sabian—laki-laki itu tampak sibuk celingak-celinguk dengan bibirnya yang terkatup rapat, dan tangannya memegang gelas lebih erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sabian tampak begitu gelisah.

“Loh, tak kirain wes pacaran, soale Bianca sering cerito,” sambung Yayuk, suaranya santai, tapi ada nada menggoda di ujung kalimatnya. Di bawah meja, tangannya meremas lutut Bianca pelan—diam, percaya aku—seakan-akan ia mencoba mengatakan hal itu. Akan tetapi sentuhannya terasa seperti jeratan bagi Bianca.

Sementara itu, Sabian masih diam, matanya sangat jelas terus menghindari Bianca, dan tak kunjung ada sepatah kata pun yang lolos dari bibirnya untuk menjawab keraguan Yayuk.

Di tengah kekakuan yang melekat di udara di antara mereka itu, tiba-tiba, bayangan muncul di dekat meja. Seorang perempuan—dengan rambut hitam panjang tergerai seperti air terjun malam, dan aroma parfumnya manis seperti vanila tapi menusuk hidung. Matanya besar, senyumnya memesona, tapi ada sesuatu di dalamnya—seperti luka atau mungkin kerinduan yang tak terucapkan. Ia menatap Sabian tanpa kata, seraya sesekali melirik ke arah Zaid.

“Sabian? Zaid?” sapa perempuan itu setelah beberapa saat. Suaranya lembut, tapi seperti pisau kecil yang membelah keheningan.

Sabian yang namanya pertama kali disebut, praktis mengangguk kaku, gelas di tangannya hampir tumpah. Di sisi lain, Zaid mengernyit, alisnya bertaut, tangannya mengepal di atas meja, napasnya terdengar berat.

“Apa kabar? Nggak nyangka bisa ketemu kalian lagi,” timpal perempuan itu, tapi Sabian dan Zaid hanya diam, seperti patung yang lupa cara bergerak, wajah mereka pucat di bawah lampu kuning.

Detik kemudian, ia melempar pandangan ke arah Bianca dan Yayuk, senyumnya kikuk, tangannya memegang tas kecil dengan gugup. “Emm, lagi kumpul yaa... sorry, gue ganggu, kalau gitu gue cabut ya...,” katanya buru-buru, sudah mau mundur, tapi langkahnya ragu.

“Mau pulang?” tanya Sabian spontan, suaranya serak, seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Pertanyaan itu menjadi satu-satunya kalimat yang lolos dari bibirnya sejak beberapa saat lalu. Ia bahkan masih mengabaikan perkataan Yayuk yang terlontar jauh lebih dulu.

Perempuan yang tampak begitu asing bagi Bianca itu mengangguk.

“Naik apa?” Sabian mengangkat alis, matanya tak lepas dari wajah yang ditanya.

“Taksi.”

Kemudian satu kata itu sukses membuat Sabian memutar tubuh, akhirnya ia memberanikan diri menatap Bianca. Tatapannya sulit diartikan—ragu, memohon, seperti anak kecil yang takut dimarahi, tapi juga seperti orang yang sudah menuntut pengertian.

Bianca hanya diam. Kendati begitu, justru Zaid yang menggeleng di sebelah Sabian. “Sebentar aja, gue balik lagi abis ini,” kata Sabian pada Zaid, suaranya bergetar, hampir pecah.

Seakan-akan sengaja ingin menunjukkan kekesalan lantaran isyarat dari larangannya diabaikan, Zaid terang-terangan menepis tangan Sabian dengan kasar, bunyinya seperti tamparan. “Terserah lo,” katanya dingin. Sorot mata Zaid begitu tajam tatkala ia mengatakan itu, dan ekspresi yang tergambar di wajahnya begitu sulit untuk diartikan. Seperti marah, kecewa, dan sedikit takut.

Tapi Sabian sudah gelap mata. Ia tetap beranjak, dan menarik pergelangan tangan perempuan itu, jari-jarinya mencengkeram erat, seperti takut lepas. “Ayo, gue anter,” katanya samar, mengabaikan semua orang, termasuk Bianca—perempuan yang akhir-akhir ini mengisi harinya.

“T-tapi….”

“Ayo!” Kemudian langkah lebar dan cepat milik Sabian mulai menjauh, meninggalkan aroma parfumnya yang masih menempel di udara, dan perasaan yang sulit diartikan—milik ketiga orang yang ia tinggalkan.

Bianca masih membeku, napasnya tertahan di dada, seperti ada batu besar yang menindih paru-parunya kala itu. Rasa sesak menyelimuti seperti kabut tebal, matanya kosong menatap punggung Sabian, sebelum bayangannya dan perempuan asing itu lenyap di kegelapan luar. Yayuk menatapnya penuh tanya, tangannya menyentuh lengan Bianca, tapi Bianca seakan tak merasakan apa-apa.

Sudirman yang baru saja kembali, sembari membawa kopi Yayuk dan semangkuk kentang goreng ulir yang masih panas, praktis mengubah ekspresi wajahnya saat ia menyadari bahwa Sabian menghilang. “Ke mana?” tanyanya penasaran pada Zaid, kemudian piring yang sempat ia genggam itu cepat-cepat ia letakkan di atas meja hingga menimbulkan bunyi yang sedikit keras.

Alih-alih menjawab pertanyaan Sudirman, Zaid justru menatap Bianca, sorot matanya lembut—tampak iba dan menyimpan kekesalan yang tak terucap.

“Seng mau iku, sopo?” (yang tadi itu siapa) tanya Yayuk pelan, tangannya masih di lengan Bianca.

Di saat semua pertanyaan tertuju pada Zaid, Bianca hanya balas memandangnya. Tatapan mereka saling terkunci.

Kemudian, dengan lirih, Zaid akhirnya membuka suara. “Bian baru aja pergi sama masa lalunya.”

Detik itu, tangan Bianca mengepal di bawah meja. Buku-buku jarinya memutih, kuku menusuk telapak tangan hingga terasa nyeri. Rasa sesak menenggelamkan dadanya—seperti tenggelam di dadar lautan. Ia ingat betul Zaid pernah membahas soal perempuan yang sempat mengubah seorang Sabian, meninggalkannya, dan membuatnya seakan anti dengan kehidupan romansa muda itu.

Tapi kenapa sekarang Sabian bahkan mengantar perempuan itu pulang? Batin Bianca.

Ia ingin marah, ingin menangis, ingin teriak, tapi yang keluar hanya napas tersendat, seperti orang yang lupa cara bernapas. Masalahnya akhir-akhir ini ia sudah begitu dekat dengan Sabian. Kedekatan mereka bukanlah sekadar teman lawan jenis. Sabian sendiri yang pernah mengatakan bahwa ia ingin mereka menjadi yang sesuatu yang lebih, suatu hari nanti. Namun, belum sempat angan itu tercapai, seseorang dari masa lalu Sabian kembali hadir. Dan melihat cara Sabian pergi begitu saja, bahkan sampai mengabaikan Zaid, Bianca jadi tahu bahwa dia sama sekali bukan apa-apa jika dibandingkan dengan perempuan itu.

Sayangnya nasi telah menjadi bubur. Perasaan yang Bianca miliki untuk Sabian bukan lagi sekadar ketertarikan seperti yang ia rasakan di awal kedekatan mereka. Bianca mulai familier akan semua hal yang ada pada diri Sabian. Lalu, jika akhirnya tak bisa sama-sama, ia harus apa? Jika masa lalunya yang membandel itu kembali hadir, ia bisa apa?

Mata Bianca mulai memanas, tapi air matanya tak kunjung keluar—terlalu kering, terlalu lama ia tahan di hadapan orang-orang.

“Sumpah? Jancok! Ayo balik, Ca!” seru Sudirman, suaranya menggelegar. Melihat Bianca yang hanya terdiam setelah kepergian Sabian dengan perempuan lain, kontan saja menyulut emosi Sudirman sebagai sepupunya.

Yayuk yang juga memiliki kepedulian pada Bianca, lantas manggut-manggut, “Awakku merene gowo mobil.” (aku ke sini bawa mobil) Tangannya yang sejak tadi menggenggam lengan Bianca, kini terangkat ke atas—seakan meminta untuk didengar di tengah kekacauan.

Detik kemudian, Zaid langsung mengangguk seraya raup jaketnya. “Ayo! Gue yang nyetir.” Suaranya begitu tegas, seakan tak ragu sedikitpun saat mengambil keputusan untuk meninggalkan Sabian yang sudah berjanji untuk lekas kembali.

Langit Jakarta masih diselimuti kegelapan ketika Sabian, Bianca, dan Zaid berkumpul di ruang tamu rumah Sabian. Cahaya lampu neon di ruangan itu memancarkan kilau lembut, menciptakan suasana hangat namun penuh emosi yang menyelimuti mereka.

Di luar, udara pagi terasa sejuk, dengan embun tipis yang masih menempel di rumput halaman depan. Mobil Sabian, sebuah sedan hitam yang sudah terparkir rapi di sana. Bagasinya penuh dengan koper dan tas yang telah disusun sejak beberapa jam lalu.

Di dalam ruangan, aroma teh yang mama Sabian sajikan menguar, menambah kehangatan suasana yang sarat akan emosi perpisahan dan harapan akan perjalanan jauh yang ingin mereka lakukan.

Sabian berdiri di dekat pintu masuk, memegang kunci mobil dengan jari-jari yang sedikit gemetar—bukan karena dingin, tetapi karena perasaan campur aduk yang sulit diucapkan. Matanya sesekali melirik ke arah Bianca, yang duduk di sofa dengan jaket denim kebesaran yang membuatnya tampak nyaman namun tetap anggun. Bianca sibuk memeriksa daftar barang bawaan di ponselnya, alisnya sedikit berkerut karena fokus, namun ada senyum kecil di sudut bibirnya yang menunjukkan dia menikmati momen ini. Zaid, dengan hoodie abu-abu yang menutupi sebagian wajahnya, bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, seolah masih berjuang melawan rasa kantuk sejak semalam. Ada ketenangan dalam diam mereka, tetapi juga ada kegelisahan yang sulit untuk dijelaskan.

“Jadi, siapa yang nyetir duluan?” tanya Sabian, suaranya serak berkat udara dingin yang menujuk tenggorokannya.

Lantas, Zaid membuka matanya. Menyipit demi melirik Bianca sekilas, matanya penuh dengan rencana dan ekspresi main-main. “Lo duluan aja. Gue masih ngantuk. Nanti gantian di tengah jalan,” katanya, suaranya mantap meski ada sedikit nada gugup yang terselip.

Belum sempat bagi Bianca membuka suara Bianca mengangkat alis, Sabian sudah lebih dulu mengangkat tangannya, dan meletakkan telunjuk di depan bibirnya. “Jangan ikutan, ini diskusi khusus laki-laki.”

Bianca praktis memutar bola matanya, tapi senyumnya melebar, menunjukkan bahwa dia tidak benar-benar tersinggung. “Sexist,” gumamnya dengan nada bercanda, sambil menyilangkan tangan di dada. Ada kehangatan dalam interaksi kecil ini, sebuah chemistry yang terasa begitu alami antara mereka.

“Sabian nyetiir, lo jadi operator musik di sebelahnya,” timpal Zaid, sembari menunjuk Bianca.

“Deal,” jawab Sabian cepat, seolah tak ingin kehilangan momen untuk menjaga suasana tetap ringan.

Kemudian, Zaid hanya mengangguk, wajahnya menunjukkan lega karena bisa bersantai di kursi belakang untuk beberapa jam ke depan. Namun, di balik ekspresi santainya, ada kilau kecil di matanya yang menunjukkan dia senang menjadi bagian dari momen milik Sabian dan calon kekasihnya itu.


Beberapa menit sebelum mereka berangkat, suasana berubah menjadi lebih emosional saat mereka berpamitan dengan orang tua Sabian. Mama Sabian tersenyum hangat, memeluk mereka satu per satu dengan penuh kasih sayang. Matanya berkaca-kaca, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum lebar. “Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa istirahat kalau capek,” katanya, suaranya lembut namun penuh kehangatan yang membuat hati Sabian terasa perih.

Sementara Papa Sabian, hanya ikut manggut-manggut, tapi tangannya yang menepuk pundak Sabian terasa berat, penuh makna. Ada momen diam di mana semua orang merasakan beratnya perpisahan, meski hanya sementara. Sabian merasakan sesak di dadanya, sebuah campuran antara rasa syukur memiliki keluarga yang mendukung dan sedikit rasa bersalah karena meninggalkan mereka lagi.

Setelah pelukan terakhir dan beberapa pesan perhatian, ketiganya memutuskan untuk benar-benar pergi, berjalan menuju mobil.

Udara pagi terasa segar di paru-paru mereka, membawa aroma tanah basah dan daun yang baru saja disiram embun. Bianca, berhenti sejenak di depan pintu mobil. “Yakin semua barang udah dibawa? Nggak ada yang ketinggalan? Charger? Dompet? Makanan ringan?” tanyanya, suaranya penuh perhatian, matanya bergerak dari Sabian ke Zaid dengan ekspresi yang menuntut jawaban pasti.

Lalu, Sabian mengangguk, mencoba menenangkan Bianca dengan senyumnya yang hangat. “Udah, Bi. Lo gak usah khawatir. Semuanya udah aman,” katanya.

“Iya, tenang aja. Kalau ada yang ketinggalan, kan bisa beli di rest area,” timpal Zaid yang kini sudah mendaratkan tubuhnya di kursi belakang mobil itu. Ia menguap, menutup mulutnya dengan punggung tangan, usai mengatakan hal itu.

Bianca menghela napas panjang, lalu masuk ke kursi penumpang depan dengan gerakan anggun. “Yaudah kalo gitu. Tapi jangan berisik kalo nanti lo berdua inget kelupaan bawa sesuatu,” katanya, nada suaranya bercampur antara kesal dan canda, tapi matanya berkilau dengan kehangatan.


Mobil Sabian melaju meninggalkan halaman rumah. Cahaya fajar mulai menyelinap di cakrawala, seolah alam sendiri ikut merayakan awal perjalanan mereka. Jalanan Jakarta pagi itu masih sepi, hanya sesekali dilewati oleh mobil-mobil lain yang melaju dengan kecepatan rendah. Bianca langsung menghubungkan ponselnya ke sistem audio mobil dan memutar playlist yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari seperti permintaan Sabian; playlist berisikan lagu pop dengan ritme yang cukup upbeat untuk menjaga semangat.

Zaid, yang duduk di belakang, tiba-tiba bertanya dengan suara yang masih setengah mengantuk, “Eh, estimasi perjalanan berapa lama, sih?”

Bianca menoleh sekilas, jari-jarinya masih sibuk di atas layar ponselnya yang menyala. “Kalau kata Google Maps, sekitar 9 sampai 10 jam. Tergantung macet atau enggak,” jawabnya, suaranya penuh keyakinan namun tetap lembut.

Kemudian, Zaid mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai mengatur timer.

Sabian, yang memperhatikan gerakan Zaid melalui kaca spion tengah, bertanya dengan nada penasaran, “Lo ngapain?”

“Set timer 5 jam. Setelah 5 jam, gantian nyetirnya,” jawab Zaid, matanya masih fokus pada layar ponsel, tapi ada senyum kecil di wajahnya yang menunjukkan bahwa dia menikmati peran kecilnya dalam merencanakan perjalanan ini.

Spontan Bianca mengernyit, menoleh ke belakang dengan ekspresi yang sedikit protes. “Kenapa gak gantian tiap 3 jam aja? Maksud gue, biar gak jenuh,” katanya, merasa bahwa ide itu jauh lebih baik dibaandingkan dengan sebelumnya.

Seolah baru menyadari kejeniusan ide sederhana itu, kedua matanya langsung membulat. “Oh iya, bisa juga tuh. Lo pilih yang mana, Bi?” tanyanya pada Sabian, nadanya penuh antusiasme.

Sabian hanya mengangkat bahu, matanya tetap fokus pada jalan tol yang mulai mereka masuki. “Aturlah sama kalian. Gue oke-oke aja,” katanya, suaranya datar namun ada nada santai yang menunjukkan bahwa ia benar-benar mempercayakan keputusan ini pada Bianca dan Zaid.

Setelah diskusi singkat yang penuh tawa kecil, mereka sepakat untuk bergantian setiap 3 jam. Sabian akan menyetir untuk tiga jam pertama, lalu Zaid akan mengambil alih. Bianca, meski tidak kebagian tugas menyetir, tampak puas karena bisa mengatur musik dan suasana di dalam mobil. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, merasakan kehangatan dari sinar matahari pagi yang mulai masuk melalui jendela, dan untuk sesaat, ia merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja.


Tiga jam pertama perjalanan berlangsung dengan tenang, hampir seperti sebuah meditasi bergerak. Jalan tol yang mereka lalui membentang luas di depan, hanya sesekali dihiasi oleh truk-truk besar yang melaju dengan ritme konstan. Cahaya matahari pagi mulai merangkak naik, menyelinap melalui jendela dan menciptakan siluet lembut di wajah Bianca, yang sedang sibuk memilih lagu berikutnya. Zaid, seperti yang sudah diduga, sudah terlelap di kursi belakang sejak mereka memasuki pintu tol pertama. Dengkurannya yang pelan hampir tak terdengar di tengah alunan musik yang diputar Bianca, namun kehadirannya tetap terasa, seperti pengingat bahwa mereka adalah sebuah tim.

“Dia beneran tidur, ya?” kata Sabian, melirik ke arah Zaid melalui kaca spion. Suaranya penuh kelembutan terhadap Bianca.

Lalu Bianca terkekeh, di sebelahnya. “Iya, kayaknya emang ngantuk berat, sih. Tapi gak apa-apa, biarin aja. Nanti dia bangun pas waktunya gantian,” jawabnya, matanya berkilau dengan kehangatan.

Sabian mengangguk, tangannya tetap stabil di atas kemudi. Musik yang diputar Bianca kali ini adalah lagu dari Taylor Swift, dengan irama yang lembut namun cukup energetik untuk menjaga Sabian tetap terjaga. “Lagu lo bagus-bagus,” puji Sabian secara spontan. “Tapi....”

“Tapi apa?”

“Nggak ada Mahalininya.”

Bianca langsung tergelak mendengar ucapan itu lolos dari bibir Sabian. “Nanti gue masukin,” balasnya, sambil meraih sekantong keripik dari belakang. “Mau keripik?” tawarnya, mengarahkan sepotong keripik ke arah Sabian dengan gerakan yang penuh perhatian.

Sabian membuka mulutnya tanpa melepas pandangan dari jalan, dan Bianca dengan cekatan memasukkan keripik ke mulutnya. Mereka tertawa kecil, sebuah momen sederhana yang terasa begitu berarti. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, sebuah ikatan yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata.

Di tengah suasana santai itu, Bianca tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, Masabi, lo udah kabarin Sudirman kalo lo balik ke Surabaya hari ini?” tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Sabian mengangguk. “Udah. Tapi… gue nggak bilang kalau gue balik bareng lo,” jawabnya, sedikit ragu.

Pengakuan itu, kontan membuat Bianca mebelalakkan kedua matanya. “Yah?? Tapi gue kasih tau dia, gimana dong?”

“Serius?”

“Iya.”

“Terus, reaksi dia gimana?”

“Reaksinya biasa aja.” Bianca menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. “Kayaknya dia nggak kaget sama kedekatan kita,” lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, seolah ingin menenangkan Sabian.

Sabian mendesis pelan, ekspresinya berubah menjadi campuran antara lega dan gelisah. Matanya tetap fokus pada jalan, tapi ada ketegangan kecil di rahangnya. “Baguslah... tapi… kenapa ya gue ngerasa aneh? Maksud gue, semua orang kayak gampang banget nerima kedekatan kita. Terakhir kali, nggak kayak gini,” katanya, suaranya pelan di ujung kalimatnya, hampir seperti bisikan, penuh dengan kerentanan yang jarang dia tunjukkan.

Bianca praktis memandang Sabian dengan penuh perhatian, matanya mencoba menangkap setiap detail emosi di wajahnya. “Hmm... masa, sih? Gue nggak tau mau komentar apa,” cicitnya.

Sabian menghela napas panjang, jari-jarinya sedikit mengetat di kemudi. “Dulu, banyak dramanya. Orang-orang di sekitar gue, entah itu temen atau keluarga, selalu ada yang komentar atau gak setuju. Tapi sama lo… kayak terlalu mulus. Gue bersyukur, tapi juga bikin gue overthinking,” katanya, suaranya penuh dengan kejujuran yang mentah, seolah dia sedang membuka lapisan hatinya yang paling dalam.

Bianca terdiam sejenak, mencerna kata-kata Sabian. Kalau boleh jujur, sebenarnya ia sedikit merasa canggung dengan momen ini. Namun, sebelum ia sempat menjawab, suara Zaid tiba-tiba terdengar dari belakang, memecah keheningan.

“Orang-orang yang bener-bener kenal dan care sama lo itu, bisa nilai mana yang sekiranya baik buat lo dan mana yang enggak,” katanya, suaranya masih serak tapi penuh keyakinan. “Dari kali pertama gue kenal Bianca, gue tau kalau energi di antara kalian itu positif. Bukan kedekatan yang toxic, Bi. Dan gue yakin orang lain juga bisa lihat itu. Jadi stop merasa cemas, stop paranoid cuma karena semuanya jadi gampang buat lo.” Zaid berbicara dengan nada yang begitu tulus, seolah ia tengah memberikan nasihat dari hati seorang sahabat sejati.

Tepat saat Zaid baru saja menutup kembali bibirnya, Bianca mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi, merasakan bobot kata-kata Zaid yang seolah mewakili apa yang ingin ia katakan. Matanya melirik ke arah Sabian, yang kini tersenyum tipis, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Ada kelegaan di wajahnya, meski masih ada sisa-sisa keraguan yang perlahan memudar.

“Ahh... iya juga,” kata Sabian akhirnya, suaranya penuh dengan rasa syukur.

“Lo cuma perlu belajar nerima kalo sesuatu bisa berjalan mulus tanpa drama,” timpal Zaid.

Lantas, Bianca mengangguk setuju, tangannya meraih ponsel untuk mengganti lagu ke sesuatu yang lebih upbeat, seolah ingin mengembalikan suasana ringan. “Nah, sekarang fokus nyetir aja. Kita masih punya beberapa jam lagi, jangan sampai kenapa-kenapa karena lo nggak fokus, Mas,” katanya, nadanya penuh canda tapi juga penuh kasih.

Tawa kecil mengisi mobil, dan untuk beberapa saat, suasana kembali ringan. Jalan tol di depan mereka membentang panjang, diterangi oleh sinar matahari yang semakin tinggi. Di luar, angin sepoi-sepoi membelai pepohonan di pinggir jalan, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Di dalam mobil, ada perasaan bahwa mereka bukan hanya sedang melakukan perjalanan fisik, tetapi juga sebuah perjalanan emosional yang membawa mereka lebih dekat satu sama lain.

Mesin mobil Sabian menderu pelan saat ia memutar setir ke arah kompleks perumahan sederhana di tepi kota, tempat Bianca tinggal. Mereka sudah membuat janji sebelumnya—menjemput adik-adik kesayangan mereka menggunakan mobil Sabian, dan meluangkan sedikit waktu untuk makan siang bersama.

Saat mobil Sabian berhenti di depan pagar rumah Bianca, ia mematikan mesin sebentar dan menarik napas dalam. Di dashboard, ada segelas matcha latte dingin yang masih mengepulkan embun dingin di permukaannya. Sabian menatap minuman itu lamat-lamat. Ia membelinya beberapa saat lalu, di sebuah kafe yang tampak cukup eksis di daerahnya. Sengaja ia mampir dan membeli minuman. Sabian khaatir kalau-kalau Bianca akan kehausan dalam perjalanan nanti–sebagai bentuk perhatian kecil yang da[at ia berikan dalam proses pendekatan ini.

Klek!

Tiba-tiba saja pintu mobil di sebelahnya terbuka dari luar. Saking sibuknya memikirkan Bianca, Sabian sampai-sampai tak menyadari kalau perempuan yang tengah memenuhi pikirannya itu sudah keluar dari balik gerbang rumahnya sejak beberapa saat lalu.

“Hai, Masabi!” sapa Bianca penuh semangat.

Sabian mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Bianca. “Cepet masuk, di luar panas!” titahnya. Maklum, siang ini matahari memang dua kali lipat lebih hangat dari biasanya. Mungkin karena faktor eksistensi awan yang begitu kurang, di langit, kali ini.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Bianca langsung melakukan apa yang Sabian minta. Ia duduk, seraya mengencangkan seat belt dengan gerakan otomatis. “Udahh,” katanya.

Merasa sedikit kikuk, lantas Sabian berdeham untuk menairkan suasana. “Bi, ini gue beliin buat lo.” Ia menyodorkan gelas matcha latte itu, jarinya hampir menyentuh jari Bianca saat gelas berpindah tangan. “Supaya lo nggak haus di jalan. Cuaca lagi gila-gilaan panasnya hari ini.”

Bianca menerima gelas itu dengan kedua tangan, merasakan dinginnya yang menyegarkan di telapak tangannya. Aroma matcha yang segar langsung menyapa hidungnya dengan begitu ramah.. “Makasih ya, Mas. Lo nggak usah repot gini sih, harusnya,” katanya pelan, tapi senyumnya tak mampu ia sembunyikan. Dalam hati, Bianca merasa kagum dengan perhatian kecil yang Sabian berikan, seperti ini—bukan sesuatu yang berlebihan, namun sesuatu yang cukup, yang membuatnya merasa istimewa.

“Cobain, terus kasih komentar. Gue baru pertama kali beli di sana soalnya,” tutur Sabian, suaranya penuh harap, seperti anak kecil yang menunggu pujian.

Lalu, Bianca cepat-cepat menyeruput matcha latte itu melalui sedotan. Rasanya... sempurna. Manis tapi tak berlebihan, dingin yang langsung meredakan dahaga di tenggorokannya.* “Enak, dan nggak terlalu manis,” gumamnya sambil tersenyum, matanya menyipit karena kepuasan, sebelum akhirnya ia kembali menikmati minuman itu, tanpa sadar bahwa Sabian tengah memperhatikannya dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya.

Tanpa kata-kata, Sabian meraih tangan Bianca yang sedang menggenggam gelas itu. Jarinya menyentuh punggung tangan Bianca dengan lembut, membuat gadis itu membeku sejenak. Lalu, dengan santai, Sabian mencondongkan tubuhnya sedikit dan ikut menyeruput matcha latte itu dari sedotan yang sama. Bibirnya menyentuh sedotan itu tepat setelah bibir Bianca, sebuah gerakan yang begitu intim tapi terasa alami baginya. Dan, detik kemudian, Sabian mengangguk setuju. “Bener, enak. Pilihan gue emang top.” Lalu, tanpa melepaskan tangannya, Sabian mengulurkan tangan satunya dan mengacak-acak pucuk kepala Bianca dengan lembut.

Hanya saja, gerakan alami itu benar-benar sukses membuat jantung Bianca berdegup kencang. Bianca praktis membeku di tempat duduknya. Kedua pipinya memerah seperti tomat matang. Dan, ia hanya dapat tersenyum kikuk, tak tahu harus berkata apa.

“Kenapa?”

“Masabi... lo....” gumam Bianca, tapi kata-katanya terputus saat Sabian tertawa kecil dan menjalankan mobilnya.

Mesin mobil itu menderu pelan, dan mereka meluncur ke jalan raya yang cukup senggang, tak seperti saat pagi atau sore hari. Perjalanan menuju sekolah adik-adik mereka tak terlalu jauh—hanya sekitar 15 menit dari rumah Bianca, melewati jalan-jalan besar dan beberapa persimpangan saja. Udara AC mobil yang sejuk membuat suasana di dalam kabin terasa nyaman, meski panas di luar masih mengintai seperti musuh tak terlihat.

Sepanjang jalan, Sabian bercerita tentang apa saja yang terjadi di rumahnya pagi ini. Di sisi lain, Bianca memilih fokus untuk terus menjadi pendengar sekaligus kawan bercerita yang baik, sembari menyeruput minumannya sesekali.

Memandang wajah tampan Sabian dengan begitu intens, membuatnya merasakan sisa rasa manis di lidahnya, dan entah mengapa, ingatannya melayang ke sedotan yang tengah ia gunakan. Apakah ini arti dari kedekatan yang lebih serius? Atau hanya kebiasaan Sabian yang cuek? Ia menggeleng pelan, menepis pikiran itu.

Berulang kali pipinya memanas, namun kembali normal berkat dinginnya suhu yag dihasilkan oleh AC. Akan tetapi, Bianca sama sekali tak dapat menyembunyikan tatapannya yang seakan memuja laki-laki yang tengah berada di sampingnya kini. Dan, Sabian terang saja mampu menyadari hal itu.

Setibanya di parkiran sekolah yang ramai, Sabian mematikan mesin dan melihat ke arah Bianca. Matanya penuh pertanyaan. “Kita turun bareng, atau gue aja yang jemput? Lo bisa nunggu di sini, kalau lo mau,” tanyanya. Nada bicara Sabian terdengar cukup hati-hati.

Namun, Bianca langsung menggeleng tegas. “Turun bareng aja. Kasihan elo bawa tiga kurcaci sendirian, Mas.” Ia membuka pintu, melangkah keluar dengan tas kecilnya yang berisi dompet dan ponsel. Udara panas langsung menyambutnya lagi, tapi kali ini terasa lebih ringan karena Sabian yang berjalan di sampingnya, dan tangannya sesekali bersentuhan lengan Bianca secara tak sengaja.

Halaman depan gerbang sekolah itu dipenuhi oleh para wali murid yang tengah menunggu. Suara klakson dari luar dan tawa anak-anak memenuhi udara. Bianca dan Sabian berdiri di pinggir gerbang, menyapu pandangan ke arah lapangan yang mulai dipenuhi anak-anak yang menghambur keluar seperti semut yang dilepaskan dari sarangnya. Seragam yang mereka kenakan praktis berkibar, dan tas ransel warna-warni bergoyang di punggung mereka.

Baik Sabian, maupun Bianca, keduanya sama-sama tengah mencari-cari wajah yang familier dari kejauhan; Alin dengan kuncir duanya yang khas, Acat si wajah dingin dengan rambut klimisnya, dan Cica yang selalu tampak paling aktif di antara ketiganya.

“Tuh, mereka!” seru Sabian tiba-tiba, matanya menyipit ke arah tiga sosok kecil yang berlari-lari di tengah kerumunan. Alin, Acat, dan Cica—mereka bertiga seperti tim kecil yang tak terpisahkan, meski Alin dan Acat adalah adik-adik Sabian, sementara Cica adalah milik Bianca. Hubungan mereka terkenal sangat dekat di dalam, dan di luar sekolah.

Serentak, Sabian dan Bianca melambaikan tangan ke atas, senyum lebar di wajah mereka. “Cica! Alin! Acat!” panggil Bianca, suaranya lembut tapi penuh semangat.

Ketiga anak itu langsung berhenti sejenak, mata mereka melebar saat melihat kakak-kakak mereka. Lalu, seperti panah yang dilepaskan, mereka berlari dengan semangat ke arah Sabian dan Bianca. Alin yang paling depan, loncat-loncat sambil berteriak, “Masabi! Masabi!”

Di belakangnya, Acat mengikuti dengan langkah lebih tenang, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Sementara itu, Cica, dengan tasnya yang hampir lepas, langsung memeluk pinggang Bianca begitu sampai.

“Cica….” Bianca membungkuk, membetulkan helaian rambut Cica yang tampak sedikit berantakan. “Hari ini kita pulang bareng Masabi, ya. Sama Alin dan Acat juga. Tapi sebelum pulang, kita mampir makan siang dulu. Mau?” tanya Bianca hati-hati.

Detik kemudian, Cica langsung mengangguk antusias, matanya berbinar. “Mau!” Ia melirik Sabian, yang sedang mengacak rambut Acat dengan kasar tapi penuh sayang.

Alin dan Acat hanya mesam-mesem, saling pandang dengan tatapan yang penuh makna. Seakan-akan mereka tengah membicarakan hubungan di antara Sabian dan Bianca, meski tanpa membuka mulut sedikit pun.

Namun, pada dasarnya, Alin sebagai adik kandung Sabian sudah merestui Bianca sejak awal. Oleh sebab itu, ia tak lagi memberi reaksi berlebihan seperti pada awal pertemuan mereka.

—-

Di parkiran, saat semuanya hendak menaiki mobil, Bianca dengan cepat berinisiatif untuk membukakan pintu depan bagi Alin. “Alin, sini duduk depan sama Kak Sab. Biar nyaman,” katanya ramah, meski hatinya sedikit ragu. Hanya saja, ia merasa tak pantas duduk di sebelah Sabian ketika ada Alin, adik kandungnya, yang lebih berhak.

Namun Alin, dengan suara khas anak-anak yang polos dan gestur yang manis, langsung menolak. “Nggak mauu! Alin lebih pilih duduk belakang bareng Acat dan Cica aja!” Ia menyeringai lebar, matanya nakal. “Mbak aja yang duduk di depan, di samping Masabi. Kayak... pacaran gitu.”

“Alin!” tegur Sabian seketika. Mendengar kata-kata adiknya, Sabian tersenyum ke arah Alin, menaik-turunkan kedua alisnya sebagai tanda bahwa ia bangga dengan pengertian si kecil itu. “Bagus, Lin. Kamu emang pinter!” timpalnya.

Saat itu juga, Bianca tertawa kikuk, pipinya memerah lagi. Meski tak mengatakan apapun, di dalam hati, ia bersyukur karena telah mendapat restu langsung dari adik Sabian. Duduk di depan berarti lebih dekat dengan Sabian, dan entah mengapa, itu membuat perjalanan terasa lebih istimewa.

Satu per satu dari mereka menaiki mobil Sabian. Pintu ditutup dengan suara klik yang nyaring, sebab Acat lah yang melakukannya. Namun, itu tak menjadi alasan bagi Sabian untuk menegurnya. Maklum, namanya juga anak-anak. Selang beberapa detik kemudian, Sabian menyalakan mesin, dan AC mulai berdengung, menyebarkan udara sejuk ke seluruh kabin. Di belakang, Acat, Alin, dan Cica sudah ribut memperebutkan arah udara dingin berembus.

“Diarahin ke atas aja!” protes Acat.

“Tapi Alin maunya diarahin ke bawah!” pekik Cica, membela Alin.

Namun, untungnya keributan itu tak berlangsung lama, berkat Acat yang pada akhirnya mengalah sebagai anak laki-laki.

Sabian melirik Bianca melalui kaca spion, seraya tersenyum. “Bi, buka dashboard. Casing baru buat HP lo ada di situ.”

Bianca mengerutkan dahi, tapi langsung membuka dashboard kecil di depannya. Di dalamnya, ada sebuah kotak yang dibungkus dengan plastik transparan. “Gue buka sekarang, nih?” tanyanya, terdengar polos.

“Iya. Buka aja,” jawab Sabian santai, matanya tetap fokus ke bahu jalan yang kini mulai ramai. Ketiga anak di belakang sontak mencondongkan badan mereka ke depan, kepala-kepala kecil itu hampir menyentuh bahu Bianca. “Apa itu, Masabi? Kasih apa buat Mbak Bi?” tanya Alin penasaran, tangannya meraih bahu kakaknya.

Bianca hanya terkekeh, membuka kotak itu perlahan-lahan. Di dalamnya, casing ponsel berwarna pastel pink dengan pola yang sama persis seperti milik Sabian dan Zaid, digambar dengan presisi seperti karya seni. “Wah... keren banget, Mas. Makasih ya.” Ia memegangnya, merasakan tekstur benda tersebut yang terasa nyaman di jari.

Lantas, ketiga anak di belakangnya langsung bersorak riuh. “Mau pegang!” seru Cica, matanya melebar. Acat, yang biasanya pendiam, ikut mengangguk. “Dipinjem sebentar, boleh nggak?”

Bianca, yang menyadari antusiasme mereka, langsung menyerahkan casing itu ke belakang supaya anak-anak dapat melihat lebih jelas. “Nih, hati-hati ya, mahal tuh–-pakai uangnya Masabi,” cicit Bianca, sengaja menekankan kalimat terakhirnya.

Lalu, tangan-tangan kecil milik Alin, Cica, dan Acat praktis berebut memegang, memuji betapa artistiknya benda itu. “Masabi, ini harganya berapa? Alin boleh nggak dibeliin juga?” kata Alin, sementara Acat menambahkan, “Acat juga mau.”

Sabian tertawa, tangannya menepuk setir pelan. “Bukan buat anak kecil,” kata Sabian, membuat kedua adiknya itu terdiam seketika.

Tak lama kemudian, mobil tiba di sebuah restoran cepat saji yang cukup terkenal dengan ayam tepung renyah dan saus kejunya. Lokasinya strategis, tepat di pinggir jalan raya, dengan parkiran luas yang dipenuhi mobil-mobil pengunjung lainnya.

Tanpa menunggu aba-aba dari Sabian, ketiga kurcaci itu langsung turun begitu mobil berhenti. Mereka berlarian ke dalam restoran, tawa mereka bergema di udara panas. “Duduk di mana!?” teriak Alin, memimpin rombongan. Kemudian, mereka memutuskan untuk memilih sebuah meja persegi panjang yang berada di sudut ruangan, yang menurut anak-anak itu paling nyaman karena dekat jendela dan punya pemandangan taman kecil di luar.

Sabian menyusul dengan langkah santai, tas kecilnya digantung di bahu. Sementara itu, Bianca memilih untuk langsung menuju counter pesanan. Ia tak pernah bertanya sebelumnya pada Sabian atau anak-anak, tapi seakan sudah mengetahui menu apa yang harus ia pesan untuk mereka.

Meski total pesanan itu cukup banyak, Bianca sendiri masih mampu mengatasinya. Akan tetapi, saat pembayaran hampir berlangsung, Sabian tiba-tiba muncul di sampingnya seperti hantu baik hati. Ia menyerahkan dompet kulit hitamnya begitu saja, tanpa sepatah kata pun.

“Mas...?” Bianca melongo, matanya melebar melihat dompet itu di tangannya. Sabian hanya mengedipkan mata, lalu berbalik pergi, meninggalkan Bianca sendirian di depan kasir yang praktis ikut mesam-mesem usai melihat adegan itu.

Bianca cepat-cepat tersadar, pipinya memanas karena malu. “M-maaf, bisa cash ya?” tanyanya pada penjaga kasir, dan orang itu mengangguk sembari tersenyum dengan ramah.

Usai membuat pesanan, dan melakukan pembayaran, Bianca akhirnya bisa ikut duduk bersama yang lain di sebuah meja yang terpilih. Ketiga anak kecil di hadapannya sudah tampak gelisah. Kaki mereka bergoyang-goyang di bawah meja. “Semuanya sabar ya…,” kata Bianca mencoba memberi pengertian.

“Iyaaaa!” pekik ketiga kurcaci itu.

Bianca mengembalikan dompet Sabian di hadapan adik-adik mereka, meletakkannya perlahan di depan pemiliknya. “Ini, Mas. Makasih ya.”

Kemudian, sang empunya langsung mengambil dompet itu, tapi matanya penuh penasaran. “Bisa kan pakai cash?” tanyanya memastikan, dengan nada bicara yang terdengar sedikit khawatir..

Bianca mengangguk, tersenyum tipis. “Bisa.”

Menjadi saksi momen itu, kontan saja membuat Alin, Acat, dan juga Cica cengangas-cengenges di hadapan Sabian dan Bianca. Mereka ikut salah tingkah, meski tak mengatakan apa-apa.

Cukup lama kelimanya menunggu—mungkin 10 menit yang terasa seperti satu jam bagi orang-orang yang tengah kelaparan. Suasana restoran ramai dengan keluarga lain, aroma ayam goreng yang gurih memenuhi udara, dicampur tawa dan obrolan. Sabian bercerita pada anak-anak tentang bagaimana ia dan Bianca saling mengenal pada awalnya. Dan, cerita itu, sedikit banyak sukses membuat mereka menahan rasa lapar mereka.

“Jadi, karena benda seremeh sepatu?” tanya Acat.

Sabian dan Bianca praktis manggut-manggut.

Alin dan Cica yang sejak awal mendengarkan dengan mata berbinar, tak dapat mengatupkan bibir mereka.

“Kayak di film-film ya, Lin?”

“Iya, Ca!”

Lalu, di tengah-tengah keasyikan bercerita itu, akhirnya nomor pesanan mereka dipanggil melalui speaker. Sebagai laki-laki dewasa, Sabian langsung bangkit, bersiap untuk pergi dan menjemput semua pesanan mereka sendirian. “Kalian semua tunggu sini, ya,” pamitnya.

Namun, Bianca tahu bahwa pesanan sebanyak itu tak mungkin mampu Sabian atasi sendirian. Lantas, ia ikut beranjak dari tempat duduknya. “Sama gue, Mas. Banyak banget, kalau sendiri nanti jatuh.”

Merasa bahwa apa yang Bianca katakan ada benarnya, Sabian hanya dapata mengangguk setuju sebagai jawabannya.

Mereka menuju counter pemesanan bersama-sama. Berjalan beriringan sambil sesekali tersenyum malu tatkala menatap satu sama lain. Di counter pemesanan, Bianca langsung memeriksa jumlah pesanan mereka, dan memastikan bahwa tiap-tiap menu yang disajikan sudah sesuai dengan apa yang tertera pada struk pembelian.

“Handal banget, udah biasa ya?”

Bianca tertawa pelan, mendengar pertanyaan Sabian. “Lumayan.”

Usai memastikan bahwa tak ada satu pun yang kurang dari pesanan mereka, Bianca dan Sabian langsung membawa makanan-makanan itu menuju meja mereka. Meletakkannya di atas meja, dan membiarkan aroma yang menggoda langsung membuat anak-anak bertepuk tangan.

kendati begitu, Bianca tak sekonyong-konyong membiarkan mereka untuk langsung menyantap makanan. Ia dengan tegas meminta ketiga anak di hadapannya itu untuk mencuci tangan terlebih dahulu. “Semuanya cuci tangan dulu! Kalu enggak, nanti sakit perut,” katanya, menginterupsi. Kebetulan, ia sudah melakukannya lebih dulu di wastafel dekat counter.

Sementara menunggu, Bianca mulai memisahkan daging ayam dari tulangnya, dan aksi itu ia mulai dari piring Cica terlebih dahulu. Ia melakukannya dengan telaten, jarinya lincah memotong bagian lunak agar mudah dimakan. Lalu giliran ayam milik Alin, kemudian milik Acat.

Sabian, yang sedang menyeka tangannya dengan tisu, menatap penasaran. “Kenapa lo pisahin dagingnya gitu, Bi?”

Bianca tersenyum, tak berhenti bekerja. “Selama ini gue emang selalu gini buat Cica. Supaya dia nggak kesusahan, nggak belepotan, dan makannya nggak lama-lama.”

Mendengar pengakuan itu, sontak membuat Sabian terkekeh, suaranya hangat. Lalu, dengan cepat, ia mendorong piring makannya ke arah Bianca. “Gue juga mau.”

“Hah?” Wajah Bianca memerah. “Sab... lo FOMO banget.” Meski berkata demikian, tapi ia tetap melakukannya, jarinya gemetar sedikit saat memotong ayam Sabian.

Namun, tak disangka-sangka, Sabian juga melakukan hal yang sama untuknya—memisahkan daging dari tulang di piring Bianca dengan gerakan cepat tapi hati-hati. “Gue akan pastiin lo dapet perhatian yang sama, Bi,” katanya pelan, matanya bertemu dengan mata Bianca sejenak, penuh makna. Bianca belum sempat salah tingkah sepenuhnya, ketiga kurcaci yang baru saja usai mencuci tangan kembali ke meja mereka. Alin dan Acat langsung saling tatap begitu melihat keadaan makanan milik mereka—daging sudah rapi dipisah, disusun cantik di tepian piring.

“Siapa yang pisahin daging dari tulangnya?” tanya Acat dengan nada datar, tapi matanya tampak hangat.

Takut kalau-kalau Acat kurang senang, Bianca langsung mengangkat tangan dengan gerakan yang sedikit canggung. “Aku. Acat gak suka ya??? Mau pesen yang baru?”

Alih-alih setuju akan tawaran itu, Acat justru langsung menggeleng dengan semangat, senyum tipisnya melebar. “Makasih ya, udah perhatian sama Acat juga....”

Dan, detik itu juga, Bianca dibuat tertegun dengan perasaan yang menghangat.

Bianca duduk dengan gelisah di sofa ruang tengah rumahnya. Televisi di dinding ruangan itu menyiarkan sebuah berita terkini, yang hanya menjadi latar belakang samar bagi Bianca. Pikirannya sibuk, memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan rencananya kepada Sang Bunda. Minggu depan, ia harus kembali ke Surabaya untuk melanjutkan studinya di universitas, tapi kali ini ia tidak akan naik kereta api seperti biasanya. Ia ingin menumpang mobil Sabian.

Meski Bianca sendiri yakin bahwa rencana tersebut sangat praktis, ia tahu bundanya mungkin saja akan ragu-ragu, terutama karena ini tentang perjalanan bersama dua laki-laki yang, belum pernah Bunda kenal sebelumnya.

Tak jauh dari Bianca, Bunda duduk di sofa sebelahnya, sembari memegang remote control televisi. “Hah, semakin banyak ya, korban keracunan MBG ini…,” gumam Bunda, menggelengkan kepala kemudian berdecih.

Bianca menoleh ke arah Bunda, mencuri-curi pandang untuk mencari waktu yang tepat. Wajah Bunda terlihat rileks, tapi Bianca tahu ibunya itu punya insting tajam untuk menangkap nada cemas atau ragu dari anak-anaknya. Lantas, ia merasa harus berhati-hati dalam memulai percakapan ini.

“Bun, boleh ngobrol sebentar nggak?” tanya Bianca, suaranya lembut namun cukup jelas untuk mengalahkan suara televisi. Ia memainkan ujung kaosnya, sebuah kebiasaan kecil yang selalu muncul saat ia merasa sedikit gugup.

Bunda menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Ngobrol apa, Bi? Kok cemas gitu mukanya,” candanya sambil menurunkan volume televisi. Ia memindahkan posisi duduknya agar menghadap Bianca, tanda bahwa ia siap mendengarkan dengan penuh perhatian.

Bianca menghela napas pelan, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Jadi gini, Bun, minggu depan kan aku harus balik ke Surabaya buat kuliah. Tapi, aku nggak mau naik kereta kali ini,” ujarnya, berhenti sejenak untuk melihat reaksi Bunda.

Bunda mengerutkan kening, akan tetapi ekspresinya masih tampak netral. “Lho, kalau nggak naik kereta, terus naik apa? Pesawat?” tanya Bunda, nada suaranya penuh keingintahuan.

“Bukan pesawat, Bun,” jawab Bianca cepat, lalu menarik napas dalam-dalam. “Aku mau numpang mobilnya Sabian. Dia kan juga mau balik ke Surabaya minggu depan, kebetulan banget. Jadi aku pikir, daripada naik kereta, mending numpang sama dia. Lebih hemat juga,” jelasnya, berusaha terdengar santai meski jantung di dadanya berdebar lebih cepat.

Bunda memandang Bianca dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Sabian? Itu siapa?” tanyanya, suaranya kini sedikit lebih tajam, seperti seorang ibu yang sedang mencium potensi masalah. “Bukan cowok yang nggak jelas, kan? Bunda nggak mau kamu pergi sama orang yang nggak kita kenal, Bi.”

Bianca buru-buru menggelengkan kepala, tahu bahwa ia harus menjelaskan dengan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. “Bukan, Bun, bukan orang asing! Sabian itu kakaknya Alin, temennya Cica. Harusnya sih Bunda udah tau orangnya. Bunda kan akrab sama mamanya Sabian,” papar Bianca, berusaha meyakinkan.

Bunda diam sejenak, mencoba mengingat. Wajahnya perlahan mencerah, tanda bahwa ia mulai mengenali nama yang disebutkan Bianca. “Ooh, anak sulungnya Tante Ratu??” tanya Bunda, nadanya mulai melunak.

“Nah, iya, Bun! Tau, kan? Kenal, kan?” cecar Bianca tanpa jeda sedikitpun.

Bunda mengangguk pelan, tapi matanya masih menyelidik. “Ya, nggak bisa dibilang kenal juga sih…. Terus, kenapa tiba-tiba mau numpang sama dia? Apa nggak ngerepotin? Lagian, cuma kalian berdua di mobil? Bunda khawatir, Bi,” ujar Bunda, suaranya penuh perhatian namun tegas.

Bianca sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Ia buru-buru kembali memberi penjelasan, “Nggak cuma berdua, Bun. Ada temennya Sabian juga, cowok, namanya Zaid. Bunda inget nggak, cowok yang Bunda jodohin ke aku kapan hari itu?? Kita bertiga satu kampus!”

Mendengar satu lagi fakta menarik yang baru saja lolos dari bibir Bianca, praktis membuat Bunda mendelik. “Dunia sempit banget?”

Bianca mengangguk antusias. “Jadi kita bertiga, Bun…. Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok. Dan, aku pastijaga diri baik-baik,” jelas Bianca panjang lebar, berharap penjelasannya cukup meyakinkan.

Bunda masih tampak ragu. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandang Bianca dengan tatapan yang penuh pertimbangan. “Hmm… Bunda sih tahu keluarga Alin orang baik-baik. Tante Ratu sama Bunda juga sering ngobrol pas jemput anak. Tapi, Bi, kamu tahu kan, perjalanan jauh gitu—berjam-jam di dalam mobil, apalagi sama laki-laki, Bunda tetap khawatir. Sabian mungkin orang baik, tapi Bunda nggak kenal deket sama dia. Terus, temennya yang satu lagi, Zaid itu, kalian nggak canggung emangnya?” ujar Bunda, suaranya lembut tapi penuh kekhawatiran khas seorang ibu.

Bianca mengangguk, memahami kekhawatiran bundanya. Ia tahu bahwa Bunda selalu ekstra hati-hati soal anak-anaknya. “Aku ngerti, Bun. Makanya aku ceritain dulu ke Bunda sebelum mutusin apa-apa. Aku janji bakal jaga diri, kok. Nggak bakal ngapa-ngapain yang bikin Bunda khawatir,” kata Bianca dengan nada serius, matanya menatap Bunda penuh keyakinan.

Kemudian hanya menghela napas panjang yang dapat Bunda lakukan. Ia menatap Bianca dengan ekspresi yang mulai melunak sepenuhnya. “Ya udah, kalau itu emang kemauan kamu, Bunda izinin—Bunda bantu bilang ke Ayah juga. Tapi, Bi, kamu harus janji sama Bunda. Jaga diri baik-baik, jangan sampai ngerepotin Sabian atau temennya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon Bunda, kapan pun itu. Bunda nggak peduli jam berapa, pokoknya kabarin kalau ada masalah,” pesan Bunda, suaranya penuh penekanan.

“Iya, Bun, janji! Nanti, selama di perjalanannya, aku bakal kabarin terus. Makasih, ya, Bun, udah kasih izin,” jawab Bianca, wajahnya langsung seumringah.

Namun, tiba-tiba saja, Bunda kembali membuka mulutnya, lalu menambahkan, “Satu lagi, Bi. Meskipun Sabian sama Zaid itu orang baik, dan Bunda kenal keluarganya, kamu tetap harus jaga batasan. Jangan terlalu dekat, apalagi sama laki-laki. Bunda percaya sama kamu, tapi Bunda juga tahu dunia ini nggak selalu baik. Jadi, pokoknya, pesen Bunda, hati-hati!.”

Seketika saja Bianca merasa hangat pada sekujur tubuhnya, berkat perhatian Bunda. “Iya, Bun. Aku nggak bakal lupa pesan Bunda. Aku cuma numpang, kok, nggak lebih. Lagian, aku yakin, Sabian sama Zaid juga bukan tipe orang yang aneh-aneh. Mereka cuma mau bantu aja,” ujarnya, berusaha meyakinkan sekali lagi.

Lagi-lagi Bunda mengangguk, namun kali ini dengan senyum yang lebih lebar. “Ya udah kalau gitu, Bunda tenang.”

Bianca manggut-manggut. Ia tahu betul bahwa pesan-pesan Bunda tadi bukan sekadar omong kosong, melainkan bentuk cinta yang selalu membuatnya merasa aman, meski ia akan bepergian jauh.

Televisi masih menyala. Kini menyiarkan iklan minuman teh dengan musik yang ceria. Bunda kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa, meski matanya masih sesekali melirik ke arah Bianca, seolah ingin memastikan bahwa anaknya benar-benar siap untuk perjalanan ini. Di sisi lain, Bianca merasa lega. Izin dari orang tua sudah ia kantongi untuk minggu depan.

Sabian duduk di balik kemudi mobil sedan barunya yang dibelikan oleh sang papa. Kilauan dari kaca dan logamnya memantulkan cahaya matahari sore yang mulai merona jingga. Dalam keheningan, tangannya menari-nari memutar setir ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah yang ditunjukan oleh peta digital yang tampil di layar dashboard, yang menuntunnya menuju rumah Zaid. Aroma khas kulit jok mobil yang masih baru, memenuhi dadanya, bercampur dengan perasaan hangat yang membara—kegembiraan yang tak dapat ia sembunyikan.

Sejak meninggalkan halaman rumah, senyum Sabian tak pernah pudar. Apa yang ia inginkan—memiliki mobil ini—menjadi kenyataan. Setiap kali menginjak pedal gas, ia merasakan getaran mesin yang halus, seolah mobil ini hidup dan turut berbagi kebanggaan dengannya.

Sesekali, mata Sabian melirik ke kaca spion belakang, memastikan rambutnya yang ditata dengan hati-hati masih rapi dan on point. Kaos hitam polos yang ia kenakan sengaja dipilih sebab, warna gelap itu membuat kulitnya tampak lebih cerah, sekaligus serasi dengan mobil barunya yang berkilau. Dalam hati, Sabian asyik bergumam, bahwa dirinya terlalu keren. Dan, rasa percaya diri itu seperti aliran listrik yang mengalir di nadinya, membawa serta semangat yang membara.

Di jok penumpang depan, sebuah bantal kecil berwarna merah pekat menarik perhatiannya. Bantal itu, yang dibelinya secara impulsif di sebuah toko, kemarin, terasa seperti keputusan kecil yang sempurna. Ia membayangkan Mama atau Alin bersandar nyaman di sana, tapi pikirannya segera melayang ke Bianca. Bantal itu sengaja ia siapkan untuk para perempuan yang sangat, dan mulai penting bagi dirinya—sebuah sentuhan kecil untuk membuatnya merasa istimewa. Setiap kali melirik bantal itu, Sabian tak bisa menahan senyum—ada kehangatan di dadanya, campuran antara antisipasi dan harapan yang sulit dijelaskan.

Saat rumah Zaid muncul di ujung jalan, siluetnya diterangi cahaya senja yang lembut, Sabian merasakan gelitik kegembiraan nakal di hatinya. Ia melihat Zaid berdiri di depan gerbang, tubuhnya tinggi ramping dengan kaos hitam yang serasi dengan gaya Sabian, dipadukan dengan celana jeans robek di kedua lututnya yang memberi kesan santai namun penuh karakter.

Dari kejauhan, Zaid tampak asyik menggulir ponselnya, alisnya sedikit berkerut, dan wajahnya serius seolah tenggelam dalam dunia digital.

Sabian yang melihat itu, tak mampu menahan dorongan untuk menggoda sahabatnya. Lantas, dengan senyum culas yang merekah di wajahnya, ia menekan klakson—TINN! TINN!—dan suara nyaring itu memecah keheningan sore seperti petir kecil.

Zaid melonjak kaget, ponselnya hampir terlepas dari tangan, dan wajahnya memerah karena campuran kaget dan kesal. “COK! BAJHINGAN!” pekiknya, matanya menyipit menatap Sabian yang sudah menyeringai lebar di balik kaca mobil.

Angin sore yang kini bertiup lebih kencang membawa aroma tanah dan debu halus, menyapu wajah Sabian tatkala ia menurunkan kaca jendela di sisi pengemudi. “Hai, miskin!” sapa Sabian pada Zaid. Nada suaranya penuh canda, melanjutkan ritual persahabatan mereka yang penuh ejekan ringan namun sarat keakraban.

Namun, alih-alih membalas sapaan Sabian, Zaid justru memutar matanya dengan dramatis, mendecih pelan sambil mendekati mobil dengan langkah santai. Tangannya tampak menyentuh kap mesin yang masih hangat, jari-jarinya mengelus permukaan mengilap itu dengan ekspresi pura-pura jijik.

“Najis,” cetusnya, sembari meneliti velg yang memantulkan cahaya senja seperti cermin.

“Buruan naik! Bianca udah nungguin,” timpal Sabian, nyaris hilang kesabaran.

Sabian dan Zaid sudah berteman sejak kecil, sebuah ikatan yang terasa lebih dalam dari sekadar persahabatan. Bagi Sabian, Zaid adalah keluarga, sekaligus seseorang yang tahu setiap celah dan rahasia Sabian, termasuk perasaannya untuk Bianca. Memperkenalkan Bianca kepada Zaid adalah momen yang sudah lama ia nantikan, seperti membuka babak baru dalam hidupnya. Ada kegembiraan yang bercampur dengan sedikit kecemasan di hati Sabian—ia ingin sekali Zaid dan Bianca dapat saling akrab satu sama lain, sebab ia benar-benar berniat membawa Bianca masuk ke dalam hidupnya.

Zaid segera membuka pintu depan, seakan berniat duduk di samping Sabian. Akan tetapi, baru saja pintu terbuka, Sabian kembali membunyikan klakson—TINN!—membuat Zaid memekik dan menghentikan gerakannya seketika. “Apaan sih!? Belagu banget, anjing… ngomong pake mulut, bukan pake klakson!” protesnya, wajahnya memerah karena kesal, tapi ada tawa kecil di sudut bibirnya.

“Tempat duduk lo di belakang.”

Detik itu juga Zaid membelalakkan mata, seakan tak percaya. “Belakang!?” nadanya penuh penolakan.

“Iya, depan buat Bianca…,” jawab Sabian dengan senyum lebar.

Lantas, Zaid hanya dapat mendengkus kesal, gerakannya berlebihan saat ia kembali menutup pintu depan dan berpindah ke belakang. “Oke, Pir… Supir, bawa mobilnya pelan-pelan!” katanya sambil melemparkan tubuhnya ke kursi belakang dengan gerakan serampangan, seolah ia adalah penumpang VIP yang sedang kesal. Namun, di balik sikapnya yang pura-pura merajuk, ada kilau keakraban di matanya.

Sabian tertawa, suaranya menggema di kabin mobil. Tawa itu bukan hanya karena tingkah Zaid, tapi juga karena kelegaan yang ia rasakan—persahabatan mereka adalah zona nyaman yang tak akan pernah pudar.

“Bisa-bisanya lo begitu? Tapi, tenang aja, nanti lo dapet jatah duduk di depan—pas Bianca pulang,” kata Sabian, nada suaranya penuh ejekan namun hangat. Zaid hanya mendengkus, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.

Tak lama kemudian, perjalanan menuju rumah Bianca diiringi suara mesin mobil yang halus, seperti dengungan lembut yang menenangkan. Aroma biji kopi Bali dari pengharum mobil ini mengisi kabin, bercampur dengan udara sejuk yang berasal dari mesin pendingin udara. Cahaya senja yang kini mulai memudar meninggalkan semburat oranye di ufuk Barat, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit melankolis.

Zaid, dari kursi belakang, sesekali melontarkan komentar tentang mobil Sabian. “Mobil lo bagus, tapi baunya kayak mobil orang tua,” katanya sambil mengendus udara, wajahnya dibuat-buat jijik, tapi ada tawa kecil di ujung kalimat itu, seakan-akan tengah mengkhianati niatnya untuk serius.

Sabian hanya mengangguk remeh, senyumnya tetap terukir. “Iri bilang, Bos!” timpalnya, suaranya penuh percaya diri.

“Dih?” Zaid mendecih, namun detik kemudian ia menggenggam erat bahu Sabian. “Iri bangettttt!” timpalnya.

“Gue tuh, sebenernya belum sempet milih pengharum mobil. Jadi, yang dari mobil Bokap, gue pindahin ke sini,” jelas Sabian, nada suaranya santai.

“Astaga… yaudah nanti gue beliin, yang baunya jeruk,” kata Zaid.

“Nggak usah, Id. Kalo bau jeruk, mah, lo pake aja sendiri. Gantung di idung lo!”

“Sialan!” Tepat usai Zaid memekik kesal, tawa mereka berdua meledak, mengisi kabin dengan kehangatan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Langit sudah sepenuhnya gelap, saat mobil Sabian berhenti di depan rumah Bianca. Sabian memarkir mobilnya dengan hati-hati, gerakan setirnya presisi, seolah ingin menunjukkan bahwa ia menguasai kendaraan barunya. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma tanah dari halaman kecil di depan bangunan rumah Bianca.

Dalam keheningan, tiba-tiba saja, Sabian menoleh ke arah Zaid, “Eh, jangan bikin gue malu, Id. Jangan terlalu banyak ngomong kasar nanti,” katanya dengan nada santai, meski di dalam hatinya, Sabian sungguh berharap Zaid dapat menahan lidahnya yang kadang tak terkontrol, karena malam ini terlalu penting untuk dirusak oleh tingkah sahabatnya itu.

“Ya, tenang aja. Demi lo, gue bakal banyak diem hari ini,” jawab Zaid, tapi Sabian hanya mendecih, tahu betul bahwa ‘diam’ bukanlah kosa kata yang ada dalam kamus Zaid, kecuali saat ia tertidur.

Sebelum Sabian sempat membalas, pintu gerbang rumah Bianca terbuka pelan, dan dunia seolah berhenti berputar. Perempuan itu muncul, sembari diterangi lampu taman yang baru menyala, menciptakan siluet lembut di sekelilingnya. Atasan putih polos yang Bianca kenakan memantulkan cahaya, kontras dengan celana kulot bercorak batik yang bergerak anggun tatkala ia melangkah. Rambut panjangnya tergerai, bergoyang lembut diterpa angin malam, dan senyumnya—sederhana namun memikat—membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang. Ini adalah kali pertama ia menjemput seorang perempuan tepat di depan rumahnya, jadi maklum jika di dalam dadanya seperti ada badai kecil yang bergemuruh.

Tanpa perlu diberi isyarat, Bianca langsung menghampiri mobil Sabian, langkahnya ringan namun penuh percaya diri. Ia membuka pintu belakang—mungkin mengira Zaid sudah duduk di depan. Akan tetapi, ia justru mendapati Zaid yang tengah bersandar santai di kursi belakang, menyambutnya dengan senyum lebar penuh godaan.

“Hai? Mau duduk sama gue di belakang?” tanya Zaid, nada bercandanya seperti embusan angin yang mengundang tawa.

Bianca tersentak, matanya membelalak sesaat sebelum terkekeh, wajahnya memerah tipis karena kaget. “Kirain gue yang di belakang,” katanya, pura-pura santai sambil kembali menutup pintu belakang dan beralih ke pintu depan.

“Hai!” sapa Sabian, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

“Halo! Keren banget mobil lo,” balas Bianca, suaranya lembut, membawa aroma vanila dan bunga yang ringan dari parfumnya.

Ia duduk di kursi depan dengan anggun, gerakannya alami namun memikat, dan saat ia memasang sabuk pengaman, Sabian mencuri pandang, berharap ia tak terlihat terlalu jelas dalam usahanya membuat Bianca nyaman.

“Nyaman, nggak?” tanya Sabian, seraya melirik bantal merah yang kini menopang leher Bianca, jantungnya berdetak lebih kencang menanti jawaban dari perempuan itu.

“Banget, apalagi ada bantalnya,” jawab Bianca, senyumnya melebar.

“Padahal itu gue pilih random di e-commerce,” kata Sabian, berusaha terdengar santai meski pipinya terasa hangat.

“Seriously?” tanya Bianca, memastikan.

Sebelum Sabian bisa menjawab, Zaid menyela dari belakang, “Boong, itu bantal dia pilih dengan cermat, cuma buat penumpang VIP. Buktinya, itu cuman ada satu di dalem mobil ini.”

Mendengar itu, Bianca lantas saja menoleh, matanya berbinar nakal. “Oh iya, di tempat lo nggak ada.”

“Boro-boro dikasih bantal, gue ada di sini aja cuma sebagai topping kalian!” keluh Zaid, suaranya penuh drama, tapi tawa kecil di ujung kalimatnya menunjukkan bahwa ia menikmati peran sebagai ‘Korban Sabian’.

“Ngoceh aja lo, kayak beo!” Sabian terkekeh. Diam-diam ia merasakan kelegaan yang hangat—Zaid, dengan caranya yang khas, telah mencairkan suasana yang tadinya ia pikir akan sedikit kaku karena kehadiran Bianca.

“Eh, boleh play musik dari gue, nggak?” tanya Bianca tiba-tiba, saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya.

Sabian langsung mengangguk, sebelum akhirnya berdeham untuk menutupi kegugupan yang tengah ia rasakan. Setiap hari, semakin dekat dengan Bianca—Sabian hanya tak merasa jatuh cinta semudah ini sebelumnya.

“Bi, speaker mobil lo mau diperawanin sama playlistnya Bianca, dan lo pasrah?!” pekik Zaid, tiba-tiba. Suaranya penuh semangat, seolah ingin memecah ketenangan yang baru saja tercipta.

Mendengar langsung pertanyaan Zaid pada Sabian, sontak membuat Bianca menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak dramatis. “Eh?? Emangnya gue orang pertama?” tanyanya, nadanya penuh kecemasan yang sengaja dibuat-buat.

Zaid mengangguk antusias, sementara Sabian praktis memutar bola matanya dengan malas, meski sudut bibirnya naik, menahan tawa.

“Wah?? Nggak apa-apa nih, Masabi?”

“Nggak apa-apa, Bi.” Sabian menatap, seraya tersenyum hangat ke arah Bianca.

“Serius, ini jadi pencapaian terbesar gue di awal tahun,” cetus Bianca, sembari melirik ke belakang dengan senyum nakal yang membuat Zaid mengacungkan jempol penuh kekaguman tanpa sepengetahuan Sabian yang kini hanya terkekeh di balik kemudi.

Tanpa bersuara, Sabian menunjukkan tombol untuk menghubungkan perangkat. Dan, dalam hitungan detik, lagu dengan ritme ringan mengalir dari speaker mobil, membawa suasana malam yang semakin gelap menjadi lebih hangat dan akrab. Melodi lembut dengan denting piano dan alunan vokal yang manis seolah memeluk kabin mobil, menciptakan gelembung kecil kehangatan di tengah gemerlap lampu kota yang mulai menyala di luar.

Sabian dapat merasakan detak jantungnya sedikit melambat, lega bahwa Bianca tampak nyaman, sementara Zaid di belakang sesekali bersenandung pelan, seolah tak ingin kalah menikmati momen.

Di luar, lampu-lampu kota mulai berkilau, menciptakan refleksi warna-warni di kaca mobil yang melaju pelan di jalanan yang sedikit ramai. Sabian diam-diam mencuri pandang ke arah Bianca, yang tengah memilih lagu berikutnya. Cahaya dari layar ponsel menyinari wajahnya, menonjolkan lekuk lembut pipinya dan kilau di matanya. Ada perasaan hangat yang menggelitik di dada Sabian—campuran antara kekaguman dan kegugupan yang membuatnya ingin terus berada di momen itu.

Perjalanan mereka memang sedikit memakan waktu, sebab tempat yang dituju sama sekali belum ditentukan. Sabian sempat mengusulkan sebuah kafe yang pernah ia kunjungi bersama Bianca, tempat di mana mereka menjadi semakin dekat dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbincang dan semakin mengenal satu sama lain. Ingatan itu secara teknis membawa senyum kecil ke wajah Sabian tatkala mengatakannya, namun Zaid dengan cepat menolak. Maklum, sudah terlalu sering bagi dirinya duduk di sebuah kafe, dan kebetulan nama kafe yang Sabian sebutkan cukup familier untuknya.

Mendapat penolakan demikian, terang saja membuat Sabian mendengkus, dan tak lama kemudian mobil itu dipenuhi dengan perdebatan sengit antara keduanya, suara mereka saling tumpang tindih, membuat riuh suasana.

Untung saja, Bianca ada di sana untuk menengahi. Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuhnya hingga hampir menghadap belakang, matanya berbinar penuh semangat. “Sushi aja, yuk!” serunya. Suara nyaringnya lantas memecah ketegangan. Ia menatap Sabian dan Zaid secara bergantian, sebelum akhirnya menularkan senyuman lebar dari bibirnya. “Kalian berdua pasti suka sushi, kan?” tanyanya memastikan, nada suaranya penuh keyakinan, seolah ia sudah membaca pikiran mereka.

Kemudian, Zaid mengangguk antusias, matanya menyala. “Tau dari mana?” tanyanya, setengah bercanda.

“Feeling aja, sih. Sabian suka, jadi mungkin lo juga suka—karena kalian selalu bareng,” jawab Bianca, penuh perhatian.

Mendengar itu, Sabian tersenyum dalam hati, tersentuh oleh kepekaan Bianca terhadap ikatan persahabatannya dengan Zaid.

“Kita ini bukan selalu bareng, tapi dia selalu ngikutin gue…,” timpal Zaid, raut wajahnya seakan tak terima.

“Loh…,” alis Bianca sedikit terangkat. “Bukannya lo yang selalu ngikutin Sabian? Buktinya hari ini lo ada di mobil dia.”

Mendengar bagaimana Bianca membalas perkataan Zaid, terang saja Sabian tak bisa menahan tawa, suaranya meledak di kabin mobil, menggema bersama denting lagu yang masih mengudara pelan. Zaid terdiam sejenak, wajahnya memerah karena kalah adu argumen, dan untuk pertama kalinya, ia kehabisan kata. Sementara Bianca, dengan senyum nakalnya, baru saja membuktikan bahwa ia bukan hanya cocok menjadi teman, tapi juga lawan yang sepadan untuk Zaid.

Meski baru saja mendengkus, dan pura-pura kesal, sudut bibir Zaid tetap naik ke atas, menunjukkan bahwa ia menikmati kekalahan itu. “Gue ini disamper! Gue diajakin!” pekiknya.

“Iya… iya…,” kata Bianca, mengalah dengan tawa kecil, lalu kembali menatap ke depan.

Dalam keheningan yang mulai melanda, mata Bianca tertuju pada lampu-lampu kota yang berkilau di balik kaca mobil. “Biasanya gue cuma bisa fokus ke jalan karena nyupirin Bunda atau Cica. Di circle pertemanan gue pun, gue selalu jadi supir karena kata mereka, gue yang paling cepet kalo bawa mobil. Jarang-jarang bisa duduk di bangku penumpang kayak gini sambil liatin objek selain aspal sama kendaraan di depan, kecuali perginya sama Ayah,” katanya, suaranya lembut, membawa sedikit kesedihan tanpa ia sadari.

“Ehm, kebalikannya Bian, tuh!” sela Zaid, nadanya penuh ejekan. “Dia selalu jadi penumpang, kecuali di motor. Iya, kan, Bi?”

Alih-alih menjawab, Sabian justru mendengkus, tapi di dalam hati, ia mengakui kebenaran dari perkataan Zaid. Biasanya, ia memang sering menjadi penumpang, tapi mendengar pengakuan Bianca membuatnya merasa tersengat—seakan ada bara kecil yang menyala dalam dadanya. Bara yang lebih mirip dengan sebuah tekad. “Mulai hari ini, kapanpun lo ngerasa pengen jadi penumpang—just let me know, Bi,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Ia menoleh sekilas ke Bianca, matanya bertemu dengan mata perempuan itu, meski hanya sepersekian detik, namun itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Kontan saja pernyataan itu membuat Bianca tertegun, pipinya tampak memerah tipis, lalu ia seperti pura-pura berdeham untuk menutupi kegugupannya. “Ehm, oke, setelah bilang, terus apa?”

“Terus ya bakal dijemput sama dia lah!” Di belakang, Zaid memicingkan mata, berbanding terbalik dengan Bianca yang tengah tersenyum—sudut bibirnya turun, membentuk ekspresi jengah yang tampak sengaja ia buat-buat. “Engap banget ni mobil, bikin dada gue sesek!”


Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk membawa mobilnya ke sebuah mal besar di pusat kota. Lampu-lampu neon di gedung-gedung tinggi mengantar mereka, sampai memasuki area parkir mal.

Sabian memarkirkan mobilnya dengan penuh percaya diri, memutar setir dengan gerakan yang sedikit dibesar-besarkan, seolah ingin memamerkan keahliannya.

Kemudian, saat mobil itu akhirnya terparkir sempurna, Zaid dan Bianca kompak berseru, “Wooo!” seperti penonton di acara balapan mobil.

“Sat set banget parkirnya…,” puji Bianca, terdengar spontan.

“Iya, kayak yang udah lama punya mobil,” timpal Zaid, kali ini nadanya setengah bercanda.

“Biasa aja, lah, kalian jangan norak,” kata Sabian. Kendati begitu, sudut bibirnya naik, menunjukkan bahwa pujian yang sempat Zaid dan Bianca lontarkan itu sukses membuatnya senang bukan main. “Ayo turun!” ajaknya, seraya membuka pintu mobil dengan semangat.

Udara yang sedikit pengap di area parkir menyambut mereka, bercampur dengan aroma kue yang menggoda dari arah pintu masuk mal yang membuat perut Sabian tiba-tiba keroncongan—seolah setuju dengan saran Bianca untuk sekalian makan malam saja.

Di dalam mal, suasana ramai namun tetap nyaman mengelilingi ketiganya. Langkah orang-orang bercampur dengan tawa anak-anak yang bersemangat. Ada musik latar yang mengalun lembut dari speaker yang tak terlihat, menciptakan suasana yang hidup namun tidak bising.

Sabian berjalan di samping Bianca, langkah mereka selaras, seolah tak ingin ada jarak di antaranya. Cukup intens bagi mereka berbincang tentang hal-hal ringan, seperti; menu sushi favorit, film yang baru tayang—dan setiap kali Bianca tertawa, Sabian merasakan getaran kecil di hatinya. Bianca sesekali menutup mulutnya saat tertawa, ia jelas mencoba menyembunyikan kegugupannya, tapi matanya yang berbinar tak dapat berbohong—ia juga menikmati momen ini.

Sementara itu, Zaid, dengan semangat empat limanya, memimpin jalan dengan langkah lebar-lebar, seolah ia adalah seorang pemandu tur yang sedang memamerkan wilayahnya.

“Maaf ya, kalo lo liat Zaid agak overactive, dan bikin risih,” bisik Sabian ke Bianca, nadanya penuh perhatian.

Lantas, Bianca menggeleng cepat, seraya tersenyum lebar. “Gue sering ketemu sama orang yang tingkahnya jauh lebih banyak dari temen lo itu,” jawabnya, jari telunjuknya menunjuk Zaid yang kini berhenti di depan eskalator—sibuk mengamati papan iklan dengan wajah serius.

“Sering?” tanya Sabian, alisnya terangkat, nadanya penuh rasa ingin tahu yang dibumbui sedikit cemburu.

“Kok gitu ekspresinya?”

“Cowok kenalan lo ada banyak, ya?”

“Kenalan gue banyak, tapi yang confess langsung mau deketin gue cuman satu,” jawab Bianca, suaranya ringan tapi penuh makna.

Dan, detik itu juga, kaki Sabian hampir tersandung saat mereka melangkah keluar dari eskalator. “Gue, ya?” tanyanya memastikan. Suaranya sedikit bergetar karena campuran harapan dan kegugupan.

“Iya,” jawab Bianca cepat.

“Nggak ada lagi?” tanya Sabian lagi, namun kali ini nadanya penuh godaan.

“Eng—ada, tapi, nggak masuk itungan,” kata Bianca, matanya berbinar nakal.

“Kenapa?” tanya Sabian, kini benar-benar penasaran.

“Cica bilang, dia cuman ngerasa cocok dan suka sama lo,” jawab Bianca, dan tawa kecil Sabian langsung mengudara, bercampur dengan hiruk-pikuk pengunjung mal.

“Alin juga sama. Cuman cocok sama mbaknya Cica, katanya.”

“Serius?!” tanya Bianca, memastikan.

“Iya,” jawab Sabian.

“Kalo Acat?”

“Acat masih fifty-fifty.”

“Kalo Zaid?” tanya Bianca, nadanya penuh ejekan ringan.

“Bi, nggak semua orang yang suka ngikutin gue itu adik gue!” protes Sabian, tapi tawanya pecah, membuat Bianca ikut tertawa.

Bianca lantas melirik Zaid, yang kini tengah mematung di depan pintu masuk sebuah restoran sushi dengan wajah sumringah, seperti anak kecil yang tengah melihat tempat bermain, di hadapannya. “Gue bahkan liat dia sekarang kayak adik lo yang paling bungsu…,” kata Bianca, nadanya sedikit lebih serius.

Mendengar perkataan Bianca, dan melihat bagaimana gestur Zaid, Sabian terang saja langsung menyentuh kepalanya dengan frustrasi, tapi di dalam hati, ia sedikit setuju dengan pernyataan perempuan di sisinya itu. Zaid memang kadang seperti adik kecil yang cerewet, tapi juga beban yang ia pikul dengan senang hati.

“Bukannya menurut lo juga gitu?” tanya Bianca, matanya menyipit, seolah menekan Sabian untuk mengakuinya.

Sabian berdecak. “Kenapa, ya, rasanya lo kayak udah sekenal itu sama Zaid?” tanyanya, nada suaranya penuh kekaguman.

“Berarti bagus apa enggak?” tanya Bianca, tersenyum lebar.

“Bagus…,” jawab Sabian, dan di dalam hatinya, ia merasa lega—Bianca dan Zaid tampaknya akan sangat cocok, dan itu adalah kemenangan kecil baginya.

“Eh, gue bilangin ya, pacarannya nanti lagi aja! Perut gue udah tung tung sahur!” teriak Zaid dari depan restoran, suaranya lantang memecah momen manis mereka. Sabian dan Bianca saling pandang, lalu terkekeh bersamaan, langkah mereka semakin cepat menuju pintu restoran.


Tatkala ketiganya melangkah masuk ke restoran sushi tersebut—aroma nasi hangat, shoyu, dan ikan segar langsung menyapa indera penciuman Sabian—membuat perutnya semakin riuh.

Lampu gantung dengan cahaya kuning lembut tampak eksis di atas kepala mereka, menciptakan suasana intim yang kontras dengan hiruk-pikuk mal, di luar restoran tersebut.

Sabian memilih meja di sudut ruangan, mengikuti sorot mata Bianca yang menginginkan hal itu. Dan, tatkala mereka mendaratkan diri pada tiap-tiap kursinya, Sabian kontan merasakan ketenangan yang aneh—seperti berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan manusia, berkat eksistensi Bianca serta Zaid kali ini.

Tak lama kemudian, pelayan datang menghampiri, pertanda tiba waktunya bagi mereka untuk memesan.

Sabian dengan penuh perhatian dan rasa percaya diri, bergerak menunjukkan daftar menu yang ada di layar ponselnya kepada Bianca lebih dulu. Maklum, ia tengah berusaha menjadi laki-laki yang peka bagi perempuan itu.

Akan tetapi, niat baik Sabian begitu cepat digagalkan oleh Bianca dengan cara mengoper ponsel Sabian kepada Zaid. “Oi, lo duluan deh, kayaknya lo laper banget,” kata Bianca, senyumnya lebar dan tulus, serta matanya berbinar hangat kala menatap Zaid

Zaid yang tampaknya terkejut akan aksi spontan Bianca barusan, praktis terkekeh, “Anjing??! Bi? Nggak apa-apa ini, Bi!?” serunya pada Sabian, meski matanya penuh rasa terima kasih.

Walau sempat dibuat sedikit bingung, Sabian hanya menaikkan kedua alisnya. Pada kenyataannya, dalam hati, kini ia merasa hangat—lega bahwa Bianca begitu cepat akrab dengan Zaid, seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

“Buruan!” cetus Bianca, nadanya menginterupsi tanpa segan.

“Yaudah, kalo lo berdua maksa,” balas Zaid yang kemudian mulai menggulir daftar menu pada layar ponsel Sabian dengan wajah serius.

Satu per satu dari mereka, usai membuat pesanan. Lalu, sembari menunggu pesanan datang, perbincangan ringan mulai mengalir, seperti air di sungai kecil—humor alami, dan penuh keakraban. Sabian merasakan kehangatan yang semakin nyata di antara mereka, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun.

Di tengah percakapan santai itu, Sabian tiba-tiba mengeluarkan sebuah casing ponsel dari saku jaketnya dan menyerahkan benda itu kembali, kepada pemiliknya—Bianca.

“Bi, ini…,” kata Sabian, suaranya sedikit ragu, jantungnya berdetak kencang menanti reaksi sang empunya.

Tak lama kemudian Bianca meraih casing itu, matanya berbinar, dan ia tersenyum lebar, lalu melirik ke Zaid secepat kilat tanpa sepengetahuan Sabian.

“Nah! Berhubung HP lo udah telanjang lagi, nih, pake!” seru Zaid, seraya menyerahkan casing yang baru saja ia keluarkan dari tas selempangnya pada Sabian. “Yang waktu itu, nggak gue cancel pesenannya,” sambung Zaid, nadanya penuh kebanggaan.

“Itu Zaid yang beli?” tanya Bianca, dengan wajahnya polos.

Sabian mengangguk, mengambil casing itu dengan senyum kecil.

“Bagus, nggak?” tanya Zaid ke Bianca.

“Bagus,” jawab Bianca singkat, tapi di dalam hatinya, ia merasa tersentuh melihat ikatan mereka. Ia tahu Sabian dan Zaid seperti dua sisi koin—tak terpisahkan, dan ia ingin menjadi bagian dari dunia mereka tanpa mengganggu keseimbangan itu.

Dalam diam, Bianca bertekad untuk menjadi teman yang baik bagi Zaid, seperti Sabian. Ia tahu persahabatan laki-laki kadang rumit, dan ia tak ingin kehadirannya menjadi penghalang.

Akan tetapi, Sabian sudah lebih dulu memikirkan hal serupa. Sembari tersenyum hangat hingga kedua matanya menyipit, Sabian berkata, “Id, pesen satu lagi, bisa? Bianca kayaknya mau diajak.”

Zaid praktis mengernyit, “Bisa aja. Berarti yang versi cewek, ya?” tanyanya, memastikan.

Mendengar itu, Bianca kontan menggeleng cepat, pipinya memerah. “Eh, gue nggak usah, biar kalian aja. Selain sayang duitnya, gue kan… orang baru di antara kalian. Bukan siapa-siapa di persahabatan kentel kalian,” katanya lirih, nadanya penuh kerendahan hati.

“Ngapain sayang sama duit?” sahut Zaid spontan, dan Sabian mengangguk setuju.

“Iya. Dan, Zaid kayaknya nggak setuju sama pernyataan lo tentang bukan siapa-siapa. Ya, kan, Id?” sambung Sabian, didukung ekspresi dramatis Zaid yang seolah berkata, ‘Lo itu udah jadi bagian dari kita.’

Dengan begitu dramatis, Bianca menutup bibirnya dengan tangan, matanya membulat dan seakan berkaca-kaca karena terharu. “Aaaa… so sweet!” serunya, suaranya gemetar.

“Najis!” balas Zaid, bergidik ngeri sambil terkekeh, mencairkan momen emosional itu dengan caranya yang khas.

Satu per satu hidangan mulai berdatangan. Gelas-gelas minuman dingin berkilau dengan embun, dan piring-piring sushi yang penuh warna kini tersusun rapi di atas meja, menggoda selera. Aroma shoyu dan wasabi semakin menguar di udara, bercampur dengan denting lembut sumpit yang menyentuh piring—berasal dari aktivitas Zaid yang tengah melarutkan bubuk cabai dengan shoyu.

Begitu alami, Sabian dan Bianca tanpa sadar saling menawarkan potongan sushi, dengan gestur penuh perhatian.

“Bi, coba ini, tuna-nya enak banget,” kata Sabian, menyodorkan sepotong ikan tuna menggunakan sumpit di tangannya. Mata Sabian penuh harap, jantungnya berdegup kencang.

“Kita nggak pesen ini ya waktu itu?” tanya Bianca, matanya menyusuri ingatan.

“Enggak, waktu itu pesen yang lain,” jawab Sabian.

“Kacau banget. Besok-besok kalo ke sini lagi, harus pesen menu ini!” kata Bianca, nadanya penuh semangat.

“Ke sini terus, emangnya nggak bosen?” tanya Sabian, menggoda.

“Enggak.”

“Menu yang sama, bareng orang yang sama—nggak bosen?” tanya Sabian lagi, nadanya penuh harapan. Sementara, Bianca yang mendapat pertanyaan itu hanya tersenyum, pipinya memerah—membuat Sabian merasakan dadanya dipenuhi kupu-kupu.

Zaid, yang semula tengah fokus menyantap sushi, tiba-tiba saja mendecih pelan. “Teruss, terussss! Gue obrak-abrik juga nih meja sushi!” katanya, nadanya dramatis, tapi senyum kecil di wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen ini.

Mengerti, dan tak ingin Zaid merasa tersisih, refleks membuat Sabian menyodorkan sepotong sushi ke arahnya. “Nggak usah iri. Nih, gue kasih juga,” katanya.

Detik kemudian, Bianca ikut melakukan hal yang sama. “Lo harus cobain yang ini, nggak kalah enak!” katanya, matanya berbinar serta tulus tatkala menatap Zaid.

“Sial…,” gumam Zaid, wajahnya memerah.

“Why?” tanya Bianca, alisnya terangkat.

“Gue udah kayak anak kalian berdua,” keluh Zaid, nadanya penuh kekesalan dan drama.

Lantas tawa mereka bertiga pecah, menggema di restoran, menarik perhatian beberapa pengunjung, tapi mereka tak peduli—malam ini adalah milik mereka, penuh kehangatan, canda, dan ikatan yang semakin erat.

Sabian duduk di balik kemudi mobil sedan barunya yang dibelikan oleh sang papa. Kilauan dari kaca dan logamnya memantulkan cahaya matahari sore yang mulai merona jingga. Dalam keheningan, tangannya menari-nari memutar setir ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah yang ditunjukan oleh peta digital yang tampil di layar dashboard, yang menuntunnya menuju rumah Zaid. Aroma khas kulit jok mobil yang masih baru, memenuhi dadanya, bercampur dengan perasaan hangat yang membara—kegembiraan yang tak dapat ia sembunyikan.

Sejak meninggalkan halaman rumah, senyum Sabian tak pernah pudar. Apa yang ia inginkan—memiliki mobil ini—menjadi kenyataan. Setiap kali menginjak pedal gas, ia merasakan getaran mesin yang halus, seolah mobil ini hidup dan turut berbagi kebanggaan dengannya.

Sesekali, mata Sabian melirik ke kaca spion belakang, memastikan rambutnya yang ditata dengan hati-hati masih rapi dan on point. Kaos hitam polos yang ia kenakan sengaja dipilih sebab, warna gelap itu membuat kulitnya tampak lebih cerah, sekaligus serasi dengan mobil barunya yang berkilau. Dalam hati, Sabian asyik bergumam, bahwa dirinya terlalu keren. Dan, rasa percaya diri itu seperti aliran listrik yang mengalir di nadinya, membawa serta semangat yang membara.

Di jok penumpang depan, sebuah bantal kecil berwarna merah pekat menarik perhatiannya. Bantal itu, yang dibelinya secara impulsif di sebuah toko, kemarin, terasa seperti keputusan kecil yang sempurna. Ia membayangkan Mama atau Alin bersandar nyaman di sana, tapi pikirannya segera melayang ke Bianca. Bantal itu sengaja ia siapkan untuk para perempuan yang sangat, dan mulai penting bagi dirinya—sebuah sentuhan kecil untuk membuatnya merasa istimewa. Setiap kali melirik bantal itu, Sabian tak bisa menahan senyum—ada kehangatan di dadanya, campuran antara antisipasi dan harapan yang sulit dijelaskan.

Saat rumah Zaid muncul di ujung jalan, siluetnya diterangi cahaya senja yang lembut, Sabian merasakan gelitik kegembiraan nakal di hatinya. Ia melihat Zaid berdiri di depan gerbang, tubuhnya tinggi ramping dengan kaos hitam yang serasi dengan gaya Sabian, dipadukan dengan celana jeans robek di kedua lututnya yang memberi kesan santai namun penuh karakter.

Dari kejauhan, Zaid tampak asyik menggulir ponselnya, alisnya sedikit berkerut, dan wajahnya serius seolah tenggelam dalam dunia digital.

Sabian yang melihat itu, tak mampu menahan dorongan untuk menggoda sahabatnya. Lantas, dengan senyum culas yang merekah di wajahnya, ia menekan klakson—TINN! TINN!—dan suara nyaring itu memecah keheningan sore seperti petir kecil.

Zaid melonjak kaget, ponselnya hampir terlepas dari tangan, dan wajahnya memerah karena campuran kaget dan kesal. “COK! BAJHINGAN!” pekiknya, matanya menyipit menatap Sabian yang sudah menyeringai lebar di balik kaca mobil.

Angin sore yang kini bertiup lebih kencang membawa aroma tanah dan debu halus, menyapu wajah Sabian tatkala ia menurunkan kaca jendela di sisi pengemudi. “Hai, miskin!” sapa Sabian pada Zaid. Nada suaranya penuh canda, melanjutkan ritual persahabatan mereka yang penuh ejekan ringan namun sarat keakraban.

Namun, alih-alih membalas sapaan Sabian, Zaid justru memutar matanya dengan dramatis, mendecih pelan sambil mendekati mobil dengan langkah santai. Tangannya tampak menyentuh kap mesin yang masih hangat, jari-jarinya mengelus permukaan mengilap itu dengan ekspresi pura-pura jijik.

“Najis,” cetusnya, sembari meneliti velg yang memantulkan cahaya senja seperti cermin.

“Buruan naik! Bianca udah nungguin,” timpal Sabian, nyaris hilang kesabaran.

Sabian dan Zaid sudah berteman sejak kecil, sebuah ikatan yang terasa lebih dalam dari sekadar persahabatan. Bagi Sabian, Zaid adalah keluarga, sekaligus seseorang yang tahu setiap celah dan rahasia Sabian, termasuk perasaannya untuk Bianca. Memperkenalkan Bianca kepada Zaid adalah momen yang sudah lama ia nantikan, seperti membuka babak baru dalam hidupnya. Ada kegembiraan yang bercampur dengan sedikit kecemasan di hati Sabian—ia ingin sekali Zaid dan Bianca dapat saling akrab satu sama lain, sebab ia benar-benar berniat membawa Bianca masuk ke dalam hidupnya.

Zaid segera membuka pintu depan, seakan berniat duduk di samping Sabian. Akan tetapi, baru saja pintu terbuka, Sabian kembali membunyikan klakson—TINN!—membuat Zaid memekik dan menghentikan gerakannya seketika. “Apaan sih!? Belagu banget, anjing… ngomong pake mulut, bukan pake klakson!” protesnya, wajahnya memerah karena kesal, tapi ada tawa kecil di sudut bibirnya.

“Tempat duduk lo di belakang.”

Detik itu juga Zaid membelalakkan mata, seakan tak percaya. “Belakang!?” nadanya penuh penolakan.

“Iya, depan buat Bianca…,” jawab Sabian dengan senyum lebar.

Lantas, Zaid hanya dapat mendengkus kesal, gerakannya berlebihan saat ia kembali menutup pintu depan dan berpindah ke belakang. “Oke, Pir… Supir, bawa mobilnya pelan-pelan!” katanya sambil melemparkan tubuhnya ke kursi belakang dengan gerakan serampangan, seolah ia adalah penumpang VIP yang sedang kesal. Namun, di balik sikapnya yang pura-pura merajuk, ada kilau keakraban di matanya.

Sabian tertawa, suaranya menggema di kabin mobil. Tawa itu bukan hanya karena tingkah Zaid, tapi juga karena kelegaan yang ia rasakan—persahabatan mereka adalah zona nyaman yang tak akan pernah pudar.

“Bisa-bisanya lo begitu? Tapi, tenang aja, nanti lo dapet jatah duduk di depan—pas Bianca pulang,” kata Sabian, nada suaranya penuh ejekan namun hangat. Zaid hanya mendengkus, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.

Tak lama kemudian, perjalanan menuju rumah Bianca diiringi suara mesin mobil yang halus, seperti dengungan lembut yang menenangkan. Aroma biji kopi Bali dari pengharum mobil ini mengisi kabin, bercampur dengan udara sejuk yang berasal dari mesin pendingin udara. Cahaya senja yang kini mulai memudar meninggalkan semburat oranye di ufuk Barat, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit melankolis.

Zaid, dari kursi belakang, sesekali melontarkan komentar tentang mobil Sabian. “Mobil lo bagus, tapi baunya kayak mobil orang tua,” katanya sambil mengendus udara, wajahnya dibuat-buat jijik, tapi ada tawa kecil di ujung kalimat itu, seakan-akan tengah mengkhianati niatnya untuk serius.

Sabian hanya mengangguk remeh, senyumnya tetap terukir. “Iri bilang, Bos!” timpalnya, suaranya penuh percaya diri.

“Dih?” Zaid mendecih, namun detik kemudian ia menggenggam erat bahu Sabian. “Iri bangettttt!” timpalnya.

“Gue tuh, sebenernya belum sempet milih pengharum mobil. Jadi, yang dari mobil Bokap, gue pindahin ke sini,” jelas Sabian, nada suaranya santai.

“Astaga… yaudah nanti gue beliin, yang baunya jeruk,” kata Zaid.

“Nggak usah, Id. Kalo bau jeruk, mah, lo pake aja sendiri. Gantung di idung lo!”

“Sialan!” Tepat usai Zaid memekik kesal, tawa mereka berdua meledak, mengisi kabin dengan kehangatan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Langit sudah sepenuhnya gelap, saat mobil Sabian berhenti di depan rumah Bianca. Sabian memarkir mobilnya dengan hati-hati, gerakan setirnya presisi, seolah ingin menunjukkan bahwa ia menguasai kendaraan barunya. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma tanah dari halaman kecil di depan bangunan rumah Bianca.

Dalam keheningan, tiba-tiba saja, Sabian menoleh ke arah Zaid, “Eh, jangan bikin gue malu, Id. Jangan terlalu banyak ngomong kasar nanti,” katanya dengan nada santai, meski di dalam hatinya, Sabian sungguh berharap Zaid dapat menahan lidahnya yang kadang tak terkontrol, karena malam ini terlalu penting untuk dirusak oleh tingkah sahabatnya itu.

“Ya, tenang aja. Demi lo, gue bakal banyak diem hari ini,” jawab Zaid, tapi Sabian hanya mendecih, tahu betul bahwa ‘diam’ bukanlah kosa kata yang ada dalam kamus Zaid, kecuali saat ia tertidur.

Sebelum Sabian sempat membalas, pintu gerbang rumah Bianca terbuka pelan, dan dunia seolah berhenti berputar. Perempuan itu muncul, sembari diterangi lampu taman yang baru menyala, menciptakan siluet lembut di sekelilingnya. Atasan putih polos yang Bianca kenakan memantulkan cahaya, kontras dengan celana kulot bercorak batik yang bergerak anggun tatkala ia melangkah. Rambut panjangnya tergerai, bergoyang lembut diterpa angin malam, dan senyumnya—sederhana namun memikat—membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang. Ini adalah kali pertama ia menjemput seorang perempuan tepat di depan rumahnya, jadi maklum jika di dalam dadanya seperti ada badai kecil yang bergemuruh.

Tanpa perlu diberi isyarat, Bianca langsung menghampiri mobil Sabian, langkahnya ringan namun penuh percaya diri. Ia membuka pintu belakang—mungkin mengira Zaid sudah duduk di depan. Akan tetapi, ia justru mendapati Zaid yang tengah bersandar santai di kursi belakang, menyambutnya dengan senyum lebar penuh godaan.

“Hai? Mau duduk sama gue di belakang?” tanya Zaid, nada bercandanya seperti embusan angin yang mengundang tawa.

Bianca tersentak, matanya membelalak sesaat sebelum terkekeh, wajahnya memerah tipis karena kaget. “Kirain gue yang di belakang,” katanya, pura-pura santai sambil kembali menutup pintu belakang dan beralih ke pintu depan.

“Hai!” sapa Sabian, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

“Halo! Keren banget mobil lo,” balas Bianca, suaranya lembut, membawa aroma vanila dan bunga yang ringan dari parfumnya.

Ia duduk di kursi depan dengan anggun, gerakannya alami namun memikat, dan saat ia memasang sabuk pengaman, Sabian mencuri pandang, berharap ia tak terlihat terlalu jelas dalam usahanya membuat Bianca nyaman.

“Nyaman, nggak?” tanya Sabian, seraya melirik bantal merah yang kini menopang leher Bianca, jantungnya berdetak lebih kencang menanti jawaban dari perempuan itu.

“Banget, apalagi ada bantalnya,” jawab Bianca, senyumnya melebar.

“Padahal itu gue pilih random di e-commerce,” kata Sabian, berusaha terdengar santai meski pipinya terasa hangat.

“Seriously?” tanya Bianca, memastikan.

Sebelum Sabian bisa menjawab, Zaid menyela dari belakang, “Boong, itu bantal dia pilih dengan cermat, cuma buat penumpang VIP. Buktinya, itu cuman ada satu di dalem mobil ini.”

Mendengar itu, Bianca lantas saja menoleh, matanya berbinar nakal. “Oh iya, di tempat lo nggak ada.”

“Boro-boro dikasih bantal, gue ada di sini aja cuma sebagai topping kalian!” keluh Zaid, suaranya penuh drama, tapi tawa kecil di ujung kalimatnya menunjukkan bahwa ia menikmati peran sebagai ‘Korban Sabian’.

“Ngoceh aja lo, kayak beo!” Sabian terkekeh. Diam-diam ia merasakan kelegaan yang hangat—Zaid, dengan caranya yang khas, telah mencairkan suasana yang tadinya ia pikir akan sedikit kaku karena kehadiran Bianca.

“Eh, boleh play musik dari gue, nggak?” tanya Bianca tiba-tiba, saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya.

Sabian langsung mengangguk, sebelum akhirnya berdeham untuk menutupi kegugupan yang tengah ia rasakan. Setiap hari, semakin dekat dengan Bianca—Sabian hanya tak merasa jatuh cinta semudah ini sebelumnya.

“Bi, speaker mobil lo mau diperawanin sama playlistnya Bianca, dan lo pasrah?!” pekik Zaid, tiba-tiba. Suaranya penuh semangat, seolah ingin memecah ketenangan yang baru saja tercipta.

Mendengar langsung pertanyaan Zaid pada Sabian, sontak membuat Bianca menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak dramatis. “Eh?? Emangnya gue orang pertama?” tanyanya, nadanya penuh kecemasan yang sengaja dibuat-buat.

Zaid mengangguk antusias, sementara Sabian praktis memutar bola matanya dengan malas, meski sudut bibirnya naik, menahan tawa.

“Wah?? Nggak apa-apa nih, Masabi?”

“Nggak apa-apa, Bi.” Sabian menatap, seraya tersenyum hangat ke arah Bianca.

“Serius, ini jadi pencapaian terbesar gue di awal tahun,” cetus Bianca, sembari melirik ke belakang dengan senyum nakal yang membuat Zaid mengacungkan jempol penuh kekaguman tanpa sepengetahuan Sabian yang kini hanya terkekeh di balik kemudi.

Tanpa bersuara, Sabian menunjukkan tombol untuk menghubungkan perangkat. Dan, dalam hitungan detik, lagu dengan ritme ringan mengalir dari speaker mobil, membawa suasana malam yang semakin gelap menjadi lebih hangat dan akrab. Melodi lembut dengan denting piano dan alunan vokal yang manis seolah memeluk kabin mobil, menciptakan gelembung kecil kehangatan di tengah gemerlap lampu kota yang mulai menyala di luar.

Sabian dapat merasakan detak jantungnya sedikit melambat, lega bahwa Bianca tampak nyaman, sementara Zaid di belakang sesekali bersenandung pelan, seolah tak ingin kalah menikmati momen.

Di luar, lampu-lampu kota mulai berkilau, menciptakan refleksi warna-warni di kaca mobil yang melaju pelan di jalanan yang sedikit ramai. Sabian diam-diam mencuri pandang ke arah Bianca, yang tengah memilih lagu berikutnya. Cahaya dari layar ponsel menyinari wajahnya, menonjolkan lekuk lembut pipinya dan kilau di matanya. Ada perasaan hangat yang menggelitik di dada Sabian—campuran antara kekaguman dan kegugupan yang membuatnya ingin terus berada di momen itu.

Perjalanan mereka memang sedikit memakan waktu, sebab tempat yang dituju sama sekali belum ditentukan. Sabian sempat mengusulkan sebuah kafe yang pernah ia kunjungi bersama Bianca, tempat di mana mereka menjadi semakin dekat dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbincang dan semakin mengenal satu sama lain. Ingatan itu secara teknis membawa senyum kecil ke wajah Sabian tatkala mengatakannya, namun Zaid dengan cepat menolak. Maklum, sudah terlalu sering bagi dirinya duduk di sebuah kafe, dan kebetulan nama kafe yang Sabian sebutkan cukup familier untuknya.

Mendapat penolakan demikian, terang saja membuat Sabian mendengkus, dan tak lama kemudian mobil itu dipenuhi dengan perdebatan sengit antara keduanya, suara mereka saling tumpang tindih, membuat riuh suasana.

Untung saja, Bianca ada di sana untuk menengahi. Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuhnya hingga hampir menghadap belakang, matanya berbinar penuh semangat. “Sushi aja, yuk!” serunya. Suara nyaringnya lantas memecah ketegangan. Ia menatap Sabian dan Zaid secara bergantian, sebelum akhirnya menularkan senyuman lebar dari bibirnya. “Kalian berdua pasti suka sushi, kan?” tanyanya memastikan, nada suaranya penuh keyakinan, seolah ia sudah membaca pikiran mereka.

Kemudian, Zaid mengangguk antusias, matanya menyala. “Tau dari mana?” tanyanya, setengah bercanda.

“Feeling aja, sih. Sabian suka, jadi mungkin lo juga suka—karena kalian selalu bareng,” jawab Bianca, penuh perhatian.

Mendengar itu, Sabian tersenyum dalam hati, tersentuh oleh kepekaan Bianca terhadap ikatan persahabatannya dengan Zaid.

“Kita ini bukan selalu bareng, tapi dia selalu ngikutin gue…,” timpal Zaid, raut wajahnya seakan tak terima.

“Loh…,” alis Bianca sedikit terangkat. “Bukannya lo yang selalu ngikutin Sabian? Buktinya hari ini lo ada di mobil dia.”

Mendengar bagaimana Bianca membalas perkataan Zaid, terang saja Sabian tak bisa menahan tawa, suaranya meledak di kabin mobil, menggema bersama denting lagu yang masih mengudara pelan. Zaid terdiam sejenak, wajahnya memerah karena kalah adu argumen, dan untuk pertama kalinya, ia kehabisan kata. Sementara Bianca, dengan senyum nakalnya, baru saja membuktikan bahwa ia bukan hanya cocok menjadi teman, tapi juga lawan yang sepadan untuk Zaid.

Meski baru saja mendengkus, dan pura-pura kesal, sudut bibir Zaid tetap naik ke atas, menunjukkan bahwa ia menikmati kekalahan itu. “Gue ini disamper! Gue diajakin!” pekiknya.

“Iya… iya…,” kata Bianca, mengalah dengan tawa kecil, lalu kembali menatap ke depan.

Dalam keheningan yang mulai melanda, mata Bianca tertuju pada lampu-lampu kota yang berkilau di balik kaca mobil. “Biasanya gue cuma bisa fokus ke jalan karena nyupirin Bunda atau Cica. Di circle pertemanan gue pun, gue selalu jadi supir karena kata mereka, gue yang paling cepet kalo bawa mobil. Jarang-jarang bisa duduk di bangku penumpang kayak gini sambil liatin objek selain aspal sama kendaraan di depan, kecuali perginya sama Ayah,” katanya, suaranya lembut, membawa sedikit kesedihan tanpa ia sadari.

“Ehm, kebalikannya Bian, tuh!” sela Zaid, nadanya penuh ejekan. “Dia selalu jadi penumpang, kecuali di motor. Iya, kan, Bi?”

Alih-alih menjawab, Sabian justru mendengkus, tapi di dalam hati, ia mengakui kebenaran dari perkataan Zaid. Biasanya, ia memang sering menjadi penumpang, tapi mendengar pengakuan Bianca membuatnya merasa tersengat—seakan ada bara kecil yang menyala dalam dadanya. Bara yang lebih mirip dengan sebuah tekad. “Mulai hari ini, kapanpun lo ngerasa pengen jadi penumpang—just let me know, Bi,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Ia menoleh sekilas ke Bianca, matanya bertemu dengan mata perempuan itu, meski hanya sepersekian detik, namun itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang.

Kontan saja pernyataan itu membuat Bianca tertegun, pipinya tampak memerah tipis, lalu ia seperti pura-pura berdeham untuk menutupi kegugupannya. “Ehm, oke, setelah bilang, terus apa?”

“Terus ya bakal dijemput sama dia lah!” Di belakang, Zaid memicingkan mata, berbanding terbalik dengan Bianca yang tengah tersenyum—sudut bibirnya turun, membentuk ekspresi jengah yang tampak sengaja ia buat-buat. “Engap banget ni mobil, bikin dada gue sesek!”


Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk membawa mobilnya ke sebuah mal besar di pusat kota. Lampu-lampu neon di gedung-gedung tinggi mengantar mereka, sampai memasuki area parkir mal.

Sabian memarkirkan mobilnya dengan penuh percaya diri, memutar setir dengan gerakan yang sedikit dibesar-besarkan, seolah ingin memamerkan keahliannya.

Kemudian, saat mobil itu akhirnya terparkir sempurna, Zaid dan Bianca kompak berseru, “Wooo!” seperti penonton di acara balapan mobil.

“Sat set banget parkirnya…,” puji Bianca, terdengar spontan.

“Iya, kayak yang udah lama punya mobil,” timpal Zaid, kali ini nadanya setengah bercanda.

“Biasa aja, lah, kalian jangan norak,” kata Sabian. Kendati begitu, sudut bibirnya naik, menunjukkan bahwa pujian yang sempat Zaid dan Bianca lontarkan itu sukses membuatnya senang bukan main. “Ayo turun!” ajaknya, seraya membuka pintu mobil dengan semangat.

Udara yang sedikit pengap di area parkir menyambut mereka, bercampur dengan aroma kue yang menggoda dari arah pintu masuk mal yang membuat perut Sabian tiba-tiba keroncongan—seolah setuju dengan saran Bianca untuk sekalian makan malam saja.

Di dalam mal, suasana ramai namun tetap nyaman mengelilingi ketiganya. Langkah orang-orang bercampur dengan tawa anak-anak yang bersemangat. Ada musik latar yang mengalun lembut dari speaker yang tak terlihat, menciptakan suasana yang hidup namun tidak bising.

Sabian berjalan di samping Bianca, langkah mereka selaras, seolah tak ingin ada jarak di antaranya. Cukup intens bagi mereka berbincang tentang hal-hal ringan, seperti; menu sushi favorit, film yang baru tayang—dan setiap kali Bianca tertawa, Sabian merasakan getaran kecil di hatinya. Bianca sesekali menutup mulutnya saat tertawa, ia jelas mencoba menyembunyikan kegugupannya, tapi matanya yang berbinar tak dapat berbohong—ia juga menikmati momen ini.

Sementara itu, Zaid, dengan semangat empat limanya, memimpin jalan dengan langkah lebar-lebar, seolah ia adalah seorang pemandu tur yang sedang memamerkan wilayahnya.

“Maaf ya, kalo lo liat Zaid agak overactive, dan bikin risih,” bisik Sabian ke Bianca, nadanya penuh perhatian.

Lantas, Bianca menggeleng cepat, seraya tersenyum lebar. “Gue sering ketemu sama orang yang tingkahnya jauh lebih banyak dari temen lo itu,” jawabnya, jari telunjuknya menunjuk Zaid yang kini berhenti di depan eskalator—sibuk mengamati papan iklan dengan wajah serius.

“Sering?” tanya Sabian, alisnya terangkat, nadanya penuh rasa ingin tahu yang dibumbui sedikit cemburu.

“Kok gitu ekspresinya?”

“Cowok kenalan lo ada banyak, ya?”

“Kenalan gue banyak, tapi yang confess langsung mau deketin gue cuman satu,” jawab Bianca, suaranya ringan tapi penuh makna.

Dan, detik itu juga, kaki Sabian hampir tersandung saat mereka melangkah keluar dari eskalator. “Gue, ya?” tanyanya memastikan. Suaranya sedikit bergetar karena campuran harapan dan kegugupan.

“Iya,” jawab Bianca cepat.

“Nggak ada lagi?” tanya Sabian lagi, namun kali ini nadanya penuh godaan.

“Eng—ada, tapi, nggak masuk itungan,” kata Bianca, matanya berbinar nakal.

“Kenapa?” tanya Sabian, kini benar-benar penasaran.

“Cica bilang, dia cuman ngerasa cocok dan suka sama lo,” jawab Bianca, dan tawa kecil Sabian langsung mengudara, bercampur dengan hiruk-pikuk pengunjung mal.

“Alin juga sama. Cuman cocok sama mbaknya Cica, katanya.”

“Serius?!” tanya Bianca, memastikan.

“Iya,” jawab Sabian.

“Kalo Acat?”

“Acat masih fifty-fifty.”

“Kalo Zaid?” tanya Bianca, nadanya penuh ejekan ringan.

“Bi, nggak semua orang yang suka ngikutin gue itu adik gue!” protes Sabian, tapi tawanya pecah, membuat Bianca ikut tertawa.

Bianca lantas melirik Zaid, yang kini tengah mematung di depan pintu masuk sebuah restoran sushi dengan wajah sumringah, seperti anak kecil yang tengah melihat tempat bermain, di hadapannya. “Gue bahkan liat dia sekarang kayak adik lo yang paling bungsu…,” kata Bianca, nadanya sedikit lebih serius.

Mendengar perkataan Bianca, dan melihat bagaimana gestur Zaid, Sabian terang saja langsung menyentuh kepalanya dengan frustrasi, tapi di dalam hati, ia sedikit setuju dengan pernyataan perempuan di sisinya itu. Zaid memang kadang seperti adik kecil yang cerewet, tapi juga beban yang ia pikul dengan senang hati.

“Bukannya menurut lo juga gitu?” tanya Bianca, matanya menyipit, seolah menekan Sabian untuk mengakuinya.

Sabian berdecak. “Kenapa, ya, rasanya lo kayak udah sekenal itu sama Zaid?” tanyanya, nada suaranya penuh kekaguman.

“Berarti bagus apa enggak?” tanya Bianca, tersenyum lebar.

“Bagus…,” jawab Sabian, dan di dalam hatinya, ia merasa lega—Bianca dan Zaid tampaknya akan sangat cocok, dan itu adalah kemenangan kecil baginya.

“Eh, gue bilangin ya, pacarannya nanti lagi aja! Perut gue udah tung tung sahur!” teriak Zaid dari depan restoran, suaranya lantang memecah momen manis mereka. Sabian dan Bianca saling pandang, lalu terkekeh bersamaan, langkah mereka semakin cepat menuju pintu restoran.


Tatkala ketiganya melangkah masuk ke restoran sushi tersebut—aroma nasi hangat, shoyu, dan ikan segar langsung menyapa indera penciuman Sabian—membuat perutnya semakin riuh.

Lampu gantung dengan cahaya kuning lembut tampak eksis di atas kepala mereka, menciptakan suasana intim yang kontras dengan hiruk-pikuk mal, di luar restoran tersebut.

Sabian memilih meja di sudut ruangan, mengikuti sorot mata Bianca yang menginginkan hal itu. Dan, tatkala mereka mendaratkan diri pada tiap-tiap kursinya, Sabian kontan merasakan ketenangan yang aneh—seperti berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan manusia, berkat eksistensi Bianca serta Zaid kali ini.

Tak lama kemudian, pelayan datang menghampiri, pertanda tiba waktunya bagi mereka untuk memesan.

Sabian dengan penuh perhatian dan rasa percaya diri, bergerak menunjukkan daftar menu yang ada di layar ponselnya kepada Bianca lebih dulu. Maklum, ia tengah berusaha menjadi laki-laki yang peka bagi perempuan itu.

Akan tetapi, niat baik Sabian begitu cepat digagalkan oleh Bianca dengan cara mengoper ponsel Sabian kepada Zaid. “Oi, lo duluan deh, kayaknya lo laper banget,” kata Bianca, senyumnya lebar dan tulus, serta matanya berbinar hangat kala menatap Zaid

Zaid yang tampaknya terkejut akan aksi spontan Bianca barusan, praktis terkekeh, “Anjing??! Bi? Nggak apa-apa ini, Bi!?” serunya pada Sabian, meski matanya penuh rasa terima kasih.

Walau sempat dibuat sedikit bingung, Sabian hanya menaikkan kedua alisnya. Pada kenyataannya, dalam hati, kini ia merasa hangat—lega bahwa Bianca begitu cepat akrab dengan Zaid, seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.

“Buruan!” cetus Bianca, nadanya menginterupsi tanpa segan.

“Yaudah, kalo lo berdua maksa,” balas Zaid yang kemudian mulai menggulir daftar menu pada layar ponsel Sabian dengan wajah serius.

Satu per satu dari mereka, usai membuat pesanan. Lalu, sembari menunggu pesanan datang, perbincangan ringan mulai mengalir, seperti air di sungai kecil—humor alami, dan penuh keakraban. Sabian merasakan kehangatan yang semakin nyata di antara mereka, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun.

Di tengah percakapan santai itu, Sabian tiba-tiba mengeluarkan sebuah casing ponsel dari saku jaketnya dan menyerahkan benda itu kembali, kepada pemiliknya—Bianca.

“Bi, ini…,” kata Sabian, suaranya sedikit ragu, jantungnya berdetak kencang menanti reaksi sang empunya.

Tak lama kemudian Bianca meraih casing itu, matanya berbinar, dan ia tersenyum lebar, lalu melirik ke Zaid secepat kilat tanpa sepengetahuan Sabian.

“Nah! Berhubung HP lo udah telanjang lagi, nih, pake!” seru Zaid, seraya menyerahkan casing yang baru saja ia keluarkan dari tas selempangnya pada Sabian. “Yang waktu itu, nggak gue cancel pesenannya,” sambung Zaid, nadanya penuh kebanggaan.

“Itu Zaid yang beli?” tanya Bianca, dengan wajahnya polos.

Sabian mengangguk, mengambil casing itu dengan senyum kecil.

“Bagus, nggak?” tanya Zaid ke Bianca.

“Bagus,” jawab Bianca singkat, tapi di dalam hatinya, ia merasa tersentuh melihat ikatan mereka. Ia tahu Sabian dan Zaid seperti dua sisi koin—tak terpisahkan, dan ia ingin menjadi bagian dari dunia mereka tanpa mengganggu keseimbangan itu.

Dalam diam, Bianca bertekad untuk menjadi teman yang baik bagi Zaid, seperti Sabian. Ia tahu persahabatan laki-laki kadang rumit, dan ia tak ingin kehadirannya menjadi penghalang.

Akan tetapi, Sabian sudah lebih dulu memikirkan hal serupa. Sembari tersenyum hangat hingga kedua matanya menyipit, Sabian berkata, “Id, pesen satu lagi, bisa? Bianca kayaknya mau diajak.”

Zaid praktis mengernyit, “Bisa aja. Berarti yang versi cewek, ya?” tanyanya, memastikan.

Mendengar itu, Bianca kontan menggeleng cepat, pipinya memerah. “Eh, gue nggak usah, biar kalian aja. Selain sayang duitnya, gue kan… orang baru di antara kalian. Bukan siapa-siapa di persahabatan kentel kalian,” katanya lirih, nadanya penuh kerendahan hati.

“Ngapain sayang sama duit?” sahut Zaid spontan, dan Sabian mengangguk setuju.

“Iya. Dan, Zaid kayaknya nggak setuju sama pernyataan lo tentang bukan siapa-siapa. Ya, kan, Id?” sambung Sabian, didukung ekspresi dramatis Zaid yang seolah berkata, ‘Lo itu udah jadi bagian dari kita.’

Dengan begitu dramatis, Bianca menutup bibirnya dengan tangan, matanya membulat dan seakan berkaca-kaca karena terharu. “Aaaa… so sweet!” serunya, suaranya gemetar.

“Najis!” balas Zaid, bergidik ngeri sambil terkekeh, mencairkan momen emosional itu dengan caranya yang khas.

Satu per satu hidangan mulai berdatangan. Gelas-gelas minuman dingin berkilau dengan embun, dan piring-piring sushi yang penuh warna kini tersusun rapi di atas meja, menggoda selera. Aroma shoyu dan wasabi semakin menguar di udara, bercampur dengan denting lembut sumpit yang menyentuh piring—berasal dari aktivitas Zaid yang tengah melarutkan bubuk cabai dengan shoyu.

Begitu alami, Sabian dan Bianca tanpa sadar saling menawarkan potongan sushi, dengan gestur penuh perhatian.

“Bi, coba ini, tuna-nya enak banget,” kata Sabian, menyodorkan sepotong ikan tuna menggunakan sumpit di tangannya. Mata Sabian penuh harap, jantungnya berdegup kencang.

“Kita nggak pesen ini ya waktu itu?” tanya Bianca, matanya menyusuri ingatan.

“Enggak, waktu itu pesen yang lain,” jawab Sabian.

“Kacau banget. Besok-besok kalo ke sini lagi, harus pesen menu ini!” kata Bianca, nadanya penuh semangat.

“Ke sini terus, emangnya nggak bosen?” tanya Sabian, menggoda.

“Enggak.”

“Menu yang sama, bareng orang yang sama—nggak bosen?” tanya Sabian lagi, nadanya penuh harapan. Sementara, Bianca yang mendapat pertanyaan itu hanya tersenyum, pipinya memerah—membuat Sabian merasakan dadanya dipenuhi kupu-kupu.

Zaid, yang semula tengah fokus menyantap sushi, tiba-tiba saja mendecih pelan. “Teruss, terussss! Gue obrak-abrik juga nih meja sushi!” katanya, nadanya dramatis, tapi senyum kecil di wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen ini.

Mengerti, dan tak ingin Zaid merasa tersisih, refleks membuat Sabian menyodorkan sepotong sushi ke arahnya. “Nggak usah iri. Nih, gue kasih juga,” katanya.

Detik kemudian, Bianca ikut melakukan hal yang sama. “Lo harus cobain yang ini, nggak kalah enak!” katanya, matanya berbinar serta tulus tatkala menatap Zaid.

“Sial…,” gumam Zaid, wajahnya memerah.

“Why?” tanya Bianca, alisnya terangkat.

“Gue udah kayak anak kalian berdua,” keluh Zaid, nadanya penuh kekesalan dan drama.

Lantas tawa mereka bertiga pecah, menggema di restoran, menarik perhatian beberapa pengunjung, tapi mereka tak peduli—malam ini adalah milik mereka, penuh kehangatan, canda, dan ikatan yang semakin erat.

Sabian duduk di atas motornya, tubuhnya sedikit membungkuk di bawah langit Jakarta yang kala itu warnanya sedikit kelabu berkat awan-awan tebal yang bergulung rendah. Trotoar di tepi jalanan, tempat ia memarkir motornya terasa asing—tak pernah ia lihat sebelumnya.

Angin sore bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan kaos yang ia kenakan dengan lembut. Kali ini, Sabian hanya memakai helm, tanpa jaket seperti biasanya—sengaja, sebab Bianca akan mengembalikan salah satu jaketnya di pertemuan ini. Pikirnya, supaya tak terlalu repot, ia akan mengenakan jaket itu, nanti.

Dalam diam, mata Sabian terus memandang jauh ke depan, mencari sosok yang membuatnya menunggu di tempat itu sejak beberapa saat yang lalu. Pada lengannya, menggantung helm baru. Helm yang ia beli secara impulsif untuk Bianca dari sebuah toko helm yang eksis di pinggir jalan. Helm itu sederhana—seperti helm-helm yang sering kali terlihat dipakai oleh pengguna motor lain di tengah padatnya persimpangan lampu merah—jauh lebih murah dibandingkan kaca helm Sabian sendiri. Pada saat membelinya, Sabian tak memikirkan hal lain—hanya berharap benda itu dapat melindungi kepala Bianca dari panas dan hujan. Namun, begitu Sabian meninggalkan toko tersebut, ia baru menyesali keputusannya. Sabian berencana untuk membelikan Bianca sebuah helm yang lebih mahal dan kokoh, nanti.

Sabian melirik ponselnya, layarnya menyala di bawah langit yang kian meredup. Tak ada pesan baru dari Bianca, hanya ada angka jam yang menunjukkan bahwa ia sudah menunggu lama di sana. Kakinya mulai kaku, tapi ia tak peduli. Permintaan Bianca untuk dijemput di lokasi yang agak jauh dari rumahnya ini tak serta-merta membuat Sabian bertanya-tanya. Ia paham betul alasan apa yang ada di balik permintaan Bianca—muncul di depan rumahnya untuk membawanya kencan seperti sekarang ini, mungkin ibarat melempar batu ke danau tenang, mengundang riak yang tak diinginkan. Sabian menghormati batasan itu, meski diam-diam ia merasa sepi menunggu lama seorang diri, ditemani suara klakson sporadis dan deru motor yang melintas.

Langit semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya di trotoar. Ia menarik napas dalam, seakan-akan menikmati polusi udara yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, mata Sabiam memicing, tatkala menangkap gerakan di kejauhan. Sosok Bianca muncul, berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, seperti biasa. Rambutnya yang panjang kali ini diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengenakan atasan knit yang tampak kebesaran, dimasukkan ke dalam celana hitam yang memeluk tubuhnya dengan pas—sederhana, namun begitu memikat.

Sabian tak dapat menahan senyum lebar yang langsung mengembang di wajahnya—tak seperti biasanya. Ia praktis menghapus rasa lelah dan kaku di tubuhnya begitu melihat Bianca sore ini.

“Bi!” panggil Sabian, penuh semangat, bercampur lega, seolah menemukan oasis di tengah padang pasir.

Mata Bianca langsung bertemu dengannya, dan senyumnya tak kalah mekar dari Sabian—membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. “Sorry banget, ih,” katanya sambil mendekat, nada bersalahnya terdengar sangat tulus, diiringi embusan napas yang sedikit tersengal-sengal. “Udah lama nunggunya, ya?” Matanya mencari jawaban di wajah Sabian, penuh perhatian, dan itu membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang.

Namun, Sabian menggeleng cepat, meski kakinya masih terasa seperti kayu. “Enggak kok,” bohongnya dengan senyuman—tak ingin Bianca merasa buruk. “Nih, jaket ayah lo.” Ia menyodorkan tas karton yang berisi jaket milik ayah Bianca yang semula menggantung di stang motornya.

Bianca menerima tas itu dengan anggukan kecil, jari-jarinya menyentuh ujung tas dengan lembut, lalu menyerahkan jaket Sabian sebagai gantinya. “Nih, jaket lo… makasih ya buat waktu itu,” katanya lirih. Malu mengingat kejadian minggu.

Menyadari hal itu, Sabian memilih untuk pura-pura tak mendengar perkataan Bianca dan langsung mengenakan jaketnya tanpa memberi respons apapun. Untuk sepersekian detik, ia dapat merasakan keakraban kain itu memeluk tubuhnya, seolah jaket itu membawa sedikit aroma Bianca—atau mungkin itu hanya imajinasinya.

“Itu helm gue?” tanya Bianca, matanya tertuju pada helm yang masih menggantung di lengan Sabian, alisnya sedikit terangkat dengan ekspresi penasaran.

“Iya.” Sabian menyerahkan helm itu dengan hati-hati, dadanya berdebar. “Nih, pakai.”

Bianca memeriksa helm itu, jari-jarinya menyusuri permukaan plastik yang mengilap, matanya menyipit seolah menimbang sesuatu. Ia mencoba memakainya, tapi kaitannya agak sulit, membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin tertawa.

Sebelum Bianca berjuang lebih lama, Sabian kontan menuruni motornya demi menghapus jarak di antara mereka. “Helmnya baru gue beli di perjalanan mau ke sini, jadi kaitannya mungkin masih agak susah buat dilepas pasang,” ujarnya, sedikit serak karena gugup. Tangannya bergerak hati-hati, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Bianca yang halus. Dari jarak dekat, Sabian dapat mencium aroma parfum yang Bianca pakai—manis, seperti campuran vanila dan bunga melati, begitu lembut hingga membuat kepalanya ringan. Meski jantungnya berdetak kencang, Sabian berusaha tetap tenang, meniru adegan dalam film-film romansa yang sempat Zaid katakan. Sesungguhnya adegan itu terasa konyol di kepalanya, namun, saat kaitan helm tersebut terpasang dan Bianca tersenyum kecil dan pipinya sedikit memerah di bawah cahaya lampu jalan, Sabian tahu usahanya tak sia-sia.

“Udah,” kata Sabian, lalu mundur selangkah untuk memberi ruang, meski hatinya ingin tetap di dekat Bianca. Ia membukakan pijakan kaki motor dengan gerakan yang sudah terlatih, sebelum kembali menaiki motornya.

“Naiknya hati-hati.”

Bianca mengangguk, matanya berkilat dengan sedikit rasa malu. Dengan gerakan hati-hati, ia menaiki motor, tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Sabian untuk menjaga keseimbangan.

Akan tetapi, sentuhan tak sengaja itu sukses mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Sabian, membuatnya menggigit bagian dalam pipinya seketika. Sabia menahan napas, berusaha fokus saat menghidupkan mesin motor. Detik kemudian, dengan gerakan halus, motornya melaju, membelah jalanan ibu kota yang sore itu dipenuhi cahaya lampu neon dan suara klakson yang bercampur dengan deru angin.

Di belakang, Bianca duduk dengan jarak yang terjaga di antara mereka. Tangannya hanya sesekali menyentuh jaket Sabian, itu pun hanya di saat-saat genting.

Sabian memperhatikan sikap itu melalui kaca spion, dan diam-diam ia mengagumi Bianca—perempuan yang tahu batasan, namun tetap terasa dekat. Ia tahu Bianca menyukainya sejak awal, namun sikapnya yang penuh perhitungan membuat Sabian semakin terpikat, seperti magnet yang tak dapat ia lawan.

Di balik helmnya, Sabian tersenyum, merasakan angin sore menerpa wajahnya melalui celah visor. Awalnya, ia hanya ingin membuka hati, mencoba menjalani sesuatu tanpa ekspektasi besar. Tapi kini, dengan Bianca di belakangnya, jalanan Jakarta yang biasanya membosankan terasa seperti petualangan. Bianca punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan—warna lampu jalan menjadi lebih cerah, suara kota terdengar lebih merdu, dan hatinya yang dulu beku kini mencair perlahan. Sabian mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bianca sudah lebih dari sekadar ketertarikan.

Perjalanan ke mal terasa singkat, kurang dari tiga puluh menit, meski Sabian diam-diam berharap jalanan lebih panjang. Ia memarkir motor di basement yang pengap—di mana bau oli dan karet ban menguar, mengganggu indera penciuman. Sabian menurunkan standar motornya dengan hati-hati, memastikan Bianca bisa turun dengan mudah.

Lalu, sekali lagi, tangan Bianca menyentuh pundaknya, dan sensasi hangat itu kembali mengalir, seperti percikan api kecil di kulitnya. Selain itu, Sabian juga kembali membantu Bianca—melepas kaitan helmnya dengan lebih percaya diri. Sabian dapat melihat wajah Bianca dengan begitu jelas di bawah lampu yang ada pada langit-langit rendah basement itu. Alisnya yang tebal dan rapih, matanya yang hangat, dan hidungnya yang mancung menyempurnakan wajahnya yang sudah cantik secara alami. Ada kelembutan di wajah itu yang membuat Sabian sulit memalingkan pandangan, seperti melihat lukisan yang berbicara langsung ke hati.

Saat kaitan helm terlepas dengan bunyi ‘klik’, Sabian otomatis tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menarik tangan dan melepas helmnya sendiri—berharap Bianca tidak menyadari betapa ia terpesona.

Dan, harapan Sabian langsung terkabul, sebab, detik berikutnya, Bianca sibuk merapikan rambutnya di kaca spion motor.

Sabian berdehem, mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya yang memerah. “Kertas parkir di lo, ya?” tanyanya.

“Iya, biar gue simpen,” jawab Bianca dengan senyum yang mengembang. “Cowok pasti bakal lupa nyimpen gini-ginian. Contohnya ayah gue.”

Mendengar itu, Sabian terkekeh, merasa suasana hatinya kembali cair, seperti air yang mengalir setelah bendungan kecil pecah.

“Sini barang lo, biar gue bawain.”

Bianca mengangkat tas karton di tangannya, alisnya terangkat dengan ekspresi main-main. “Ini?”

“Iya,” kata Sabian, lalu merebut tas karton berisikan jaket yah Bianca itu, begitu saja. Membuat Bianca tak sempat berkata-kata.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk mal, langkah mereka selaras di tengah deru mesin dan suara langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Cahaya lampu mal yang terang benderang menyambut mereka, kontras dengan suasana kelam di luar. Sabian memperhatikan Bianca di sampingnya. Ada dorongan kuat di hatinya untuk menggenggam tangan perempuan itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akan tetapi, Sabian memilih untuk menahan dirinya—tak ingin melangkahi batas tanpa isyarat dari Bianca. Untuk saat ini, berjalan bersamanya, mendengar suara sepatunya yang berdecit pelan di atas lantai, sudah cukup membuat hatinya penuh.

Saat mendekati eskalator menuju lantai tempat restoran yang menjadi tujuan mereka berada, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari samping, nyaris menabrak Bianca dalam usahanya mendahului antrean menaiki eskalator. Dengan refleks, Sabian menarik pinggang Bianca ke samping, menjauhkannya dari bahaya.

Sadar bahwa keberadaan tangannya terasa salah, Sabian langsung menarik tangannya kembali, wajahnya memanas seperti terbakar. “Maaf,” katanya cepat, suaranya serak. “Takut lo ketabrak.”

Bianca praktis mengerjapkan matanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, anjir. Gue malah makasih udah ditolongin,” jawabnya pelan, nadanya begitu santai membuat Sabian lupa cara bernapas. Ia kemudian melangkah naik ke eskalator, dan Sabian mengikuti di belakang, mencoba menenangkan jantungnya yang berlari kencang.

“Aneh banget, masa dekorasi malnya masih yang sebelumnya,” kata Bianca seolah tengah mengembalikan suasana.

“Emang harusnya apa?”

“Valentine, lah!”

“Valentine masih lama, ini masih Januari,” timpal Sabian. Dalam hati, ia bersyukur atas kemampuan Bianca untuk membuat segalanya terasa alami, seperti angin yang menyapu ketegangan dari udara.

Sesampainya di lantai atas, mereka langsung menuju ke salah satu restoran sushi ternama. Dinding kayu berwarna hangat, lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang, dan suara piring yang berdenting pelan menciptakan suasana yang nyaman.

Pelayan di pintu masuk menyambut dengan senyum ramah. “Selamat sore, untuk berapa orang?” tanyanya, memastikan.

Sabian buru-buru menjwab, “Dua orang, table,” sebelum Bianca sempat bicara. Ia ingin memastikan mereka mendapatkan meja yang nyaman, bukan duduk di bar sushi yang terlalu ramai.

Kemudian pelayan langsung mengantar mereka ke salah satu meja di tengah ruangan, baru saja dibersihkan, dengan aroma sabun lemon yang masih menempel di udara.

“Untung nggak waiting list,” cicit Bianca sambil dudukkan dirinya.

Sabian mengangguk setuju, merasa lega, dan hatinya hangat melihat Bianca yang terlihat begitu santai.

Detik berikutnya, sang pelayan mengajukan beberapa pertanyaan standar, seperti; apakah mereka pernah datang ke restoran itu sebelumnya, dan menjelaskan kembali cara memesan makanan melalui kode pindai. Sabian menjawab dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan suasana restoran ini.

Setelah Sabian memindai sebuah kode yang terdapat di sudut meja, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bianca. “Lo pilih duluan,” katanya.

Namun, alih-alih menerima ponsel Sabian, Bianca justru menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya serius, juga setengah bercanda.

“Kenapa?”

“Sabian, gue perempuan ke berapa yang lo ajak makan di sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tapi ada nada penasaran yang terselip di akhir kalimatnya.

“Hah?”

“Buat seorang cowok, lo terlalu handal untuk makan di restoran sushi!”

Sabian mengerjap, tak menyangka akan mendengar tuduhan tak masuk akal seperti yang baru saja Bianca katakan. Lantas, Sabian tertawa, suaranya cukup renyah. “Lo yang ketiga,” katanya dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Setelah nyokap gue, sama Alin.”

Wajah Bianca praktis memerah, lalu mengatupkan mulut—jelas merasa salah. “Maaf!” katanya cepat, tangannya menutupi mulutnya dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin kembali tertawa.

“Gak masalah,” jawab Sabian tulus, senyumnya tak pudar. “Sekarang udah bisa pesen?”

Bianca mengangguk, lalu menunjuk menu pada layar ponsel Sabian yang menyala. “Moriawase sama makimono, aja, ya?”

“Biar bisa sharing dan nggak kenyang duluan?” tanya Sabian, dan senyum Bianca mengembang, seperti tanda bahwa tebakkan Sabian tepat sasaran.

“Boleh, pesen apa aja yang lo mau,” kata Sabian, menyerahkan kendali penuh kepada Bianca.

“Makasih, Om…,” kata Bianca, matanya berkilat nakal.

“Iya, By…,” balas Sabian dengan nada serupa, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama, menyadari kecocokan frekuensi di antara mereka yang begitu alami.

Setelah memesan, Sabian meletakkan tas karton milik Bianca di sisi meja, dekat dinding restoran yang dihiasi lukisan ikan koi. Semenjak itu, Bianca menopang dagunya dengan kedua tangan, matanya menatap Sabian dengan ekspresi yang sulit dibaca—seperti ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan, namun terperangkap di ujung lidah.

Sabian terus memperhatikan gerak-gerik Bianca. Ia ingin bertanya, akan tetapi sebelum ia sempat melakukan itu, minuman mereka tiba, disertai aroma teh hijau yang menenangkan.

“Makasih,” kata Sabian pada pramusaji yang baru saja mengantar minuman ke meja mereka.

Dan, pramusaji itu mengangguk sekaligus tersenyum hangat.

“Kenapa?” tanya Sabian pada Bianca, tepat setelah sang pramusaji melangkah pergi, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Bianca menghela napas kecil, lalu tersenyum, matanya berkilau di bawah lampu restoran. “Sebenernya gue suka ada sesuatu di antara kita. Mulai dari sepatu, jaket ayah gue, jaket lo… Setelah hari ini, kita ketemu pakai alasan apa lagi?” Nadanya ringan, tapi ada kerapuhan di dalamnya, seperti takut momen ini hanya sementara.

Mendengar pengakuan itu, Sabian merasa kehangatan menyebar di dadanya, seperti api kecil yang ditiup perlahan. “Kita nggak butuh alasan apapun buat ketemu—”

“Permisi, pesanannya.” Lagi-lagi potong seorang pramusaji yang tiba-tiba muncul. Kali membawa pesanan dengan nampan penuh akan sushi.

Sabian menahan napas kesal, momen mereka terganggu untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tersenyum sopan.

Setelah pramusaji itu pergi, Bianca tiba-tiba melepas pelindung ponselnya dan memasangkannya pada ponsel Sabian, yang kebetulan memiliki tipe yang sama persis dengan ponselnya sendiri. “HP lo harus pakai casing biar aman,” katanya, suaranya ringan seperti bercanda, tapi matanya penuh makna.

“Eh?” Sabian tampak bingung. “Terus HP lo?”

“Gue punya banyak di rumah,” jawab Bianca dengan senyum sumringah.

Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk memahami maksud tersembunyi di balik tindakan Bianca. Perempuan di hadapannya itu baru saja menciptakan ikatan baru, seperti jaket dan sepatu sebelumnya—sebuah alasan kecil untuk tetap terhubung, dan kembali bertemu tanpa status yang jelas di antara mereka.

“Makasih, Bi,” kata Sabian begitu lembut.

“Sama-sama. Nggak perlu buru-buru balikin!” kata Bianca, nadanya ceria namun ada sedikit penekanan di sana.

“Yakin?”

“Iya.”

“Kalau gitu, bakal gue simpen lama—eh, enggak! Gue balikin Sabtu depan,” kata Sabian, terdengar penuh tekad.

Kemudian, kata-kata itu sukses membuat pipi Bianca sedikit merona, seperti kelopak bunga mawar.

Bianca berdeham singkat. “Ayo makan!” serunya tiba-tiba, sembari mengangkat sumpit dengan semangat, seolah menyembunyikan rasa malu yang hampir saja menenggelamkan dirinya.

Melihat respons Bianca yang menggemaskan itu, sontak membuat Sabian tersenyum—tangannya terulur ke depan, menyentuh pucuk kepala Bianca seraya mengusapnya dengan gemas dalam hitungan detik—sebelum mereka mulai makan, berbagi sushi di tengah aroma wasabi dan kecap asin.

Di luar, langit mungkin masih mendung, awan tebal mungkin masih menahan hujan. Akan tetapi, di dalam restoran ini, dengan aroma sushi yang menggoda, lampu terang di atas mereka, dan senyum Bianca yang seperti bintang—Sabian merasa seperti menemukan langit yang cerah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia merasa utuh, bahagia, dan penuh harap.

Sabian duduk di atas motornya, tubuhnya sedikit membungkuk di bawah langit Jakarta yang kala itu warnanya sedikit kelabu berkat awan-awan tebal yang bergulung rendah. Trotoar di tepi jalanan, tempat ia memarkir motornya terasa asing—tak pernah ia lihat sebelumnya.

Angin sore bertiup sepoi-sepoi, menggerakkan kaos yang ia kenakan dengan lembut. Kali ini, Sabian hanya memakai helm, tanpa jaket seperti biasanya—sengaja, sebab Bianca akan mengembalikan salah satu jaketnya di pertemuan ini. Pikirnya, supaya tak terlalu repot, ia akan mengenakan jaket itu, nanti.

Dalam diam, mata Sabian terus memandang jauh ke depan, mencari sosok yang membuatnya menunggu di tempat itu sejak beberapa saat yang lalu. Pada lengannya, menggantung helm baru. Helm yang ia beli secara impulsif untuk Bianca dari sebuah toko helm yang eksis di pinggir jalan. Helm itu sederhana—seperti helm-helm yang sering kali terlihat dipakai oleh pengguna motor lain di tengah padatnya persimpangan lampu merah—jauh lebih murah dibandingkan kaca helm Sabian sendiri. Pada saat membelinya, Sabian tak memikirkan hal lain—hanya berharap benda itu dapat melindungi kepala Bianca dari panas dan hujan. Namun, begitu Sabian meninggalkan toko tersebut, ia baru menyesali keputusannya. Sabian berencana untuk membelikan Bianca sebuah helm yang lebih mahal dan kokoh, nanti.

Sabian melirik ponselnya, layarnya menyala di bawah langit yang kian meredup. Tak ada pesan baru dari Bianca, hanya ada angka jam yang menunjukkan bahwa ia sudah menunggu lama di sana. Kakinya mulai kaku, tapi ia tak peduli. Permintaan Bianca untuk dijemput di lokasi yang agak jauh dari rumahnya ini tak serta-merta membuat Sabian bertanya-tanya. Ia paham betul alasan apa yang ada di balik permintaan Bianca—muncul di depan rumahnya untuk membawanya kencan seperti sekarang ini, mungkin ibarat melempar batu ke danau tenang, mengundang riak yang tak diinginkan. Sabian menghormati batasan itu, meski diam-diam ia merasa sepi menunggu lama seorang diri, ditemani suara klakson sporadis dan deru motor yang melintas.

Langit semakin gelap, lampu-lampu jalan mulai memancarkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang dari tubuhnya di trotoar. Ia menarik napas dalam, seakan-akan menikmati polusi udara yang mengelilinginya.

Tiba-tiba, mata Sabiam memicing, tatkala menangkap gerakan di kejauhan. Sosok Bianca muncul, berjalan dengan langkah ringan namun penuh percaya diri, seperti biasa. Rambutnya yang panjang kali ini diikat tinggi, memperlihatkan leher jenjangnya yang diterpa cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Ia mengenakan atasan knit yang tampak kebesaran, dimasukkan ke dalam celana hitam yang memeluk tubuhnya dengan pas—sederhana, namun begitu memikat.

Sabian tak dapat menahan senyum lebar yang langsung mengembang di wajahnya—tak seperti biasanya. Ia praktis menghapus rasa lelah dan kaku di tubuhnya begitu melihat Bianca sore ini.

“Bi!” panggil Sabian, penuh semangat, bercampur lega, seolah menemukan oasis di tengah padang pasir.

Mata Bianca langsung bertemu dengannya, dan senyumnya tak kalah mekar dari Sabian—membawa kehangatan bagi siapapun yang melihatnya. “Sorry banget, ih,” katanya sambil mendekat, nada bersalahnya terdengar sangat tulus, diiringi embusan napas yang sedikit tersengal-sengal. “Udah lama nunggunya, ya?” Matanya mencari jawaban di wajah Sabian, penuh perhatian, dan itu membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang.

Namun, Sabian menggeleng cepat, meski kakinya masih terasa seperti kayu. “Enggak kok,” bohongnya dengan senyuman—tak ingin Bianca merasa buruk. “Nih, jaket ayah lo.” Ia menyodorkan tas karton yang berisi jaket milik ayah Bianca yang semula menggantung di stang motornya.

Bianca menerima tas itu dengan anggukan kecil, jari-jarinya menyentuh ujung tas dengan lembut, lalu menyerahkan jaket Sabian sebagai gantinya. “Nih, jaket lo… makasih ya buat waktu itu,” katanya lirih. Malu mengingat kejadian minggu.

Menyadari hal itu, Sabian memilih untuk pura-pura tak mendengar perkataan Bianca dan langsung mengenakan jaketnya tanpa memberi respons apapun. Untuk sepersekian detik, ia dapat merasakan keakraban kain itu memeluk tubuhnya, seolah jaket itu membawa sedikit aroma Bianca—atau mungkin itu hanya imajinasinya.

“Itu helm gue?” tanya Bianca, matanya tertuju pada helm yang masih menggantung di lengan Sabian, alisnya sedikit terangkat dengan ekspresi penasaran.

“Iya.” Sabian menyerahkan helm itu dengan hati-hati, dadanya berdebar. “Nih, pakai.”

Bianca memeriksa helm itu, jari-jarinya menyusuri permukaan plastik yang mengilap, matanya menyipit seolah menimbang sesuatu. Ia mencoba memakainya, tapi kaitannya agak sulit, membuatnya mengerutkan kening dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin tertawa.

Sebelum Bianca berjuang lebih lama, Sabian kontan menuruni motornya demi menghapus jarak di antara mereka. “Helmnya baru gue beli di perjalanan mau ke sini, jadi kaitannya mungkin masih agak susah buat dilepas pasang,” ujarnya, sedikit serak karena gugup. Tangannya bergerak hati-hati, jari-jarinya nyaris menyentuh dagu Bianca yang halus. Dari jarak dekat, Sabian dapat mencium aroma parfum yang Bianca pakai—manis, seperti campuran vanila dan bunga melati, begitu lembut hingga membuat kepalanya ringan. Meski jantungnya berdetak kencang, Sabian berusaha tetap tenang, meniru adegan dalam film-film romansa yang sempat Zaid katakan. Sesungguhnya adegan itu terasa konyol di kepalanya, namun, saat kaitan helm tersebut terpasang dan Bianca tersenyum kecil dan pipinya sedikit memerah di bawah cahaya lampu jalan, Sabian tahu usahanya tak sia-sia.

“Udah,” kata Sabian, lalu mundur selangkah untuk memberi ruang, meski hatinya ingin tetap di dekat Bianca. Ia membukakan pijakan kaki motor dengan gerakan yang sudah terlatih, sebelum kembali menaiki motornya.

“Naiknya hati-hati.”

Bianca mengangguk, matanya berkilat dengan sedikit rasa malu. Dengan gerakan hati-hati, ia menaiki motor, tangannya tanpa sadar menyentuh pundak Sabian untuk menjaga keseimbangan.

Akan tetapi, sentuhan tak sengaja itu sukses mengirimkan aliran listrik kecil ke seluruh tubuh Sabian, membuatnya menggigit bagian dalam pipinya seketika. Sabia menahan napas, berusaha fokus saat menghidupkan mesin motor. Detik kemudian, dengan gerakan halus, motornya melaju, membelah jalanan ibu kota yang sore itu dipenuhi cahaya lampu neon dan suara klakson yang bercampur dengan deru angin.

Di belakang, Bianca duduk dengan jarak yang terjaga di antara mereka. Tangannya hanya sesekali menyentuh jaket Sabian, itu pun hanya di saat-saat genting.

Sabian memperhatikan sikap itu melalui kaca spion, dan diam-diam ia mengagumi Bianca—perempuan yang tahu batasan, namun tetap terasa dekat. Ia tahu Bianca menyukainya sejak awal, namun sikapnya yang penuh perhitungan membuat Sabian semakin terpikat, seperti magnet yang tak dapat ia lawan.

Di balik helmnya, Sabian tersenyum, merasakan angin sore menerpa wajahnya melalui celah visor. Awalnya, ia hanya ingin membuka hati, mencoba menjalani sesuatu tanpa ekspektasi besar. Tapi kini, dengan Bianca di belakangnya, jalanan Jakarta yang biasanya membosankan terasa seperti petualangan. Bianca punya cara untuk membuat dunia terasa lebih ringan—warna lampu jalan menjadi lebih cerah, suara kota terdengar lebih merdu, dan hatinya yang dulu beku kini mencair perlahan. Sabian mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bianca sudah lebih dari sekadar ketertarikan.

Perjalanan ke mal terasa singkat, kurang dari tiga puluh menit, meski Sabian diam-diam berharap jalanan lebih panjang. Ia memarkir motor di basement yang pengap—di mana bau oli dan karet ban menguar, mengganggu indera penciuman. Sabian menurunkan standar motornya dengan hati-hati, memastikan Bianca bisa turun dengan mudah.

Lalu, sekali lagi, tangan Bianca menyentuh pundaknya, dan sensasi hangat itu kembali mengalir, seperti percikan api kecil di kulitnya. Selain itu, Sabian juga kembali membantu Bianca—melepas kaitan helmnya dengan lebih percaya diri. Sabian dapat melihat wajah Bianca dengan begitu jelas di bawah lampu yang ada pada langit-langit rendah basement itu. Alisnya yang tebal dan rapih, matanya yang hangat, dan hidungnya yang mancung menyempurnakan wajahnya yang sudah cantik secara alami. Ada kelembutan di wajah itu yang membuat Sabian sulit memalingkan pandangan, seperti melihat lukisan yang berbicara langsung ke hati.

Saat kaitan helm terlepas dengan bunyi ‘klik’, Sabian otomatis tersadar dari lamunannya. Ia buru-buru menarik tangan dan melepas helmnya sendiri—berharap Bianca tidak menyadari betapa ia terpesona.

Dan, harapan Sabian langsung terkabul, sebab, detik berikutnya, Bianca sibuk merapikan rambutnya di kaca spion motor.

Sabian berdehem, mencoba mengalihkan perhatian dari wajahnya yang memerah. “Kertas parkir di lo, ya?” tanyanya.

“Iya, biar gue simpen,” jawab Bianca dengan senyum yang mengembang. “Cowok pasti bakal lupa nyimpen gini-ginian. Contohnya ayah gue.”

Mendengar itu, Sabian terkekeh, merasa suasana hatinya kembali cair, seperti air yang mengalir setelah bendungan kecil pecah.

“Sini barang lo, biar gue bawain.”

Bianca mengangkat tas karton di tangannya, alisnya terangkat dengan ekspresi main-main. “Ini?”

“Iya,” kata Sabian, lalu merebut tas karton berisikan jaket yah Bianca itu, begitu saja. Membuat Bianca tak sempat berkata-kata.

Mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk mal, langkah mereka selaras di tengah deru mesin dan suara langkah orang-orang yang berlalu-lalang. Cahaya lampu mal yang terang benderang menyambut mereka, kontras dengan suasana kelam di luar. Sabian memperhatikan Bianca di sampingnya. Ada dorongan kuat di hatinya untuk menggenggam tangan perempuan itu, seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akan tetapi, Sabian memilih untuk menahan dirinya—tak ingin melangkahi batas tanpa isyarat dari Bianca. Untuk saat ini, berjalan bersamanya, mendengar suara sepatunya yang berdecit pelan di atas lantai, sudah cukup membuat hatinya penuh.

Saat mendekati eskalator menuju lantai tempat restoran yang menjadi tujuan mereka berada, seorang anak kecil tiba-tiba berlari dari samping, nyaris menabrak Bianca dalam usahanya mendahului antrean menaiki eskalator. Dengan refleks, Sabian menarik pinggang Bianca ke samping, menjauhkannya dari bahaya.

Sadar bahwa keberadaan tangannya terasa salah, Sabian langsung menarik tangannya kembali, wajahnya memanas seperti terbakar. “Maaf,” katanya cepat, suaranya serak. “Takut lo ketabrak.”

Bianca praktis mengerjapkan matanya beberapa kali. “Nggak apa-apa, anjir. Gue malah makasih udah ditolongin,” jawabnya pelan, nadanya begitu santai membuat Sabian lupa cara bernapas. Ia kemudian melangkah naik ke eskalator, dan Sabian mengikuti di belakang, mencoba menenangkan jantungnya yang berlari kencang.

“Aneh banget, masa dekorasi malnya masih yang sebelumnya,” kata Bianca seolah tengah mengembalikan suasana.

“Emang harusnya apa?”

“Valentine, lah!”

“Valentine masih lama, ini masih Januari,” timpal Sabian. Dalam hati, ia bersyukur atas kemampuan Bianca untuk membuat segalanya terasa alami, seperti angin yang menyapu ketegangan dari udara.

Sesampainya di lantai atas, mereka langsung menuju ke salah satu restoran sushi ternama. Dinding kayu berwarna hangat, lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang, dan suara piring yang berdenting pelan menciptakan suasana yang nyaman.

Pelayan di pintu masuk menyambut dengan senyum ramah. “Selamat sore, untuk berapa orang?” tanyanya, memastikan.

Sabian buru-buru menjwab, “Dua orang, table,” sebelum Bianca sempat bicara. Ia ingin memastikan mereka mendapatkan meja yang nyaman, bukan duduk di bar sushi yang terlalu ramai.

Kemudian pelayan langsung mengantar mereka ke salah satu meja di tengah ruangan, baru saja dibersihkan, dengan aroma sabun lemon yang masih menempel di udara.

“Untung nggak waiting list,” cicit Bianca sambil dudukkan dirinya.

Sabian mengangguk setuju, merasa lega, dan hatinya hangat melihat Bianca yang terlihat begitu santai.

Detik berikutnya, sang pelayan mengajukan beberapa pertanyaan standar, seperti; apakah mereka pernah datang ke restoran itu sebelumnya, dan menjelaskan kembali cara memesan makanan melalui kode pindai. Sabian menjawab dengan santai, seolah-olah ia sudah terbiasa dengan suasana restoran ini.

Setelah Sabian memindai sebuah kode yang terdapat di sudut meja, ia langsung menyodorkan ponselnya ke Bianca. “Lo pilih duluan,” katanya.

Namun, alih-alih menerima ponsel Sabian, Bianca justru menatapnya dengan alis terangkat, ekspresinya serius, juga setengah bercanda.

“Kenapa?”

“Sabian, gue perempuan ke berapa yang lo ajak makan di sini?” tanyanya tiba-tiba, nadanya ringan tapi ada nada penasaran yang terselip di akhir kalimatnya.

“Hah?”

“Buat seorang cowok, lo terlalu handal untuk makan di restoran sushi!”

Sabian mengerjap, tak menyangka akan mendengar tuduhan tak masuk akal seperti yang baru saja Bianca katakan. Lantas, Sabian tertawa, suaranya cukup renyah. “Lo yang ketiga,” katanya dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Setelah nyokap gue, sama Alin.”

Wajah Bianca praktis memerah, lalu mengatupkan mulut—jelas merasa salah. “Maaf!” katanya cepat, tangannya menutupi mulutnya dengan ekspresi lucu yang membuat Sabian ingin kembali tertawa.

“Gak masalah,” jawab Sabian tulus, senyumnya tak pudar. “Sekarang udah bisa pesen?”

Bianca mengangguk, lalu menunjuk menu pada layar ponsel Sabian yang menyala. “Moriawase sama makimono, aja, ya?”

“Biar bisa sharing dan nggak kenyang duluan?” tanya Sabian, dan senyum Bianca mengembang, seperti tanda bahwa tebakkan Sabian tepat sasaran.

“Boleh, pesen apa aja yang lo mau,” kata Sabian, menyerahkan kendali penuh kepada Bianca.

“Makasih, Om…,” kata Bianca, matanya berkilat nakal.

“Iya, By…,” balas Sabian dengan nada serupa, sebelum akhirnya mereka tertawa bersama, menyadari kecocokan frekuensi di antara mereka yang begitu alami.

Setelah memesan, Sabian meletakkan tas karton milik Bianca di sisi meja, dekat dinding restoran yang dihiasi lukisan ikan koi. Semenjak itu, Bianca menopang dagunya dengan kedua tangan, matanya menatap Sabian dengan ekspresi yang sulit dibaca—seperti ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan, namun terperangkap di ujung lidah.

Sabian terus memperhatikan gerak-gerik Bianca. Ia ingin bertanya, akan tetapi sebelum ia sempat melakukan itu, minuman mereka tiba, disertai aroma teh hijau yang menenangkan.

“Makasih,” kata Sabian pada pramusaji yang baru saja mengantar minuman ke meja mereka.

Dan, pramusaji itu mengangguk sekaligus tersenyum hangat.

“Kenapa?” tanya Sabian pada Bianca, tepat setelah sang pramusaji melangkah pergi, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Bianca menghela napas kecil, lalu tersenyum, matanya berkilau di bawah lampu restoran. “Sebenernya gue suka ada sesuatu di antara kita. Mulai dari sepatu, jaket ayah gue, jaket lo… Setelah hari ini, kita ketemu pakai alasan apa lagi?” Nadanya ringan, tapi ada kerapuhan di dalamnya, seperti takut momen ini hanya sementara.

Mendengar pengakuan itu, Sabian merasa kehangatan menyebar di dadanya, seperti api kecil yang ditiup perlahan. “Kita nggak butuh alasan apapun buat ketemu—”

“Permisi, pesanannya.” Lagi-lagi potong seorang pramusaji yang tiba-tiba muncul. Kali membawa pesanan dengan nampan penuh akan sushi.

Sabian menahan napas kesal, momen mereka terganggu untuk kesekian kalinya, namun ia tetap tersenyum sopan.

Setelah pramusaji itu pergi, Bianca tiba-tiba melepas pelindung ponselnya dan memasangkannya pada ponsel Sabian, yang kebetulan memiliki tipe yang sama persis dengan ponselnya sendiri. “HP lo harus pakai casing biar aman,” katanya, suaranya ringan seperti bercanda, tapi matanya penuh makna.

“Eh?” Sabian tampak bingung. “Terus HP lo?”

“Gue punya banyak di rumah,” jawab Bianca dengan senyum sumringah.

Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk memahami maksud tersembunyi di balik tindakan Bianca. Perempuan di hadapannya itu baru saja menciptakan ikatan baru, seperti jaket dan sepatu sebelumnya—sebuah alasan kecil untuk tetap terhubung, dan kembali bertemu tanpa status yang jelas di antara mereka.

“Makasih, Bi,” kata Sabian begitu lembut.

“Sama-sama. Nggak perlu buru-buru balikin!” kata Bianca, nadanya ceria namun ada sedikit penekanan di sana.

“Yakin?”

“Iya.”

“Kalau gitu, bakal gue simpen lama—eh, enggak! Gue balikin Sabtu depan,” kata Sabian, terdengar penuh tekad.

Kemudian, kata-kata itu sukses membuat pipi Bianca sedikit merona, seperti kelopak bunga mawar.

Bianca berdeham singkat. “Ayo makan!” serunya tiba-tiba, sembari mengangkat sumpit dengan semangat, seolah menyembunyikan rasa malu yang hampir saja menenggelamkan dirinya.

Melihat respons Bianca yang menggemaskan itu, sontak membuat Sabian tersenyum—tangannya terulur ke depan, menyentuh pucuk kepala Bianca seraya mengusapnya dengan gemas dalam hitungan detik—sebelum mereka mulai makan, berbagi sushi di tengah aroma wasabi dan kecap asin.

Di luar, langit mungkin masih mendung, awan tebal mungkin masih menahan hujan. Akan tetapi, di dalam restoran ini, dengan aroma sushi yang menggoda, lampu terang di atas mereka, dan senyum Bianca yang seperti bintang—Sabian merasa seperti menemukan langit yang cerah. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, ia merasa utuh, bahagia, dan penuh harap.

Bianca menuruni motor dengan gerakan yang sedikit kaku, kakinya menyentuh trotoar yang panas di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar. Angin yang tadi menerpa wajahnya selama perjalanan terasa seperti tangan-tangan tak terlihat yang dengan sengaja mengacaukannya, menyebabkan rambutnya yang semula ditata rapi menjadi sedikit kusut dan acak-acakan.

“Makasih, ya, Pak!” kata Bianca, sambil menyerahkan helm kepada pemiliknya.

“Jangan lupa, bintang lima ya, Mbak Cantik!”

Tanpa mengatakan apapun, Bianca hanya memamerkan ibu jarinya, berharap pengendara ojek online itu cepat-cepat pergi dari sana.

Dan, tatkala ia benar-benar pergi, Bianca langsung menghela napas panjang. Nyatanya sial, tak mengenal tanggal. Helm yang sempat ia kenakan itu, berbau tak sedap.

“Bintang lima, bintang lima…. Helm lo, noh, bau belerang…,” gumam Bianca, seraya menyentuh kepalanya, kemudian menyadari bahwa aroma tak sedap dari helm yang ia maksud, tertinggal di sana.

Bianca praktis mencebik, rasa penyesalan menyelinap di dadanya lantaran lebih memilih naik ojek motor alih-alih ojek mobil, atau mengendarai mobil milik sang papa seperti biasa.

Saran Zaid, laki-laki yang baru-baru ia angkat menjadi sahabatnya, memang terdengar romantis, namun cukup untuk dianggap menyesatkan, membuat Bianca mulai mempertanyakan kemampuannya dalam mengambil keputusan.

Baru beberapa langkah, ia terhenti di depan sebuah etalase kaca milik toko di pinggir jalan. Pantulan dirinya di kaca itu seperti cermin yang berkata jujur namun begitu kejam. Bianca melihat seorang gadis dengan wajah sedikit kusut, rambut yang menolak patuh meski sudah disisir menggunakan jari berulang kali, dan mata yang mencerminkan campuran kekeselan, resah, dan sedikit ketidakpastian. Dengan jari-jari yang panjang, Bianca kembali merapikan rambutnya, menarik helai-helai yang membandel agar kembali pada tempatnya. Pakaian berbahan knit yang sengaja Bianca pilih karena terlihat simpel namun tetap elegan sedikit bergeser dari posisinya, dan ia buru-buru menarik ujungnya agar kembali terlihat rapi. “Relaks, please…,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru kendaraan dan suara klakson yang memenuhi udara. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena panas sore itu, tapi juga karena antisipasi bertemu dengan Sabian.

Sabian. Nama itu kini lebih familier, semenjak Sabian sendiri yang mengatakan kalau ingin mendekatinya. Belakangan, bertukar pesan di sela-sela kesibukan mereka sebagai pengangguran, menjadi sebuah rutinitas. Hari ini, pertemuan mereka mungkin dapat dikategorikan sebagai kencan pertama mereka, setelah memutuskan untuk menjadi lebih dari sekadar teman. Ada harapan yang membuncah di dada Bianca—harapan yang ia sendiri tak berani akui sepenuhnya.

Namun, harapan itu seolah ditampar realitas begitu ia menoleh pada halaman depan kafe yang dimaksud. Pintu kacanya tampak terkunci rapat, dan ada sebuah papan kecil bertuliskan “TUTUP” tergantung di gagang pintu, bergoyang pelan diterpa angin sore. Bianca mendelik, matanya membelalak tak percaya. “Serius?” gumamnya, suaranya penuh kekecewaan yang tak bisa ia sembunyikan.

Bianca mengambil langkah mendekat, berusaha mengintip ke dalam. Ruangan di dalam gelap, hanya ada bayangan samar meja-meja kosong dan kursi-kursi yang tersusun rapi. Bau debu samar tercium dari celah-celah pintu, menambah kesan sepi yang menyedihkan, seolah kafe itu sudah lama ditinggalkan

“Bianca?”

Suara itu datang memecah keheningan yang mulai menyelimuti hati Bianca. Lantas, ia memutar tubuh dengan cepat, hampir tersandung oleh trotoar yang sedikit retak. Dan, tak jauh dari sana, Sabian berdiri di samping motornya, helm hitamnya masih tergenggam di tangan kanannya. Rambutnya yang sedikit berantakan karena helm justru membuatnya terlihat lebih menarik dari biasanya.

“Masabi! Kafe ini tutup!” seru Bianca, nadanya sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, seperti anak kecil yang tengah mengadu pada ayahnya dari kejauhan.

Sabian mengerutkan kening, ekspresinya beralih dari santai menjadi bingung. Dengan cepat, ia meninggalkan motornya, langkahnya mantap dan penuh rasa ingin tahu. Ia mendekati pintu kafe, memeriksanya dengan mata menyipit, seolah berharap pintu itu akan terbuka hanya karena ia menatapnya.

“Beneran, ya?” gumamnya, suaranya rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, mencari sesuatu.

Setelah beberapa detik, ekspresi Sabian berubah. Alisnya terangkat, dan wajahnya memerah sedikit, tanda rasa bersalah yang jelas. Ia memutar ponselnya ke arah Bianca, menunjukkan sebuah artikel yang ia temukan tentang kafe itu. “Lihat, Bi,” katanya, suaranya pelan, penuh penyesalan. “Kafe ini ternyata udah tutup permanen sejak pertengahan tahun lalu. Postingan yang gue lihat di reels… itu kemungkinan video lama.”

Bianca menatap layar ponsel itu, matanya menyusuri kalimat-kalimat yang menjelaskan bahwa kafe tersebut memang sudah tidak beroperasi karena masalah internal antar memiliknya. Informasi itu seperti pukulan kecil di dadanya, membuat harapan yang sebelumnya sempat membuncah kini kempis seketika. “Serius?” tanyanya, tak percaya. “Jadi kita nggak batal ngedate?”

Sabian terkekeh, kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan wajahnya semakin memerah. “Maaf, ini salah gue….”

Bianca memandangnya, ingin marah tapi entah kenapa justru merasa lucu. Ada sesuatu dalam sikap Sabian yang begitu tulus, begitu polos, sehingga kemarahannya perlahan melebur menjadi senyum kecil yang tak bisa ia tahan. “Nggak usah minta maaf, mungkin alam emang nggak merestui kita.”

Sabian tertawa kecil, tapi cepat-cepat menghentikan tawanya ketika melihat Bianca memicingkan mata. “Ayo… ayo kita cari tempat lain buat ngedate!” Nada suara Sabian, lembut namun penuh keyakinan, membuat hati Bianca sedikit melunak.

Ada kehangatan dalam caranya berbicara, dalam caranya menatap Bianca dengan penuh perhatian, yang membuatnya merasa bahwa laki-laki di hadapannya itu benar-benar ingin memperbaiki situasi.

Bianca menghela napas, mencoba menahan senyum yang semakin lebar. “Ada kafe lain di dekat sini,” katanya setelah berpikir sejenak. “Nggak jauh, cuma lima menit naik motor. Ramai, tapi enak. Lo mau ke sana?”

Sabian mengangguk tanpa ragu, matanya berbinar. “Deal. Ayo.”

Laki-laki itu berjalan menuju motornya. Dan, dengan tangan yang amatir ia membukakan pijakan kaki di motor untuk Bianca, sebelum Bianca sempat melakukannya sendiri. Gerakan kecil itu, sederhana namun penuh perhatian, membuat Bianca merasa ada kupu-kupu kecil yang beterbangan di perutnya. Beruntung, ia sudah memikirkan situasi ini sebelumnya dan memilih mengenakan celana jeans panjang yang nyaman alih-alih rok, membuatnya lebih mudah menaiki motor. Dengan bantuan tangan Sabian yang menyangga lengannya dengan lembut, ia naik ke jok belakang, merasakan permukaan kulit jok yang sedikit panas karena terpapar sinar matahari sore.

“Gue cuma ada satu helm,” kata Sabian.

“Ohh, yaudah, pake aja. Gue lebih suka kena angin,” sahut Bianca.

Selang beberapa detik, setelah keduanya sama-sama siap, motor Sabian mulai melaju, membelah bahu jalan yang ramai dengan kendaraan. Angin kembali menerpa wajah Bianca, kali ini asap kendaraan membawa serta aroma parfum Sabian yang menguar dari pakaiannya. Suara klakson dan deru mesin motor lainnya mengisi udara, tapi entah kenapa, semua itu terasa seperti latar belakang yang samar di pikiran Bianca. Ia fokus pada punggung Sabian di depannya, pada jaket kulitnya yang sedikit usang namun terasa begitu nyata di bawah genggaman tangannya. Jantung Bianca berdetak kencang, bukan hanya karena kecepatan motor, tapi juga karena kedekatan ini—kedekatan yang membuatnya merasa hidup, namun juga rentan.

Perjalanan menuju kafe lain terasa singkat, meski jalanan cukup padat. Sesampainya di sana, Bianca langsung disambut oleh keramaian yang nyata. Kafe itu penuh sesak, antrean di kasir mengular hingga hampir mencapai pintu masuk. Suara obrolan pelanggan bercampur dengan dentingan cangkir dan aroma kopi yang menggoda. Lampu-lampu gantung dengan bohlam kuning menghiasi langit-langit, memancarkan cahaya lembut yang memantul di dinding kayu kafe, memberikan nuansa tenang yang kontras dengan kegaduhan di dalamnya.

Sabian memarkirkan motornya dengan hati-hati, lalu melepas helmnya sambil menoleh ke arah Bianca.

“Gue antri pesanan, ya,” kata Bianca cepat, ingin mengambil inisiatif. Ia melangkah lebih dulu, meninggalkan Sabian yang masih sibuk meletakkan helmnya di spion motor.

Namun, baru beberapa langkah, Bianca merasakan nyeri samar di perutnya, seperti tusukan kecil yang datang tanpa peringatan. Langkahnya terhenti, tangannya secara refleks menyentuh bagian bawah perutnya. Nyeri itu bukan hal baru baginya—ia tahu itu pertanda haidnya datang, tapi intensitasnya kali ini cukup mengganggu, membuatnya sedikit meringis.

Dari belakang, Sabian bergegas menyusul, menyadari gestur Bianca yang mencurigakan. “Lo kenapa, Bi?” tanyanya, tersirat kekhawatiran, matanya menelusuri wajah Bianca dengan cermat.

Bianca menggeleng, mencoba menutupi rasa tidak nyamannya. “Nggak apa-apa,” katanya, lirih.

Beruntung Sabian tak membiarkannya begitu saja. Dengan langkah cepat, ia mendekati Bianca, berjalan tepat di belakangnya.

Bianca dapat merasakan sentuhan lembut di pundaknya—kedua tangan Sabian menyentuhnya dengan hati-hati, seolah ingin memastikan ia baik-baik saja.

“Ke toilet dulu, gue anter,” kata Sabian, tegas tapi penuh perhatian.

Bianca mengerutkan kening, bingung. “Hah?”

Sabian menunduk sedikit. “Celana lo kotor.” Suaranya pelan di telinga Bianca. Hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuknya.

Detik itu juga, Bianca ingin menenggelamkan dirinya sendiri ke dasar lautan. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang, dan rasa malu menyerbu dirinya seperti gelombang yang tak bisa ia bendung. Ia menunduk, tak berani menatap Sabian, apalagi memeriksa celananya sendiri. Ini adalah kencan pertamanya dengan laki-laki setampang Sabian, dan hal yang sangat fatal malah terjadi. Rasa malunya begitu besar, seperti beban yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas.

Sabian, seperti memahami kepanikan Bianca, ia mengambil aksi tanpa perlu diminta. Dengan sikap yang tenang tapi tegas, ia mengantar Bianca menuju toilet di sudut kafe. Kebetulan peminat toilet tak seramai peminat kopi. Di depan pintu toilet wanita, Sabian berhenti, menatap Bianca dengan ekspresi yang menenangkan, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkannya sendirian dalam situasi ini.

“Masuk. Tunggu sebentar di dalam.”

Bianca bergeming, tak berniat memberi jawaban.

“Tenang aja, gue beneran cuma sebentar…,” katanya, memastikan.

Lantas, Bianca hanya mengangguk lemas, sebelum akhirnya ia melangkah masuk ke dalam toilet, memilih salah satu bilik, dan mengunci pintunya dengan tangan yang sedikit gemetar. Di dalam bilik kecil, yang bau amonia pembersihnya menyengat di hidung itu, ia merasa seperti ingin menangis. Dinding bilik yang dilapisi ubin putih terasa dingin saat ia bersandar padanya, mencoba menenangkan napasnya yang tak teratur.

“Kenapa harus sekarang, sih? Kenapa harus di depan Sabian?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar, terkubur oleh rasa malu yang begitu besar, hampir menyakitkan. Ia membayangkan Sabian mungkin saja memandangnya dengan jijik, atau setidaknya merasa kerepotan. Pikiran-pikiran itu berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak. Waktu di dalam bilik itu terasa berjalan lambat, setiap detik terasa seperti menit. Suara gemerisik langkah kaki dan obrolan pelan dari orang-orang di luar toilet samar-samar terdengar, namun Bianca merasa terisolasi, terperangkap dalam ruang kecil yang terasa semakin menyesakkan. Tiba-tiba, ketukan pelan di pintu biliknya memecah keheningan.

“Halo? Yang di dalam sini Bianca, ya?” Suara seorang wanita, lembut namun asing, terdengar dari luar, membawa sedikit kebingungan di tengah keresahan Bianca.

“Iya,” jawab Bianca, suaranya lirih.

“Pacar kamu di luar, titip sesuatu ke saya. Boleh buka pintunya?”

Bianca mengerutkan kening, bingung namun penasaran. Dengan ragu, ia membuka pintu bilik sedikit, cukup untuk melihat seorang wanita paruh baya berdiri di depannya, memegang sebuah tas karton kecil. Wanita itu tersenyum ramah, kerutan halus di sudut matanya menunjukkan kehangatan yang tulus. Ia menyerahkan tas karton itu kepada Bianca, yang menerimanya dengan tangan yang masih gemetar.

“Makasih, Tante…,” ucapnya pelan, dan wanita itu mengangguk singkat.

Bianca kembali menutup pintu bilik. Ia membuka tas karton pemberian Sabian dengan hati-hati, dan apa yang ia temukan di dalamnya membuatnya tertegun. Ada pembalut—masih dalam kemasan plastik yang rapi, dan jaket kulit yang sempat dikenakan oleh Sabian—masih membawa aroma samar parfumnya yang maskulin. Bianca menatap isi tas karton itu, dadanya dipenuhi perasaan kagum, haru, dan sedikit rasa tak percaya. Sabian, dengan segala ketenangannya, telah pergi mencari pembalut untuknya dan bahkan memberikan jaketnya—mungkin untuk menutupi noda di celananya. Tindakan tak terduga itu terasa begitu besar di hati Bianca, seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan rasa malunya.

Bianca menghabiskan beberapa menit di dalam bilik toilet untuk menyelesaikan urusannya. Ia mengikat jaket Sabian di pinggangnya untuk menutupi noda, sembari menatap pantulan dirinya pada cermin besar di luar bilik. Jaket itu terasa hangat, seolah menyampaikan kehangatan hati Sabian.

Bianca mengatur napasnya. Dengan hati-hati, ia akhirnya keluar dari toilet, aroma kopi dan kue yang tadi menggoda kini terasa seperti pengingat bahwa dunia di luar masih berjalan, meski hatinya masih berdebar-debar. Tatkala Bianca menoleh, ia sedikit terkejut, namun juga lega, melihat Sabian masih berdiri di sana. Di tempat ia meninggalkannya. Laki-laki itu menunggu Bianca dengan ekspresi santai namun gurat kekhawatiran tak dapat ia sembunyikan sepenuhnya.

“Udah?”

“Iya….” Bianca celingak-celinguk, menatap sekitar. Mendapati bahwa langit sudah mulai gelap.

Sabian tersenyum kecil, dan dengan gerakan yang tak terduga, ia mengacak pucuk kepala Bianca dengan gemas, jari-jarinya terasa hangat di kulitnya. “Sini, gue bantu bawa,” katanya, meraih tas karton dari tangan Bianca begitu saja. Gerakannya alami seolah itu hal yang biasa untuknya.

Sementara itu, Bianca hanya melongo, masih tak menyangka Sabian akan begitu santai setelah kejadian yang sangat memalukan menimpanya.

Namun, tatkala Sabian mulai melangkah di meninggalkannya, sesuatu dalam diri Bianca mendorongnya untuk bertindak. Dengan gerakan cepat, ia menarik ujung kaos Sabian, membuat laki-laki itu berhenti dan menoleh dengan alis terangkat.

“Apa?”

Bianca menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak kencang, tak karuan. “Lo bisa bantu bawa yang lainnya, nggak?”

Sabian memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Bianca lamat-lamat, seolah mencari tahu apa maksudnya. “Bisa. Apalagi yang mau gue bawa?” tanyanya, nadanya ringan namun penuh perhatian.

Kemudian, tanpa mengatakan apa-apa, Bianca mengulurkan tangannya ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas, terbuka seperti sebuah undangan. Ia tak tahu dari mana keberanian itu datang, tapi momen ini terasa seperti titik balik, sebuah kesempatan yang tak boleh ia lewatkan.

Sabian menatap tangan itu sejenak, sebelum akhirnya tersenyum—senyum lebar yang membuat jantung Bianca berdetak lebih kencang. Dengan gerakan yang impulsif, ia menggenggam tangan Bianca, jari-jarinya menyatu dengan jari-jari Bianca, terasa hangat dan kokoh.

“Secepet itu ya, mood lo membaiknya?” kata Sabian sambil terkekeh, memimpin mereka berdua menuju antrean yang masih mengular.

Bianca menghela napas panjang, mencoba menutupi rasa gugup yang masih tersisa. “Sebenernya gue masih malu banget, dan gak sanggup liat muka lo. Tapi… kayaknya, kebaikan dan perhatian lo nggak boleh gue sia-siain gitu aja,” katanya, penuh keyakinan.

Mendengar itu, sontak membuat Sabian tertawa, suaranya ringan dan hangat, mengisi ruang di antara mereka dengan keakraban yang baru. “Makasih, ya, timbal baliknya.”

Mereka melangkah bersama, tangan mereka tetap bergandengan, mengantre di tengah keramaian kafe. Di tengah suara tawa, aroma kopi, dan dentingan cangkir, Bianca merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Momen memalukan tadi, yang awalnya terasa seperti akhir dunia, kini menjadi titik balik. Sabian bukan hanya laki-laki yang ia sukai—ia adalah seseorang yang mampu membuatnya merasa aman, bahkan di tengah kekacauan.

lega. Menolak Acat tanpa membuatnya sedih adalah tantangan tersendiri, terutama karena Acat masih kecil dan penuh semangat.

Sabian kembali memandang lapangan usai kepergian Acat dari hadapannya. Rasa kecewanya akibat gagal bertemu Bianca masih ada, tapi Sabian tak ingin langsung putus asa. Mungkin siang ini, ia bisa datang menjemput Alin lebih cepat atau berangkat lebih pagi di esok harinya agar dapat menemui Bianca dengan kesan kebetulan. Sabian tersenyum lebar, menyadari bahwa masih ada begitu banyak kesempatan untuknya.