cakgrays

Eksistensi matahari akhir-akhir ini cukup membuat Sabian kewalahan. Sebentar muncul, sebentar lagi menghilang. Sebentar panas tak karuan, sebentar lagi hujan badai. Laki-laki itu jadi kesulitan memilih alas kaki yang harus ia gunakan di luar ruangan.

Kemarin siang, menurut BMKG tak akan turun hujan. Sabian dengan percaya diri mengenakan satu-satunya sepatu yang ia miliki sejak ia memberikan sepatunya yang lain kepada seorang perempuan asing—beberapa waktu lalu. Sialnya, perkiraan cuaca oleh BMKG meleset. Hujan badai mendadak muncul di saat matahari seharusnya tengah berada tepat di atas kepala.

Meski Sabian pulang ketika hujan sudah reda, sepatunya tak selamat dari genangan air kotor. Alhasil, sepatunya yang tinggal satu itu harus berakhir di atas jok motor Sudirman untuk dijemur langsung di bawah sinar matahari—setelah Sabian berusaha membersihkannya hanya dengan sebuah sikat gigi bekas Zaid dan sabun wajahnya, lantaran ia dan kedua temannya itu kehabisan detergen.

Namun, nahas. Sepatunya belum juga kering saat ia ingin berangkat kuliah pagi ini. Dengan berat hati, Sabian mengenakan sandal jepitnya.

Hari ini, matahari seakan begitu dekat dengan bumi. Terik dan panasnya bukan main. Andai saja Sabian tak punya rasa malu, mungkin ia akan menangis sejadi-jadinya saat ini juga. Kakinya yang semula tampak bersih dan terawat—kini menjadi belang yang membentuk bayangan sandal jepit.

“Makanya, pake kaos kaki kayak gue, Bi!” cetus Zaid di sebelah Sabian. Sudah begitu lama berteman pertemanan mereka sehingga laki-laki itu dapat langsung menyadari kegelisahan Sabian hanya melalui gerak-geriknya saja.

Mendengar itu, Sabian lantas melihat ke arah kaki Zaid—dan ia pun tertawa. “Konyol!” seru Sabian.

“Yang penting nggak belang, Anjing!”

Lantas, keduanya semakin tergelak. Usut punya usut, kaus kaki yang Zaid kenakan saat ini adalah kaus kaki selalu ia kenakan saat tidur.

“Beli kaos kaki leopard gitu di mana?”

“Toko online.”

Sabian manggut-manggut. “Pesenin satu buat gue.”

“Jadi duo macan, bangsat!” Kemudian, uraian tawa mereka tak ada habisnya.

Perjalanan dari kampus menuju kostan mereka cukup jauh. Namun, tak begitu terasa sebab, keduanya terus bergurau di sepanjang perjalanan. Sebetulnya Zaid memiliki motor yang sengaja orang tuanya belikan untuk mobilitas selama di sini. Akan tetapi, motor itu sering kali mogok di perjalanan—sejak lima bulan terakhir.

Sempat terbesit keinginan untuk minta dibelikan motor baru tapi, setelah mereka berdua pikir panjang, hal itu mungkin hanya akan menjadi sia-sia. Pasalnya, hanya tersisa beberapa semester lagi kuliah mereka. Setelah itu, keduanya akan langsung kembali pulang ke Jakarta.

“Eh, Bi!” Zaid menepuk pundak Sabian berulang kali.

Sementara itu, sang empunya pundak hanya menoleh, seraya memasang raut wajah seakan-akan tengah berkata; kenapa?

Zaid menunjuk langsung pada lantai dua gedung indekos—lebih tepatnya letak kamar mereka.

Detik selanjutnya, Sabian menelan ludah. “Itu siapa yang ngintip-ngintip ke dalem kamar kita, ya, Id?” tanya ia yang kedengarannya begitu cemas.

“Mana gue tau? Gue, kan, baru dateng—sama kayak lo!”

Sabian praktis menarik punggung Zaid seraya bersembunyi di balik tiang beton bangunan itu tatkala seseorang di atas sana tiba-tiba saja menoleh.

“Perempuan, Bi!” bisik Zaid.

Sebuah anggukan setuju, Sabian lancarkan. “Jangan-jangan, pacarnya Cudil?”

“Bisa jadi....” Zaid menimpali. Lalu, dengan gegabah, ia berniat keluar dari balik tiang beton itu. “Ayo kita sanperin aja!”

“Jangan!” Untuk kedua kalinya Sabian menarik pundak Zaid.

Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara mesin motor yang baru saja datang. Menilik dari jenis motor dan plat nomornya—sudah dapat Sabian pastikan bahwa orang yang tengah mengendarai motor itu adalah Sudirman.

“Tuh, tuh, Cudil dateng!”

Zaid mengangguk. “Yaudah, kita ngintip dari sini aja, Bi.”

Sabian langsung memutar malas bola matanya. “Dari tadi juga gue suruh ngintip dari sini!” gumamnya.

Tak jauh di depan mereka berdua, Sudirman melepas helmnya dan mencabut kunci motor. Tanpa menoleh atau bahkan curiga sedikitpun, laki-laki itu langsung melenggang pergi. Sudirman menuju ke arah tangga.

Satu detik, dua detik, tiga detik. Waktu berlalu. Tengkuk Sabian sudah mulai keram lantaran menunggu Sudirman tiba di depan pintu kamar mereka.

“Heh!”

Seruan Sudirman sukses membuat Sabian dan Zaid menutup mulut mereka seketika.

“Dirman!”

“Arep opo ndek kosanku, Ca?” (Mau apa di kosanku)

Meski perkataan Sudirman dapat begitu jelas Sabian dengar, ia sama sekali tak mengerti artinya.

“Si Cudil ngomong apaan, Id?”

Mendengar pertanyaan itu, Zaid langsung menghela napas panjang. “Dia nanya kenapa perempuan itu dateng ke kosannya.”

“Oh....”

“Gue penasaran sama temen sekamar lo.”

Bukan hanya Sabian yang lantas membelalakkan kedua matanya namun, Zaid juga.

“Jadi, dia mau ngintipin kita, Id?” tanya Sabian memastikan.

Detik kemudian, tangan Zaid naik dan menyilang di depan dadanya, seraya mengangguk. “Ih, takut....”

Belum sempat Sabian menimpali, perempuan di atas sana lebih dahulu memekik gaduh sebab, telinganya tengah menjadi sasaran empuk tangan ganas Sudirman. Laki-laki itu celingak-celinguk, seakan tengah memastikan kalau tak ada yang melihatnya.

“Dijewer, Bi, kupingnya!”

“Gue juga liat, Anjing!”

“Cah kentir! Muleh! Muleh!” (anak stress! pulang! pulang!) Seru Sudirman yang terdengar dari kejauhan.

Kali ini, Sabian tak bertanya apa arti perkataan Sudirman kepada Zaid. Ia sibuk menatap lamat-lamat perempuan yang tampaknya tengah dianiaya oleh Sudirman itu. Wajahnya seperti tak asing, dan cukup sering ia lihat. Akan tetapi, Sabian kesulitan untuk mengingatnya.

“Id,” bisik Sabian pada Zaid.

Zaid berdeham untuk merespons panggil Sabian.

“Gue kayak ngerasa nggak asing sama perempuan itu....”

“Mbak mbak yang storynya titik-titik, Bi.”

Sabian langsung menyentuh pundak Zaid dengan kedua tangannya. “Serius?”

Dan, anggukan kepala lah yang Zaid berikan. “Iya. Itu dia.”

Hal pertama yang Sabian lakukan saat menyambut kepulangan Zaid adalah, bertolak pinggang di depan pintu kamar kostan mereka, seraya memasang raut wajah sangar.

“Udah keluar dari akun gue?”

Mendengar itu, Zaid praktis cengangas-cengenges. Ia sih sudah melakukan perintah Sabian sejak masih mengantre nasi goreng dan mie nyemek pesanan Sudirman. Namun, rasa bersalahnya belum juga sirna. Dihadang seperti ini oleh sang empunya akun, tentu saja membuat Zaid salah tingkah.

Zaid melirik ke Sudirman yang sedang berdiri, tak jauh di belakang Sabian. Niat hati ingin minta diselamatkan, dengan dalih mie nyemek titipannya ikut tertahan di depan pintu karena Sabian. Namun, belum-belum, Sudirman sudah lebih dulu menggeleng—seakan ia tak berminat ikut campur dalam huru-hara yang Zaid sebabkan.

“Udah atau belum?” desaknya, lagi.

Zaid berdecak sebal. “Udah, Bi!”

“Pernah nggak, gue pakai akun lo buat macem-macem?”

“Ya, enggak, sih....”

“Terus kenapa lo macem-macem pakai akun gue?” cetus Sabian. Geram.

Sudah lama sejak terakhir kali ia berurusan dengan seorang perempuan, Sabian tak mau terlibat kesalahan pahaman dengan siapapun lagi. Namun, apa yang Zaid lakukan malam ini justru sebaliknya. Tentu saja, hal itu menyulut emosi Sabian.

“Sori, gue nggak bakal ngulangin lagi....” Pundak Zaid merosot. Ia sadar, tak ada kalimat lain, yang pantas untuk dikatakan.

“Sebelumnya lo juga pernah bilang kayak gitu.”

“Kapan?”

“Udah lama. Tapi, intinya omongan sama perbuatan lo nggak sinkron!”

Sabian dapat melihat jelas gerak-gerik Zaid di hadapannya. Mata Si Tengik itu ke atas, seakan-akan ia tengah mencoba mengingat perkataannya di masa lalu, namun, tak kunjung ingat.

“Sek, guys... anu....”

“Nggak inget, kan, lo sama omongan lo sendiri?”

“Guys....” Sudirman menggaruk-garuk pangkal hidungnya yang tidak gatal. Sebenarnya ia malas menengahi Sabian dan Zaid, hanya saja jauh di dalam lubuk hatinya, ia mulai khawatir dengan keadaan mie nyemek yang sampai saat ini masih setia digenggam Zaid.

Oke fine! Gue emang lupa! Tapi, barusan gue udah minta maaf lagi!” seru Zaid, menirukan drama televisi yang akhir-akhir ini acapkali ia tonton bersama Sudirman.

Sabian merotasikan bola matanya. “Percuma minta maaf, kalau selalu diulangin lagi!”

Menjadi saksi keributan dengan perut yang keroncongan, pada akhirnya membuat Sudirman jengah. Lantas, Sudirman berdeham, seraya memposisikan dirinya di antara Sabian dan Zaid yang masih berdiri pegal, di tengah akses depan pintu.

“Ngene, rek. Barangkali perdebatan di antara awakmu, karo awakmu iseh panjang,” Sudirman menyentuh pundak Sabian dan Zaid secara bersamaan. “Saranku, yo, ra usah dilanjut meneh. Soale opo? Soale aku arep mangan cok, jancok! Kesuen! Wetengku ra kuat!” hardiknya.

Mendengar itu, Sabian mengedipkan kedua matanya. Ia bingung harus memberi respons seperti apa. Pasalnya, Sudirman baru saja berbicara menggunakan bahasa daerah.

Usai mengatakan itu, Sudirman langsung meraih sebuah kresek yang Zaid tenteng sejak beberapa saat lalu, kemudian melenggang pergi begitu saja—tanpa berniat mengartikan perkataannya, beberapa saat lalu.

“Barusan dia ngomong apa?” tanya Sabian, begitu polosnya. Perihal kekesalannya pada Zaid itu, kini jadi nomor sekian. Saat ini, yang terpenting adalah, ia tahu apa yang baru saja dikatakan oleh Sudirman.

“Dia bilang, perkara random chat cewek aja dibikin heboh!”

Kening Sabian mengkerut seketika. “Sumpah?” Kedua matanya memicing. Sabian tak langsung percaya begitu saja.

Zaid mengangguk.

“Terus?” timpal Sabian.

“Kita disuruh baikan, demi kesejahteraan bersama.”

Sabian makin tak percaya. Batinnya, tak mungkin Sudirman mau repot-repot meminta ia dan Zaid, agar berdamai. Itu sama sekali tidak seperti Sudirman yang ia kenal.

Namun, Zaid adalah jagonya memutar balikkan fakta di hadapan Sabian. Ia memasang raut wajah serius, seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Lo nggak percaya, Bi?”

Sabian mengangguk.

“Ya, udah.” Zaid mencondongkan tubuhnya. “Kata dia, kalau kita terus ribut... dia mau pindah kamar aja.”

Lalu, detik itu juga, Sabian bungkam. Tanpa Sabian sadari, ternyata ia sudah terlanjur nyaman dengan keberadaan Sudirman di antara ia dan Zaid akhir-akhir ini.

Ratu melangkah masuk lebih dahulu ke dalam vila. Ia menekan saklar lampu tanpa ragu. Sementara itu, Jeffrey dengan sebuah koper berisikan pakaian yang mereka bawa dari rumah, berjalan di belakang Ratu, sembari kepayahan.

Vila tempat mereka menginap malam ini, tak begitu besar. Pada dasarnya, keluarga Jeffrey lebih senang berlibur ke luar pulau, dibanding hanya bermalam di sebuah vila yang berada di Bogor—seperti apa yang Jeffrey dan Ratu lakukan kali ini. Bisa dibilang vila itu hanya satu dari sekian banyak aset keluarga Jeffrey yang sejatinya nyaris dilupakan.

Kendati begitu, ujung hingga ke ujung vila itu masih tampak sangat terawat. Tak ada sarang laba-laba, atau bahkan aroma tak sedap dari sebuah dinding lembab yang dibiarkan. Semuanya bersih, dan rapi. Masih begitu nyaman untuk ditempati.

Sebenarnya ada sepasang suami dan istri yang bertugas menjaga, serta merawat vila itu selama bertahun-tahun lamanya. Jeffrey berkata, mereka bahkan ikut menua seiring dengan bertambahnya usia bangunan vila itu. Mereka menempati bangunan yang terpisah dari vila itu, yang keberadaannya di halaman belakang.

Mengetahui hal itu, Ratu merasa tenang. Meski ia tak hanya berdua saja dengan Jeffrey—setidaknya privasi mereka tetap aman.

“Jelek ya, Ra? Apa mau nginep di hotel sekitar sini aja?” tanya Jeffrey, khawatir. Pasalnya, ia melihat Ratu hanya terdiam pasca menekan saklar lampu beberapa saat lalu. “Maksudku, biar lebih nyaman tidurnya.... Barangkali kamu nggak bisa tidur di sini, karena udah lama nggak ditempatin.”

Ratu menoleh ke arah Jeffrey, lalu menggeleng.

“Ini lebih dari nyaman tau, Mas.” Sembari berjalan meninggalkan Jeffrey, Ratu mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru ruangan. Satu telunjuknya menyentuh sebuah bufet panjang yang melengkapi ruang tengah. “Bersih banget, ya? Padahal, kata Mama—vila ini terakhir dikunjungin waktu kamu masih sekolah. Berarti udah lamaaa... bangettt.... Iya, kan, Mas?”

“Iya, Ra.” Jeffrey mendaratkan koper mereka di atas sebuah karpet beludru. “Untungnya Papa nggak pernah ninggalin asetnya gitu aja. Kayak ini, jadi ada yang ngurusin.”

Lantas, Ratu terkekeh. “Padahal Papa sendiri udah lupa kalau punya vila di Bogor. Tapi, kok, bisa ya, tetep inget ngegaji orang yang kerja di sini?”

“Ya, inget-inget begitu, kan, bukan tugas Papa. Ada Pak Beni yang ngurusin.”

Bibir Ratu mengatup. Ia baru saja lupa akan fakta kalau ia memiliki mertua yang cukup kaya raya untuk membayar seseorang yang bertugas mengurus segalanya, seperti; pemasukan, pengeluaran, tagihan, agenda, dan masih banyak lagi.

Dengan senyuman kikuk, Ratu memutar tubuh ke belakang. Menghadap Jeffrey. “Oh, iya, ya....”

Jeffrey mendesah panjang. Merasa kehabisan kata-kata. Sudah lama tinggal bersama, namun masih saja Ratu lupa orang seperti apa ia dan keluarganya.

“Eh, Mas!”

“Apa?”

“Pintunya nggak kamu kunci, ya?”

Mereka saling tatap. Dan, Ratu merasa aneh seketika, tatkala Jeffrey mengangkat sebelah alisnya ke atas.

Suaminya itu, bahkan tersenyum menggoda.

“Apa?” tanya Ratu, kebingungan. “Aku takut liat tatapanmu!”

“Kenapa pintu depan harus dikunci?” Jeffrey melangkah ke depan, sambil memberi isyarat melalui sorot tatap mata. “Emangnya kita mau ngelakuin ‘hal itu’ di ruang tengah?”

Ratu mendelik seketika. “APA SIH?! AKU TAKUT DENGERNYA!”

Lantas, gelak tawa Jeffrey lolos. Tawanya hingga menggema di dalam keheningan vila itu. Sementara, Ratu sibuk menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Mencondongkan tubuh, Jeffrey semakin dekat dengan Ratu. Ia mencebikkan bibirnya, seraya berkata, “sok takut!”

Hampir saja Ratu melayangkan sebuah pukulan panas pada pundak Jeffrey, seperti yang biasa ia lakukan di rumah. Namun, Jeffrey sudah lebih dulu beringsut menuju pintu.

Jeffrey sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya—jika ia diam saja. Oleh sebab itu, ia memilih untuk pergi meninggalkan Ratu dan mengunci pintu. Lagi pula, pikirnya, akan sangat konyol kalau-kalau kemesraan ia dan Ratu tak sengaja terpergok oleh penjaga vila hanya karena tak mengunci pintu.

“Mas!”

“Apa!?”

“Habis ngunci pintu, tolong masukin barang-barang bawaan kita ke kamar, ya!”

Meski mendengar itu, Jeffrey sengaja tak menjawab. Ia memang kembali menuju ruang tengah. Namun, atensinya bukanlah pada barang-barang bawaan yang Ratu maksud, melainkan pada Ratu sendiri yang tengah duduk di hadapan sebuah grand piano berwarna hitam, seraya menekan tuts dengan asal-asalan.

Melihat itu, Jeffrey tersenyum sambil bersedekap tangan. “Kamu pantesan main pianika, Ra.” Ia menghampiri Ratu yang hanya tertawa ringan.

“Kamu bisa, kan?” Ratu menggeser tubuhnya ke samping. Menyediakan sedikit tempat bagi Jeffrey, agar mereka dapat duduk bersama di sana. “Mainin satu lagu, dong, buat aku.”

Jeffrey mendecih, sebelum ia benar-benar ikut duduk di sisi Ratu. “When a man loves a woman, khusus buat Ratu Azalea.”

“Bisa? Aku kira cuman bisa river flows in you....”

Tatkala jemari Jeffrey mulai menekan tuts, demi tuts, Ratu mulai tertegun.

Selang beberapa detik, Ratu tersipu malu. Kedua pipinya memerah seperti buah tomat matang yang baru dipetik dari kebun.

“Nyanyi, Ra,” pinta Jeffrey, namun Ratu menolak.

Ia hanya menikmati alunan tuts piano yang Jeffrey mainkan, dengan mengayunkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

Detik, hingga menit berlalu. Jeffrey benar-benar menghangatkan suasana, melalui permainan pianonya. Ratu semakin lekat menatap Jeffrey dari samping, ia merasa seperti jatuh cinta sekali lagi.

Sadar akan tatapan dalam yang Ratu layangkan untuknya, Jeffrey menoleh. Membuat wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci saja.

Nada yang tercipta dari rangkaian tuts piano yang semula terdengar indah itu, kini menggantung di sana.

“Aku nggak bisa fokus main piano kalau kamu ada di jarak sedeket ini, Ra.”

“Ya, udah....”

“Apa?”

Ratu meneguk salivanya sendiri. “Berhenti aja.” Ia sudah menahan diri untuk tidak tertarik, akan tetapi ia gagal.

Seakan ada aliran listrik di udara, Ratu dengan senang hati menyambut bibir Jeffrey yang tiba-tiba saja mendarat di atas bibirnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berdua berciuman.

Ciuman itu semakin dalam, hingga Ratu tak menyadari jika tubuhnya baru saja ditarik oleh Jeffrey, dan diangkat—supaya mendarat di atas tuts piano.

Dengung suara tuts yang ditekan secara mendadak, kontan meramaikan ruang tengah vila itu. Menenggelamkan suara lenguhan yang tercipta oleh pagutan mereka berdua.

Sebuah tekanan pada tengkuk, Ratu terima.

Lidah Jeffrey bergerak bebas. Ia menyapu mulai dari bibir, hingga ke bagian dalam mulut Ratu. Membuat mereka berdua saling terengah, dan mulai kehabisan napas.

Perlahan-lahan, tangan Jeffrey tergerak membuka paksa sebuah kardigan yang sempat Ratu kenakan sebelumnya. Ia juga tak lupa melepas jaket yang membuat tubuhnya lebih hangat, beberapa saat lalu.

Dalam hitungan detik, Jeffrey melepas pagutan mereka. Memberi Ratu isyarat agar melingkarkan kaki pada pinggangnya. Dengan gerakan cepat, Jeffrey lagi-lagi mengangkat tubuh Ratu. Ia menutup fallboard sebab, mulai jengah mendengar bisingnya suara tuts yang tercipta hanya karena pergerakan sederhana yang mereka ciptakan. Jeffrey meletakkan Ratu di atas fallboard, seakan-akan ia tak berbobot sama sekali.

“Di kamar aja nggak, sih, Mas?” Ratu merasa ragu.

Namun, Jeffrey tak menghiraukan perkataannya barusan. Jeffrey justru melepas bagian atas pakaian ia dan Ratu dengan begitu tergesa.

“Mas... aku malu kalau di sini....”

Jeffrey meletakkan ibu jarinya di depan bibir, seraya mengusap lembut pipi hingga tengkuk Ratu. Membuat sang empunya terpejam seketika. “Ngapain malu? Di sini cuman ada aku, sama kamu,” kata Jeffrey berusaha meyakinkan.

Menerima sentuhan, demi sentuhan dari tangan Jeffrey—Ratu bereaksi dengan melengkungkan tubuhnya. Terlihat jelas betapa mengerasnya dada Ratu di hadapan Jeffrey. Hal itu, tentu saja berkat keahlian Jeffrey.

Duduk di tepi fallboard yang tertutup, dalam keaadan seperti ini adalah hal baru untuk Ratu. Kedua kakinya secara praktis terbuka. Seperti menjadi tempat ternyaman untuk Jeffrey berdiri di antaranya, seraya memandangi tubuh bagian atas Ratu dengan seksama.

Ratu dapat merasakan telapak tangan Jeffrey yang hangat di pipinya, perlahan tapi pasti, mulai turun—mendarat pada tengkuk. Belum puas membuat Ratu kegelian, tangan Jeffrey semakin turun menjamah kedua gundukan kembar milik Ratu. Menyalurkan rasa hangat pada keduanya, sambil menekannya lembut—sesekali.

Sorot matanya turun lagi ke bawah. Melewati perut, hingga pinggang Ratu, kemudian berhenti tepat saat ia melihat miliknya sendiri yang menonjol dengan berani di balik celana. Seakan tengah menghadang milik Ratu di bawah sana.

Lalu, segalanya mulai kacau. Tangan Jeffrey seakan bergerak sendiri tanpa menunggu perintah sang empunya. Melepas celananya, begitu juga dengan celana milik Ratu. Jeffrey membuangnya begitu saja ke atas lantai yang dingin.

Ratu hanya diam tatkala tangan Jeffrey bergerak menjamah bagian dalam pahanya yang sejak beberapa saat lalu sudah mulai berkeringat. Ia justru dengan spontan merenggangkannya lebar-lebar.

Dengan begitu, milik Jeffrey menempel sempurna pada miliknya. Benda yang keras itu menggoda klitoris Ratu, penuh gairah. Sementara Ratu, tak bisa menahan lenguhan tatkala miliknya semakin basah karena Jeffrey.

Tubuh Ratu kembali melengkung seperti busur, saat Jeffrey tanpa sabar menyerbu masuk bagian bawahnya dengan satu dorongan. Mulut Ratu terbuka, namun tak bersuara. Sementara itu, Jeffrey menenggelamkan wajahnya demi menyesap dan memberi beberapa tanda pada ceruk leher Ratu, di waktu yang bersamaan.

Sesekali Ratu menggigit bibirnya, kemudian balas menghirup dengan serakah aroma tubuh Jeffrey yang saat itu tengah menusuknya di bawah sana.

Ratu mengerang. Jeffrey pun, sama. Selaras dengan suara ritmis dorongan Jeffrey pada dirinya. Keduanya tak bisa menahan diri untuk terus menekan permukaan fallboard piano tua itu.

Jeffrey menjadi lebih liar, dan cepat. Tiba-tiba ia melakukan hal itu, membuat Ratu mulai kewalahan untuk mengimbangi.

Sensasi terbakar, menjalar di sekujur tubuh Ratu tatkala Jeffrey mengubur miliknya lebih dalam. Menekan hingga menemui inti Ratu dalam satu gerakan kuat.

Hampir tiba di penghujung kenikmatannya, Jeffrey justru menarik keluar miliknya dengan cepat. Membuat Ratu mendelik kesal untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kembali menancapkan miliknya yang sudah lebih keras.

Namun, kali ini Jeffrey mengayun lembut seraya menggigit bibir bawahnya, saat melihat Ratu dari atas. Kedua payudara Ratu bergoyang, acapkali Jeffrey bergerak. Membuatnya semakin bergairah, lagi dan lagi.

“Mas, jangan di dalem!” pekik Ratu saat menyadari kalau Jeffrey hampir sampai pada titik puncaknya.

Mendengar peringatan itu, Jeffrey mengernyit—meski tubuhnya masih terus memompa di bawah sana. “Kenapa?” tanya Jeffrey. Nadanya begitu rendah.

Seraya memejamkan kedua matanya, Ratu mencengkram lengan Jeffrey kuat-kuat. “Kalau punya adik lagi, Bian pasti marah. Dia nggak mau punya adik banyak-banyak, AKHH! MASSSSSS!”

Jantung Ratu berdebar kencang. Ia merasakan bahwa dirinya baru saja dipenuhi oleh Jeffrey yang meledak akibat mencapai klimaksnya.

Keduanya kehabisan napas. Sisa-sisa kenikmatan itu masih ada. Jeffrey meloloskan suara desahan panjang yang terdengar rendah.

Tak lama setelah itu, Jeffrey mengecup bibir Ratu, begitu lembut. “Kamu, kan, udah KB, Ra.”

Kedua mata Ratu, praktis membola. “Oh, iya!”

Jeffrey mengangguk gemas. Ia masih belum menarik miliknya, dari dalam Ratu. “Tapi kalau kamu maunya tetep dibuang di luar, nggak masalah. Aku siap ngulang lagi.”

Mendengar itu, Ratu yang masih sibuk mengatur napas, lantas meraup wajah Jeffrey menggunakan tangannya dengan kesal. “Dasar kotor!”

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.

Sudirman hanya bisa menggeleng frustasi usai mendengar kronologi kemalangan yang baru saja menimpa Sabian kemarin malam, dari mulut Zaid.

Sementara itu, yang bersangkutan justru sibuk pura-pura tak mendengar percakapan kedua temannya, dan mengalihkan pandangannya ke segala arah, sambil sesekali membuat kedua jempol kakinya yang berada di balik selimut itu beradu.

“Eh!”

Seakan mendapat sebuah sinyal bahwa sapaan itu ditujukan untuknya, Sabian sontak menoleh ke arah sumber suara.

Suara helaan napas kasar Sudirman terdengar begitu jelas setelahnya.

“Mau lo bawa celurit sekali pun, bukan berarti lo bisa menang ngelawan penjahat!” kata Sudirman sengaja menghardik.

Zaid langsung manggut-manggut dibuatnya. “Dia emang selalu goblok kalau ada sangkut pautnya sama perempuan.”

“Gak kayak gitu, ya!” timpal Sabian.

Namun, alih-alih menarik kembali perkataannya barusan, Sabian dapat melihat bagaimana Zaid secara tiba-tiba merangkul pundak Sudirman.

“Dia itu, selalu masuk rumah sakit gara-gara perempuan, Dir!” kata Zaid, dengan gestur tubuh seperti tengah berbisik, meski kenyataannya masih terdengar begitu lantang oleh telinga Sabian.

“Ealah, ben dianggep super hero opo'o?” (biar dianggap super hero apa gimana) cetus Sudirman.

Lalu, Zaid tampak mengiyakan perkataan Sudirman barusan.

Melihat itu, Sabian sontak menggaruk telinganya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Eh, gue tau, ya—lo berdua lagi ngomongin yang jelek-jelek tentang gue!” cetus Sabian tak terima.

Keduanya praktis menggeleng. Bohong.

“Apa yang Zaid bilang itu, fitnah! Gue pernah juga masuk rumah sakit karena hal lain, selain perempuan! Gue pernah tipes!!”

“Iya, tapi cuman sekali, kan? Sisanya gara-gara perempuan.”

“DUA KALI!”

Belum sempat Zaid menimpali perkataan Sabian barusan, Sudirman sudah lebih dahulu membekap mulut Zaid.

“Jangan ribut, ini rumah sakit.”

Hening kemudian. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor yang berasal dari jalanan di luar gedung rumah sakit itu. Maklum, keberadaan gedung tersebut begitu dekat dari simpang empat jalan raya.

Lalu, sorot mata Sabian mengikuti arah kaki Zaid melangkah. Sahabat karibnya itu tanpa rasa canggung merebahkan diri di atas salah sebuah ranjang rumah sakit yang kosong. Kebetulan, Sabian memilih kamar rawat inap kelas satu—meski ada dua ranjang, namun, hanya Sabian yang tengah menjadi pasien rawat inap di sana.

“Bajingan, aku inget awakmu kondo wes ra kuat lunggoh! Iku onok kasur nganggur, Cok!” (aku ingat kamu bilang udah gak kuat duduk! itu ada kasur nganggur)

“Semalem ada pasiennya. Tanya aja Bian!”

Sabian yang sadar bahwa namanya baru saja disebut, lantas mengangkat dagunya. “Apaan?”

“Semalem ada pasien, kan, di sini?”

Sabian mengangguk. “Iya, pas gue sadar, kirain gue sendirian dan kasurnya cuman satu karena ketutupan tirai-tirai. Ternyata ada pasien satu lagi, tapi tadi siang dia dipindahin ke ICU.”

“ICU??”

“Ya, gue sempet liat, pasiennya emang udah dipasangin banyak alat waktu masih tidur di ranjang itu. Mungkin sakitnya makin parah.”

“Mesakno...,” (kasihan) kata Sudirman, lirih.

“Bayangin, kalau gue gak dateng nyelamatin lo, bisa masuk ICU juga lo, Anjing!”

Mendengar perkataan Zaid barusan, sontak membuat Sabian diam-diam berkata 'iya' di dalam hati. Ia mengulum senyumnya. Senang lantaran masih ia dapati tubuhnya yang utuh beserta hasil rontgen yang menunjukkan organ vitalnya tak apa-apa meski sudah dipukuli sampai hilang kesadaran setelahnya.

“Ngomong-ngomong, perempuan yang lo tolongin itu—ada dateng ke sini buat ngejenguk?”

Sabian menggeleng. “Kayaknya dia gak tau kalau gue dirawat di sini.” Ia beranjak kemudian. “Gue juga gak yakin kalau dia inget muka orang yang udah nolongin dia, karena ... gue sendiri gak sempet liat mukanya lebih dari tiga detik,” timpal Sabian, sembari berusaha turun dari ranjangnya.

“Eh, mau ngapain?” tanya Zaid. Ia langsung beringsut menghampiri Sabian dan menahan lengan Sabian agar tetap berdiri tegak.

“Pipis.”

Tak ingin repot-repot ikut turun tangan, Sudirman memilih untuk duduk sembari mengawasi kedua kawan barunya itu. “Ati-ati kesandung sikilmu, Id! Iso tibo lho koncomu.” (hati-hati tersandung kakimu, Id. Bisa jatuh temen kamu)

“Tolong! Tolong!!”

Sayup-sayup terdengar suara teriakan.

“Tolong!!”

Mendengar suara teriakan minta tolong milik seorang perempuan yang datangnya dari kegelapan itu, praktis membuat Sabian berlari menghampiri sumber suara itu.

“WOY!”

Dengan sisa-sisa helaan napas yang tersisa, tanpa pikir panjang ia menerjang tubuh seorang pria yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang menutupi hingga sebagian dari wajahnya. Orang itu sebelumnya tengah menarik paksa, tangan perempuan di hadapannya.

“Asu!” (Anjing!) pekik orang tersebut tatkala tubuhnya terhuyung dan ambruk lantaran dihantam langsung oleh siku Sabian.

Sementara, sang perempuan yang Sabian lihat sebagai korban itu—praktis beringsut mundur. Ia ketakutan.

“Sini, Bangsat! Bangun, lo!” Sabian menarik kerah pakaian pria di hadapannya itu.

Mata Sabian memicing. Usut punya usut hantaman siku yang ia layangkan barusan itu cukup keras dan berhasil melemahkan lawan. Membuat salah satu dari kedua mata korbannya sulit terbuka. Sabian pun tersenyum culas, sebelum akhirnya ia kembali melayangkan satu kali serangan lagi untuk melumpuhkan pria itu.

Si empunya tubuh, lagi-lagi harus mencium tanah.

“Cuman segini pertahanan lo, tapi belaga jadi jambret?! Brengsek!” cetus Sabian.

Sadar kalau pertanyaan tak mungkin dijawab oleh pria yang sudah tak sadarkan diri itu, Sabian lantas menoleh. Melihat perempuan di belakangnya itu yang penampilannya kusut bukan main.

Sejenak, terlintas dalam benak Sabian, mungkin ia bukan hanya hampir menjadi korban perampasan barang-barang berharga, tapi juga yang lainnya. Namun, Sabian memilih untuk menurunkan tatapannya setelah itu. Ia melepas jaket yang sempat ia kenakan sebelumnya, seraya berjalan mendekat dengan penuh hati-hati.

Belum sempat Sabian memakai jaket tersebut, perempuan itu lebih dulu mendongak. Menatap lurus ke arah mata Sabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“A-ada ... sa-satu lagi.”

“Hah?”

“DI BELAKANG LO! AWAS!!” pekiknya tak tertahankan.

Tubuh Sabian ambruk seketika. Ia merasa seakan-akan dunia berputar, tepat sesaat— setelah pundaknya dihantam dari belakang oleh satu lagi pria berpakaian serba hitam dan menggunakan masker. Sepertinya mereka berdua adalah satu komplotan.

“Sapurane yo, Mas. Samean iku, gak diajak!” (Maaf ya, Mas. Kamu itu gak diajak) kata pria itu.

Lalu, belum sempat Sabian mengatakan apa-apa, tubuhnya sudah lebih dulu dijadikan selayaknya sebuah samsak.

Sabian dihajar secara membabi buta. Sementara sosok perempuan yang ia tolong itu, merasa kesulitan untuk sekadar mengatur degup jantungnya sendiri.

Sabian merintih kesakitan. Hampir sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri karena begitu banyak pukulan serta tendangan yang dilayangkan oleh pria itu.

Sejujurnya, pria yang kali ini jauh lebih besar dan bertenaga jika dibandingkan dengan kawannya yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu.

Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat akan perkataan Zaid. Seandainya mereka pulang bersama malam ini, mungkin, setidaknya ada salah satu di antara mereka yang selamat dan berhasil menelepon polisi. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat kalau mungkin kini Sudirman—kawan barunya itu, dilanda perasaan gelisah semalaman lantaran ia tak kunjung menampakkan diri di depan pintu kamar kos. Dan, dalam keadaan yang sudah separah ini, ia baru teringat akan Papa, Mama, serta Alin di Jakarta.

Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran ia selalu menunda untuk pulang, sekalipun liburan semester tiba.

Detik kemudian, Sabian seperti ingin menangis. Namun, di sisi lain ia sadar kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.

Sabian menarik napas tercekat, hingga tampak seperti akan meregang nyawa saat itu juga.

“TOLONGG! TOLONGGGGG!”

Akhirnya suara lantang itu lolos begitu saja. Perempuan yang Sabian berusaha selamatkan itu, kini berteriak sepenuh tenaga.

Sampai, saat pria yang sempat memukuli Sabian itu lengah, tiba-tiba saja, datang sosok pahlawan kesiangan.

“PAK INI, NIH! PENJAHATNYA ADA DI SINI, PAK!”

Zaid muncul, bersamaan dengan suara sirine polisi yang berasal dari ponselnya.

Mendengar perkataan Zaid barusan, pria yang berpakaian serba hitam itu spontan berniat kabur dan meninggalkan kawannya yang tak sadarkan diri begitu saja. Namun, nahas. Polisi sungguhan lebih dulu datang dan menembakan senapan angin di udara.

Sementara para polisi itu sibuk meringkus kedua orang jahat tersebut, Zaid beringsut ke tempat di mana Sabian berbaring lemah.

Babak belur sudah. Bibirnya sobek dan berdarah. Pelipisnya dipenuhi luka. Dan, jangan lupakan penampilannya yang kini sudah sangat carut-marut lantaran dipukuli sampai terbaring di atas tanah.

Tapi syukurlah, ia selamat.

“Heh! Bangun lo!” kata Zaid ketus.

Ia tahu Sabian tidak akan mati semudah itu.

Sabian membuka matanya seketika. Lalu, tangan kanannya terangkat. Ditatapnya sebuah pisau lipat yang sudah ia sembunyikan di balik tubuhnya sejak beberapa saat lalu, itu.

“Gue bawa pisau, Id. Tapi ternyata, gue gak sampai hati pakai pisau ini buat ngelukain musuh.... Gue cuman bisa pura-pura mati kayak barusan, biar dia berhenti.”

Mendengar hal itu, Zaid hanya diam. Bergeming.

“Makasih, udah panggilin polisi,” timpal Sabian yang kemudian langsung beranjak berdiri.

Satu-satunya hal yang ia lakukan setelahnya hanyalah menatap sosok perempuan yang tengah dibantu berdiri oleh salah seorang polisi yang datang.

“Lo kenal?” tanya Zaid penasaran.

Sabian menggeleng. “Gue denger dia minta tolong.”

“Terus hati lo terketuk buat nolongin, gitu?”

“Iya....”

Sebenarnya, hal yang membuat Sabian nekat ingin menyelamatkan perempuan itu meski ia sadar kalau ia hanya sendiri adalah ingatan Sabian perihal Alin. Adiknya itu, suatu saat nanti juga akan bertumbuh besar, sama seperti perempuan yang ingin ia selamatkan beberapa saat lalu. Sulit bagi Sabian membayangkan kalau-kalau Alin membutuhkan pertolongan, namun, tak ada satu pun orang yang rela berlari untuk menolongnya.

Sabian mengehela napas panjang. Ia beruntung sekali. Meski habis dipukuli seperti ini, tapi ia berhasil menyelamatkan seseorang.

“Selamat malam, Adik-Adik. Boleh ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian?”

Sabian menarik sudut bibirnya. “Boleh, Pak,” sahutnya semangat.

Berbanding terbalik dengan Zaid yang justru merotasikan bola matanya, malas. “Temen saya perlu ke rumah sakit, Pak, bukan kantor polisi.”

“Iya, kita ke rumah sakit dulu, sebelum ke kantor polisi.”


Malam itu, jalanan sekitar Keputih mendadak ramai meski sudah melampaui tengah malam. Sudah seperti iring-iringan. Ada suara sirene ambulans dan suara pertanda polisi tengah berpatroli di area sekitar.

Sabian yang mulanya sempat tampak baik-baik saja—akhirnya jatuh pingsan, tepat setelah ia meminjam sepatunya kepada sang korban yang bertelanjang kaki, lantaran sandal yang ia kenakan sempat terputus saat berusaha melarikan diri.

Korban sudah diamankan, komplotan penjahatnya juga sudah ditangkap oleh polisi. Lalu, Sabian sendiri sudah mendapatkan perawatan yang intensif dari seorang dokter yang tengah bertugas di IGD saat ini.

Semua sudah aman terkendali, tentunya. Kecuali, detak jantung Zaid yang sudah sejak tadi memiliki tempo yang tak beraturan. Pasalnya, saat ia panik melihat Sabian pingsan—ia spontan menelepon kedua orang tua Sabian. Dan kini, ia berakhir dihujani puluhan panggilan balik oleh Papa kawannya itu.

“Tolong! Tolong!!”

Sayup-sayup terdengar suara teriakan.

“Tolong!!”

Mendengar suara teriakan minta tolong milik seorang perempuan yang datangnya dari kegelapan itu, praktis membuat Sabian berlari menghampiri sumber suara itu.

“WOY!”

Dengan sisa-sisa helaan napas yang tersisa, tanpa pikir panjang ia menerjang tubuh seorang pria yang berpakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang menutupi hingga sebagian dari wajahnya. Orang itu sebelumnya tengah menarik paksa, tangan perempuan di hadapannya.

“Asu!” (Anjing!) pekik orang tersebut tatkala tubuhnya terhuyung dan ambruk lantaran dihantam langsung oleh siku Sabian.

Sementara, sang perempuan yang Sabian lihat sebagai korban itu—praktis beringsut mundur. Ia ketakutan.

“Sini, Bangsat! Bangun, lo!” Sabian menarik kerah pakaian pria di hadapannya itu.

Mata Sabian memicing. Usut punya usut hantaman siku yang ia layangkan barusan itu cukup keras dan berhasil melemahkan lawan. Membuat salah satu dari kedua mata korbannya sulit terbuka. Sabian pun tersenyum culas, sebelum akhirnya ia kembali melayangkan satu kali serangan lagi untuk melumpuhkan pria itu.

Si empunya tubuh, lagi-lagi harus mencium tanah.

“Cuman segini pertahanan lo, tapi belaga jadi jambret?! Brengsek!” cetus Sabian.

Sadar kalau pertanyaan tak mungkin dijawab oleh pria yang sudah tak sadarkan diri itu, Sabian lantas menoleh. Melihat perempuan di belakangnya itu yang penampilannya kusut bukan main.

Sejenak, terlintas dalam benak Sabian, mungkin ia bukan hanya hampir menjadi korban perampasan barang-barang berharga, tapi juga yang lainnya. Namun, Sabian memilih untuk menurunkan tatapannya setelah itu. Ia melepas jaket yang sempat ia kenakan sebelumnya, seraya berjalan mendekat dengan penuh hati-hati.

Belum sempat Sabian memakai jaket tersebut, perempuan itu lebih dulu mendongak. Menatap lurus ke arah mata Sabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“A-ada ... sa-satu lagi.”

“Hah?”

“DI BELAKANG LO! AWAS!!” pekiknya tak tertahankan.

Tubuh Sabian ambruk seketika. Ia merasa seakan-akan dunia berputar, tepat sesaat— setelah pundaknya dihantam dari belakang oleh satu lagi pria berpakaian serba hitam dan menggunakan masker. Sepertinya mereka berdua adalah satu komplotan.

“Sapurane yo, Mas. Samean iku, gak diajak!” (Maaf ya, Mas. Kamu itu gak diajak) kata pria itu.

Lalu, belum sempat Sabian mengatakan apa-apa, tubuhnya sudah lebih dulu dijadikan selayaknya sebuah samsak.

Sabian dihajar secara membabi buta. Sementara sosok perempuan yang ia tolong itu, merasa kesulitan untuk sekadar mengatur degup jantungnya sendiri.

Sabian merintih kesakitan. Hampir sekujur tubuhnya terasa sangat nyeri karena begitu banyak pukulan serta tendangan yang dilayangkan oleh pria itu.

Sejujurnya, pria yang kali ini jauh lebih besar dan bertenaga jika dibandingkan dengan kawannya yang sudah tak sadarkan diri sejak beberapa saat yang lalu.

Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat akan perkataan Zaid. Seandainya mereka pulang bersama malam ini, mungkin, setidaknya ada salah satu di antara mereka yang selamat dan berhasil menelepon polisi. Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, ia baru teringat kalau mungkin kini Sudirman—kawan barunya itu, dilanda perasaan gelisah semalaman lantaran ia tak kunjung menampakkan diri di depan pintu kamar kos. Dan, dalam keadaan yang sudah separah ini, ia baru teringat akan Papa, Mama, serta Alin di Jakarta.

Muncul sedikit perasaan menyesal lantaran ia selalu menunda untuk pulang, sekalipun liburan semester tiba.

Detik kemudian, Sabian seperti ingin menangis. Namun, di sisi lain ia sadar kalau ini bukanlah waktu yang tepat untuk menangis.

Sabian menarik napas tercekat, hingga tampak seperti akan meregang nyawa saat itu juga.

“TOLONGG! TOLONGGGGG!”

Akhirnya suara lantang itu lolos begitu saja. Perempuan yang Sabian berusaha selamatkan itu, kini berteriak sepenuh tenaga.

Sampai, saat pria yang sempat memukuli Sabian itu lengah, tiba-tiba saja, datang sosok pahlawan kesiangan.

“PAK INI, NIH! PENJAHATNYA ADA DI SINI, PAK!”

Zaid muncul, bersamaan dengan suara sirine polisi yang berasal dari ponselnya.

Mendengar perkataan Zaid barusan, pria yang berpakaian serba hitam itu spontan berniat kabur dan meninggalkan kawannya yang tak sadarkan diri begitu saja. Namun, nahas. Polisi sungguhan lebih dulu datang dan menembakan senapan angin di udara.

Sementara para polisi itu sibuk meringkus kedua orang jahat tersebut, Zaid beringsut ke tempat di mana Sabian berbaring lemah.

Babak belur sudah. Bibirnya sobek dan berdarah. Pelipisnya dipenuhi luka. Dan, jangan lupakan penampilannya yang kini sudah sangat carut-marut lantaran dipukuli sampai terbaring di atas tanah.

Tapi syukurlah, ia selamat.

“Heh! Bangun lo!” kata Zaid ketus.

Ia tahu Sabian tidak akan mati semudah itu.

Sabian membuka matanya seketika. Lalu, tangan kanannya terangkat. Ditatapnya sebuah pisau lipat yang sudah ia sembunyikan di balik tubuhnya sejak beberapa saat lalu, itu.

“Gue bawa pisau, Id. Tapi ternyata, gue gak sampai hati pakai pisau ini buat ngelukain musuh.... Gue cuman bisa pura-pura mati kayak barusan, biar dia berhenti.”

Mendengar hal itu, Zaid hanya diam. Bergeming.

“Makasih, udah panggilin polisi,” timpal Sabian yang kemudian langsung beranjak berdiri.

Satu-satunya hal yang ia lakukan setelahnya hanyalah menatap sosok perempuan yang tengah dibantu berdiri oleh salah seorang polisi yang datang.

“Lo kenal?” tanya Zaid penasaran.

Sabian menggeleng. “Gue denger dia minta tolong.”

“Terus hati lo terketuk buat nolongin, gitu?”

“Iya....”

Sebenarnya, hal yang membuat Sabian nekat ingin menyelamatkan perempuan itu meski ia sadar kalau ia hanya sendiri adalah ingatan Sabian perihal Alin. Adiknya itu, suatu saat nanti juga akan bertumbuh besar, sama seperti perempuan yang ingin ia selamatkan beberapa saat lalu. Sulit bagi Sabian membayangkan kalau-kalau Alin membutuhkan pertolongan, namun, tak ada satu pun orang yang rela berlari untuk menolongnya.

Sabian mengehela napas panjang. Ia beruntung sekali. Meski habis dipukuli seperti ini, tapi ia berhasil menyelamatkan seseorang.

“Selamat malam, Adik-Adik. Boleh ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai kesaksian?”

Sabian menarik sudut bibirnya. “Boleh, Pak,” sahutnya semangat.

Berbanding terbalik dengan Zaid yang justru merotasikan bola matanya, malas. “Temen saya perlu ke rumah sakit, Pak, bukan kantor polisi.”

“Iya, kita ke rumah sakit dulu, sebelum ke kantor polisi.”


Malam itu, jalanan sekitar Keputih mendadak ramai meski sudah melampaui tengah malam. Sudah seperti iring-iringan. Ada suara sirene ambulans dan suara pertanda polisi tengah berpatroli di area sekitar.

Sabian yang mulanya sempat tampak baik-baik saja—akhirnya jatuh pingsan, tepat setelah ia meminjam sepatunya kepada sang korban yang bertelanjang kaki, lantaran sandal yang ia kenakan sempat terputus saat berusaha melarikan diri.

Korban sudah diamankan, komplotan penjahatnya juga sudah ditangkap oleh polisi. Lalu, Sabian sendiri sudah mendapatkan perawatan yang intensif dari seorang dokter yang tengah bertugas di IGD saat ini.

Semua sudah aman terkendali, tentunya. Kecuali, detak jantung Zaid yang sudah sejak tadi memiliki tempo yang tak beraturan. Pasalnya, saat ia panik melihat Sabian pingsan—ia spontan menelepon kedua orang tua Sabian. Dan kini, ia berakhir dihujani puluhan panggilan balik oleh Papa kawannya itu.

“Bener. Gak ada yang bisa jamin kalau mahasiswa sini lebih baik daripada jambret...,” gumamnya, lirih.

Bianca menghela napas panjang. Bahkan pesan yang ia unggah di base kampus, sama sekali tak membantu menyelesaikan kegalauan panjangnya, siang itu.

Entah, mana yang lebih baik—telat mengumpulkan tugas lalu diceramahi panjang kali lebar oleh sang dosen, atau nekat bermalam di kampus sendirian tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kemudian. Pasalnya dari kedua opsi yang tersedia, selalu ada konsekuensi di belakangnya.

Sudah hampir setengah jam ia duduk termangu di bawah pohon rindang yang kebanyakan tumbuh di area sekitar fakultas itu.

Suasananya teduh, dan begitu nyaman untuk singgah lebih lama.

Alih-alih mengerjakan tugas yang konon katanya sudah mendekati tenggat pengumpulan itu, Bianca justru sibuk menikmati hembusan angin sepai-sepoi, seraya memikirkan keputusannya untuk malam ini.

“Kalau gue pulang ke kosan malem, pasti zona merah udah rame sama oknum-oknum penjahat.”

Ia mengangguk sendiri. Seakan mengiyakan perkataannya yang barusan.

“Tapi, kalau stay di kampus—gue sendirian. Antara malem ini digangguin setan, atau digangguin cowok-cowok kayak waktu itu!”

Sementara ia sibuk bergumam sendirian, sekelompok mahasiswa melintas di hadapannya sembari saling melempartawa satu sama lain.

Bianca melempar tatapan iri seketika. Kalau dilihat-lihat, sekelompok mahasiswa tersebut adalah teman-teman satu angkatan yang mengambil program studi, yang sama dengannya. Sebagian dari mereka tampak tersenyum tanpa beban, dan yang sebagian lagi sama seperti ekspresinya saat ini. Gurat wajah penuh frustasi tampak begitu jelas—pertanda belum juga mengumpulkan tugas rencana desain interior untuk pameran di penghujung semester kali ini.

“Ca!”

Bianca langsung menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Malas menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan yang seakan-akan tengah berkata, 'kenapa?'

“Gak ngumpulin makalah?”

Diberi pertanyaan demikian, lantas membuat Bianca tersenyum kikuk. Sebenarnya ia sudah tahu kalau pertanyaan semacam itulah yang akan keluar dari bibir seorang mahasiswa penanggungjawab mata kuliah.

“Belum selesai...,” sahutnya, lirih.

Lawan bicaranya itu, sontak tersenyum remeh. “Kira-kira ke mana perginya fokus seorang Bianca?”

“Tanya kayak gitu ke yang lain juga, Mar. Jangan gue doang, yang setiap jam lo tagih!” Usai mengatakan itu, Bianca lantas beranjak. Meninggalkan laki-laki yang akrab ia sapa 'Damar' itu sendirian.

Ia menghela napas kasar tatkala kakinya mulai melangkah jauh.

Kalau boleh jujur, Bianca sedikit jengah acapkali berbicara dengan laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui itu. Maklum, Damar adalah mantan kekasihnya. Meski kisah percintaan di antara mereka sudah resmi kandas sejak setengah tahun yang lalu, namun, laki-laki itu masih sering mengusiknya.

“Ke mana perginya fokus gue?” kata Bianca, yang kemudian membuatgesturseakan-akan ia membuang ludah. “Sok akrab banget, najis!”


Malas-malas begini, Bianca Marella adalah ahlinya sistem kebut semalam. Entah, hal itu termasuk dalam kekurangan atau kelebihan pada dirinya, yang jelas tugas makalah miliknya rampung sudah. Dan, kini yang perlu ia lakukan hanyalah membaca tiap-tiap halamannya sebanyak satu sampai dua kali agar dapat menguasai materi, untuk diprensentasikan esok hari.

Bianca melihat ke arah pergelangan tangannya. Menatap jarum jam tangan yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sebelas malam.

“Gak pulang?” tanya sang pemilik kedai fotokopi.

Bianca meringis. “Sebentar, Mas. Numpang baca dua kali, ya, kalau di kosan pasti langsung tidur.”

Lantas sang pemilik kedai fotokopi itu mengangguk paham. Apa yang Bianca lakukan malam ini, sudah sering dilakukan oleh mahasiswa lain. Tentu saja, pasalnya kedai fotokopi ini sangat dekat dengan kampus dan juga buka selama 24 jam dalam sehari. Maka, sudah pasti menjadi tempat bagi para mahasiswa mempercayakan setiap tugas, dan skripsinya untuk dicetak. Bahkan, tak jarang, ada pula yang datang untuk sekadar berkeluh kesah atau adu nasib sebagai sesama mahasiswa.

Sesekali ada yang datang, lalu pergi. Ada yang hanya menyerahkan diska lepas, dan ada juga yang menunggu sampai semua file yang dibutuhkan selesai dicetak.

Detik, demi detik berlalu begitu cepat sampai Bianca pun tersadar kalau ia harus pulang sekarang.

Iya. Malam itu, Bianca memilih pulang.

“Mas! Makasih, ya! Aku pulang!” serunya, berpamitan.

Lalu, yang baru saja dipamiti pun, hanya melempar senyum seikhlasnya.

“Bener. Gak ada yang bisa jamin kalau mahasiswa sini lebih baik daripada jambret...,” gumamnya, lirih.

Bianca menghela napas panjang. Bahkan pesan yang ia unggah di base kampus, sama sekali tak membantu menyelesaikan kegalauan panjangnya, siang itu.

Entah, mana yang lebih baik—telat mengumpulkan tugas lalu diceramahi panjang kali lebar oleh sang dosen, atau nekat bermalam di kampus sendirian tanpa tahu apa yang akan terjadi kepada dirinya kemudian. Pasalnya dari kedua opsi yang tersedia, selalu ada konsekuensi di belakangnya.

Sudah hampir setengah jam ia duduk termangu di bawah pohon rindang yang kebanyakan tumbuh di area sekitar fakultas itu.

Suasananya teduh, dan begitu nyaman untuk singgah lebih lama.

Alih-alih mengerjakan tugas yang konon katanya sudah mendekati tenggat pengumpulan itu, Bianca justru sibuk menikmati hembusan angin sepai-sepoi, seraya memikirkan keputusannya untuk malam ini.

“Kalau gue pulang ke kosan malem, pasti zona merah udah rame sama oknum-oknum penjahat.”

Ia mengangguk sendiri. Seakan mengiyakan perkataannya yang barusan.

“Tapi, kalau stay di kampus—gue sendirian. Antara malem ini digangguin setan, atau digangguin cowok-cowok kayak waktu itu!”

Sementara ia sibuk bergumam sendirian, sekelompok mahasiswa melintas di hadapannya sembari saling melempartawa satu sama lain.

Bianca melempar tatapan iri seketika. Kalau dilihat-lihat, sekelompok mahasiswa tersebut adalah teman satu angkatan dengannya. Sebagian dari mereka tampak tersenyum tanpa beban, dan yang sebagian lagi sama seperti ekspresinya saat ini. Gurat wajah penuh frustasi tampak begitu jelas—pertanda belum juga mengumpulkan tugas rencana desain interior untuk pameran di penghujung semester kali ini.

“Ca!”

Bianca langsung menoleh ketika namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang. Malas menjawab, ia hanya mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan yang seakan-akan tengah berkata, 'kenapa?'

“Gak ngumpulin makalah?”

Diberi pertanyaan demikian, lantas membuat Bianca tersenyum kikuk. Sebenarnya ia sudah tahu kalau pertanyaan semacam itulah yang akan keluar dari bibir seorang mahasiswa penanggungjawab mata kuliah.

“Belum selesai...,” sahutnya, lirih.

Lawan bicaranya itu, sontak tersenyum remeh. “Kira-kira ke mana perginya fokus seorang Bianca?”

“Tanya kayak gitu ke yang lain juga, Mar. Jangan gue doang, yang setiap jam lo tagih!” Usai mengatakan itu, Bianca lantas beranjak. Meninggalkan laki-laki yang akrab ia sapa 'Damar' itu sendirian.

Ia menghela napas kasar tatkala kakinya mulai melangkah jauh.

Kalau boleh jujur, Bianca sedikit jengah acapkali berbicara dengan laki-laki yang beberapa saat lalu ia temui itu. Maklum, Damar adalah mantan kekasihnya. Meski kisah percintaan di antara mereka sudah resmi kandas sejak setengah tahun yang lalu, namun, laki-laki itu masih sering mengusiknya.

“Ke mana perginya fokus gue?” kata Bianca, yang kemudian membuatgesturseakan-akan ia membuang ludah. “Sok akrab banget, najis!”


Malas-malas begini, Bianca Marella adalah ahlinya sistem kebut semalam. Entah hal itu termasuk dalam kekurangan atau kelebihan pada dirinya, yang jelas tugas makalah miliknya rampung sudah. Dan, kini yang perlu ia lakukan hanyalah membaca tiap-tiap halamannya sebanyak satu sampai dua kali agar dapat menguasai materi, untuk diprensentasikan esok hari.

Bianca melihat ke arah pergelangan tangannya. Menatap jarum jam tangan yang menunjukkan bahwa saat ini sudah pukul sebelas malam.

“Gak pulang?” tanya sang pemilik kedai fotokopi.

Bianca meringis. “Sebentar, Mas. Numpang baca dua kali, ya, kalau di kosan pasti langsung tidur.”

Lantas sang pemilik kedai fotokopi itu mengangguk paham. Apa yang Bianca lakukan malam ini, sudah sering dilakukan oleh mahasiswa lain. Tentu saja, pasalnya kedai fotokopi ini sangat dekat dengan kampus dan juga buka selama 24 jam dalam sehari. Maka, sudah pasti menjadi tempat bagi para mahasiswa mempercayakan setiap tugas, dan skripsinya untuk dicetak. Bahkan, tak jarang, ada pula yang datang untuk sekadar berkeluh kesah atau adu nasib sebagai sesama mahasiswa.

Sesekali ada yang datang, lalu pergi. Ada yang hanya menyerahkan diska lepas, dan ada juga yang menunggu sampai semua file yang dibutuhkan selesai dicetak.

Detik, demi detik berlalu begitu cepat sampai Bianca pun tersadar kalau ia harus pulang sekarang.

“Mas! Makasih, ya! Aku pulang!” serunya, berpamitan.

Lalu, yang baru saja dipamiti pun, hanya melempar senyum seikhlasnya.

Malam ini keadaan rumah terasa begitu sepi sebab, seisinya kekurangan eksistensi seorang Sabian Aditama—si semata wayang, yang usut punya usut tengah menginap di hotel bersama salah seorang teman barunya.

Ratu duduk termangu di sebuah sofa, depan televisi yang tengah menyala. Bosan. Hanya terdengar suara penyiar berita yang asalnya dari benda besar, nan pipih di hadapannya itu. Sudah hampir keram punggung Ratu lantaran sejak dua jam yang lalu, ia sudah duduk menyendiri di sana. Seperti biasa, di jam-jam Jeffrey pulang kantor seperti ini—Budhe Lasih tentu sudah rebahan di dalam kamarnya dengan damai.

Sebenarnya, ia menunggu Jeffrey bukanlah atas dasar kepekaan dan rasa perhatian sebagai seorang istri, melainkan atas dasar permintaan Jeffrey sendiri untuk.

Katanya melalui telepon, ia ingin ditunggu dan disambut kepulangannya untuk malam ini. Manja sekali, kan? Yah, memang seperti itulah sikap Jeffrey acapkali Bian tak ada di rumah.

Ratu menghela napas panjang tatkala suara mesin mobil milik Jeffrey terdengar dari halaman rumah. Akhirnya laki-laki itu pulang, setelah rasanya ia sudah menunggu sekian lama.

Namun, alih-alih membukakan pintu, Ratu memilih untuk tetap berduduk manis di tempatnya. Bukan karena ia terlalu malas untuk beranjak, melainkan karena ukuran perutnya yang tak lagi kecil itu, cukup membatasi pergerakan Ratu sejak beberapa minggu terakhir.

Tangan Ratu meraih sebuah remot yang letaknya tak jauh darinya. Menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sempat ia nyalakan dengan niat meramaikan seisi rumah, namun sia-sia.

Pintu utama terbuka dari luar, dan menimbulkan suara yang memecah keheningan seketika. Mendengar itu, Ratu praktis menoleh ke belakang. Didapatinya sosok laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan kemeja yang sudah tak lagi rapi, kelihatannya.

Jeffreyan Aditama. Meski sudah banyak tahun-tahun yang Ratu lalui bersama laki-laki itu dalam pernikahan mereka, namun sampai detik ini Ratu masih saja merasa salah tingkah setiap kali melihat suaminya itu pulang kerja. Maklum, nilai plus Jeffrey memanglah ketampanannya. Belum lagi saat laki-laki itu tersenyum simpul ke arahnya—Ratu refleks menyetuh perutnya yang kini sudah begitu besar.

“Emang boleh ya, Papa kamu se-mantep ini?” kata Ratu lirih pada sang jabang bayi di dalam perut. Sementara ia sibuk mengagumi Jeffrey dalam minimnya pencahayaan ruang tengah, Jeffrey sendiri mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Melalui ruang tamu, dan berjalan mendekat menuju ruang tengah.

“Aku pulang!”

Ratu hampir saja berdiri. Maksud hati ingin menyambut Jeffrey dengan sebuah pelukan hangat sepulang kerja. Namun, laki-laki itu lebih dahulu menahan tubuh Ratu, sehingga Ratu kembali terduduk di atas sofa.

“Mau ngapain?” tanya Jeffrey.

Ratu merentangkan kedua tangannya. “Mau peluk!” kata Ratu menjawab pertanyaan Jeffrey.

Kemudian, alih-alih membantu Ratu berdiri, Jeffrey justru memeluk tubuh Ratu dengan satu tangan, sementara tangannya yang satu lagi ia pergunakan untuk menopang tubuhnya pada sandaran sofa, agar ia tidak jatuh menimpa Ratu.

“Enak banget pelukan sama ibu hamil. Mana wanginya nyegerin.” Sontak wajah Ratu menghangat, hingga muncul semburat merah pada pipinya.

“Jangan godain saya, ya. Saya lagi hamil, dan udah punya suami!” kata Ratu seakan-akan Jeffrey adalah orang asing.

“Siapa, sih, suaminya?”

“Ada.”

“Siapa?”

Kemudian tangan Ratu menangkup kedua pipi Jeffrey, dan mengusapnya dengan begitu lembut. “Jeffreyan Aditama. Masnya berani gak lawan dia?”

Jeffrey refleks terkekeh, usai mendengar perkataan Ratu barusan. “Berani, lah!” cetus laki-laki yang kemudian melayangkan begitu banyak kecupan di wajah Ratu itu.

“Mas! Nanti dilihat Budhe Lasih, loh....”

Tapi, seakan tuli, Jeffrey justru semakin nekat. Kini kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, dan dipagutnya bibir ranum Ratu seketika.

Di bawah cahaya temaram ruangan itu, di tengah-tengah keheningan yang melanda—suara decakan bibir keduanya terbang bersama udara dan kemudian memenuhi seisi ruangan. Tangan Ratu yang semula menangkup kedua pipi Jeffrey, kini mulai merambat ke arah tengkuk laki-laki itu. Tak ingin munafik—Ratu juga sangat mendambakan Jeffrey malam ini.

“Ngh....” Sebuah lenguhan yang berhasil lolos dari bibir Ratu, membuat Jeffrey menghentikan kegiatannya seketika.

Diusapnya sudut bibir Ratu yang sempat menyisakan saliva mereka berdua. “Astaga, aku kelepasan berbuat mesum sama ibu hamil!” kata Jeffrey sok dramatis.

“Gak masalah, ibu hamilnya suka.”

“Kalau suka, berarti boleh dilanjutin?”

Ratu merespons perkataan Jeffrey barusan dengan sebuah anggukan kepala. “Kamu tau jawabannya, bahkan sebelum aku ngangguk-ngangguk begini.”

Benar saja! Jeffrey tergelak dalam hitungan detik, sebelum akhirnya ia menggendong tubuh Ratu di depan—seperti koala. Untuk dapat mengangkat bobot tubuh Ratu yang sekarang ini, Jeffrey termasuk seorang laki-laki yang kuat.

“Berat gak?” tanya Ratu penasaran.

Jeffrey menggeleng singkat, kemudian mengecup ceruk leher Ratu. Kakinya melangkah hati-hati meneju kamar mereka yang tak jauh dari ruang tengah.

“Kenapa harus digendong, padahal aku masih bisa jalan?”

“Kalau kita jalan, kelamaan.”

Selanjutnya Ratu sengaja merapatkan kakinya yang melingkar pada pinggang Jeffrey. Membuat suaminya itu mengerang seketika. “Sumpah, kok, udah keras banget? Takut!”

“Kalau lunak, gak bisa masuk nanti.”

Seperti biasa; Ratu menyesal karena sudah memancing Jeffrey untuk berbicara di saat-saat seperti ini. Maksud hati ingin bergurau namun, justru dijawab dengan kalimat yang kedengarannya begitu kotor seperti barusan.

Ratu menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Jeffrey. Diam-diam ia menghirup sisa-sisa aroma parfum milik Jeffrey dari sana. Harum, dan tidak terlalu menyengat seperti saat perkali disemprotkan pada kerah kemejanya.

Jeffrey berdeham, “Menurut kamu, aku mandi dulu atau gak usah?” tanya Jeffrey dengan nada yang terdengar sedikit serius.

“Gak usah.”

“Kenapa?”

“Ya ... nanti aja sekalian.”

Langkah kaki Jeffrey tiba-tiba saja terhenti, padahal mereka belum sampai di ambang pintu kamar.

“Kok berhenti? Kan, belum sampai kamar,” timpal Ratu.

“Sekalian gimana maksudnya? Mau mandi bareng?”

Ratu menggeleng kemudian. “Mandinya sendiri-sendiri, lah! Tapi—mandinya habis berkeringat bareng.”

Kalimat itu lantas menjadi kalimat penutup percakapan mereka di luar kamar. Pasalnya, detik kemudian Jeffrey langsung berjalan cepat memasuki kamar yang hanya tersisa beberapa langkah lagi dari tempat ia berdiri sebelumnya.