Sabian duduk di balik kemudi mobil sedan barunya yang dibelikan oleh sang papa. Kilauan dari kaca dan logamnya memantulkan cahaya matahari sore yang mulai merona jingga. Dalam keheningan, tangannya menari-nari memutar setir ke kanan dan ke kiri, mengikuti arah yang ditunjukan oleh peta digital yang tampil di layar dashboard, yang menuntunnya menuju rumah Zaid. Aroma khas kulit jok mobil yang masih baru, memenuhi dadanya, bercampur dengan perasaan hangat yang membara—kegembiraan yang tak dapat ia sembunyikan.
Sejak meninggalkan halaman rumah, senyum Sabian tak pernah pudar. Apa yang ia inginkan—memiliki mobil ini—menjadi kenyataan. Setiap kali menginjak pedal gas, ia merasakan getaran mesin yang halus, seolah mobil ini hidup dan turut berbagi kebanggaan dengannya.
Sesekali, mata Sabian melirik ke kaca spion belakang, memastikan rambutnya yang ditata dengan hati-hati masih rapi dan on point. Kaos hitam polos yang ia kenakan sengaja dipilih sebab, warna gelap itu membuat kulitnya tampak lebih cerah, sekaligus serasi dengan mobil barunya yang berkilau. Dalam hati, Sabian asyik bergumam, bahwa dirinya terlalu keren. Dan, rasa percaya diri itu seperti aliran listrik yang mengalir di nadinya, membawa serta semangat yang membara.
Di jok penumpang depan, sebuah bantal kecil berwarna merah pekat menarik perhatiannya. Bantal itu, yang dibelinya secara impulsif di sebuah toko, kemarin, terasa seperti keputusan kecil yang sempurna. Ia membayangkan Mama atau Alin bersandar nyaman di sana, tapi pikirannya segera melayang ke Bianca. Bantal itu sengaja ia siapkan untuk para perempuan yang sangat, dan mulai penting bagi dirinya—sebuah sentuhan kecil untuk membuatnya merasa istimewa. Setiap kali melirik bantal itu, Sabian tak bisa menahan senyum—ada kehangatan di dadanya, campuran antara antisipasi dan harapan yang sulit dijelaskan.
Saat rumah Zaid muncul di ujung jalan, siluetnya diterangi cahaya senja yang lembut, Sabian merasakan gelitik kegembiraan nakal di hatinya. Ia melihat Zaid berdiri di depan gerbang, tubuhnya tinggi ramping dengan kaos hitam yang serasi dengan gaya Sabian, dipadukan dengan celana jeans robek di kedua lututnya yang memberi kesan santai namun penuh karakter.
Dari kejauhan, Zaid tampak asyik menggulir ponselnya, alisnya sedikit berkerut, dan wajahnya serius seolah tenggelam dalam dunia digital.
Sabian yang melihat itu, tak mampu menahan dorongan untuk menggoda sahabatnya. Lantas, dengan senyum culas yang merekah di wajahnya, ia menekan klakson—TINN! TINN!—dan suara nyaring itu memecah keheningan sore seperti petir kecil.
Zaid melonjak kaget, ponselnya hampir terlepas dari tangan, dan wajahnya memerah karena campuran kaget dan kesal. “COK! BAJHINGAN!” pekiknya, matanya menyipit menatap Sabian yang sudah menyeringai lebar di balik kaca mobil.
Angin sore yang kini bertiup lebih kencang membawa aroma tanah dan debu halus, menyapu wajah Sabian tatkala ia menurunkan kaca jendela di sisi pengemudi. “Hai, miskin!” sapa Sabian pada Zaid. Nada suaranya penuh canda, melanjutkan ritual persahabatan mereka yang penuh ejekan ringan namun sarat keakraban.
Namun, alih-alih membalas sapaan Sabian, Zaid justru memutar matanya dengan dramatis, mendecih pelan sambil mendekati mobil dengan langkah santai. Tangannya tampak menyentuh kap mesin yang masih hangat, jari-jarinya mengelus permukaan mengilap itu dengan ekspresi pura-pura jijik.
“Najis,” cetusnya, sembari meneliti velg yang memantulkan cahaya senja seperti cermin.
“Buruan naik! Bianca udah nungguin,” timpal Sabian, nyaris hilang kesabaran.
Sabian dan Zaid sudah berteman sejak kecil, sebuah ikatan yang terasa lebih dalam dari sekadar persahabatan. Bagi Sabian, Zaid adalah keluarga, sekaligus seseorang yang tahu setiap celah dan rahasia Sabian, termasuk perasaannya untuk Bianca. Memperkenalkan Bianca kepada Zaid adalah momen yang sudah lama ia nantikan, seperti membuka babak baru dalam hidupnya. Ada kegembiraan yang bercampur dengan sedikit kecemasan di hati Sabian—ia ingin sekali Zaid dan Bianca dapat saling akrab satu sama lain, sebab ia benar-benar berniat membawa Bianca masuk ke dalam hidupnya.
Zaid segera membuka pintu depan, seakan berniat duduk di samping Sabian. Akan tetapi, baru saja pintu terbuka, Sabian kembali membunyikan klakson—TINN!—membuat Zaid memekik dan menghentikan gerakannya seketika. “Apaan sih!? Belagu banget, anjing… ngomong pake mulut, bukan pake klakson!” protesnya, wajahnya memerah karena kesal, tapi ada tawa kecil di sudut bibirnya.
“Tempat duduk lo di belakang.”
Detik itu juga Zaid membelalakkan mata, seakan tak percaya. “Belakang!?” nadanya penuh penolakan.
“Iya, depan buat Bianca…,” jawab Sabian dengan senyum lebar.
Lantas, Zaid hanya dapat mendengkus kesal, gerakannya berlebihan saat ia kembali menutup pintu depan dan berpindah ke belakang. “Oke, Pir… Supir, bawa mobilnya pelan-pelan!” katanya sambil melemparkan tubuhnya ke kursi belakang dengan gerakan serampangan, seolah ia adalah penumpang VIP yang sedang kesal. Namun, di balik sikapnya yang pura-pura merajuk, ada kilau keakraban di matanya.
Sabian tertawa, suaranya menggema di kabin mobil. Tawa itu bukan hanya karena tingkah Zaid, tapi juga karena kelegaan yang ia rasakan—persahabatan mereka adalah zona nyaman yang tak akan pernah pudar.
“Bisa-bisanya lo begitu? Tapi, tenang aja, nanti lo dapet jatah duduk di depan—pas Bianca pulang,” kata Sabian, nada suaranya penuh ejekan namun hangat. Zaid hanya mendengkus, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.
Tak lama kemudian, perjalanan menuju rumah Bianca diiringi suara mesin mobil yang halus, seperti dengungan lembut yang menenangkan. Aroma biji kopi Bali dari pengharum mobil ini mengisi kabin, bercampur dengan udara sejuk yang berasal dari mesin pendingin udara. Cahaya senja yang kini mulai memudar meninggalkan semburat oranye di ufuk Barat, menciptakan suasana yang hangat namun sedikit melankolis.
Zaid, dari kursi belakang, sesekali melontarkan komentar tentang mobil Sabian. “Mobil lo bagus, tapi baunya kayak mobil orang tua,” katanya sambil mengendus udara, wajahnya dibuat-buat jijik, tapi ada tawa kecil di ujung kalimat itu, seakan-akan tengah mengkhianati niatnya untuk serius.
Sabian hanya mengangguk remeh, senyumnya tetap terukir. “Iri bilang, Bos!” timpalnya, suaranya penuh percaya diri.
“Dih?” Zaid mendecih, namun detik kemudian ia menggenggam erat bahu Sabian. “Iri bangettttt!” timpalnya.
“Gue tuh, sebenernya belum sempet milih pengharum mobil. Jadi, yang dari mobil Bokap, gue pindahin ke sini,” jelas Sabian, nada suaranya santai.
“Astaga… yaudah nanti gue beliin, yang baunya jeruk,” kata Zaid.
“Nggak usah, Id. Kalo bau jeruk, mah, lo pake aja sendiri. Gantung di idung lo!”
“Sialan!” Tepat usai Zaid memekik kesal, tawa mereka berdua meledak, mengisi kabin dengan kehangatan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
—
Langit sudah sepenuhnya gelap, saat mobil Sabian berhenti di depan rumah Bianca.
Sabian memarkir mobilnya dengan hati-hati, gerakan setirnya presisi, seolah ingin menunjukkan bahwa ia menguasai kendaraan barunya. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma tanah dari halaman kecil di depan bangunan rumah Bianca.
Dalam keheningan, tiba-tiba saja, Sabian menoleh ke arah Zaid, “Eh, jangan bikin gue malu, Id. Jangan terlalu banyak ngomong kasar nanti,” katanya dengan nada santai, meski di dalam hatinya, Sabian sungguh berharap Zaid dapat menahan lidahnya yang kadang tak terkontrol, karena malam ini terlalu penting untuk dirusak oleh tingkah sahabatnya itu.
“Ya, tenang aja. Demi lo, gue bakal banyak diem hari ini,” jawab Zaid, tapi Sabian hanya mendecih, tahu betul bahwa ‘diam’ bukanlah kosa kata yang ada dalam kamus Zaid, kecuali saat ia tertidur.
Sebelum Sabian sempat membalas, pintu gerbang rumah Bianca terbuka pelan, dan dunia seolah berhenti berputar. Perempuan itu muncul, sembari diterangi lampu taman yang baru menyala, menciptakan siluet lembut di sekelilingnya. Atasan putih polos yang Bianca kenakan memantulkan cahaya, kontras dengan celana kulot bercorak batik yang bergerak anggun tatkala ia melangkah. Rambut panjangnya tergerai, bergoyang lembut diterpa angin malam, dan senyumnya—sederhana namun memikat—membuat jantung Sabian berdetak lebih kencang. Ini adalah kali pertama ia menjemput seorang perempuan tepat di depan rumahnya, jadi maklum jika di dalam dadanya seperti ada badai kecil yang bergemuruh.
Tanpa perlu diberi isyarat, Bianca langsung menghampiri mobil Sabian, langkahnya ringan namun penuh percaya diri. Ia membuka pintu belakang—mungkin mengira Zaid sudah duduk di depan. Akan tetapi, ia justru mendapati Zaid yang tengah bersandar santai di kursi belakang, menyambutnya dengan senyum lebar penuh godaan.
“Hai? Mau duduk sama gue di belakang?” tanya Zaid, nada bercandanya seperti embusan angin yang mengundang tawa.
Bianca tersentak, matanya membelalak sesaat sebelum terkekeh, wajahnya memerah tipis karena kaget. “Kirain gue yang di belakang,” katanya, pura-pura santai sambil kembali menutup pintu belakang dan beralih ke pintu depan.
“Hai!” sapa Sabian, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
“Halo! Keren banget mobil lo,” balas Bianca, suaranya lembut, membawa aroma vanila dan bunga yang ringan dari parfumnya.
Ia duduk di kursi depan dengan anggun, gerakannya alami namun memikat, dan saat ia memasang sabuk pengaman, Sabian mencuri pandang, berharap ia tak terlihat terlalu jelas dalam usahanya membuat Bianca nyaman.
“Nyaman, nggak?” tanya Sabian, seraya melirik bantal merah yang kini menopang leher Bianca, jantungnya berdetak lebih kencang menanti jawaban dari perempuan itu.
“Banget, apalagi ada bantalnya,” jawab Bianca, senyumnya melebar.
“Padahal itu gue pilih random di e-commerce,” kata Sabian, berusaha terdengar santai meski pipinya terasa hangat.
“Seriously?” tanya Bianca, memastikan.
Sebelum Sabian bisa menjawab, Zaid menyela dari belakang, “Boong, itu bantal dia pilih dengan cermat, cuma buat penumpang VIP. Buktinya, itu cuman ada satu di dalem mobil ini.”
Mendengar itu, Bianca lantas saja menoleh, matanya berbinar nakal. “Oh iya, di tempat lo nggak ada.”
“Boro-boro dikasih bantal, gue ada di sini aja cuma sebagai topping kalian!” keluh Zaid, suaranya penuh drama, tapi tawa kecil di ujung kalimatnya menunjukkan bahwa ia menikmati peran sebagai ‘Korban Sabian’.
“Ngoceh aja lo, kayak beo!” Sabian terkekeh. Diam-diam ia merasakan kelegaan yang hangat—Zaid, dengan caranya yang khas, telah mencairkan suasana yang tadinya ia pikir akan sedikit kaku karena kehadiran Bianca.
“Eh, boleh play musik dari gue, nggak?” tanya Bianca tiba-tiba, saat mobil itu mulai melaju meninggalkan rumahnya.
Sabian langsung mengangguk, sebelum akhirnya berdeham untuk menutupi kegugupan yang tengah ia rasakan. Setiap hari, semakin dekat dengan Bianca—Sabian hanya tak merasa jatuh cinta semudah ini sebelumnya.
“Bi, speaker mobil lo mau diperawanin sama playlistnya Bianca, dan lo pasrah?!” pekik Zaid, tiba-tiba. Suaranya penuh semangat, seolah ingin memecah ketenangan yang baru saja tercipta.
Mendengar langsung pertanyaan Zaid pada Sabian, sontak membuat Bianca menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak dramatis. “Eh?? Emangnya gue orang pertama?” tanyanya, nadanya penuh kecemasan yang sengaja dibuat-buat.
Zaid mengangguk antusias, sementara Sabian praktis memutar bola matanya dengan malas, meski sudut bibirnya naik, menahan tawa.
“Wah?? Nggak apa-apa nih, Masabi?”
“Nggak apa-apa, Bi.” Sabian menatap, seraya tersenyum hangat ke arah Bianca.
“Serius, ini jadi pencapaian terbesar gue di awal tahun,” cetus Bianca, sembari melirik ke belakang dengan senyum nakal yang membuat Zaid mengacungkan jempol penuh kekaguman tanpa sepengetahuan Sabian yang kini hanya terkekeh di balik kemudi.
Tanpa bersuara, Sabian menunjukkan tombol untuk menghubungkan perangkat. Dan, dalam hitungan detik, lagu dengan ritme ringan mengalir dari speaker mobil, membawa suasana malam yang semakin gelap menjadi lebih hangat dan akrab. Melodi lembut dengan denting piano dan alunan vokal yang manis seolah memeluk kabin mobil, menciptakan gelembung kecil kehangatan di tengah gemerlap lampu kota yang mulai menyala di luar.
Sabian dapat merasakan detak jantungnya sedikit melambat, lega bahwa Bianca tampak nyaman, sementara Zaid di belakang sesekali bersenandung pelan, seolah tak ingin kalah menikmati momen.
Di luar, lampu-lampu kota mulai berkilau, menciptakan refleksi warna-warni di kaca mobil yang melaju pelan di jalanan yang sedikit ramai. Sabian diam-diam mencuri pandang ke arah Bianca, yang tengah memilih lagu berikutnya. Cahaya dari layar ponsel menyinari wajahnya, menonjolkan lekuk lembut pipinya dan kilau di matanya. Ada perasaan hangat yang menggelitik di dada Sabian—campuran antara kekaguman dan kegugupan yang membuatnya ingin terus berada di momen itu.
Perjalanan mereka memang sedikit memakan waktu, sebab tempat yang dituju sama sekali belum ditentukan. Sabian sempat mengusulkan sebuah kafe yang pernah ia kunjungi bersama Bianca, tempat di mana mereka menjadi semakin dekat dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berbincang dan semakin mengenal satu sama lain. Ingatan itu secara teknis membawa senyum kecil ke wajah Sabian tatkala mengatakannya, namun Zaid dengan cepat menolak. Maklum, sudah terlalu sering bagi dirinya duduk di sebuah kafe, dan kebetulan nama kafe yang Sabian sebutkan cukup familier untuknya.
Mendapat penolakan demikian, terang saja membuat Sabian mendengkus, dan tak lama kemudian mobil itu dipenuhi dengan perdebatan sengit antara keduanya, suara mereka saling tumpang tindih, membuat riuh suasana.
Untung saja, Bianca ada di sana untuk menengahi. Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuhnya hingga hampir menghadap belakang, matanya berbinar penuh semangat. “Sushi aja, yuk!” serunya. Suara nyaringnya lantas memecah ketegangan. Ia menatap Sabian dan Zaid secara bergantian, sebelum akhirnya menularkan senyuman lebar dari bibirnya. “Kalian berdua pasti suka sushi, kan?” tanyanya memastikan, nada suaranya penuh keyakinan, seolah ia sudah membaca pikiran mereka.
Kemudian, Zaid mengangguk antusias, matanya menyala. “Tau dari mana?” tanyanya, setengah bercanda.
“Feeling aja, sih. Sabian suka, jadi mungkin lo juga suka—karena kalian selalu bareng,” jawab Bianca, penuh perhatian.
Mendengar itu, Sabian tersenyum dalam hati, tersentuh oleh kepekaan Bianca terhadap ikatan persahabatannya dengan Zaid.
“Kita ini bukan selalu bareng, tapi dia selalu ngikutin gue…,” timpal Zaid, raut wajahnya seakan tak terima.
“Loh…,” alis Bianca sedikit terangkat. “Bukannya lo yang selalu ngikutin Sabian? Buktinya hari ini lo ada di mobil dia.”
Mendengar bagaimana Bianca membalas perkataan Zaid, terang saja Sabian tak bisa menahan tawa, suaranya meledak di kabin mobil, menggema bersama denting lagu yang masih mengudara pelan. Zaid terdiam sejenak, wajahnya memerah karena kalah adu argumen, dan untuk pertama kalinya, ia kehabisan kata. Sementara Bianca, dengan senyum nakalnya, baru saja membuktikan bahwa ia bukan hanya cocok menjadi teman, tapi juga lawan yang sepadan untuk Zaid.
Meski baru saja mendengkus, dan pura-pura kesal, sudut bibir Zaid tetap naik ke atas, menunjukkan bahwa ia menikmati kekalahan itu. “Gue ini disamper! Gue diajakin!” pekiknya.
“Iya… iya…,” kata Bianca, mengalah dengan tawa kecil, lalu kembali menatap ke depan.
Dalam keheningan yang mulai melanda, mata Bianca tertuju pada lampu-lampu kota yang berkilau di balik kaca mobil. “Biasanya gue cuma bisa fokus ke jalan karena nyupirin Bunda atau Cica. Di circle pertemanan gue pun, gue selalu jadi supir karena kata mereka, gue yang paling cepet kalo bawa mobil. Jarang-jarang bisa duduk di bangku penumpang kayak gini sambil liatin objek selain aspal sama kendaraan di depan, kecuali perginya sama Ayah,” katanya, suaranya lembut, membawa sedikit kesedihan tanpa ia sadari.
“Ehm, kebalikannya Bian, tuh!” sela Zaid, nadanya penuh ejekan. “Dia selalu jadi penumpang, kecuali di motor. Iya, kan, Bi?”
Alih-alih menjawab, Sabian justru mendengkus, tapi di dalam hati, ia mengakui kebenaran dari perkataan Zaid. Biasanya, ia memang sering menjadi penumpang, tapi mendengar pengakuan Bianca membuatnya merasa tersengat—seakan ada bara kecil yang menyala dalam dadanya. Bara yang lebih mirip dengan sebuah tekad. “Mulai hari ini, kapanpun lo ngerasa pengen jadi penumpang—just let me know, Bi,” katanya, suaranya penuh keyakinan. Ia menoleh sekilas ke Bianca, matanya bertemu dengan mata perempuan itu, meski hanya sepersekian detik, namun itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Kontan saja pernyataan itu membuat Bianca tertegun, pipinya tampak memerah tipis, lalu ia seperti pura-pura berdeham untuk menutupi kegugupannya. “Ehm, oke, setelah bilang, terus apa?”
“Terus ya bakal dijemput sama dia lah!” Di belakang, Zaid memicingkan mata, berbanding terbalik dengan Bianca yang tengah tersenyum—sudut bibirnya turun, membentuk ekspresi jengah yang tampak sengaja ia buat-buat. “Engap banget ni mobil, bikin dada gue sesek!”
Tak butuh waktu lama bagi Sabian untuk membawa mobilnya ke sebuah mal besar di pusat kota. Lampu-lampu neon di gedung-gedung tinggi mengantar mereka, sampai memasuki area parkir mal.
Sabian memarkirkan mobilnya dengan penuh percaya diri, memutar setir dengan gerakan yang sedikit dibesar-besarkan, seolah ingin memamerkan keahliannya.
Kemudian, saat mobil itu akhirnya terparkir sempurna, Zaid dan Bianca kompak berseru, “Wooo!” seperti penonton di acara balapan mobil.
“Sat set banget parkirnya…,” puji Bianca, terdengar spontan.
“Iya, kayak yang udah lama punya mobil,” timpal Zaid, kali ini nadanya setengah bercanda.
“Biasa aja, lah, kalian jangan norak,” kata Sabian. Kendati begitu, sudut bibirnya naik, menunjukkan bahwa pujian yang sempat Zaid dan Bianca lontarkan itu sukses membuatnya senang bukan main. “Ayo turun!” ajaknya, seraya membuka pintu mobil dengan semangat.
Udara yang sedikit pengap di area parkir menyambut mereka, bercampur dengan aroma kue yang menggoda dari arah pintu masuk mal yang membuat perut Sabian tiba-tiba keroncongan—seolah setuju dengan saran Bianca untuk sekalian makan malam saja.
Di dalam mal, suasana ramai namun tetap nyaman mengelilingi ketiganya. Langkah orang-orang bercampur dengan tawa anak-anak yang bersemangat. Ada musik latar yang mengalun lembut dari speaker yang tak terlihat, menciptakan suasana yang hidup namun tidak bising.
Sabian berjalan di samping Bianca, langkah mereka selaras, seolah tak ingin ada jarak di antaranya. Cukup intens bagi mereka berbincang tentang hal-hal ringan, seperti; menu sushi favorit, film yang baru tayang—dan setiap kali Bianca tertawa, Sabian merasakan getaran kecil di hatinya. Bianca sesekali menutup mulutnya saat tertawa, ia jelas mencoba menyembunyikan kegugupannya, tapi matanya yang berbinar tak dapat berbohong—ia juga menikmati momen ini.
Sementara itu, Zaid, dengan semangat empat limanya, memimpin jalan dengan langkah lebar-lebar, seolah ia adalah seorang pemandu tur yang sedang memamerkan wilayahnya.
“Maaf ya, kalo lo liat Zaid agak overactive, dan bikin risih,” bisik Sabian ke Bianca, nadanya penuh perhatian.
Lantas, Bianca menggeleng cepat, seraya tersenyum lebar. “Gue sering ketemu sama orang yang tingkahnya jauh lebih banyak dari temen lo itu,” jawabnya, jari telunjuknya menunjuk Zaid yang kini berhenti di depan eskalator—sibuk mengamati papan iklan dengan wajah serius.
“Sering?” tanya Sabian, alisnya terangkat, nadanya penuh rasa ingin tahu yang dibumbui sedikit cemburu.
“Kok gitu ekspresinya?”
“Cowok kenalan lo ada banyak, ya?”
“Kenalan gue banyak, tapi yang confess langsung mau deketin gue cuman satu,” jawab Bianca, suaranya ringan tapi penuh makna.
Dan, detik itu juga, kaki Sabian hampir tersandung saat mereka melangkah keluar dari eskalator. “Gue, ya?” tanyanya memastikan. Suaranya sedikit bergetar karena campuran harapan dan kegugupan.
“Iya,” jawab Bianca cepat.
“Nggak ada lagi?” tanya Sabian lagi, namun kali ini nadanya penuh godaan.
“Eng—ada, tapi, nggak masuk itungan,” kata Bianca, matanya berbinar nakal.
“Kenapa?” tanya Sabian, kini benar-benar penasaran.
“Cica bilang, dia cuman ngerasa cocok dan suka sama lo,” jawab Bianca, dan tawa kecil Sabian langsung mengudara, bercampur dengan hiruk-pikuk pengunjung mal.
“Alin juga sama. Cuman cocok sama mbaknya Cica, katanya.”
“Serius?!” tanya Bianca, memastikan.
“Iya,” jawab Sabian.
“Kalo Acat?”
“Acat masih fifty-fifty.”
“Kalo Zaid?” tanya Bianca, nadanya penuh ejekan ringan.
“Bi, nggak semua orang yang suka ngikutin gue itu adik gue!” protes Sabian, tapi tawanya pecah, membuat Bianca ikut tertawa.
Bianca lantas melirik Zaid, yang kini tengah mematung di depan pintu masuk sebuah restoran sushi dengan wajah sumringah, seperti anak kecil yang tengah melihat tempat bermain, di hadapannya. “Gue bahkan liat dia sekarang kayak adik lo yang paling bungsu…,” kata Bianca, nadanya sedikit lebih serius.
Mendengar perkataan Bianca, dan melihat bagaimana gestur Zaid, Sabian terang saja langsung menyentuh kepalanya dengan frustrasi, tapi di dalam hati, ia sedikit setuju dengan pernyataan perempuan di sisinya itu. Zaid memang kadang seperti adik kecil yang cerewet, tapi juga beban yang ia pikul dengan senang hati.
“Bukannya menurut lo juga gitu?” tanya Bianca, matanya menyipit, seolah menekan Sabian untuk mengakuinya.
Sabian berdecak. “Kenapa, ya, rasanya lo kayak udah sekenal itu sama Zaid?” tanyanya, nada suaranya penuh kekaguman.
“Berarti bagus apa enggak?” tanya Bianca, tersenyum lebar.
“Bagus…,” jawab Sabian, dan di dalam hatinya, ia merasa lega—Bianca dan Zaid tampaknya akan sangat cocok, dan itu adalah kemenangan kecil baginya.
“Eh, gue bilangin ya, pacarannya nanti lagi aja! Perut gue udah tung tung sahur!” teriak Zaid dari depan restoran, suaranya lantang memecah momen manis mereka. Sabian dan Bianca saling pandang, lalu terkekeh bersamaan, langkah mereka semakin cepat menuju pintu restoran.
Tatkala ketiganya melangkah masuk ke restoran sushi tersebut—aroma nasi hangat, shoyu, dan ikan segar langsung menyapa indera penciuman Sabian—membuat perutnya semakin riuh.
Lampu gantung dengan cahaya kuning lembut tampak eksis di atas kepala mereka, menciptakan suasana intim yang kontras dengan hiruk-pikuk mal, di luar restoran tersebut.
Sabian memilih meja di sudut ruangan, mengikuti sorot mata Bianca yang menginginkan hal itu. Dan, tatkala mereka mendaratkan diri pada tiap-tiap kursinya, Sabian kontan merasakan ketenangan yang aneh—seperti berada di sebuah pulau kecil di tengah lautan manusia, berkat eksistensi Bianca serta Zaid kali ini.
Tak lama kemudian, pelayan datang menghampiri, pertanda tiba waktunya bagi mereka untuk memesan.
Sabian dengan penuh perhatian dan rasa percaya diri, bergerak menunjukkan daftar menu yang ada di layar ponselnya kepada Bianca lebih dulu. Maklum, ia tengah berusaha menjadi laki-laki yang peka bagi perempuan itu.
Akan tetapi, niat baik Sabian begitu cepat digagalkan oleh Bianca dengan cara mengoper ponsel Sabian kepada Zaid. “Oi, lo duluan deh, kayaknya lo laper banget,” kata Bianca, senyumnya lebar dan tulus, serta matanya berbinar hangat kala menatap Zaid
Zaid yang tampaknya terkejut akan aksi spontan Bianca barusan, praktis terkekeh, “Anjing??! Bi? Nggak apa-apa ini, Bi!?” serunya pada Sabian, meski matanya penuh rasa terima kasih.
Walau sempat dibuat sedikit bingung, Sabian hanya menaikkan kedua alisnya. Pada kenyataannya, dalam hati, kini ia merasa hangat—lega bahwa Bianca begitu cepat akrab dengan Zaid, seperti potongan puzzle yang akhirnya menemukan tempatnya.
“Buruan!” cetus Bianca, nadanya menginterupsi tanpa segan.
“Yaudah, kalo lo berdua maksa,” balas Zaid yang kemudian mulai menggulir daftar menu pada layar ponsel Sabian dengan wajah serius.
Satu per satu dari mereka, usai membuat pesanan. Lalu, sembari menunggu pesanan datang, perbincangan ringan mulai mengalir, seperti air di sungai kecil—humor alami, dan penuh keakraban. Sabian merasakan kehangatan yang semakin nyata di antara mereka, seolah mereka sudah berteman selama bertahun-tahun.
Di tengah percakapan santai itu, Sabian tiba-tiba mengeluarkan sebuah casing ponsel dari saku jaketnya dan menyerahkan benda itu kembali, kepada pemiliknya—Bianca.
“Bi, ini…,” kata Sabian, suaranya sedikit ragu, jantungnya berdetak kencang menanti reaksi sang empunya.
Tak lama kemudian Bianca meraih casing itu, matanya berbinar, dan ia tersenyum lebar, lalu melirik ke Zaid secepat kilat tanpa sepengetahuan Sabian.
“Nah! Berhubung HP lo udah telanjang lagi, nih, pake!” seru Zaid, seraya menyerahkan casing yang baru saja ia keluarkan dari tas selempangnya pada Sabian. “Yang waktu itu, nggak gue cancel pesenannya,” sambung Zaid, nadanya penuh kebanggaan.
“Itu Zaid yang beli?” tanya Bianca, dengan wajahnya polos.
Sabian mengangguk, mengambil casing itu dengan senyum kecil.
“Bagus, nggak?” tanya Zaid ke Bianca.
“Bagus,” jawab Bianca singkat, tapi di dalam hatinya, ia merasa tersentuh melihat ikatan mereka. Ia tahu Sabian dan Zaid seperti dua sisi koin—tak terpisahkan, dan ia ingin menjadi bagian dari dunia mereka tanpa mengganggu keseimbangan itu.
Dalam diam, Bianca bertekad untuk menjadi teman yang baik bagi Zaid, seperti Sabian. Ia tahu persahabatan laki-laki kadang rumit, dan ia tak ingin kehadirannya menjadi penghalang.
Akan tetapi, Sabian sudah lebih dulu memikirkan hal serupa. Sembari tersenyum hangat hingga kedua matanya menyipit, Sabian berkata, “Id, pesen satu lagi, bisa? Bianca kayaknya mau diajak.”
Zaid praktis mengernyit, “Bisa aja. Berarti yang versi cewek, ya?” tanyanya, memastikan.
Mendengar itu, Bianca kontan menggeleng cepat, pipinya memerah. “Eh, gue nggak usah, biar kalian aja. Selain sayang duitnya, gue kan… orang baru di antara kalian. Bukan siapa-siapa di persahabatan kentel kalian,” katanya lirih, nadanya penuh kerendahan hati.
“Ngapain sayang sama duit?” sahut Zaid spontan, dan Sabian mengangguk setuju.
“Iya. Dan, Zaid kayaknya nggak setuju sama pernyataan lo tentang bukan siapa-siapa. Ya, kan, Id?” sambung Sabian, didukung ekspresi dramatis Zaid yang seolah berkata, ‘Lo itu udah jadi bagian dari kita.’
Dengan begitu dramatis, Bianca menutup bibirnya dengan tangan, matanya membulat dan seakan berkaca-kaca karena terharu. “Aaaa… so sweet!” serunya, suaranya gemetar.
“Najis!” balas Zaid, bergidik ngeri sambil terkekeh, mencairkan momen emosional itu dengan caranya yang khas.
—
Satu per satu hidangan mulai berdatangan. Gelas-gelas minuman dingin berkilau dengan embun, dan piring-piring sushi yang penuh warna kini tersusun rapi di atas meja, menggoda selera. Aroma shoyu dan wasabi semakin menguar di udara, bercampur dengan denting lembut sumpit yang menyentuh piring—berasal dari aktivitas Zaid yang tengah melarutkan bubuk cabai dengan shoyu.
Begitu alami, Sabian dan Bianca tanpa sadar saling menawarkan potongan sushi, dengan gestur penuh perhatian.
“Bi, coba ini, tuna-nya enak banget,” kata Sabian, menyodorkan sepotong ikan tuna menggunakan sumpit di tangannya. Mata Sabian penuh harap, jantungnya berdegup kencang.
“Kita nggak pesen ini ya waktu itu?” tanya Bianca, matanya menyusuri ingatan.
“Enggak, waktu itu pesen yang lain,” jawab Sabian.
“Kacau banget. Besok-besok kalo ke sini lagi, harus pesen menu ini!” kata Bianca, nadanya penuh semangat.
“Ke sini terus, emangnya nggak bosen?” tanya Sabian, menggoda.
“Enggak.”
“Menu yang sama, bareng orang yang sama—nggak bosen?” tanya Sabian lagi, nadanya penuh harapan. Sementara, Bianca yang mendapat pertanyaan itu hanya tersenyum, pipinya memerah—membuat Sabian merasakan dadanya dipenuhi kupu-kupu.
Zaid, yang semula tengah fokus menyantap sushi, tiba-tiba saja mendecih pelan. “Teruss, terussss! Gue obrak-abrik juga nih meja sushi!” katanya, nadanya dramatis, tapi senyum kecil di wajahnya menunjukkan bahwa ia menikmati momen ini.
Mengerti, dan tak ingin Zaid merasa tersisih, refleks membuat Sabian menyodorkan sepotong sushi ke arahnya. “Nggak usah iri. Nih, gue kasih juga,” katanya.
Detik kemudian, Bianca ikut melakukan hal yang sama. “Lo harus cobain yang ini, nggak kalah enak!” katanya, matanya berbinar serta tulus tatkala menatap Zaid.
“Sial…,” gumam Zaid, wajahnya memerah.
“Why?” tanya Bianca, alisnya terangkat.
“Gue udah kayak anak kalian berdua,” keluh Zaid, nadanya penuh kekesalan dan drama.
Lantas tawa mereka bertiga pecah, menggema di restoran, menarik perhatian beberapa pengunjung, tapi mereka tak peduli—malam ini adalah milik mereka, penuh kehangatan, canda, dan ikatan yang semakin erat.